- Beranda
- Komunitas
- KASKUS Kreator Lounge
Cerpen Indonesiaku


TS
Hilwimh2
Cerpen Indonesiaku
Pejuang Mengaji
Namaku gina dan ini keluargaku, saat kampaye seperti ini kami sering terdapat perbedaan
sehingga tercipta dua kubu dirumah besar yang cukup menampung sekitar 60 anggota
keluargaku. Kami sering beradu orientasi tentang kedua kandidat yang masing-masing kubu
dukung.Itulah nasip kalau satu keluarga besar di satu rumah dan berbeda pendapat. Bukan hanya
di rumah bahkan kampanye ini sampai ke sekolahan.
“Assalamualikum teman-teman di pelajaran pendidikan agama ini saya akan menjelaskan
tentang rukun iman,ada yang tau ada berapa rukun iman?”tanya sepupu sandi dari kubuku saat
presentasi
“Lima…”sorak semua yang berada dalam kelas.
“Ya betul sekali,yaitu:baca syahadat, sholat, membayar zakat, berpuasa, dan yang terakhir
pergi haji bagi yang mampu, tapi kalau kalian orang islam jika tidak bisa melaksanakan
haji,berpuasa, dan bayar zakat maka setidaknya kalian sebagai orang islam tidak boleh lepas dari
dua dulu yaitu syahadat dan sholat.”sambil menunjukkan dua jarinya seperti pendukung
Prabowo.
“Nah kalau sudah begini, kalau orang islam berarti dukung Prabowo, prabowo, prabowo.” ujar
Sandi sepupuku dengan semangat mengakhiri presentasinya.
“Huuuuu…”sorak semua yang ada di kelas.
Begitulah sehari-hari kami di kelas, pelajaran apapun yang bisa dikaitkan dengan pemilihan
presiden semua menjadi kampanye masing-masing pendukung, telebih lagi kalau pelajaran PKN.
“sebagai negara kesatuan maka kita harus memilih nomor satu…” teriak aldi bersemangat.
Sepulang sekolah aku selalu memisahkan diri dari sepupu-sepupuku yang biasanya kami
dijemput dengan bus keluarga. Aku sering memisahkan diri karena lama kelamaan aku merasa
bosan dengan yang mereka lakukan, mereka selalu berorasi membenarkan masing-masing
kandidat yang mereka dukung. Di perjalanan aku selalu menyempatkan kerumah nenek Asih.
Aku bertemu pertama kalinya dengan nenek Asih ketika ingin ditabrak dijalan ketika ingin
menyebrang. Pertemuan singkat itu nenek Asih pun bercerita sedikit tentang kehidupan beliau.
Kalau bisa dikatakan beliau adalah salah satu orang yang menyaksikan perjalanan Indonesia ini.
Beliau adalah seorang yang berkelahiran 15 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia yaitu kira-kira pada tahun 1930 yang itu artinya nenek Asih sekarang berusia 89.
Rumah gubuk kecil dengan dinding dan atap yang ditambal dengan berbagai spanduk atau
baleho calon penguasa membantu menghilangkan rasa cemas nenek Asih akan kedinginan
malam, panas sinar matahari, dan dinginnya butiran kecil yang lembut yang bisa saja datang tiba-tiba. Mungkin dalam benak nenek Asih sangat ingin di perhatikan oleh para penguasa sama
seperti sepanduk atau baleho-baleho itu yang selalu melihat dan tersenyum pada nenek Asih
yang seakan memberi harapan.
Hari ini aku memang berencana ingin membantu dan menemani nenek Asih untuk mengulung.
Baju harian yang ku bawa dari rumah pun ku kenakan tuk mengganti seragam sekolah sebelum
pergi mengulung.
“Assalamualiku nek, hari ini jadikan kita ngulung?” tanyaku penuh dengan semangat.
“Jadi, tapi emangnya nak Gina gak dicariin sama keluarganya dan emang mereka tau kalau
Gina kesini bantuin nenek?” tanya nenek cemas.
“Tenang nek semua keluarga aku itu sibuk dengan calon penguasanya masing-masing,
mereka bahkan jarang memperhatikan sekitar,”jawabku ringan.
Satu persatu barang yang masuk kategori yang dapat dijual ku ambil, bersama nenek Asih aku
dapat merasakan begitu kerasnya negeri ini untuk nenek setua nenek Asih.Tak pernah ku dengar
keluhan-keluhan nenek Asih selama ini tentang negara yang katanya adalah negara yang
bertanahkan surga ini.Dengan obrolan ringan menjadikan ku tau tentang nenek Asih.
Waktu istirahat dan pulang setelah mengulung pun tiba, kira-kira sekitar jam 6 sore.Aku sudah
berencana untuk tinggal dengan nenek Asih dan aku pun sudah memberitahukan kepada
keluargaku bahwa aku akan tinggal di rumah temanku walau sedikit berbohong mumpung besok
adalah hari minggu.
Matahari pun berganti dengan bulan dan bintang-bintang yang bersinar terang di langit
malam. Rombongan anak berdatangan kerumah gubuk nenek Asih, ternyata itu adalah anak-anak
yang ingin mengaji dengan nenek Asih. Bertambah salut aku dengan nenek Asih, walau sudah
tua ia tetap mengajar, memang pahlawan tanpa tanda jasa ini sangat mulia. Aku pun ikut
membantu nenek Asih untuk mengajar.
Malam semakin larut dan mengeluarkan sifat aslinya yaitu dingin yang menusuk, seusai
mengajar dan sholat isya nenek Asih pun beristirahat di kasur yang ia kataka empuk padahal
hanya terbuat dari kerdus yang ditumpuk.
“Luar biasa nenek Asih,” gumamku dalam hati sambil melihat nenek Asih yang tertidur
pulas.
Tiba-tiba suara teriakan warga kampung membuatku penasaran, ternyata itu adalah kebakar
yang tak jauh dari rumah nenek Asih.Aku pun membangunkan nenek Asih yang tertidur karena
api sudah dekat dengan rumahnya.Tak ku sangka orang-orang bukan mengambil air untuk
memadamkan api malah asyik siaran langsung mengabarkan kalau ada kebakaran, miris hati ini
melihatnya, nenek Asih hanya bisa menangis melihat rumahnya yang mulai terbakar itu. Untuk
menggerakkan mereka semua aku pun memulai mengambil air dari tepi kali yang ada di dekat
rumah nenek Asih, satu persatu orang yang melihatku ikut tergerak melakukannya bersamaku.
Cukup lama untuk memadamkan api yang besar itu tanpa bantuan pemadam, entah kemana
pemerintah yang sedang di elu-elukan itu. Bantuan pun bahkan tak ada datang dari pemerintahan
hanya ada bantuan dari orang dermawan saja yang terlihat, untunglah Indonesia masih memiliki
orang yang demawan.Nenek Asih hanya bisa sabar dengan semuanya, nenek Asih nampaknya
sangat bingung mau kemana beliau akan tinggal disaat orang-orang yang terkena musibah
sepertinya pergi kerumah keluarganya masing-masing yang berada di luar kota.
“Sudah nek jangan cemas, nenek bisa tinggal dengan keluargaku dan lagi pula masih banyak
kamar-kamar yang kosong yang ada di rumahku,”ucapku sambil mengajak nenek Asih.
“Terima kasih nak Gina,”ucapnya sambil menanggis.
Hampir seminggu nenek Asih berada di tengah-tengah keluargaku yang sedang panaspanasnya. Nenek Asih tak banyak berkomentar tentang apa yang dilakukan keluargaku,nenek
Asih lebih banyak diam.
Diamnya nenek Asih sebagai penyaksi perjalanan Indonesia itu ternyata adalah diam karena
sakitnya, tak berapa lama pun nenek yang kubanggakan itu meninggal dunia setelah beberapa
jam berada di rumah sakit. Tak pernah bercerita ternyata selama ini nenek Asih menderita
penyakit kenker paru-paru stadium akhir, nenek tak dapat mengurus pengobatan karena tak
mengerti caranya, dia hanya lulusan SD saja, ini jelas bahwa masih ada kesulitan di negeri ini
tentang pengobatan orang miskin.
Setelah kepergian nenek Asih aku menjadi lebih menghargai apa yang ada di sekitarku
tentang perbedaan,tentang tanggung jawab dan tentang kesetiaan walau tak pernah
terbalas.Seminggu setelah meninggalnya nenek Asih aku mengikuti sebuah lomba puisi untuk
memeriahkan acara pemilihan calon penguasa. Untuk mengenang itu, aku buatkan sebuah puisi
untuk nenek dengan beribu pesan dari seorang pejuang hidup yang akan kubacakan saat
perlombaan memeriahkan pemilihan penguasa.
INDONESIAKU
Asih, atau sebuah welas asih yang harus diberiakan
Sebuah Negara akan damai jika ada kasih sayang dan kepercayaan
Ini sebuah cita tuk gapai Indonesia damai
Hanya satu kata tuk Indonesia, “bersatu” tuk capai semua yang diinginkan bukan bercerai berai
INDONESIA I LOVE YOU
Usai aku selesai membacakan puisi pendekku bahkan kalau bisa di bilang itu adalah isi hati
saja, Semua orang pun bersorak meneriakkan kemerdekaan Indonesia,hatiku merasa lega telah
menyampaikan isi hatiku yang seharusnya rakyat Indonesia lakukan sekarang, bukan berceraiberai karena menyorakkan jagoan masing-masing tapi bersatu dan berdo’a yang terbaik agar
semuanya menjadi damai.
Aku pun pulang dengan kemenangan karena puisi yang kusampaikan, puisi untuk Indonesia
dan teruntukan nenek Asih sang penyaksi perjalana Indonesia dan pahlawan yang tak terkenang
namanya di tugu pahlawan sebagai guru ngaji rakyat kecil.
TAMAT
Namaku gina dan ini keluargaku, saat kampaye seperti ini kami sering terdapat perbedaan
sehingga tercipta dua kubu dirumah besar yang cukup menampung sekitar 60 anggota
keluargaku. Kami sering beradu orientasi tentang kedua kandidat yang masing-masing kubu
dukung.Itulah nasip kalau satu keluarga besar di satu rumah dan berbeda pendapat. Bukan hanya
di rumah bahkan kampanye ini sampai ke sekolahan.
“Assalamualikum teman-teman di pelajaran pendidikan agama ini saya akan menjelaskan
tentang rukun iman,ada yang tau ada berapa rukun iman?”tanya sepupu sandi dari kubuku saat
presentasi
“Lima…”sorak semua yang berada dalam kelas.
“Ya betul sekali,yaitu:baca syahadat, sholat, membayar zakat, berpuasa, dan yang terakhir
pergi haji bagi yang mampu, tapi kalau kalian orang islam jika tidak bisa melaksanakan
haji,berpuasa, dan bayar zakat maka setidaknya kalian sebagai orang islam tidak boleh lepas dari
dua dulu yaitu syahadat dan sholat.”sambil menunjukkan dua jarinya seperti pendukung
Prabowo.
“Nah kalau sudah begini, kalau orang islam berarti dukung Prabowo, prabowo, prabowo.” ujar
Sandi sepupuku dengan semangat mengakhiri presentasinya.
“Huuuuu…”sorak semua yang ada di kelas.
Begitulah sehari-hari kami di kelas, pelajaran apapun yang bisa dikaitkan dengan pemilihan
presiden semua menjadi kampanye masing-masing pendukung, telebih lagi kalau pelajaran PKN.
“sebagai negara kesatuan maka kita harus memilih nomor satu…” teriak aldi bersemangat.
Sepulang sekolah aku selalu memisahkan diri dari sepupu-sepupuku yang biasanya kami
dijemput dengan bus keluarga. Aku sering memisahkan diri karena lama kelamaan aku merasa
bosan dengan yang mereka lakukan, mereka selalu berorasi membenarkan masing-masing
kandidat yang mereka dukung. Di perjalanan aku selalu menyempatkan kerumah nenek Asih.
Aku bertemu pertama kalinya dengan nenek Asih ketika ingin ditabrak dijalan ketika ingin
menyebrang. Pertemuan singkat itu nenek Asih pun bercerita sedikit tentang kehidupan beliau.
Kalau bisa dikatakan beliau adalah salah satu orang yang menyaksikan perjalanan Indonesia ini.
Beliau adalah seorang yang berkelahiran 15 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia yaitu kira-kira pada tahun 1930 yang itu artinya nenek Asih sekarang berusia 89.
Rumah gubuk kecil dengan dinding dan atap yang ditambal dengan berbagai spanduk atau
baleho calon penguasa membantu menghilangkan rasa cemas nenek Asih akan kedinginan
malam, panas sinar matahari, dan dinginnya butiran kecil yang lembut yang bisa saja datang tiba-tiba. Mungkin dalam benak nenek Asih sangat ingin di perhatikan oleh para penguasa sama
seperti sepanduk atau baleho-baleho itu yang selalu melihat dan tersenyum pada nenek Asih
yang seakan memberi harapan.
Hari ini aku memang berencana ingin membantu dan menemani nenek Asih untuk mengulung.
Baju harian yang ku bawa dari rumah pun ku kenakan tuk mengganti seragam sekolah sebelum
pergi mengulung.
“Assalamualiku nek, hari ini jadikan kita ngulung?” tanyaku penuh dengan semangat.
“Jadi, tapi emangnya nak Gina gak dicariin sama keluarganya dan emang mereka tau kalau
Gina kesini bantuin nenek?” tanya nenek cemas.
“Tenang nek semua keluarga aku itu sibuk dengan calon penguasanya masing-masing,
mereka bahkan jarang memperhatikan sekitar,”jawabku ringan.
Satu persatu barang yang masuk kategori yang dapat dijual ku ambil, bersama nenek Asih aku
dapat merasakan begitu kerasnya negeri ini untuk nenek setua nenek Asih.Tak pernah ku dengar
keluhan-keluhan nenek Asih selama ini tentang negara yang katanya adalah negara yang
bertanahkan surga ini.Dengan obrolan ringan menjadikan ku tau tentang nenek Asih.
Waktu istirahat dan pulang setelah mengulung pun tiba, kira-kira sekitar jam 6 sore.Aku sudah
berencana untuk tinggal dengan nenek Asih dan aku pun sudah memberitahukan kepada
keluargaku bahwa aku akan tinggal di rumah temanku walau sedikit berbohong mumpung besok
adalah hari minggu.
Matahari pun berganti dengan bulan dan bintang-bintang yang bersinar terang di langit
malam. Rombongan anak berdatangan kerumah gubuk nenek Asih, ternyata itu adalah anak-anak
yang ingin mengaji dengan nenek Asih. Bertambah salut aku dengan nenek Asih, walau sudah
tua ia tetap mengajar, memang pahlawan tanpa tanda jasa ini sangat mulia. Aku pun ikut
membantu nenek Asih untuk mengajar.
Malam semakin larut dan mengeluarkan sifat aslinya yaitu dingin yang menusuk, seusai
mengajar dan sholat isya nenek Asih pun beristirahat di kasur yang ia kataka empuk padahal
hanya terbuat dari kerdus yang ditumpuk.
“Luar biasa nenek Asih,” gumamku dalam hati sambil melihat nenek Asih yang tertidur
pulas.
Tiba-tiba suara teriakan warga kampung membuatku penasaran, ternyata itu adalah kebakar
yang tak jauh dari rumah nenek Asih.Aku pun membangunkan nenek Asih yang tertidur karena
api sudah dekat dengan rumahnya.Tak ku sangka orang-orang bukan mengambil air untuk
memadamkan api malah asyik siaran langsung mengabarkan kalau ada kebakaran, miris hati ini
melihatnya, nenek Asih hanya bisa menangis melihat rumahnya yang mulai terbakar itu. Untuk
menggerakkan mereka semua aku pun memulai mengambil air dari tepi kali yang ada di dekat
rumah nenek Asih, satu persatu orang yang melihatku ikut tergerak melakukannya bersamaku.
Cukup lama untuk memadamkan api yang besar itu tanpa bantuan pemadam, entah kemana
pemerintah yang sedang di elu-elukan itu. Bantuan pun bahkan tak ada datang dari pemerintahan
hanya ada bantuan dari orang dermawan saja yang terlihat, untunglah Indonesia masih memiliki
orang yang demawan.Nenek Asih hanya bisa sabar dengan semuanya, nenek Asih nampaknya
sangat bingung mau kemana beliau akan tinggal disaat orang-orang yang terkena musibah
sepertinya pergi kerumah keluarganya masing-masing yang berada di luar kota.
“Sudah nek jangan cemas, nenek bisa tinggal dengan keluargaku dan lagi pula masih banyak
kamar-kamar yang kosong yang ada di rumahku,”ucapku sambil mengajak nenek Asih.
“Terima kasih nak Gina,”ucapnya sambil menanggis.
Hampir seminggu nenek Asih berada di tengah-tengah keluargaku yang sedang panaspanasnya. Nenek Asih tak banyak berkomentar tentang apa yang dilakukan keluargaku,nenek
Asih lebih banyak diam.
Diamnya nenek Asih sebagai penyaksi perjalanan Indonesia itu ternyata adalah diam karena
sakitnya, tak berapa lama pun nenek yang kubanggakan itu meninggal dunia setelah beberapa
jam berada di rumah sakit. Tak pernah bercerita ternyata selama ini nenek Asih menderita
penyakit kenker paru-paru stadium akhir, nenek tak dapat mengurus pengobatan karena tak
mengerti caranya, dia hanya lulusan SD saja, ini jelas bahwa masih ada kesulitan di negeri ini
tentang pengobatan orang miskin.
Setelah kepergian nenek Asih aku menjadi lebih menghargai apa yang ada di sekitarku
tentang perbedaan,tentang tanggung jawab dan tentang kesetiaan walau tak pernah
terbalas.Seminggu setelah meninggalnya nenek Asih aku mengikuti sebuah lomba puisi untuk
memeriahkan acara pemilihan calon penguasa. Untuk mengenang itu, aku buatkan sebuah puisi
untuk nenek dengan beribu pesan dari seorang pejuang hidup yang akan kubacakan saat
perlombaan memeriahkan pemilihan penguasa.
INDONESIAKU
Asih, atau sebuah welas asih yang harus diberiakan
Sebuah Negara akan damai jika ada kasih sayang dan kepercayaan
Ini sebuah cita tuk gapai Indonesia damai
Hanya satu kata tuk Indonesia, “bersatu” tuk capai semua yang diinginkan bukan bercerai berai
INDONESIA I LOVE YOU
Usai aku selesai membacakan puisi pendekku bahkan kalau bisa di bilang itu adalah isi hati
saja, Semua orang pun bersorak meneriakkan kemerdekaan Indonesia,hatiku merasa lega telah
menyampaikan isi hatiku yang seharusnya rakyat Indonesia lakukan sekarang, bukan berceraiberai karena menyorakkan jagoan masing-masing tapi bersatu dan berdo’a yang terbaik agar
semuanya menjadi damai.
Aku pun pulang dengan kemenangan karena puisi yang kusampaikan, puisi untuk Indonesia
dan teruntukan nenek Asih sang penyaksi perjalana Indonesia dan pahlawan yang tak terkenang
namanya di tugu pahlawan sebagai guru ngaji rakyat kecil.
TAMAT
0
187
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan