

TS
mehiraaza
CINTA MAYA

CINTA MAYA
Bagian 1
Senja ini masih sama seperti hari-hari yang lalu, bedanya, tak ada lagi sapa mesra dari dia, yang telah mencuri hatiku.
Mbak Niken masih mondar-mandir sambil terus menggerutu. Kakak satu-satunya, sebagai pengganti kedua orang tuaku, yang telah berpulang beberapa tahun yang lalu.
"Mbak dari awal sudah ingetin, May. Jangan pake hati, tahu sendiri kan, warga dumay? Gampang baper!" Sambil bersedekap, Mbak Niken menatapku dengan iba sekaligus marah.
"Nggak semua, Mbak. Aku aja yang terlalu percaya," jawabku sendu.
"Kalau udahan, ya cukup. Jangan lagi jawab chat-nya yang berisi rayuan gombal itu!"
"Aku hanya menghargai, Mbak."
"Halah, alasan. Awas aja kalau kamu sama dia lagi! Apa belum cukup, selama ini dibohongi?" Mbak Niken maju selangkah, dan menatapku lekat.
Aku yang merasa risih, reflek memalingkan muka, jangan sampai Mbak Niken bisa membaca pikiranku.
"Malah bengong! Jawab jujur, May!"
"Apaan sih, Mbak?" Sedikit gugup, aku mencoba menutupi perasaanku yang sebenarnya.
"Tatap mata mbak, May! Kau masih belum bisa melupakannya?"
Aku hanya terdiam, tak mampu menatap lebih lama mata Mbak Niken, yang selalu bisa tahu isi kepalaku.
Aku sedikit salah tingkah, saat jemari lembut Mbak Niken menyentuh tanganku. "Mbak nggak mau, kau terluka untuk kesekian kali, May."
Aku menatapnya sekilas lalu berpaling ke arah lain, guna menutupi getar halus dalam hati, yang aslinya masih sama, tetap memujanya.
"Jangan bilang, kau masih mencintainya, May!" Intonasi suara Mbak Niken, terdengar meninggi dan terkesan tidak suka.
Aku menggeleng lembut.
"Udah adzan, buruan salat! Biar setan-setan yang merasuki pikiranmu bisa minggat dan nggak balik lagi."
"Ish, Mbak Niken jangan ngaco, ih."
"Udah sono, ambil wudhu gih."
Aku segera ngeloyor pergi, syukur alhamdulilah, karena adzan magrib menyelamatkanku dari interogasi Mbak Niken, yang terkadang sok tahu, tapi sering ada benarnya.
š
Klung
Suara pesan masuk dari aplikasi WA terdengar. Aku malas melihat siapa yang mengirim pesan, paling juga seseakun yang bernama Vony, yang hobi banget nyepam, ngirim puluhan stiker.
Klung
Sedikit heran, aku buka android kesayangan, dan melihat nama si pengirim. Deg! Terpampang nama Mas Arya di layar pipih persegi tersebut.
[Maya]
[Masih marah?]
Peuuhh, pertanyaan macam apa itu? Aku tutup kembali ponsel warna oranye itu, tanpa menjawabnya.
Ting.
Kali ini, pesan messenger terdengar beberapa kali, dan aku yakin juga dari dia.
[Maya]
[Oke, nggak mau baca?]
[Nggak mau balas?]
'Dasar sontoloyo tuh cowok, masih aja berlagak sok imut, seakan tak berdosa.'
Klung.
Lagi-lagi pesan masuk di WA terdengar, dan aku yakin, pasti dari dia.
[Mas boleh telpon?] Dengan emot sedih.
[Nggaakk ....] Aku balas dengan emot marah.
[Maafkan, Maya. Mas janji nggak ngulangi lagi] dengan emot sedih.
[Nggak percaya!] Aku kirim emot marah tiga buah.
[Mas lagi kerja di atas ini]
[Budu]
[Emang Maya rela, kalau mas jatuh ke bawah?]
[Kalau aku di situ, tak jorokin sekalian, beres. Habis perkara!]
[Jahat!] Dengan emot nyengir.
[Biarin!]
[Mas kangen.]
[Gombal!]
[Mas telpon ya, Maya?]
Penyakit ngeyelnya mulai kumat. Calon bekas kekasih mayaku itu, tak lama menelpon. Bicara ngalor-ngidul, dengan berbagai alasan yang seringnya tidak masuk akal.
Mas Arya beranggapan, SS chat dia yang berisi sayang-sayang ke akun cewek itu, hanya sekadar sapaan biasa, tanpa ada rasa. Untuk kesekian kalinya, dia meyakinkan lagi, dan berjanji nggak akan berhubungan dengan seseakun tersebut. Dia mengaku sudah blokir nomer WA dan FB-nya. Tapi itu belum cukup membuatku percaya akan kesungguhannya.
[Apa aku sudah gila, Maya? Dia bersuami, pikir dong, rata-rata mereka janda atau bersuami, mas tentunya lebih milih kamu dong.]
[Halah, gitu Mas juga nanggepin, bikin alasan tuh agak canggih dikit kali!]
[Percaya sama mas, Maya.]
[Nggak, Mas. Aku belum bisa terima.]
[Kasih alamat rumahmu, Maya. Mas datang.]
[Ogah. Aku takut.]
[Tuh, kan. Siapa sebenarnya yang nggak serius?]
[Arya jahaaatt ... aku benciii ....]
[Mas tahu, kamu tuh cinta sama mas, Maya. Jangan bohong!]
[Dih, GR!]
[Kamu tuh nggak bisa pisah dari mas, karena mas juga gitu, Maya.]
Aku tak menjawab.
[Maya, kamu masih di situ, kan?]
[Udah mati, puas?]
[Mas sayang kamu, Maya.]
[Gombaaall ....]
[Emmuuacchh ....] Dengan emot kiss.
'Dasar cowok tengil, nyebelin.'
Kriett!
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar, kepala Mbak Niken melongok ke dalam dengan tatapan menyelidik.
Klik.
Aku matikan sambungan telpon dari Mas Arya.
"Kamu lagi bicara sama siapa, May?" tanya Mbak Niken sedikit curiga. Kakakku yang sebenarnya penyayang tapi reseh itu tiba-tiba merebut ponsel dari tanganku.
"Woyy ... balikin, Mbak. Please ...."
"Kamu telpon Arya, tukang selingkuh itu?"
"Bukan, Mbak. Balikin ponselku."
Mbak Niken berdiri tepat di depanku, dengan mengacungkan ponsel yang ada di genggamannya.
"Kamu mau 'sakit' untuk kesekian kalinya? Terbuat dari apa sih hatimu, Maya? Kenapa masiiiih aja kau mau maafin laki-laki brengsek kaya dia? Mbak heran deh!"
"Sama, Mbak. Aku juga heran, kenapa selalu saja ada maaf untuknya."
"Ada yang nggak beres!"
"Jangan suudzon, Mbak. Nggak baik."
"Tuh, kan. Masih aja kau membelanya. Sadar May, dia nggak pantas mendapat cinta darimu."
Aku terduduk di atas pembaringan, menatap Mbak Niken yang tampak tersulut emosi bercampur sedih.
"Putusin dia, May. Sekarang! Mbak nggak mau, kau terluka lagi karena ulahnya." Mbak Niken memberikan ponselku yang tadi dirampasnya.
Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk.
"Aku belum bisa berpikir jernih, Mbak."
"Putusin, May. Percaya sama mbak, dia nggak akan pernah setia, sudah berkali-kali dia mendua, dan tak pernah mau mengakuinya, pengecut! Buruan May, putusin!"
Aku membuka benda pipih yang selama ini menemani berselancar di dunia maya.
"Apa perlu mbak yang ngomong?"
"Jangan, Mbak!"
"Buruan, May!" Mbak Niken terlihat sudah nggak sabar.
Aku buka aplikasi WA dan mencari kontak Mas Arya yang bergambar suasana senja, kesukaanku.
"Cepetan, May ...." Mbak Niken beringsut, dan duduk di dekatku.
Sedikit ragu, aku mulai mengetik nama Mas Arya. Mbak Niken yang duduk di sebelahku tampak nggak sabar.
"Perlu mbak bantuin? Berat banget sih, nulis kata putus?!"
Sedikit ragu, aku mulai menulis pesan untuk Mas Arya.
[Mas Arya, dengan berat hati aku putuskan bahwa ....] sebelum selesai mengetik, Mbak Niken meraih ponsel di tanganku.
"Sabar, Mbak Niken sayaanngg, aku belum selesai ngetik, sini balikin! Nggak sabaran banget sih jadi orang."
Sambil merengut, Mbak Niken mengembalikan ponselku, "cepetan, nggak pake lama!"
"Siap, Boss!"
Bersambung nggak ya ....š
š011019
Diubah oleh mehiraaza 01-10-2019 16:07




anasabila dan lintangayudy memberi reputasi
2
651
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan