- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Analogi hahahihi Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi


TS
nyunwie
Analogi hahahihi Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi

"Jika maling singkong saja bisa diancam pidana 5 tahun, kenapa korupsi hanya 4 tahun?"

Selamat gini hari Genkss!!
Bertemu lagi sama Aye, TS tampan idaman emak-emak kekinian.


Bertemu lagi sama Aye, TS tampan idaman emak-emak kekinian.



Kita tahu kalau DPR sudah mengesahkan Revisi undang-undang KPK. Tentu sampai detik ini sudah disahkan. Undang-undang KPK masih mendapat penolakan dari pelbagai elemen masyarakat. Mulai dari kalangan akademisi, hingga tukang parkir belokan alias Pak Ogah. Mulai dari yang benar-benar mengerti tentang hukum sampai yang ikut-ikutan menolak karena menurut mereka revisi undang-undang KPK hanya akan membuat para koruptor dinegeri ini berpesta pora.
Revisi undang-undang KPK benar-benar menjadi polemik; bersama rancangan undang-undang lainnya. Sebagian masyarakat menilai kalau revisi undang-undang KPK akan melemahkan KPK bahkan ada yang menganalogikan kalau Revisi undang-undang KPK adalah cara Pemerintah dan DPR untuk mematikan fungsi KPK. Dari pihak Pemerintah dan DPR mengatakan kalau revisi ini; Undang-undang KPK adalah cara agar memperkuat KPK sendiri.
Jujur, di balik itu semua; apakah revisi ini (undang-undang) KPK melemahkan atau menguatkan. Saya lebih tertarik pada drama di dalam polemiknya. Terlepas (mungkin) dari posisi saya yang sejujurnya menolak Revisi ini; saya lebih menolak keras dasar pembuatan revisi ini yang katanya KPK terlalu over power. Menurut saya, pemberantasan korupsi memang harus ekstra power. Karena korupsi di Indonesia seperti sudah mendarah daging. Pemberantasan suatu hal yang sudah mendarah daging harusnya ekstra power.
Tapi lupakan itu. Kali ini saya akan membahas drama di dalam polemik resivi undang-undang KPK ini. Pertama, saya sangat menyesalkan sikap DPR kita yang terkesan arogan dalam menyampaikan pendapatnya mengenai revisi undang-undang ini. Tentunya jika memang menurut DPR undang-undang KPK perlu direvisi harusnya disampaikan dengan baik. Saya tahu isu mengenai revisi undang-undang KPK sudah menggaung bukan hanya saat ini saja. Beberapa tahun yang lalu, saya mengingat, berita ini pernah ramai diperbincangkan di pelbagai media TV sampai media sosial. Namun karena satu dan lain hal, revisi undang-undang KPK saat itu ditunda dan kini hal yang telah ditunda itu sudah bukan lagi rancangan. Tetapi sudah menjadi undang-undang yang sah.
Kembali lagi kepada pokok permasalahan. Saya tidak berbicara tentang poin-poin pasal revisi undang-undang KPK yang dinilai melemahkan KPK. Yang saya kritisi mengapa DPR tidak mempertimbangkan reaksi publik? Logikanya, tidak mungkin rakyat memprotes suatu rancangan perubahan undang-undang jika dalam isinya dinilai ada kebaikan.
Dalam hal ini sudah jelas rakyat menolak, bahkan KPK sendiri menolak undang-undang tersebut. Namun dengan arogannya para wakil rakyat berteriak kalau KPK adalah instansi milik pemerintahan. Kita tahu KPK memang milik Pemerintah; KPK sebagai senjata Pemerintah untuk memberantas korupsi di Indonesia yang dalam tugasnya diatur oleh undang-undang. Namun jika senjata itu kini ditumpulkan, apa lagi yang bisa menusuk tajam jantung korupsi di Negeri ini?
Dalam drama polemiknya DPR selalu mengatakan kalau internal KPK bermasalah. Narasi itu sering kali saya dengar dalam tiap kali ada acara debat di TV. Lalu jika revisi undang-undang KPK timbul dari kecurigaan DPR kalau KPK bermasalah. Apa adil jika rakyat tidak boleh menaruh curiga pada DPR? Padahal selama ini kita tahu sudah berapa orang anggota DPR yang diduga bahkan menjadi pelaku tindak pindana korupsi.
Salahkah kita curiga kalau revisi ini adalah ajang balas dendam DPR pada KPK? Atau DPR dengan sengaja melemahkan untuk para koruptor bisa menari-nari dengan leluasa? Entahlah.
Tapi menurut Saya pribadi, KPK sudah seharusnya over power karena korupsi di Indonesia sudah terlalu over. Pun, jika melihat kondisi saat ini ada hal lain yang seharusnya lebih make sure dan lebih urgent dilakukan oleh pemerintah dan DPR ketimbang melakukan revisi pada KPK. Saya sebenarnya setuju saja pada revisi ini jika konteks revisi KPK untuk penguatan KPK. Namun sekali lagi, sebagai orang awam yang tak mengerti hukum; saat saya membaca revisi undang-undang KPK rasanya terdapat banyak poin-poin yang justru menimbulkan banyak pertanyaan dari segi bahasa dan nalar. Alih-alih menilai ini untuk kebaikan, rasanya saya justru curiga kalau nantinya banyak koruptor atau tersangka korupsi yang memakai RKUHP dan RUU permasyarakatan untuk bisa mengadukan setiap pasal-pasal yang pada akhirnya bisa meloloskan para tersangka dari jerat pidana.
Karena saya rasa ini semua berkaitan satu dan lainnya. Tapi semoga perasaan saya salah. Sebagai masyarakat kita harus kritis bahwa setiap undang-undang dirangkai untuk sebuah kepentingan. Untuk masalah UU KPK yang baru, kita harus tetap mengkritisi; walau sudah disahkan. Jangan biarkan suara-suara kita disalah gunakan oleh pemilik kepentingan yang menyesatkan.
Anggota DPR juga jangan tutup telinga. Bapak/Ibu di sama kami pilih bukan untuk mengurusi urusan kelompok kalian sendiri. DRP harusnya mewakili suara rakyat bukan justru menentang rakyat dengan suara bapak yang lantang; kalau rakyat tidak paham.
Kami, saya, sebagai rakyat bukanya tidak paham! Tapi Bapak-bapak terhormat tidak pernah kunjung baik membuat kami paham. Suara Bapak justru menggelegar; kencang; hingga urat menampak di kening permukaan. Saya bukan ahli tata gerak tubuh, tapi saya juga pernah ngotot saat mempertahankan argumen kebohongan saya dikala SMA bahkan lebih muda saat kami ditenggarai berbohong pada orang tua. Bapak tahu, saya seperti melihat saya yang dulu ngotot akan kebohongan saya pada orang tua saya dalam wajah Bapak berargumen kalau revisi ini untuk kepentingan kami semua.
Namun; saat ini Bapak/Ibu yang terhormat sudah mengetuk palu pengesahan, revisi sudah sah menjadi undang-undang. Kini, izinkan saya merevisi kembali kepercayaan saya pada Bapak/Ibu yang terhormat sekalian.
Revisi undang-undang KPK benar-benar menjadi polemik; bersama rancangan undang-undang lainnya. Sebagian masyarakat menilai kalau revisi undang-undang KPK akan melemahkan KPK bahkan ada yang menganalogikan kalau Revisi undang-undang KPK adalah cara Pemerintah dan DPR untuk mematikan fungsi KPK. Dari pihak Pemerintah dan DPR mengatakan kalau revisi ini; Undang-undang KPK adalah cara agar memperkuat KPK sendiri.
Jujur, di balik itu semua; apakah revisi ini (undang-undang) KPK melemahkan atau menguatkan. Saya lebih tertarik pada drama di dalam polemiknya. Terlepas (mungkin) dari posisi saya yang sejujurnya menolak Revisi ini; saya lebih menolak keras dasar pembuatan revisi ini yang katanya KPK terlalu over power. Menurut saya, pemberantasan korupsi memang harus ekstra power. Karena korupsi di Indonesia seperti sudah mendarah daging. Pemberantasan suatu hal yang sudah mendarah daging harusnya ekstra power.
Tapi lupakan itu. Kali ini saya akan membahas drama di dalam polemik resivi undang-undang KPK ini. Pertama, saya sangat menyesalkan sikap DPR kita yang terkesan arogan dalam menyampaikan pendapatnya mengenai revisi undang-undang ini. Tentunya jika memang menurut DPR undang-undang KPK perlu direvisi harusnya disampaikan dengan baik. Saya tahu isu mengenai revisi undang-undang KPK sudah menggaung bukan hanya saat ini saja. Beberapa tahun yang lalu, saya mengingat, berita ini pernah ramai diperbincangkan di pelbagai media TV sampai media sosial. Namun karena satu dan lain hal, revisi undang-undang KPK saat itu ditunda dan kini hal yang telah ditunda itu sudah bukan lagi rancangan. Tetapi sudah menjadi undang-undang yang sah.
Kembali lagi kepada pokok permasalahan. Saya tidak berbicara tentang poin-poin pasal revisi undang-undang KPK yang dinilai melemahkan KPK. Yang saya kritisi mengapa DPR tidak mempertimbangkan reaksi publik? Logikanya, tidak mungkin rakyat memprotes suatu rancangan perubahan undang-undang jika dalam isinya dinilai ada kebaikan.
Dalam hal ini sudah jelas rakyat menolak, bahkan KPK sendiri menolak undang-undang tersebut. Namun dengan arogannya para wakil rakyat berteriak kalau KPK adalah instansi milik pemerintahan. Kita tahu KPK memang milik Pemerintah; KPK sebagai senjata Pemerintah untuk memberantas korupsi di Indonesia yang dalam tugasnya diatur oleh undang-undang. Namun jika senjata itu kini ditumpulkan, apa lagi yang bisa menusuk tajam jantung korupsi di Negeri ini?
Dalam drama polemiknya DPR selalu mengatakan kalau internal KPK bermasalah. Narasi itu sering kali saya dengar dalam tiap kali ada acara debat di TV. Lalu jika revisi undang-undang KPK timbul dari kecurigaan DPR kalau KPK bermasalah. Apa adil jika rakyat tidak boleh menaruh curiga pada DPR? Padahal selama ini kita tahu sudah berapa orang anggota DPR yang diduga bahkan menjadi pelaku tindak pindana korupsi.
Salahkah kita curiga kalau revisi ini adalah ajang balas dendam DPR pada KPK? Atau DPR dengan sengaja melemahkan untuk para koruptor bisa menari-nari dengan leluasa? Entahlah.
Tapi menurut Saya pribadi, KPK sudah seharusnya over power karena korupsi di Indonesia sudah terlalu over. Pun, jika melihat kondisi saat ini ada hal lain yang seharusnya lebih make sure dan lebih urgent dilakukan oleh pemerintah dan DPR ketimbang melakukan revisi pada KPK. Saya sebenarnya setuju saja pada revisi ini jika konteks revisi KPK untuk penguatan KPK. Namun sekali lagi, sebagai orang awam yang tak mengerti hukum; saat saya membaca revisi undang-undang KPK rasanya terdapat banyak poin-poin yang justru menimbulkan banyak pertanyaan dari segi bahasa dan nalar. Alih-alih menilai ini untuk kebaikan, rasanya saya justru curiga kalau nantinya banyak koruptor atau tersangka korupsi yang memakai RKUHP dan RUU permasyarakatan untuk bisa mengadukan setiap pasal-pasal yang pada akhirnya bisa meloloskan para tersangka dari jerat pidana.
Karena saya rasa ini semua berkaitan satu dan lainnya. Tapi semoga perasaan saya salah. Sebagai masyarakat kita harus kritis bahwa setiap undang-undang dirangkai untuk sebuah kepentingan. Untuk masalah UU KPK yang baru, kita harus tetap mengkritisi; walau sudah disahkan. Jangan biarkan suara-suara kita disalah gunakan oleh pemilik kepentingan yang menyesatkan.
Anggota DPR juga jangan tutup telinga. Bapak/Ibu di sama kami pilih bukan untuk mengurusi urusan kelompok kalian sendiri. DRP harusnya mewakili suara rakyat bukan justru menentang rakyat dengan suara bapak yang lantang; kalau rakyat tidak paham.
Kami, saya, sebagai rakyat bukanya tidak paham! Tapi Bapak-bapak terhormat tidak pernah kunjung baik membuat kami paham. Suara Bapak justru menggelegar; kencang; hingga urat menampak di kening permukaan. Saya bukan ahli tata gerak tubuh, tapi saya juga pernah ngotot saat mempertahankan argumen kebohongan saya dikala SMA bahkan lebih muda saat kami ditenggarai berbohong pada orang tua. Bapak tahu, saya seperti melihat saya yang dulu ngotot akan kebohongan saya pada orang tua saya dalam wajah Bapak berargumen kalau revisi ini untuk kepentingan kami semua.
Namun; saat ini Bapak/Ibu yang terhormat sudah mengetuk palu pengesahan, revisi sudah sah menjadi undang-undang. Kini, izinkan saya merevisi kembali kepercayaan saya pada Bapak/Ibu yang terhormat sekalian.
"Apa bila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu kemanan, hanya ada satu kata, Lawan!"
Wiji Thukul
Wiji Thukul

Credit by monitor.co.id
Analogi haha hihi
Palu sudah diketuk; revisi bukan lagi tajuk
Analogi pun dibentuk, guna menjelaskan pada rakyat yang terlanjur merajuk.
Tajuk perubahan berganti sanggahan dengan membuka drama di dalam KPK. Mungkin DPR lupa; rakyat tahu selama ini siapa pemain drama.
Rakyat mengerti KPK tidak sepenuhnya suci
DPR juga seharusnya mengerti kalau mereka di dalam image yang tidak bersih
Dalam demokrasi; rakyat adalah konstitusi tertinggi
Sepatutunya para wakil rakyat mendengar suara tuannya, bukan malah mempertanyakan kepahaman mereka pada sebuah undang-undang Negara.
Jika DPR selalu bermain analogi
Kenapa rakyat tidak boleh beranologi?
Asumsi boleh saja, seperti Anda mengasumsikan jika KPK bermasalah; kami berasumsi Anda merevisinya atas dasar kepentingan pribadi di dalamnya.
Lalu pantaskah kami ragu; jika nanti pengawasan pada lembaga anti korupsi ini dipercayakan pada orang-orang yang berasal dari tempat yang biasa digunakan mengkorupsi uang kami; rakyat tidak bodoh, Saudara. Mata kami lebih bisa membedakan mana skenario drama mana polemik realita.
Palu sudah diketuk
Di sini, kami mengutuk!!
Analogi pun dibentuk, guna menjelaskan pada rakyat yang terlanjur merajuk.
Tajuk perubahan berganti sanggahan dengan membuka drama di dalam KPK. Mungkin DPR lupa; rakyat tahu selama ini siapa pemain drama.
Rakyat mengerti KPK tidak sepenuhnya suci
DPR juga seharusnya mengerti kalau mereka di dalam image yang tidak bersih
Dalam demokrasi; rakyat adalah konstitusi tertinggi
Sepatutunya para wakil rakyat mendengar suara tuannya, bukan malah mempertanyakan kepahaman mereka pada sebuah undang-undang Negara.
Jika DPR selalu bermain analogi
Kenapa rakyat tidak boleh beranologi?
Asumsi boleh saja, seperti Anda mengasumsikan jika KPK bermasalah; kami berasumsi Anda merevisinya atas dasar kepentingan pribadi di dalamnya.
Lalu pantaskah kami ragu; jika nanti pengawasan pada lembaga anti korupsi ini dipercayakan pada orang-orang yang berasal dari tempat yang biasa digunakan mengkorupsi uang kami; rakyat tidak bodoh, Saudara. Mata kami lebih bisa membedakan mana skenario drama mana polemik realita.
Palu sudah diketuk
Di sini, kami mengutuk!!
**
Sudah harunya kita kritis pada Pemerintah, jika tidak bisa melalui jalur dialog resmi. Tunjukan lewat tulisan-tulisanmu. Jangan menutup mata pada apa yang terjadi. Tidak ada lagi kubu si A si B kini saatnya bersuara sebagai Indonesia. Ingatkan lagi pada Wakil Rakyat kita. Kalau mereka hanya Wakil kita; Rakyat. Sudah seharusnya DPR berkerja untuk rakyat bukan justru mengerjai Rakyat.
Salam dari kami para gelandangan bangsa ini
Salam dari kami para gelandangan bangsa ini

Opini pribadi
Sumber Gambar






zafinsyurga dan 4 lainnya memberi reputasi
5
793
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan