Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nurrahmahnurmaAvatar border
TS
nurrahmahnurma
Jangan Naik Gunung! Atau Kau Mati


JANGAN NAIK GUNUNG! ATAU KAU MATI!


sumber gambar


Adin meraih ransel gunung yang terletak di sudut pintu. Segala perlengkapan sudah siap sedia di ransel hitam dengan beban berat tiga kilogram di pundaknya.

Adin akan pergi mendaki, menantang terjalnya tanah pegunungan bersama tiga orang temannya.

Dua perempuan. Dua laki-laki. Berpasangan. Lebih efisien karena lebih mudah menjaga diri satu sama lain. Lagi pula, mereka berangkat menggunakan motor menuju lokasi pendakian.

Laju, So Se'e. Nama pegunungan tersebut. Lokasi pendakian yang terbilang baru. Tak ada satu pun cerita mengenai pendakian di pengunungan itu.

"Semuanya sudah siap?" tanya Adin begitu sampai di tempat temu mereka berempat.

Perempuan berambut hitam legam dikuncir kuda yang terlihat tomboy, berdiri di sisi kiri Adin berseru semangat. Ika namanya.

"Yoilah, nggak mungkin nggak siap. Itu tuh, nantang banget."


"Aldo, Rena, kalian sudah bulatin tekad 'kan? Jangan sampai kalian minta balik pas kita sudah di tengah jalan," tukas Adin memperingatkan.

Aldo dan Rena serentak mengangguk, meski masih ragu. Dua sejoli yang terlihat dekat akhir-akhir ini memiliki keyakinan kalau pendakian kali ini jauh lebih sulit dari sebelumnya.

Menjadi orang pertama yang melakukan ekspedisi di pegunungan sulit dijangkau agar menjadi referensi bagi pendaki lain.

Tidak mudah. Tentu saja. Sudah tak terhitung berapa banyak insiden yang menimpa selama ini. Syukurnya, mereka masih pulang dengan regu lengkap.

Adin mengecek jam tangan, pukul tiga sore hari. Butuh waktu satu jam setengah untuk tiba di lokasi.


Mereka berangkat, dengan perasaan yang bercampur aduk. Aldo yang khawatir, sementara Adin tampak bersemangat.

Hawa dingin langsung menyambut begitu mereka sampai di kaki gunung So Se'e. Pegunungan yang terletak di ujung timur Kecamatan Lambu, Perkampungan Laju.

Ada sebuah rumah reot di situ. Lampu teplok menyala kecil-kecil. Angin malam berembus mengatarkan gigil.

Reni memeluk tubuhnya sendiri, angin itu sanggup membuat tengkuk lehernya berdiri.

"Adin, kamu yakin kita nginep di sini malam ini?" tanya Ren khawatir. Jemarinya tak pernah lepas dari lengan Aldo.

"Nggaklah, kita cuma titip motor kok," kata Adin.

Ika menengok kiri kanan, tapi pemilik rumah itu tidak kunjung muncul.

"Nggak ada orangnya kali, Din!" ujar Aldo. "Memangnya kita nggak boleh naik pake motor?"

Adin memandang sekitar, hari sudah mulai gelap. Area pegunungan itu berubah menjadi permadani hitam pekat. Tidak jelas mana pohon, mana lahan kosong.

"Medannya sulit, motor kita memang bisa naik. Tapi, buat bonceng keknya nggak bisa, deh!" Adin mengarahkan senter ke pengunungan itu.

Suram dan pekat. Rena menarik ujung-ujung jaketnya lebih rapat. Dingin ini begitu mengerikan.

"Adin, mana tuh bapak, masah kita udah jauh-jauh datang. Bapaknya malah nggak ada?" tanya Ika membabi-buta.

"Pasti adalah! Nggak mungkin ada rumah kalau nggak ada penghuninya."

Udara semakin dingin, burung-burung malam enggan berbunyi. Sunyi senyap. Hanya napas masing-masing yang terdengar.

"Jangan naik gunung!"

Tiba-tiba muncul suara dari belakang mereka. Keempat pemuda pemudi itu menoleh kaget.

"Akh, Bapak! Dari mana saja, Pak?" seru Adin tanpa bisa menyembunyikan kekagetannya.

Wajah bapak itu datar, nyaris tanpa ekspresi. Ia melangkah gontai menuju gubuknya sambil terus menggumamkan kata yang sama.

"Jangan naik gunung! Jangan naik gunung! Jangan naik gunung!"

Adin, Aldo, Ika dan Rena saling melempar pandang.

Mendapat penolakan sudah menjadi hal biasa bagi mereka.

"Jangan naik gunung ...!"

Langkah bapak itu terhenti, tatapannya menjurus tajam ke mereka.

"Atau kalian akan mati!" ujar bapak itu tegas. Ia memalingkan muka, lalu masuk ke gubuknya.

Suasana kembali sepi, senyam. Seolah-olah bapak itu datang dari dimensi lain hanya untuk memperingatkan mereka.

"Kita sudah sejauh ini, nggak mungkin balik!" ucap Ika.

Rena semakin ketakutan, ia tidak seberani Ika. Ia hanya ikut mereka karena ada Aldo.

"Ika benar, kita sudah sejauh ini. Tidak mungkin kembali. Lagipula, kita kan mau cetak sejarah sebagai orang-orang yang berani mendaki gunung ini."

"Tapi, Din, kalau ada apa-apa gimana?" tanya Aldo.

"Kita naik dan saling berpegangan tangan satu sama lain. Nggak boleh ada yang lepasin tangannya apapun yang terjadi."

Rena menelan ludah, sekuat tenaga memegang tangan Aldo.

Bulu kuduk Ika meremang seketika memulai melangkah. Ia ada di deretan kedua. Adin yang pertama, lalu Ika, Rena, kemudian Aldo terakhir.

Mereka mendaki pelan-pelan dengan senter di kepala masing-masing.

"Khi .. khi .. khi!"

Ika menoleh kiri-kanan, ia yang pertama kali mendengar. Menyusul Adin yang melihat sosok yang melintas cepat di hadapan mereka.

"Jangan takut! Jangan takut!" teriak Adin menyemangati. Genggaman laki-laki itu semakin erat di tangan Ika. Sementara Ika merasakan tangan Rena gemetar.

"Akhh!" Rena berteriak kencang. Ia tak sanggup membuka matanya lagi. Sesaat saja, Aldo raib dari hadapannya menyisakan sepotong pergelangan tangan yang masih ia genggam erat.

Potongan tangan itu jatuh terguling-guling ke tanah saat Ika dan Adin menoleh. Mata keduanya membulat tajam.

Bapak tua itu benar.

JANGAN NAIK GUNUNG INI. ATAU KAU MATI.

Adin menarik tangan Ika cepat, Ika menyeret Rena yang hampir jatuh terkulai. Tidak ada waktu untuk bersedih. Tidak ada waktu untuk mencari potongan tubuh Aldo yang lain.

Mereka harus lari dan menyelamatkan diri.

***
#Nurrahmah_Safa
#BBB
Diubah oleh nurrahmahnurma 30-09-2019 15:57
zafinsyurgaAvatar border
indriketarenAvatar border
pakolihakbarAvatar border
pakolihakbar dan 6 lainnya memberi reputasi
7
338
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan