Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lapautekchy01Avatar border
TS
lapautekchy01
Cerbung Rinai dan Senja Bag 2
Bab 2

Gadis remaja lima belas tahun itu tenggelam dalam selimut yang sengaja dirapatkan setelah subuh. Keinginan yang tidak dipenuhi Aini membuat hatinya gundah. Ia sengaja mengurung diri dalam kamar, berharap pergolakan dengan cara mendiamkan seisi rumah membuat hati ibu dan neneknya luluh, lalu mengabulkan keinginannya.

Meskipun saat ini Rinai bimbang, namun, karena benda yang sangat diimpikannya tidak jua diperoleh. Membuat hati Rinai tidak enak sehingga ia malas keluar dan pergi sekolah. Meski sinar mentari pagi membias melalui celah ventilasi kamarnya.

Sementara di dapur, Aini dan Inyiak Murai sedang membicarakan tingkah Rinai yang mulai susah diatur.
“Apa ‘ambo’ terlalu keras mendidik Rinai, yo, Nyiak?” tanya Aini setelah meniup bara di tungku yang enggan menyala.

Kayu bakar mereka semalam tertimpa hujan, makanya Aini kesulitan memasak nasi dan gulai rebung kesukaan Rinai.

“Kenapa tidak kau turuti saja, lalu beri batasan. Mungkin itu lebih baik.”

“Ambo takut Rinai terpanguruh, Nyiak.”
Aini memasukkan beras ke dalam periuk yang terjerang di tungku. Sesekali menoleh ke Inyiak murai yang sedang mengiris rebung. Mertua dan menantu itu sangat dekat. Apalagi setelah mereka tinggal satu rumah. Aini merasa memiliki pengganti ibunya yang kini berada di pulau seberang.

“Kenapa Rinai belum keluar kamar? Apa dia tidak sekolah?” Inyiak Murai baru menyadari kalau hari mulai beranjak tinggi.

Tidak biasanya gadis itu melalaikan waktu. Rinai pasti masih merajuk, pikir wanita tua itu.

“’Aden’ lihat Rinai dulu,” ucapnya sambil berdiri. Meninggalkan irisan rebung yang mengapung dalam ember.

Aini merasa pikirannya sama dengan irisan tipis tunas bambu tersebut, mengapung jauh ke masa dimana janji pernah terucap kepada suaminya, Datuak Sati.

“Jangan pernah sia-siakan Rinai. Turuti semua kemauannya, jika itu baik!”
Kalimat itu diucapkan Sati seminggu sebelum ia berpulang. Ketika kedua insan tersebut berdiri di jendela yang menghadap ke hamparan sawah.

Aini tersenyum, lalu menukas kata Datuak Sati. “Rinai saja yang Uda ‘Manjokan', ‘Awak’ indak pernah.”

Sati tertawa renyah, menampilkan giginya yang menghitam karena Nikotin dan Kafein.
“Masih kurang manja kau selama ini, Aini? Atau mau kau kubiarkan membelah kayu bakar, menimba air, dan membiarkan kau sendiri mendidik Rinai. Mungkin kau mau aku panggil sayang, seperti yang Tivi-Tivi itu?”

Mendengar jawaban suaminya, Aini tersipu. Apa kata orang kampung nanti mendengar seorang Penghulu memanggil istrinya ‘sayang' bisa jadi bahan gunjingan masyarakat.

“Aini, maafkan aku yang belum bisa membahagiakan kalian,” ujarnya setelah tawa Aini reda.
“Maksud, Uda apa?”
“Sebelum kita menikah, hidupmu serba berkecukupan. Sedangkan kini, ...” Napas Sati terdengar berat, sehingga tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

Aini paham siapa Sati, bagaimana tabiatnya. Lelaki keras, namun berhati sebening embun. Mana mungkin ia melanjutkan kalimat yang barangkali akan menyinggung hati istrinya.
“Ambo bahagia menjadi istri Uda. Mana ada suami di kampung ini yang mau membantu istrinya mencuci pakaian, menyapu rumah. Apalagi orang ‘Bagala' seperti Uda,” katanya kemudian sembari bersandar di punggung Sati yang ringkih.

“Janji ya, Ai. Kamu harus mendidik Rinai dengan baik.”

“Insya Allah, Da.”

Teringat kenangan manis beberapa tahun silam, membuat luka lama di jiwa Aini kembali berdarah. Air matanya meleleh bersama isak yang tertahan. Kebimbangan merasuki ruang jiwa. Keputusan apa yang akan ia ambil?

**
Rayuan seorang nenek kepada cucu. Bagai rayuan pulau kelapa. Rinai yang dari tadi berkecamuk melawan kecewa, luluh.

Kendatipun masih galau, gadis itu menuruti permintaan neneknya agar berangkat ke sekolah. Tanpa sarapan dan menyalami Aini. Gadis yang hampir tamat SMP itu melangkah ke pintu depan.

“Rinai pamit ke ibumu!” perintah Inyiak yang berdiri di depan pintu kamar gadis itu.

Sejenak Rinai mengela napas berat. Kemudian beranjak ke dalam untuk menyalami Aini.

Wanita itu menghapus tangannya ke daster lusuh yang dipakai. Mengulurkan tangan ke buah hati tercinta.

“Ibu akan membelikan kamu Android, tapi harus janji bisa menjaga waktu dan tidak untuk hal-hal yang membuat ibu marah,” ujar Aini setelah Rinai melepaskan tangan ibunya.

Gadis itu tersentak. Wajahnya langsung berubah, senyum pun menghiasi bibirnya. Sebuah pelukan yang hampir seminggu ini tidak lagi diberikan Rinai, kini kembali diterima Aini.

Bayangan indah menari dalam kepala Rinai, sebuah pilihan sudah ada di sana. Android dengan merek terbaru. Pasti teman-temanya tidak percaya ibunya mau membelikan barang mahal tersebut.

0
602
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan