- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Unforgettable! Diganggu Penunggu Gunung


TS
haz0204
Unforgettable! Diganggu Penunggu Gunung

"Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung."
-anonim-
***
Basecamp pendakian di kaki Gunung Slamet tampak ramai oleh orang-orang yang hendak mendaki. Beberapa terlihat tengah sibuk mendirikan tenda. Ada juga yang asyik bercengkerama sembari menikmati secangkir kopi. Ini adalah pengalaman pertamaku mendaki. Deg-degan, bahagia, tegang, dan takut, semua tumpah jadi satu.

Sumber gambar : Google
"Nggak usah tegang gitu, Dek. Santuy aja." Bang Willy mengelus puncak kepalaku. Dia adalah kakak laki-lakiku. Beda usia kami hanya dua tahun.
"Nanti kalau udah mulai pendakian, jangan jauh-jauh dari Luna ya, Bang," pintaku lirih. Bang Willy menganggukkan kepalanya pelan.
Setiap libur kuliah, saudaraku itu dan teman-temannya selalu rutin mengadakan acara liburan bersama. Liburan kali ini mereka memilih untuk mendaki gunung. Biasanya aku tak pernah diizinkan mengikuti acaranya. Namun, setelah melalui berbagai drama dan air mata, akhirnya ia pun mengizinkanku untuk ikut kegiatan ini.
Di ufuk barat, langit mulai berwarna jingga. Udara di sini terasa lembab. Heningnya suasana alam membuat kicau burung terdengar sangat jelas. Berkali-kali aku dibuat takjub oleh keindahan alam sekitar.
"Gaes, kita bermalam di sini dulu." Suara Bayu memecah keheningan. Dia teman baik Bang Willy, sekaligus orang yang ditunjuk untuk memimpin pendakian kali ini.
"Yang benar aja, Bro. Jarak basecamp ke Pos 1 cuma satu jam lho. Ayolah, jangan buang waktu," protes Juna yang sedari tadi asyik memotret.
"Ini udah mau magrib, Jun. Nggak baik." Seno ikut menimpali.
"Hilih, bilang aja kalian takut digangguin demit sini. Cemen amat. Nggak ada yang bakalan ganggu kita. Percaya deh sama gue." Juna menepuk dadanya.
Bayu beranjak dari tempat duduknya, lalu menghampiri Juna.
"Jaga sikap dan omonganmu, Jun."
"Penakut, Lu! Mana ada demit. Sini suruh ketemu gue!"
"Juna, cukup! Sudah magrib. Sebaiknya kita semua bergegas menunaikan sholat." Bang Willy yang sedari tadi diam, angkat bicara.
Angin berembus pelan. Tiba-tiba saja aku merinding. Bulu kuduk berdiri. Seketika tengkuk terasa dingin. Entah kenapa aku merasa sesuatu tengah mengawasi kami. Kuraih tangan Bang Willy, lalu menggenggamnya erat.
"Kenapa, Dek?"
"Nggak apa-apa, Bang. Sholat yuuk."
***
Spoiler for Awal Pendakian:
Tak terasa hampir tiga jam lebih kami berjalan. Pos 1 dan Pos 2 telah terlampaui. Napas mulai terengah-engah. Sementara kaki sudah mulai pegal. Kulihat bang Willy dan teman-temannya masih santai. Hanya aku yang mulai gelisah. Mungkin karena mereka sudah terbiasa.
"Kita istirahat sebentar di sini," ucap Bayu begitu kami tiba di sebuah tanah lapang. Ada sebuah pondok kayu di tepinya. Di kanan kiri tampak jurang yang curam. Vegetasi yang ada semakin rimbun. Akar-akar gantung bergerak tertiup angin. Pepohonan menjulang tinggi.
Aku segera menurunkan carier, duduk di tengah pondok, menyelonjorkan kaki, lalu mengambil botol minuman dan menenggak isinya hingga nyaris tak bersisa. Hal yang sama juga dilakukan Bang Willy dan teman-temannya.
Tiba-tiba saja tengkukku kembali dingin. Rasanya seperti ada udara yang diembuskan dari belakang. Kuusap lengan, mencoba menepis rasa dingin tersebut.
"Bang, selain kita berlima, ada orang lagikah di sini?"
"Nggak ada. Pendaki lain biasanya beristirahat di pos setelah ini. Lebih ramai di sana. Iya kan, Bay?"
Bayu hanya menganggukkan kepala. Juna yang mendengar pertanyaanku barusan langsung menggeser tempat duduk ke sampingku.
"Kenapa? Jangan bilang kalau ada demit yang ngikutin kita ya." Juna tertawa. Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja sebuah kerikil jatuh tepat di hadapan Juna. Seketika tawanya langsung terhenti. Wajahnya langsung pucat.
Aku spontan menjerit. Bang Willy dan yang lainnya saling berpandangan. Juna sendiri, diam membisu.
"Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan lagi," ucap Bayu tak lama kemudian.
Kami melanjutkan pendakian. Hampir tak ada yang berbicara sepatah kata pun di antara kami. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Belum lagi teringat insiden di gubuk kayu yang baru saja dialami.

Sumber gambar : Google
Semakin ke atas, tanjakan semakin tinggi. Tak ada tumbuhan lagi yang kami temui di sini. Hanya semak belukar dan Edelweis. Udara juga semakin semakin dingin. Jantungku berdetak lebih cepat. Napas mulai memendek dan kepala sedikit berdenyut selama perjalanan.
Entah berapa lama lagi waktu sampai ke puncak. Jalanan yang kami lalui mulai tertutup kabut. Gerimis pun turun perlahan. Menambah suasana kian mencekam. Tiba-tiba dari arah semak belukar terdengar kokok Ayam.
Sontak aku segera memeluk Bang Willy. Tak lama suara gergaji mesin pun terdengar nyaring. Melihat teman-teman yang mulai panik, Bayu segera angkat bicara.
"Tenang, Gaes. Jangan panik. Mungkin itu cuma penduduk yang tengah memotong kayu."
"Heh, potong kayu pala, Lu. Lihat nih, nggak ada tumbuhan satu pun di sini," ujar Juna sedikit gusar.
"Kita lanjutkan saja perjalanan. Tak ada gunanya berdebat." Seno ikut menengahi.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Keadaan sekitar mulai gelap sebab kabut yang begitu pekat. Tak kulepas genggaman tangan Bang Willy sedikit pun. Rasanya ada yang aneh dengan medan yang kami lalui ini. Kalau tidak salah hitung, sudah tiga kali kami melewati tempat ini.
"Bang, dari tadi sepertinya kita cuma berputar-putar di sini lho," bisikku tepat di telinga Bang Willy.
Bang Willy tampak membelalakkan matanya. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keringat dingin mengucur dari dahinya.
"Mungkin cuma perasaanmu saja, Dek."
"Luna benar, Gaes. Kita cuma berputar-putar di tempat ini," ucap Juna sedikit bergumam. Telunjuk lelaki itu menunjuk pada batang semak yang sebelumnya sempat ia patahkan.
Sontak semua orang berhenti dan saling berpandangan. Tiba-tiba saja batu kerikil menghujam ke arah kami. Suara-suara aneh itu terdengar kembali. Kali ini jaraknya terdengar begitu dekat.

Sumber gambar : Google
Mulut Bang Willy tak henti mengucap doa. Seno menangis karena panik. Bayu berusaha menenangkan Seno. Sementara Juna pandangan matanya menatap lurus ke depan. Wajahnya ketakutan. Seolah tengah melihat sesuatu.
"Ampun, maafin saya, jangan ganggu kami." Juna berlutut sembari menyembah-nyembah. Air mata sudah jatuh dari pelupuk matanya. Dia menangis ketakutan. Benar-benar seperti bukan Juna yang sempat sesumbar saat di basecamp.
Kakiku lemas. Jantung berdegup tak karuan. Suasana sekitar begitu mencekam. Rasanya seperti ada yang tengah mengawasi kami. Kueratkan pegangan tangan pada lengan Bang Willy.
"Ayo lanjutkan perjalanan. Cari tempat yang lebih tinggi!" seru Bayu tak lama kemudian. Ia membangunkan Juna yang masih bersujud. Lalu menggandengnya. Kami berjalan menerobos gerimis yang kian deras. Sepanjang perjalanan, Juna menangis ketakutan, tubuhnya menggigil. Begitu pun Seno dan aku. Wajah kami berdua sudah pucat. Hanya Bang Willy dan Bayu yang terlihat masih tenang dengan mulut tak henti mengucap doa.
Selang berapa lama, akhirnya kami berhasil menemukan sebuah jalan. Kabut mulai menipis di sini. Gerimis juga mulai reda. Kalimat syukur tak henti keluar dari mulutku. Tampak beberapa pendaki dan warga yang tengah beristirahat di sebuah pondok. Melihat Juna yang menggigil dan mulai meracau tak jelas, mereka pun menghampiri kami.
"Apa yang terjadi?"
Bayu menceritakan semuanya. Si Bapak yang bertanya tadi hanya manggut-manggut. Terlihat mulutnya membaca doa, lalu mengusap muka Juna dengan telapak tangannya. Tak lama, Juna terlihat tenang.
"Lain kali, jaga ucapan dan tindakan kalian ya. Di mana pun tempatnya, hormati peraturan yang ada di situ. Apalagi dalam pendakian seperti ini. Penunggu di sini marah karena ucapan dan tingkah teman kamu ini, beruntung tidak terjadi apa-apa dengan kalian," jelas si bapak tak lama kemudian.
Kami semua yang ada di situ mengangguk pelan. Melihat kondisi Juna yang masih lemas, begitu pun dengan aku dan Seno, akhirnya kami sepakat untuk tak melanjutkan pendakian ini. Sedih dan kecewa tentu saja. Apalagi sudah sejauh ini. Namun, itu merupakan pilihan terbaik. Daripada terjadi sesuatu yang tak diinginkan nanti.

Sumber gambar : Google
Menjelang sore, kami berlima berjalan kembali ke basecamp bersama pendaki lain yang hendak turun juga. Pendakian pertamaku ini benar-benar menjadi pengalaman tak terlupakan. Meski bisa dibilang gagal, tapi ada pelajaran berharga yang kudapatkan di sini. Di mana pun kaki kita berpijak, di situlah semua peraturan dan segala larangan yang ada harus diperhatikan. Tak lupa, jangan pernah menyepelekan nasihat orang lain.
-Selesai-
Penulis : Haz
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian, itu hanyalah kebetulan semata.






sebelahblog dan 12 lainnya memberi reputasi
13
1.3K
17


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan