- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Dua Musim (Remake)


TS
tafakoer
Dua Musim (Remake)

Musim kemarau yang berkepanjangan...
Aku kini kembali ke kampung halamanku setelah sekian lama melanjutkan studi di perantauan. Sepanjang perjalanan aku tak berhenti mengagumi keindahan alam dari dalam gerbong keteta yang berjalan, persawahan terhampar luas daan terkadang terlihat hutan-hutan hijau yang menyapa. Teringat saat aku kecil dulu bermain di pesawahan, orang tuaku adalah petani. Saat itu aku ingat waktu musim angin, banyak orang membuat kincir angin di pesawahan. Ketika angin datang menderu kincir itu berputar dengan cepat diiringi suara khasnya yang timbul dari gesekan dengan angin. Melihat banyak kincir angin yang berputar saat itu aku tertawa riang, merasa bahagia.
Tak jarang aku ikut bantu-bantu ibu membawa bekal buat ayah di sawah, dan terkadang aku membantu ayah membajak sawah meskipun pada akhirnya aku ditertawakan oleh orang tuaku saat aku kelelahan waktu mencangkul tanah sawah.
Kereta masih terus melaju, kini yang terlihat dari gerbong kereta hutan-hutan yang berjejeran, kulihat pohon-pohon jati menggugurkan daun-daunnya. Sementara pohon-pohon lain masih tetap mempertahankan warna daun daunnya meski ada sebagian pohon-pohon mati karena tak mampu melawan kondisi kemarau yang melanda.
Dulu saat aku masih kecil, ayah dan ibu sering mengajakku ke hutan, pergi mencari kayu bakar bersama atau ketika musim angin aku bersama teman-temanku berburu jamur di hutan. Masuk hutan bukan berarti tanpa bahaya, seringkali saat masuk hutan bertemu dengan hewan-hewan buas dan tak jarang saat pulang ke rumah selalu dimarahi orang tua.
Keindahan saat itu di musim-musim awal kehidupan sangat begitu berbekas, di tengah upaya menjadi dewasa kini rasanya ingin bisa kembali menikmati masa-masa kecil yang tanpa beban, riang bersama menikmati dunia. Berbeda dengan saat ini, banyak hal yang telah berubah. Anak-anak zaman dahulu suka sekali bermain di luar rumah, sekarang nyaris tak terlihat anak-anak bermain di luar rumah saat gadget hadir.
Lama ku terdiam dan tanpa ku sadari akhirnya kereta sudah sampai di stasiun, akupun segera beranjak keluar kereta. Ah.. begitu ramainya di stasiun siang ini, banyak orang berlalu lalang, banyak juga pedagang yang menjajakan dagangannya. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat sosok yang tidak asing bagiku, ku coba untuk melihatnya namun hilang tak berbekas dari pandanganku. “ah mungkin itu perasaanku saja..” ucapku pada diri sendiri.
Aku berjalan keluar dari stasiun dan singgah dulu ke rumah makan yang tak jauh dari stasiun. Ku berhenti di rumah makan kesukaanku, rumah makan favorit yang selalu aku singgahi saat perjalanan pulang pergi, tak menunggu lama aku memesan makanannya hingga terhidang di atas meja, kunikmati makanannya dan kuteguk air minum yang tersedia hingga lapar dan hausku hilang. Selesai makan dan bayar ke kasir aku keluar dan kemudian aku naik ke angkutan umum yang menjurus ke kampung halamanku, di dalam kendaraan umum itu penuh sesak namun ku beruntung masih dapat tempat duduk. Ku coba lihat ke luar jendela mobil suasana yang ku lihat di luar mobil telah banyak berubah tak seperti saat aku mulai berkembara ke tempat lain meninggalkan kampung halamanku. Jendela mobil sedikit tertutup debu, musim kemarau ini membuat banyak debu berterbangan. Teringat saat aku berjalan di pematang sawah waktu kemarau panjang, yang terlihat hanya lahan yang tandus dan debu-debu serta dedaunan kecil yang tertiup angin.
Coba ku lihat awan banyak berbaris di langit dan matahari masih terus bersinar terik. Matahari terus menyinari hari, meskipun banyak orang tak menghiraukan kehadirannya namun tak pernah lelah ataupun mengeluh menyinari dunia. Kadang ku berpikir saat berbuat baik harus seperti mentari, ada atau tidaknya perhatian dari orang disaat itulah tak berharap diperhatikan namun senantiasa terus menyinari orang dengan kebaikan-kebaikan.
Seharusnya manusia belajar dari mentari, tak pernah mengeluh tuk menyinari bumi. Angin kering dan gersang berhembus menerpa tubuhku, sedikit memberikan kesejukan buatku. Ku lihat di luar jendela kendaraan yang aku tumpangi terhampar luas pesawahan, tandanya semakin dekat dengan kampung halamanku.
“kampung duku.. kampung duku.. siapa yang turun disini?” teriak kondektur. Mendengar suara itu aku bergegas turun dari mobil dan tak lupa membayar. Suasana masih terasa panas meskipun kulihat sekarang awan mendung bagai pertanda hujan kan turun. Angin berhembus begitu kencangnya dan aku teringat di tempat ini saat orang tua melepas kepergianku merantau untuk mencari ilmu. Hujan rintik-rintik di saat itu melepaskan kepergianku dengan mata berkaca-kaca aku menatap mereka terakhir kali di waktu itu. “hati-hati nak” ujar mereka. “iya..” jawabku.
Kini aku kembali disini, yang terpikirkan olehku sedang apakah mereka kini? Apakah mereka sedang menyambutku pulang? Kakiku berjalan menapaki perbukitan, cukup jauh tempat yang aku tempuh menuju rumahku. Memang kampungku agak jauh dari jalan raya dan hanya motor yang dapat menempuh jalan menuju kampungku. Kulihat di sekeliling pohon jati meranggas, daun daun nya berserakan memenuhi jalan yang aku lalui.
Angin begitu kerasnya berhembus menerpa tubuhku yang berjalan gontai, kulihat tempat tinggalku terlihat dari kejauhan, masih sama seperti dulu saat aku meninggalkan tempat itu. Saat itu aku menatap lama tempat tinggalku dari kejauhan dikala aku mulai merantau meraih cita dan impian, ada rasa berat saat itu untuk meninggalkan tempat yang melahirkan banyak kenangan hingga aku tertegun cukup lama dengan mata berkaca-kaca hanyut dalam lamunan. “heh kenapa kamu melamun? Ayo buruan nanti ketinggalan mobil” ucap ayah saat itu menyadarkan aku dari lamuman di waktu itu. Ada sebuah kebanggaan yang menyeruak dalam dadaku, meskipun jika aku di negeri orangpun suatu saat nanti pastinya tempat tinggalku sejak aku kecil tetap yang terbaik.
Awan semakin menghitam dan angin semakin keras berhembus dan jarak semakin dekat menuju rumahku, aku percepat langkahku saat rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi yang telah sekian lama kering. Kulihat pohon-pohon jati yang tadi aku lewati mulai terbasahi oleh air hujan dan tanah-tanahpun mulai terkucuri rintik-rintik air yang jatuh. Aku suka dengan hujan, terutama saat hujan rintik-rintik seperti ini, iramanya terdengar syahdu sehingga mengingatkanku pada setiap kenangan aku selama ini.
Ku tengadahkan tanganku dan ku rasakan dengan lembut rintik-rintik hujan membasahi telapak tanganku, dari kejauhan terlihat tanaman-tanaman kebun berayun-ayun tertiup angin seakan gembira menantikan hujan yang turun setelah sekian lama langit tak mengeluarkan air hujannya. Butir-butir air hujan pun tak luput membasahi wajahku, rintik-rintik hujan itu semakin besar dan aku semakin mempercepat langkahku, awan semakin tak kuat lagi menopang air yang dibawanya dan akhirnya hujan turun dengan derasnya menyelimuti bumi. Aku berlari dengan kencang, beruntung saat hujan deras turun sudah sangat dekat dengan rumahku.
“alhamdulillah..”ucapku saat aku telah sampai rumah. Suasananya begitu sepi, dalam hati bertanya kemanakah mereka? Apakah ada di rumah?
“assalamualaikum...”
Masih hening, namun beberapa waktu kemudian ada yang menjawab “waalaikum salam..” suara itu masih ku ingat, terlihat dengan jelas dia yang membuka pintu rumahku, adikku yang bungsu puji widiatsuti namanya dan Kini adik bungsuku sudah kelas 5 SD. “kakak...” teriaknya sambil memelukku erat. Dari kejauhan terlihat ayah dan ibu menghampiri dan aku pun berjabat tangan dan merangkul mereka. Adik pertamaku, Kara lestari menyambut diriku dan berjabat tangan denganku sambil membisiki “kak.. kakak itu udah pulang loh..”. “ serius? “ tanggapku dengan rasa tak percaya.
“Lho bajumu terlihat agak basah gini, kehujanan?” tanya ibu sambil memegang baju aku. “iya bu.. tadi pas udah beberapa meter lagi nyampe rumah, hujan udah mulai turun deras bu”. “kara, cepat ambil handuk buat kakakmu” perintah ibu kepada kara. “iya bu..” jawab kara. Tak lama kemudian kara kembali membawa handuk kecil buatku, dan ku ambil handuk kecil untuk mengusap butiran-butiran air hujan yang menempel di wajahku. “ka.. maafin kara tak bisa hadir di acara wisuda kakak beberapa waktu lalu, tapi walau aku tak datang ke acara wisuda kakak aku punya kejutan buat kakak, tuh lihat di lemari” ucap kara sambil menunjuk lemari besar yang berisi piala, samar terlihat di piala tertulis juara satu lomba karya tulis. “hebat sekali kamu kara, nanti kakak traktir kamu deh hehe..” tanggapku sambil menatap bangga padanya. Waktu wisuda kemarin memang kara tak ikut ayah, ibu dan puji melihat prosesi wisudaku karena waktu lomba yang bentrok dengan hari wisudaku, melihatnya menjadi juara bagiku tidak masalah kara tak hadir, malah aku bangga dengan prestasinya. “tuh kak aku sandingkan dengan penghargaan kakak” tambahnya lagi. Disamping piala yang diperoleh kara ada cinderamata penghargaan mahasiswa terbaik yang bertuliskan nama lengkap dengan gelarku, Joko Wibowo.S.E.
Masih teringat suasana waktu itu saat pemberian penghargaan, semua bertepuk tangan dan kulihat wajah orang tua dari kejauhan tersenyum kepadaku dan pada saat setelah selesai wisuda ayah memelukku erat dan berkata “ayah bangga nak..” ujarnya sambil berkaca-kaca dan kulihat ibu menangis bahagia atas keberhasilanku. Sesaat sebelum ayah, ibu dan adikku pulang aku dan mereka berfoto bersama, ya foto itu kini terpajang di dinding rumahku. Aku hanya bisa tersenyum mengingat suasana bahagia di waktu itu. Aku tak langsung pulang ke rumah karena saat itu aku masih fokus pada bisnisku dan mitra kerjaku, selama aku kuliah aku sudah punya bisnis sendiri.
“bu.. katanya retno udah pulang ya?” tanyaku pada ibu. “iya.. barusan sebelum hujan mampir sebentar kesini ngobrol sama ibu..” jawab ibu. “benarkah bu? Pantesan tadi saya merasa melihatnya di stasiun kereta..” tanggapku dengan rasa penasaran. “kamu melihatnya?” kini ibu yang berbalik penasaran. Aku mengangguk sembari menjawab “iya bu, tadi ngobrol apa aja ke ibu?” aku berbalik kembali bertanya ke ibu. “tadi ngobrol nanya kabar keluarga di sini sama nanya keadaan kamu juga” ucap ibu. “dia udah lulus juga loh di kuliah farmasinya” tambahnya lagi.
Retno Dwi Putri, begitulah nama lengkap dia, aku mengenal dekat dia waktu sma. Dia orangnya begitu baik, solehah, taat beragama dan juga pintar, tak heran aku dengan dia sering bersaing merebut peringkat pertama sejak kelas satu sampai masa kelulusan tiba. Pernah aku belajar kelompok dengannya, bahkan berkat kerja kelompok itulah dia bisa mengenal keluargaku, karena tak jarang rumahku jadi tempat belajar kelompok dengan teman-temanku.
“katanya dia jadi mahasiswa terbaik juga lho seperti kamu” kata ibu. “benarkah?” aku seakan tak percaya apa yang di sampaikan oleh ibu. “ iya.. tadi dia bilang juga sama ibu” jawab ibu. Aku hanya mengangguk-ngangguk. Selama aku masih kuliah memang kalau waktu libur tak jarang retno berkunjung ke rumahku menyapa ayah dan ibuku, sepertinya ia merasa nyaman saat berkunjung ke rumahku. Dia seperti begitu dekat dengan keluargaku, namun aku tak begiti dekat dengan keluarganya meskipun pernah belajar kelompok di rumahnya retno.
“kak aku curiga kalo kak Retno suka banget dengan kakak..” canda puji kepadaku. “ah masa.. biasa aja” tanggapku sambil senyum lebar. “sepertinya dia cocok sama kamu nak.” Kata ayah yang ikut bercanda kepadaku. Ya.. memang ku akui aku menyukai dirinya sejak lama dan mungkin sudah saatnya ku ingin mengutarakan sesuatu...
“ yah.. bu.. aku ingin menjadikan retno sebagai istriku apakah bapak ibu menyetujuinya?” ku beranikan diri mengutarakan sesuatu keinginan tersembunyi selama ini. Ayah dan ibu serta adik-adikku hanya bengong dengan perkataanku. Sesaat kemudian ayah berkata kepadaku “ kamu yakin?” dan aku pun mengangguk tanda mengekspresikan keyakinanku yang seakan tak bisa dikeluarkan dengan kata-kata.
Sesaat kemudian ayah dan ibu berbasa-basi kepadaku dan mereka juga menyetujui karena aku sudah cukup untuk memulai sebuah kehidupan baru. Melihat aku dimata mereka telah terlihat dewasa karena aku telah mempunyai pekerjaan sendiri. Lalu aku dan orang tuaku mendadak membuat perencanaan untuk melamar Retno saat itu juga. Dua adikku hanya mendengarkan apa yang aku bicarakan dengan ayah dan ibu.
Pagi itu.. embun masih membasahi bumi, aku dan sekeluarga berangkat ke rumah retno dan orang tuanya untuk melamar. Sebelumnya aku memberanikan diri sendiri berkunjung ke rumah orang tua retno, orang tuanya menyambutku dengan ramah dan setelah sekian lama orang tua retno bercakap-cakap denganku mereka menyetujuinya. Mereka menyambut dengan penuh rasa hangat, Cuma retno saja yang paling terkejut dengan kedatanganku untuk melamarnya.
Musim penghujan telah tiba, rumput-rumput kini menghijau kembali hanya saja pohon-pohon jati masih belum memperlihatkan daunnya kembali. Malam berganti siang dan siang berganti malam, kemarau berganti hujan. Debu-debu kemarau kini entah pergi kemana, hanya suara rintik-rintik hujan yang hampir setiap hari menemami hari. Rumahku yang sepi kini ramai dengan orang-orang, begitu juga di rumahnya retno lebih ramai lagi.
Dan rasa bahagia itu mengemuka sesaat setelah akad pernikahan itu terucap, pertanda aku berada di musim berbeda. Dulu aku belum memiliki sesuatu yang harus aku jaga dan kini aku telah memiliki sesuatu yang harus ku jaga. Sudah takdir manusia tak bisa hidup sendiri, karena manusia butuh yang lainnya seperti mencinta dan dicintai, memiliki dan dimiliki dan hal-hal lainya bagaikan simbiosis mutualisme. Dari manusia lah lahir generasi-generasi hebat dan terus beregenerasi sampai di titik batas tertentu.
Pesta dan kemeriahan telah usai.. dan aku harus berangkat lagi meninggalkan rumah untuk membangun cita dan harapan bersama istri tercinta, seperti saat itu orang tuaku melepas kepergianku hanya saja kini berbeda karena ada istriku tercinta dan orang tua retno juga ikut melepas kepergianku, nampak dari kejauhan pohon jati mulai menumbuhkan daunnya kembali bagaikan membuat sebuah kehidupan baru..
Dua musim.. dua sisi yang berbeda serba tidak pasti, namun setiap musim akan selalu meninggalkan jejak untuk dikenang. Apa yang dilalui saat ini mungkin saja membosankan, tapi mungkin di masa depan akan sangat dirindukan. Sebagaimana malam merindu siang dan siang merindu malam. Bukan buaian mimpi dalam setiap tidur malam yang buat bahagia, tapi perjalanan hidup mengarungi setiap musimlah yang membuat bahagia saat mampu menikmatinya.
------------
Aku kembali ke kehidupanku jauh dari rumah, namun disini aku telah membangun rumah baru dengannya beratap kehidupan mengarungi musim suka dan duka.
Deburan ombak pantai parang tritis menemaniku berdua dengan retno, dari kejauhan terlihat pemandangan matahari yang segera terbenam. Tiba-tiba retno berkata
“ Tau gak? Aku sejak pertama bertemu denganmu aku suka sekali denganmu, Cuma saat itu aku pendam saja darimu...”
Aku terbengong sejenak dan kemudian aku lemparkan senyum ke wajahnya, wajah yang kini menemaniku untuk mengarungi musim-musim selanjutnya..
2016-2017


anasabila memberi reputasi
1
494
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan