Cuaca dingin dan sedikit berkabut khas pegunungan menyambut kedatangan kami di pintu masuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Hari itu saya, Romi dan Adit menumpang minibus untuk bisa sampai ke rest area Cemoro Lawang. Setelah kesibukan selama 3 bulan KKN di Probolinggo, kami bertiga berencana berlibur di akhir pekan ini untuk menikmati sunrise dari Gunung Penanjakan, kawah Gunung Bromo, lautan pasir Gunung Bromo, dan padang Savanna Gunung Bromo yang dikenal dengan nama Bukit Teletubbies.

Kami yang sebelumnya tidak pernah ke Bromo dan hanya mengandalkan informasi dari teman-teman ini sempat kebingungan bagaimana caranya untuk bisa sampai di puncak Kawah Bromo sebelum matahari terbit. Jam di tangan menunjukkan pukul 10 malam setelah kami istirahat dan siap untuk menjelajah lautan pasir seperti yang diceritakan salah satu informan kami.



Setelah beberapa saat urun rembuk akhirnya kami sepakat untuk menyewa pemandu untuk mengantar kami melewati lautan pasir hingga mencapai tangga Kawah Bromo. Kami berkeliling untuk mencari pemandu, namun sebelum itu...



Akhirnya Adit pun buang air tepat dibawah pohon yang saya tunjuk, setelah sebelumnya dia tolah toleh lihat situasi.

Tiba-tiba beberapa meter didekat kami ada seorang Bapak tua sedang membelai-belai kuda tepat dibawah pohon cemara juga. Kami kaget karena kami benar-benar yakin kalau sebelumnya tidak ada orang disitu. Pun juga tidak ada suara langkah kaki yang menandakan ada orang datang.






Lagi-lagi Bapak tua tersebut hanya mengangguk tanpa berkata sepatah katapun



Beberapa langkah berjalan, si bapak menghentikan langkahnya lalu menunjuk Adit dengan isyarat untuk naik ke atas kudanya.



Si bapak masih saja cuek lalu melanjutkan perjalanan. Sementara suasana begitu sepi, hanya ada suara binatang malam. Tidak ada tanda-tanda ada rombongan lain yang juga berjalan menuju Kawah Bromo pada saat itu.

Singkat cerita selama perjalanan kami bertiga yang hanya ngobrol-ngobrol santai, sementara setiap kali kami mengajak ngobrol si bapak selalu saja tidak ada respon.



Perjalanan terasa lama sekali buat kami. Lelah sudah pasti. Tapi si bapak tidak ada tanda-tanda capek dan minta istirahat.



Si bapak tiba-tiba menoleh kearah kami. Sepertinya si bapak mendengar perkataan Romi barusan. Tatapannya tajam tanp berkedip sedikitpun. Namun ekspresi itu hanya sebentar karena setelahnya beliau melanjutkan perjalanan lagi.

Tiba-tiba kami tersadar kalau ada cahaya kuning kemerahan dari arah kiri kami.



Ya. Bapak tua yang memandu kita melewati kawah pasir ini tiba-tiba hilang. Mustahil dia tertinggal atau mempercepat langkahnya tanpa kami ketahui. Beliau menghilang saat fokus kami kearah cahaya matahari yang samar-samar mulai muncul.



Belum selesai keheranan hilangnya bapak tua pemandu, kami dibuat lebih kaget lagi saat sadar lokasi kami berada saat itu. Sinar mentari yang mulai terang menyadarkan kami kalau saat itu berada di tengah-tengah lautan pasir, jauh sekali dari puncak kawah Bromo. Bahkan kawanan wisatawan yang berada di dekat Pura Bromo tampak sangat kecil sekali, yang artinya jarak kami dengan mereka terlampau jauh.



Seketika Adit menyesali perbuatannya semalam yang tidak mengikuti saran dari Romi. Mungkin bapak tua pemandu kami adalah penunggu pohon tempat Adit buang air sembarangan. Sekalipun Adit sudah minta ijin sebelum buang air namun hal itu masih dirasa kurang pantas dilakukan.

Kamipun terpaksa berjalan kaki menuju keramaian wisatawan. Liburan yang kami harapkan berkesan ternyata gagal dan dihiasi kisah misteri. Sejak itulah kami percaya bahwa kita harus menghargai dan menghormati makhluk lain yang tak tampak buat kita. Kami percaya bahwa tempat-tempat wisata seperti ini punya banyak misteri.

Syukur alhamdulillah setelah saya dan Adit tersadar serta menyesali kesalahan kami, tak ada lagi misteri atau keanehan hingga kami menyelesaikan liburan kami di Gunung Bromo.