- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sewenang-wenang dan tegas sebenarnya sudah jelas


TS
arbib
Sewenang-wenang dan tegas sebenarnya sudah jelas

Semua yang sudah jelas bisa menjadi samar karena kepentingan kita. Bebatuan dan arus yang ada terkadang berubah berpadu juga bertabrakan tergantung situasi kondisi alami. Begitu juga dengan setiap keseharian yang kita alami, temui dan kita lalui
Quote:
Kasus tulisan di sosial media yang menyebabkan anggota TNI kehilangan jabatan dan menerima hukuman saat ini lagi ramai dibicarakan. Tulisan bernada nyinyir, nyindir atau bergembira atas musibah yang menimpa orang lain, bukanlah budaya yang patut diteladani dan di budidayakan. Siapapun yang tertimpa musibah, sudah selayaknya kita turut berduka, bukan sebaliknya.
Namun, yang terjadi beberapa waktu sekarang ini, kebiasaan senang melihat orang susah dan susah hati melihat orang lain senang, nampaknya mulai menjamur. Jamur itu, seperti virus penyakit yang berbahaya dan terus menyebar. Ini yang seharusnya segera kita sadari dan segera kita obati. Karena bila kita biarkan, penyakit ini, akan merusak kehidupan masyarakat kita.
Hukuman yang berupa penahanan serta pencopotan jabatan kepemimpinan seseorang, akibat ulah istri yang tak terkendali, memang sudah layak atau pantas. Ini merupakan bentuk suatu ketegasan. Apalagi, dalam dunia kemiliteran yang memang sudah ada aturan tertulis serta penjelasan dan pengarahannya.
Ketegasan seperti ini, sepertinya perlu diberlakukan juga dalam birokrasi sipil atau umum. Khususnya, untuk pejabat publik yang memang merupakan struktur organisasi dari kepemerintahan. Karena rasanya tidak layak, bila seorang yang berkaitan dengan aparatur negara, justru menggerogoti dan mencela negara, serta kepemimpinan yang ada.
Padahal, dia ada dalam struktur itu. Dan tugasnya secara langsung sudah bersumpah sebagai abdi negara. Kan nggak etis, bila tindak tanduknya dalam keseharian termasuk di sosial media, ternyata nyiyir terhadap negara. Atau selalu menyampaikan hal hal yang tidak baik tentang kepemimpinan yang merupakan tempatnya mengabdikan diri.
Istilahnya, orang yang membicarakan keburukan tempat dia bekerja, tempatnya mencari nafkah, sama dengan orang yang membuang hajat ( kotoran ) kedalam priuk nasi untuk keluarga. Begitulah gambaran singkatnya.
Lalu, banyak yang mengatakan jika, pencopotan pangkat kepemimpinan sang suami, dalam struktur organisasi kemiliteran, karena ulah istri, merupakan tindakan yang berlebihan. Ada juga yang berpendapat itu merupakan kesewenang-wenangan. Yang punya pendapat demikian, mungkin belum menyadari, bahwa contoh kepemimpinan yang paling sederhana adalah memimpin keluarga. Sebagai suami, kepala rumah tangga, kita bisa melihat kemampuan kepemimpinan seseorang. Jika memimpin keluarga saja kita masih belum bisa, maka ; jika dilimpahkan tanggung jawab yang lebih besar untuk memimpin, jelas sudah sangat meragukan.
Jadi, wajar saja jika, jabatan kepemimpinan yang disandang, sudah selayaknya dipindahkan kepada pribadi yang lebih pantas mengembannya. Begitu juga dalam memilih pemimpin kita, hal yang kita perhatikan pertama adalah keluarga si calon pemimpin yang akan kita pilih. Sebagai contoh ketika memilih pak RT, kita lihat keluarganya dulu. Jika dalam memimpin keluarga kita lihat dia sudah baik, maka kita bolehlah mempercayai sang calon RT untuk memimpin masyarakat tingkat RT kita.
Begitulah secara umum ketentuan yang tak tertulis tersebut berlaku. Walaupun sebagian berpendapat berbeda. Namun, ts lebih memilih pendapat bahwa : jika seseorang memimpin keluarga saja amburadul, maka ; tak akan ts pilih sebagai pemimpin masyarakat.
Dalam jabatan umum biasanya istri akan ikut secara otomatis jabatan suami. Contohnya pak RT, kan nggak mungkin jabatan ibu RT nya, dijabat oleh anak gadis perawan desa sebelah. Jika agan menjadi pak RT, maka sista yang menjadi istrinya, akan menjabat pula sebagai ibu RT. Berbagai tugas dan tanggung jawab serta fasilitas untuk itu, secara otomatis langsung terikat menjadi suatu paket yang tidak bisa dipisahkan.
Begitu juga dalam susunan kepemimpinan dunia militer. Apalagi, jelas bahwa dunia militer, mempunyai suatu aturan yang tegas. Dan tidak bisa ditolak atau di sangkal. Sejak mengucapkan sumpah atau disumpah ketika masuk menjadi anggota, sumpah tersebut mengikat sampai mati. Jadi, keputusan hukuman dan pencopotan jabatan, dapat disimpulkan, adalah merupakan suatu ketegasan. Bukan kesewenang-wenangan yang banyak disuarakan oleh orang tertentu di sosial media.
Bagi yang masih menganggap itu sebagai suatu kesewenang-wenangan, coba pikirkan beberapa hal berikut ini;
* Mentang mentang istri pejabat, bebas berkomentar caci maki, nyindir tanpa kejelasan, nyiyirin pimpinan, merasa bahagia melihat orang susah.
* Asal tulis tanpa mikir panjang. Karena yakin orang lain tak akan berani, menegur atau menasehati, karena ia istri pejabat berpengaruh.
* Menikmati segala fasilitas yang melekat karena sudah merupakan aturan protokoler. Lalu, para pengurus yang memberikan fasilitas kepadanya, justru dicap negatif. Cap negatif tersebut disebarkan kepada masyarakat.
Ketiga hal ini, coba pikirkan pantas atau tidaknya. Jika ketiga contoh tadi, merupakan sesuatu yang tidak pantas, maka; hukuman dan pencopotan jabatan yang didapat seorang suami, karena istri yang kurang empati, sudah merupakan sesuatu yang pantas. Itu bentuk suatu ketegasan dalam suatu struktur organisasi.
Namun, bila 3 contoh tadi merupakan hal yang wajar saja, atau masih pantas aja, maka orang yang berpikiran seperti itu, pasti akan menganggap hukuman yang terjadi, merupakan sesuatu yang berlebihan. Bahkan koar koar zalim atau kesewenang-wenangan di sosial media.
Sebetulnya untuk menilai pantas atau tidaknya, ada dalam pribadi kita masing masing. Rasa empati yang ada dalam diri kita yang mesti kita pupuk. Bukan rasa benci yang terkadang tak jelas darimana mulai datangnya. Bila kita memiliki rasa empati yang tinggi dan kepekaan sosial yang baik, maka, antara kesewenang-wenangan dan sebuah ketegasan, sebetulnya sudah ada batas yang jelas.
Baik itu batas yang tertulis, maupun batas yang tidak tertulis. Sebagai orang yang sudah dewasa, punya nurani, punya akal dan Budi pekerti luhur, tentu kita bisa bedakan;
* Mana kesewenang-wenangan dan mana ketegasan
* Mana kritikan dan mana nyinyiran
* Mana yang pantas dan mana yang tidak
* Mana yang baik dan mana yang kurang serta tidak
* Mana yang harus diteladani dan mana yang mesti kita jauhi
* Dan banyak hal lainnya yang sebetulnya sudah bisa kita pilah untuk dibedakan
Bila kita tidak mampu membedakan batasan tersebut. Bisa jadi hati kita sedang digerogoti oleh penyakit parah. Penyakit hati yang parah ini, tidak akan ada obatnya, kecuali kemauan dari diri kita sendiri untuk sembuh dan mengobatinya.
Namun, yang terjadi beberapa waktu sekarang ini, kebiasaan senang melihat orang susah dan susah hati melihat orang lain senang, nampaknya mulai menjamur. Jamur itu, seperti virus penyakit yang berbahaya dan terus menyebar. Ini yang seharusnya segera kita sadari dan segera kita obati. Karena bila kita biarkan, penyakit ini, akan merusak kehidupan masyarakat kita.
Hukuman yang berupa penahanan serta pencopotan jabatan kepemimpinan seseorang, akibat ulah istri yang tak terkendali, memang sudah layak atau pantas. Ini merupakan bentuk suatu ketegasan. Apalagi, dalam dunia kemiliteran yang memang sudah ada aturan tertulis serta penjelasan dan pengarahannya.
Ketegasan seperti ini, sepertinya perlu diberlakukan juga dalam birokrasi sipil atau umum. Khususnya, untuk pejabat publik yang memang merupakan struktur organisasi dari kepemerintahan. Karena rasanya tidak layak, bila seorang yang berkaitan dengan aparatur negara, justru menggerogoti dan mencela negara, serta kepemimpinan yang ada.
Padahal, dia ada dalam struktur itu. Dan tugasnya secara langsung sudah bersumpah sebagai abdi negara. Kan nggak etis, bila tindak tanduknya dalam keseharian termasuk di sosial media, ternyata nyiyir terhadap negara. Atau selalu menyampaikan hal hal yang tidak baik tentang kepemimpinan yang merupakan tempatnya mengabdikan diri.
Istilahnya, orang yang membicarakan keburukan tempat dia bekerja, tempatnya mencari nafkah, sama dengan orang yang membuang hajat ( kotoran ) kedalam priuk nasi untuk keluarga. Begitulah gambaran singkatnya.
Lalu, banyak yang mengatakan jika, pencopotan pangkat kepemimpinan sang suami, dalam struktur organisasi kemiliteran, karena ulah istri, merupakan tindakan yang berlebihan. Ada juga yang berpendapat itu merupakan kesewenang-wenangan. Yang punya pendapat demikian, mungkin belum menyadari, bahwa contoh kepemimpinan yang paling sederhana adalah memimpin keluarga. Sebagai suami, kepala rumah tangga, kita bisa melihat kemampuan kepemimpinan seseorang. Jika memimpin keluarga saja kita masih belum bisa, maka ; jika dilimpahkan tanggung jawab yang lebih besar untuk memimpin, jelas sudah sangat meragukan.
Jadi, wajar saja jika, jabatan kepemimpinan yang disandang, sudah selayaknya dipindahkan kepada pribadi yang lebih pantas mengembannya. Begitu juga dalam memilih pemimpin kita, hal yang kita perhatikan pertama adalah keluarga si calon pemimpin yang akan kita pilih. Sebagai contoh ketika memilih pak RT, kita lihat keluarganya dulu. Jika dalam memimpin keluarga kita lihat dia sudah baik, maka kita bolehlah mempercayai sang calon RT untuk memimpin masyarakat tingkat RT kita.
Begitulah secara umum ketentuan yang tak tertulis tersebut berlaku. Walaupun sebagian berpendapat berbeda. Namun, ts lebih memilih pendapat bahwa : jika seseorang memimpin keluarga saja amburadul, maka ; tak akan ts pilih sebagai pemimpin masyarakat.
Dalam jabatan umum biasanya istri akan ikut secara otomatis jabatan suami. Contohnya pak RT, kan nggak mungkin jabatan ibu RT nya, dijabat oleh anak gadis perawan desa sebelah. Jika agan menjadi pak RT, maka sista yang menjadi istrinya, akan menjabat pula sebagai ibu RT. Berbagai tugas dan tanggung jawab serta fasilitas untuk itu, secara otomatis langsung terikat menjadi suatu paket yang tidak bisa dipisahkan.
Begitu juga dalam susunan kepemimpinan dunia militer. Apalagi, jelas bahwa dunia militer, mempunyai suatu aturan yang tegas. Dan tidak bisa ditolak atau di sangkal. Sejak mengucapkan sumpah atau disumpah ketika masuk menjadi anggota, sumpah tersebut mengikat sampai mati. Jadi, keputusan hukuman dan pencopotan jabatan, dapat disimpulkan, adalah merupakan suatu ketegasan. Bukan kesewenang-wenangan yang banyak disuarakan oleh orang tertentu di sosial media.
Bagi yang masih menganggap itu sebagai suatu kesewenang-wenangan, coba pikirkan beberapa hal berikut ini;
* Mentang mentang istri pejabat, bebas berkomentar caci maki, nyindir tanpa kejelasan, nyiyirin pimpinan, merasa bahagia melihat orang susah.
* Asal tulis tanpa mikir panjang. Karena yakin orang lain tak akan berani, menegur atau menasehati, karena ia istri pejabat berpengaruh.
* Menikmati segala fasilitas yang melekat karena sudah merupakan aturan protokoler. Lalu, para pengurus yang memberikan fasilitas kepadanya, justru dicap negatif. Cap negatif tersebut disebarkan kepada masyarakat.
Ketiga hal ini, coba pikirkan pantas atau tidaknya. Jika ketiga contoh tadi, merupakan sesuatu yang tidak pantas, maka; hukuman dan pencopotan jabatan yang didapat seorang suami, karena istri yang kurang empati, sudah merupakan sesuatu yang pantas. Itu bentuk suatu ketegasan dalam suatu struktur organisasi.
Namun, bila 3 contoh tadi merupakan hal yang wajar saja, atau masih pantas aja, maka orang yang berpikiran seperti itu, pasti akan menganggap hukuman yang terjadi, merupakan sesuatu yang berlebihan. Bahkan koar koar zalim atau kesewenang-wenangan di sosial media.
Sebetulnya untuk menilai pantas atau tidaknya, ada dalam pribadi kita masing masing. Rasa empati yang ada dalam diri kita yang mesti kita pupuk. Bukan rasa benci yang terkadang tak jelas darimana mulai datangnya. Bila kita memiliki rasa empati yang tinggi dan kepekaan sosial yang baik, maka, antara kesewenang-wenangan dan sebuah ketegasan, sebetulnya sudah ada batas yang jelas.
Baik itu batas yang tertulis, maupun batas yang tidak tertulis. Sebagai orang yang sudah dewasa, punya nurani, punya akal dan Budi pekerti luhur, tentu kita bisa bedakan;
* Mana kesewenang-wenangan dan mana ketegasan
* Mana kritikan dan mana nyinyiran
* Mana yang pantas dan mana yang tidak
* Mana yang baik dan mana yang kurang serta tidak
* Mana yang harus diteladani dan mana yang mesti kita jauhi
* Dan banyak hal lainnya yang sebetulnya sudah bisa kita pilah untuk dibedakan
Bila kita tidak mampu membedakan batasan tersebut. Bisa jadi hati kita sedang digerogoti oleh penyakit parah. Penyakit hati yang parah ini, tidak akan ada obatnya, kecuali kemauan dari diri kita sendiri untuk sembuh dan mengobatinya.
Sampai jumpa dilain cerita, dan baca juga thread2 lainnya
Diubah oleh arbib 14-10-2019 14:02






zafinsyurga dan 3 lainnya memberi reputasi
4
17.6K
Kutip
0
Balasan


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan