- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Angin Hangat Lembah Wilis


TS
micky10
Angin Hangat Lembah Wilis

Quote:
Suatu siang di tahun 2004,
Teeng... teeeng... teeeng!! bel pulang sekolah baru berbunyi. Pukulan tangan pak waluyo masih cukup kuat untuk membuat velg mobil bekas itu berbunyi nyaring. Pria paruh baya yang sudah 15 tahun mengabdi sebagai penjaga sekolah. Aku masih belum meninggalkan kelas, tumpukan buku di depan ku belum selesai ku rapikan. Di Hari rabu siang aku tidak ada Praktikum, surga buat anak STM Negeri Blitar bisa pulang barengan ama anak SMA lainnya.
Selain bisa menikmati indahnya tidur siang, sejenak mampir dan nongkrong di SMA sebelah adalah sebuah hobi yang sangat indah.
“sob... sabtu wilis... naik sabtu siang, turun senin sore. Kan senin libur tanggal merah. Gmn?”
“lagi malas Ndi. Emang siapa aja?”
“mungkin ntar aku, Wok ji, mbahroni sama beberapa cewek-cewek dari Sma Talun. Gayul , Pipit dan mbak Mitra. Genk -genk kita aja lah...”
“lagi bokek nih aku...”
“udah... sisihin aja uang saku sekolah sehari buat naik kereta ntar, selebihnya serahin ke aku... sama kangmas Bendot semua beres”
Bendot sahabat ku, sang negoisator ulung. Entah ilmu lobi apa yang dia pelajari, setiap kali dia bernegoisasi selalu berujung positif. Dan beberapa kali aku tak bisa menolak ajakannya. Semua diatas adalah nama-nama samaran. Seperti halnya pelaku kriminal, kami di sekolah juga menggunakan nama samaran. Sandi alias Bendot, Sunarji alias wok ji, Bahroni alias mbah, dan aku sendiri tanpa alias. Micky nama yang asing untuk orang indonesia, dan cukup mewakili nama samaran.
Sejak keluar dari eskul Pecinta Alam dan bergabung dengan Jurnalis, aku justru lebih banyak mengenal alam. Beberapa pendakian gunung2 di jawatimur, serta susur pantai sering aku lakukan bersama teman2 pendaki dan anggota pencinta alam yang dulu aku ikuti. Wilis memang bukan pertama kali, aku sudah hafal dengan medan pendakian. Tidak begitu sulit. Hanya saja aku belum tau cerita tentang gunung itu...
Matahari cukup terik di sabtu siang yang panas. Masih menyisakan 2 jam pelajaran praktikum . Tapi aku enggan kembali ke bengkel, masih ku nikmati tegukan-tegukan es teh terakhir ku di kantin. Ku lirik di sebelah kananku ada pak Waluyo yang tengah asik menikmati nasi pecel nya, sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya yang panas. Tatapannya tak lepas dari koran lokal hari ini.
“ada berita apa pak?”
aku cukup kenal pak waluyo, kegiatan ekstra kurikuler jurnalis sering mengadakan diklat malam di sekolah mengharuskan ku berhubungan dengan pak waluyo terkait ijin keamanan sekolah. Beliau orang pasuruan dan selama bekerja di sini pihak sekolah menyediakan tempat tinggal berupa rumah kecil di pojok sekolah. Jadi dia tau seluk beluk tentang sekolah ini, termasuk cerita-cerita seram yang pernah dia alami. Tapi hari ini aku tidak mau bertanya soal itu.
“ini lho mas... cuma berita2 pembunuhan... orang2 kok gak mikir dulu mau ngelakuin itu”
“paling namanya juga kepepet pak, udah gak bisa berfikir jernih”
“kok kayaknya nyawa manusia gak berharga gitu ya...”
“iya juga ya pak...”
aku meneguk es teh terakhir ku, dan mencoba mengumpulkan kembali semangatku untuk kembali mengikuti praktikum.
“ndak ada pelajaran toh mas?”
“ada pak... cuma males...”
“lho kenapa mas?”
“iya pak.. pengen cepat pulang... rencananya mau naik gunung sama temen-temen pak”
“waahh jos lek gitu... memangnya mau ke gunung mana?”
“ke Wilis pak... lewat jalur Besuki”
Pak Waluyo melanjutkan suapan terakhir nasi pecelnya, seperti menahan beberapa saat apa yang mau dia ucapkan.
“gunung wilis itu sejarahnya panjang...”
“lho bapak tau sejarah nya?”
“cuma sekilas aja... dulu waktu jaman belanda, pejuang2 yang melawan belanda bersembunyi di puncak wilis dan mendirikan padepokan disana. Sembunyi sekaligus menyusun kekuatan. Seorang kyai yang membangun padepokan itu. Dan katanya dulu saat padepokan mereka di serang belanda, beberapa orang berhasil kabur. Sisanya di tembak dan di bantai. Mayat2 mereka dibuang ke jurang.”
“ya saya pernah denger cerita itu pak, tapi puncaknya yang mana saya juga belum tahu. Kan wilis punya beberapa puncak pak”
“banyak lah mas cerita-cerita kaya gitu, ada juga yang bilang gunung wilis itu tempat pengasingan putri majapahit. Yang di buang kesana dalam keadaan hamil. Bisa di bilang karena intrik kerajaan. Yang akhirnya putri itu mati bunuh diri.”
“nah ini yang saya belum pernah dengar pak”
“di setiap tempat pasti ada kok cerita-cerita kayak gini mas, gunung arjuno dan gunung kawi yang paling wingit. Tapi gak usah khawatir, asal niat kita baik gak akan ada apa2.”
“iya pak... amin...”
Aku melihat pak waluyo lebih dari seorang penjaga sekolah. Dia punya pengalaman yang cukup banyak. Mungkin dia bukan seorang pendaki gunung, tapi masa mudanya pasti penuh dengan hal-hal yang menantang.
jam 14.15 kami sudah siap di stasiun Blitar, menunggu kereta menuju stasiun Ngadiluwih Kediri. Gerbang masuk kami menuju gunung wilis. Di kereta itu juga teman-teman dari Talun menumpang. Aku, Bendot, dan Wok Ji berangkat dari stasiun Blitar. Sedangkan Mbah tidak bisa berangkat bersamaan, karena suatu acara dia menyusul esok harinya. Mbah alias Bahroni memiliki perawakan kurus kecil, namun pintar, pemberani dan mencintai alam. Dia termasuk anak pintar di kelas.
Sesaat kemudian peluit panjang berbunyi menandakan kereta jurusan Kertosono siap masuk ke stasiun Blitar. Perlahan-lahan kereta memasuki jalur 2, dan dari deretan gerbong belakang ku lihat beberapa orang berdiri di pintu memanggil2 kami yang sedari tadi menunggu kereta. Mereka teman-teman kami dari Talun. Wanita-wanita pendaki yang tangguh.
“watsaabb sooob... gerbong belakang aja ya... tenang logistik aman... gak bakal kelaparan kita...wkwkwk”
Gayul alias Yula, perawakannya kecil namun gila akan naik gunung. Pengalamannya naik gunung melebihi aku. Dia juga memiliki banyak relasi para pendaki seluruh indonesia. Aku yakin seandainya kami tersesat dan bertahan hidup di hutan maka pasti dia yang paling lama bisa bertahan hidup. Dia lebih cinta gunung dari pada cowok, itu yang membuat dia masih tetap jomblo.
“aku tuh percaya tok sama kamu yul... pokoknya apapun menu makan malam kita ntar aku serahin semua ke kamu aja... meski makan mie rakyat tok yo ndak papa... aku ikhlas...wkwkwk”
Bendot selalu bisa menjadi ice breaker diantara kami. Sifatnya yang periang terkadang menjadi “kotak musik” saat pendakian, karena tak henti-hentinya dia meracau. Namun di balik itu dia juga menjadi pemikir yang tenang saat kami mengalami hal buntu, dia selalu bisa memberi solusi meski kadang bukan solusi yang cerdas.
Kereta kami berjalan perlahan meninggalkan stasiun Blitar, kira-kira 1 jam perjalanan menuju Ngadiluwih. Stasiun Ngadiluwih adalah sebuah stasiun kecil namun telah berusia tua. Sebelah selatan kota Kediri.
Setibanya di stasiun Ngadiluwih, aku merasakan betul aura kolonial di stasiun ini. Hampir semua stasiun di indonesia adalah peninggalan belanda. Mulai arsitektur dan gaya bangunan semua adalah rancangan jaman kolonial belanda. Stasiun sebagai sarana transportasi yang sekaligus saksi bisu penyiksaan tentara belanda terhadap kaum pribumi.

Kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kecamatan Mojo. Kecamatan kecil di hulu sungai. Jaraknya sekitar 2-3 kilo meter, tidak ada kendaraan umum. Jalan satu-satunya adalah melalui jalan desa yang belum beraspal dan bedebu. Untuk mencapai kecamatan mojo, kami harus menyeberangi sungai menggunakan perahu tambang. Warga disana biasanya menyebutnya “Tambangan” perahu kayu yang di kaitkan dengan tali tambang. Ini adalah cara alternatif daripada harus memutar mencari jembatan terdekat.
Sekitar 1 jam berjalan kaki, kami sampai di kecamatan mojo. Disana kami harus mencari tumpangan mobil pick up untuk naik ke wisata air terjun Irenggolo melalui Besuki. Irenggolo adalah pos terakhir, sebelum akhirnya perjalanan harus di lalui dengan berjalan kaki naik melewati hutan. Selama perjalanan menggunakan pick up pemandangan sangat bagus dengan hamparan hutan dan ladang2 warga yang tampak hijau. Meski langit sudah mulai mendung, tapi semangat kami tetap tidak terbendung
“ntar kl hujan gimana? Kita berteduh dulu di Irenggolo?”
“jangan...kita lanjut aja... masih sekitar 3 jam perjalanan menuju romusha. Bahaya kl sampai kemalaman”
“trus tas dan peralatan aman kl hujan deras ntar?”
“kayaknya semua tas tercover... aman... kl bisa sebelum jam 7 kita udah nge-camp di sana.”
Romusha adalah lembah dari semua puncak di wilis. Sebuah dataran rendah yang menjadi spot camp favorit para pendaki. Disamping letaknya landai, sumber air berupa sungai pun dekat. Romusha dan beberapa puncak di gunung wilis membentuk sebuah konfigurasi semacam tapal kuda. Yang pemandangannya nampak lanscape kota Kediri. Itukah kenapa Romusha menjadi spot favorit, karena pemandangan nya bagus dan indah.
Setelah Pick up sampai pos terakhir, Jam 16.45 kami melanjutkan perjalanan menuju lembah romusha di tengah hujan gerimis yang dingin. Melewati jalan setapak di sela-sela hutan pinus. Aku melihat beberapa alat berat terparkir di sekitar situ. Sepertinya pemerintah akan membuka jalan baru di situ menuju Air Terjun Ndolo. Air terjun baru yang beberapa waktu lalu di temukan oleh para pendaki. Yang mana jelas hal ini akan merusak hutan dan konservasi alam sekitar demi pundi-pundi rupiah dari kawasan wisata.
Peduli apa aku tentang mereka, aku hanya mempercepat langkahku agar segera sampai ke romusha. Setelah beberapa saat berjalan melewati hutan pinus tiba lah kami harus naik untuk melewati hutan liar. Disini kami harus merubah formasi barisan. Bendot di depan senter, cewek2 di tengah membawa 1 lampu minyak dan aku paling belakang dengan sebuah lampu minyak sebagai penyapu jalan.
Hari sudah mulai gelap, ada banyak hal yang perlu di perhatikan dalam pendakian malam hari. Selain medan yang kita tempuh rawan akan jurang, kita juga perlu memperhatikan tanah atau jembatan kayu yang kita pijak. Karena jika tidak waspada, bahaya terperosok akan terjadi. Hal ini yang sering di alami para pendaki terperosok masuk jurang karena tidak memperhatikan apa yang dia pijak.
Dan satu lagi... aturan yang tidak pernah terucap olah siapa saja pendaki yang berapa di barisan paling belakang saat pendakian malam...
jangan pernah menoleh kebelakang apapun alasannya, karena bisa saja mungkin kamu bukan yang paling belakang...
Banyak pendaki yang paham akan situasi tersebut, dan sial nya... aku melanggar peraturan itu...
kami berjalan dengan barisan yang cukup rapat. Hanya berjarang setengah meter dari orang yang di depannya. Dan sesekali kami absen untuk memastikan semua anggota ada dan baik2 saja. Dan lagi untuk memastikan agar tidak ada “penyusup” diantara barisan. Mungkin kalian paham apa yang aku sebut sebagai “penyusup”...
Sekitar 1 jam perjalanan setelah memasuki hutan, aku yang berapa paling belakang mulai merasa ada yang ganjil. Aku merasa bagian belakang kepalaku seperti ada hembusan angin hangat. Tapi bukan angin yang menerpa lampu minyak yang sedang aku bawa di tangan kanan ku. Ini terasa sangat dekat di kepala belakangku terasa hingga ke leher.
Lebih seperti hembusan nafas, pelan dan teratur. Namun terasa cukup hangat untuk ukuran udara gunung yang dingin. Aku mulai tidak fokus dengan barisan, hampir tertinggal 3-4 meter dari barisan di depan ku. Aku terus berfikir hembusan apa ini yang sesekali diam dan sesekali terasa. Dan tiba-tiba ransel yang kubawa menjadi lebih berat. Aneh... kenapa ini? Ransel yang ku bawa hanya berisi baju dan beberapa logistik. Dan sekarang menjadi berat, lebih berat dari awal aku membawanya.
Tidak mungkin hanya karena gerimis, tas menjadi begitu berat. Bahu ku pun mulai terasa sakit. Kenapa ini? Langkahku pun ikut melambat. Namun jika aku berhenti, aku akan tertinggal jauh dari teman-temanku di depan. Aku terus berjalan sambil melantunkan ayat-ayat alquran, karena aku sadar ada yang tidak beres di belakangku.
Beberapa saat kemudian, hembusan itu sudah tidak terasa lagi. Dan ransel yang aku bawa juga kembali seperti semula. Belum sempat aku berfikir macam-macam kuarahkan lampu minyak yang aku bawa kearah belakang untuk mencari tahu apa yang membuatku serasa membawa beban berat....
Sepasang cahaya kecil merah menyala di sela-sela pohon2. Tak jauh dari tempatku berdiri. Cahaya apa itu... itu... sebentar itu bukan cahaya... itu sepasang mata... jadi yang naik di tas ransel ku dan hembusan itu...
dia...
Teeng... teeeng... teeeng!! bel pulang sekolah baru berbunyi. Pukulan tangan pak waluyo masih cukup kuat untuk membuat velg mobil bekas itu berbunyi nyaring. Pria paruh baya yang sudah 15 tahun mengabdi sebagai penjaga sekolah. Aku masih belum meninggalkan kelas, tumpukan buku di depan ku belum selesai ku rapikan. Di Hari rabu siang aku tidak ada Praktikum, surga buat anak STM Negeri Blitar bisa pulang barengan ama anak SMA lainnya.
Selain bisa menikmati indahnya tidur siang, sejenak mampir dan nongkrong di SMA sebelah adalah sebuah hobi yang sangat indah.
“sob... sabtu wilis... naik sabtu siang, turun senin sore. Kan senin libur tanggal merah. Gmn?”
“lagi malas Ndi. Emang siapa aja?”
“mungkin ntar aku, Wok ji, mbahroni sama beberapa cewek-cewek dari Sma Talun. Gayul , Pipit dan mbak Mitra. Genk -genk kita aja lah...”
“lagi bokek nih aku...”
“udah... sisihin aja uang saku sekolah sehari buat naik kereta ntar, selebihnya serahin ke aku... sama kangmas Bendot semua beres”
Bendot sahabat ku, sang negoisator ulung. Entah ilmu lobi apa yang dia pelajari, setiap kali dia bernegoisasi selalu berujung positif. Dan beberapa kali aku tak bisa menolak ajakannya. Semua diatas adalah nama-nama samaran. Seperti halnya pelaku kriminal, kami di sekolah juga menggunakan nama samaran. Sandi alias Bendot, Sunarji alias wok ji, Bahroni alias mbah, dan aku sendiri tanpa alias. Micky nama yang asing untuk orang indonesia, dan cukup mewakili nama samaran.
Sejak keluar dari eskul Pecinta Alam dan bergabung dengan Jurnalis, aku justru lebih banyak mengenal alam. Beberapa pendakian gunung2 di jawatimur, serta susur pantai sering aku lakukan bersama teman2 pendaki dan anggota pencinta alam yang dulu aku ikuti. Wilis memang bukan pertama kali, aku sudah hafal dengan medan pendakian. Tidak begitu sulit. Hanya saja aku belum tau cerita tentang gunung itu...
Matahari cukup terik di sabtu siang yang panas. Masih menyisakan 2 jam pelajaran praktikum . Tapi aku enggan kembali ke bengkel, masih ku nikmati tegukan-tegukan es teh terakhir ku di kantin. Ku lirik di sebelah kananku ada pak Waluyo yang tengah asik menikmati nasi pecel nya, sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya yang panas. Tatapannya tak lepas dari koran lokal hari ini.
“ada berita apa pak?”
aku cukup kenal pak waluyo, kegiatan ekstra kurikuler jurnalis sering mengadakan diklat malam di sekolah mengharuskan ku berhubungan dengan pak waluyo terkait ijin keamanan sekolah. Beliau orang pasuruan dan selama bekerja di sini pihak sekolah menyediakan tempat tinggal berupa rumah kecil di pojok sekolah. Jadi dia tau seluk beluk tentang sekolah ini, termasuk cerita-cerita seram yang pernah dia alami. Tapi hari ini aku tidak mau bertanya soal itu.
“ini lho mas... cuma berita2 pembunuhan... orang2 kok gak mikir dulu mau ngelakuin itu”
“paling namanya juga kepepet pak, udah gak bisa berfikir jernih”
“kok kayaknya nyawa manusia gak berharga gitu ya...”
“iya juga ya pak...”
aku meneguk es teh terakhir ku, dan mencoba mengumpulkan kembali semangatku untuk kembali mengikuti praktikum.
“ndak ada pelajaran toh mas?”
“ada pak... cuma males...”
“lho kenapa mas?”
“iya pak.. pengen cepat pulang... rencananya mau naik gunung sama temen-temen pak”
“waahh jos lek gitu... memangnya mau ke gunung mana?”
“ke Wilis pak... lewat jalur Besuki”
Pak Waluyo melanjutkan suapan terakhir nasi pecelnya, seperti menahan beberapa saat apa yang mau dia ucapkan.
“gunung wilis itu sejarahnya panjang...”
“lho bapak tau sejarah nya?”
“cuma sekilas aja... dulu waktu jaman belanda, pejuang2 yang melawan belanda bersembunyi di puncak wilis dan mendirikan padepokan disana. Sembunyi sekaligus menyusun kekuatan. Seorang kyai yang membangun padepokan itu. Dan katanya dulu saat padepokan mereka di serang belanda, beberapa orang berhasil kabur. Sisanya di tembak dan di bantai. Mayat2 mereka dibuang ke jurang.”
“ya saya pernah denger cerita itu pak, tapi puncaknya yang mana saya juga belum tahu. Kan wilis punya beberapa puncak pak”
“banyak lah mas cerita-cerita kaya gitu, ada juga yang bilang gunung wilis itu tempat pengasingan putri majapahit. Yang di buang kesana dalam keadaan hamil. Bisa di bilang karena intrik kerajaan. Yang akhirnya putri itu mati bunuh diri.”
“nah ini yang saya belum pernah dengar pak”
“di setiap tempat pasti ada kok cerita-cerita kayak gini mas, gunung arjuno dan gunung kawi yang paling wingit. Tapi gak usah khawatir, asal niat kita baik gak akan ada apa2.”
“iya pak... amin...”
Aku melihat pak waluyo lebih dari seorang penjaga sekolah. Dia punya pengalaman yang cukup banyak. Mungkin dia bukan seorang pendaki gunung, tapi masa mudanya pasti penuh dengan hal-hal yang menantang.
...
jam 14.15 kami sudah siap di stasiun Blitar, menunggu kereta menuju stasiun Ngadiluwih Kediri. Gerbang masuk kami menuju gunung wilis. Di kereta itu juga teman-teman dari Talun menumpang. Aku, Bendot, dan Wok Ji berangkat dari stasiun Blitar. Sedangkan Mbah tidak bisa berangkat bersamaan, karena suatu acara dia menyusul esok harinya. Mbah alias Bahroni memiliki perawakan kurus kecil, namun pintar, pemberani dan mencintai alam. Dia termasuk anak pintar di kelas.
Sesaat kemudian peluit panjang berbunyi menandakan kereta jurusan Kertosono siap masuk ke stasiun Blitar. Perlahan-lahan kereta memasuki jalur 2, dan dari deretan gerbong belakang ku lihat beberapa orang berdiri di pintu memanggil2 kami yang sedari tadi menunggu kereta. Mereka teman-teman kami dari Talun. Wanita-wanita pendaki yang tangguh.
“watsaabb sooob... gerbong belakang aja ya... tenang logistik aman... gak bakal kelaparan kita...wkwkwk”
Gayul alias Yula, perawakannya kecil namun gila akan naik gunung. Pengalamannya naik gunung melebihi aku. Dia juga memiliki banyak relasi para pendaki seluruh indonesia. Aku yakin seandainya kami tersesat dan bertahan hidup di hutan maka pasti dia yang paling lama bisa bertahan hidup. Dia lebih cinta gunung dari pada cowok, itu yang membuat dia masih tetap jomblo.
“aku tuh percaya tok sama kamu yul... pokoknya apapun menu makan malam kita ntar aku serahin semua ke kamu aja... meski makan mie rakyat tok yo ndak papa... aku ikhlas...wkwkwk”
Bendot selalu bisa menjadi ice breaker diantara kami. Sifatnya yang periang terkadang menjadi “kotak musik” saat pendakian, karena tak henti-hentinya dia meracau. Namun di balik itu dia juga menjadi pemikir yang tenang saat kami mengalami hal buntu, dia selalu bisa memberi solusi meski kadang bukan solusi yang cerdas.
Kereta kami berjalan perlahan meninggalkan stasiun Blitar, kira-kira 1 jam perjalanan menuju Ngadiluwih. Stasiun Ngadiluwih adalah sebuah stasiun kecil namun telah berusia tua. Sebelah selatan kota Kediri.
Setibanya di stasiun Ngadiluwih, aku merasakan betul aura kolonial di stasiun ini. Hampir semua stasiun di indonesia adalah peninggalan belanda. Mulai arsitektur dan gaya bangunan semua adalah rancangan jaman kolonial belanda. Stasiun sebagai sarana transportasi yang sekaligus saksi bisu penyiksaan tentara belanda terhadap kaum pribumi.

Kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kecamatan Mojo. Kecamatan kecil di hulu sungai. Jaraknya sekitar 2-3 kilo meter, tidak ada kendaraan umum. Jalan satu-satunya adalah melalui jalan desa yang belum beraspal dan bedebu. Untuk mencapai kecamatan mojo, kami harus menyeberangi sungai menggunakan perahu tambang. Warga disana biasanya menyebutnya “Tambangan” perahu kayu yang di kaitkan dengan tali tambang. Ini adalah cara alternatif daripada harus memutar mencari jembatan terdekat.
Sekitar 1 jam berjalan kaki, kami sampai di kecamatan mojo. Disana kami harus mencari tumpangan mobil pick up untuk naik ke wisata air terjun Irenggolo melalui Besuki. Irenggolo adalah pos terakhir, sebelum akhirnya perjalanan harus di lalui dengan berjalan kaki naik melewati hutan. Selama perjalanan menggunakan pick up pemandangan sangat bagus dengan hamparan hutan dan ladang2 warga yang tampak hijau. Meski langit sudah mulai mendung, tapi semangat kami tetap tidak terbendung
“ntar kl hujan gimana? Kita berteduh dulu di Irenggolo?”
“jangan...kita lanjut aja... masih sekitar 3 jam perjalanan menuju romusha. Bahaya kl sampai kemalaman”
“trus tas dan peralatan aman kl hujan deras ntar?”
“kayaknya semua tas tercover... aman... kl bisa sebelum jam 7 kita udah nge-camp di sana.”
Romusha adalah lembah dari semua puncak di wilis. Sebuah dataran rendah yang menjadi spot camp favorit para pendaki. Disamping letaknya landai, sumber air berupa sungai pun dekat. Romusha dan beberapa puncak di gunung wilis membentuk sebuah konfigurasi semacam tapal kuda. Yang pemandangannya nampak lanscape kota Kediri. Itukah kenapa Romusha menjadi spot favorit, karena pemandangan nya bagus dan indah.
Setelah Pick up sampai pos terakhir, Jam 16.45 kami melanjutkan perjalanan menuju lembah romusha di tengah hujan gerimis yang dingin. Melewati jalan setapak di sela-sela hutan pinus. Aku melihat beberapa alat berat terparkir di sekitar situ. Sepertinya pemerintah akan membuka jalan baru di situ menuju Air Terjun Ndolo. Air terjun baru yang beberapa waktu lalu di temukan oleh para pendaki. Yang mana jelas hal ini akan merusak hutan dan konservasi alam sekitar demi pundi-pundi rupiah dari kawasan wisata.
Peduli apa aku tentang mereka, aku hanya mempercepat langkahku agar segera sampai ke romusha. Setelah beberapa saat berjalan melewati hutan pinus tiba lah kami harus naik untuk melewati hutan liar. Disini kami harus merubah formasi barisan. Bendot di depan senter, cewek2 di tengah membawa 1 lampu minyak dan aku paling belakang dengan sebuah lampu minyak sebagai penyapu jalan.
Hari sudah mulai gelap, ada banyak hal yang perlu di perhatikan dalam pendakian malam hari. Selain medan yang kita tempuh rawan akan jurang, kita juga perlu memperhatikan tanah atau jembatan kayu yang kita pijak. Karena jika tidak waspada, bahaya terperosok akan terjadi. Hal ini yang sering di alami para pendaki terperosok masuk jurang karena tidak memperhatikan apa yang dia pijak.
Dan satu lagi... aturan yang tidak pernah terucap olah siapa saja pendaki yang berapa di barisan paling belakang saat pendakian malam...
jangan pernah menoleh kebelakang apapun alasannya, karena bisa saja mungkin kamu bukan yang paling belakang...
Banyak pendaki yang paham akan situasi tersebut, dan sial nya... aku melanggar peraturan itu...
kami berjalan dengan barisan yang cukup rapat. Hanya berjarang setengah meter dari orang yang di depannya. Dan sesekali kami absen untuk memastikan semua anggota ada dan baik2 saja. Dan lagi untuk memastikan agar tidak ada “penyusup” diantara barisan. Mungkin kalian paham apa yang aku sebut sebagai “penyusup”...
Sekitar 1 jam perjalanan setelah memasuki hutan, aku yang berapa paling belakang mulai merasa ada yang ganjil. Aku merasa bagian belakang kepalaku seperti ada hembusan angin hangat. Tapi bukan angin yang menerpa lampu minyak yang sedang aku bawa di tangan kanan ku. Ini terasa sangat dekat di kepala belakangku terasa hingga ke leher.
Lebih seperti hembusan nafas, pelan dan teratur. Namun terasa cukup hangat untuk ukuran udara gunung yang dingin. Aku mulai tidak fokus dengan barisan, hampir tertinggal 3-4 meter dari barisan di depan ku. Aku terus berfikir hembusan apa ini yang sesekali diam dan sesekali terasa. Dan tiba-tiba ransel yang kubawa menjadi lebih berat. Aneh... kenapa ini? Ransel yang ku bawa hanya berisi baju dan beberapa logistik. Dan sekarang menjadi berat, lebih berat dari awal aku membawanya.
Tidak mungkin hanya karena gerimis, tas menjadi begitu berat. Bahu ku pun mulai terasa sakit. Kenapa ini? Langkahku pun ikut melambat. Namun jika aku berhenti, aku akan tertinggal jauh dari teman-temanku di depan. Aku terus berjalan sambil melantunkan ayat-ayat alquran, karena aku sadar ada yang tidak beres di belakangku.
Beberapa saat kemudian, hembusan itu sudah tidak terasa lagi. Dan ransel yang aku bawa juga kembali seperti semula. Belum sempat aku berfikir macam-macam kuarahkan lampu minyak yang aku bawa kearah belakang untuk mencari tahu apa yang membuatku serasa membawa beban berat....
Sepasang cahaya kecil merah menyala di sela-sela pohon2. Tak jauh dari tempatku berdiri. Cahaya apa itu... itu... sebentar itu bukan cahaya... itu sepasang mata... jadi yang naik di tas ransel ku dan hembusan itu...
dia...
Bersambung ke Post 1
Diubah oleh micky10 30-09-2019 16:59






4iinch dan 11 lainnya memberi reputasi
12
6.5K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan