Rapunzel.iciousAvatar border
TS
Rapunzel.icious
Yang Tertinggal di Gunung Ceremai


"Cel, gue mens."

"Waduh!" Seruan panik Bian membuatku menoleh ke arahnya. "Euh, maksud gue. Lo bawa pembalut, kan? Soalnya kita udah setengah jalan dan kayaknya nggak ada Alfamei buat beli pembalut."

"Gue bawa, kok. Sebungkus utuh," ujarku sambil membuka carrier yang disimpan di samping —seolah membatasi tempat dudukku dan Sofi di baris kedua SUV milik pamannya Rendi.

"Thanks, my besties." Sofi merentangkan tangannya untuk memelukku, tetapi tidak sampai karena terhalang oleh dua tas besar di antara kita. Si lebay satu ini memang paling senang dengan pelukan.

"Lain kali kalau ngomongin soal hal kewanitaan gini, jangan gordes*. Kan si Bian jadi nimbrung," kataku sambil menoleh ke baris belakang tempat Bian duduk. Kulihat ia sedang asik membaca. Eh, bentar, Bian membaca kitab suci?

"Lo kenapa tiba-tiba tadarus, Bi?" tanya Sofi sambil menoyor kepala Bian. "Bukannya lo yang paling semangat bawa beer untuk kita di puncak gunung?"

Tawa keras Sofi membahana. Rendi yang tidur di seat depan selama perjalanan dari Bandung, langsung terbangun dan menoleh kesal ke arah kami. Bian yang jadi olokan Sofi nampak masih khusyuk dengan Alquran kecil yang dipegangnya. Aku dan Sofi pun bertatapan lalu ia mengangkat kedua bahunya.

Perjalanan kembali hening. Aku melihat GPS yang terpasang di dashboard mobil. Menurut arah, hanya butuh sekitar 30 menit lagi untuk sampai ke Basecamp Palutungan, post pendaftaran untuk pendakian Gunung Ciremai.


Pict Source

Ada senyum kecil yang terasa melengkung di bibirku. Setelah sekian lama rencana mendaki bersama ketiga sahabatku ini hanya wacana saja, akhirnya dengan memanfaatkan libur semester ganjil, semua terwujud. Sebagai informasi, kami terlalu sering ke pantai. Karena tidak ingin bertindak rasisme terhadap objek wisata, gunung pun menjadi tujuan kami.

Jujur saja, ini adalah kali pertama aku dan ketiga anggota geng mendaki gunung. Untungnya, kami yang rutin nge-gym seminggu 3 kali, merasa cukup bugar untuk mendaki Gunung Ciremai, gunung dengan tinggi 10.098 kaki yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat.

"Segernyaaa!" seru Rendy setelah turun dari mobil.

Tidak hanya dia, aku pun menghidu oksigen dalam-dalam, berharap bisa menetralkan isi paru-paruku dari polusi ibu kota. Sofi yang berdiri di sampingku sedang sibuk membenarkan posisi celananya, sedangkan Bian masih tetap diam dengan wajah tegang.

Bukan karena aku tidak peduli pada perubahan air muka Bian sejak dalam perjalanan tadi, hanya saja aku tidak ingin menerima penjelasan darinya yang mungkin akan mengurangi energi positif saat mendaki. Aku pun memutuskan untuk tersenyum ke arahnya lalu mengamit lengannya.

"I wish everything gonna be OK," ujarnya tiba-tiba. Aku hanya menjawab dengan diam dan meng-amin-kan di dalam hati.

Kami sampai pada pukul 9 pagi. Setelah mengisi buku tamu dan membayar registrasi, kami bersiap untuk mendaki dengan rombongan pendaki lain yang datang bersamaan.

"Kita isi penuh air minum di sini," kata Bian —masih dengan nada bicara yang tegang dan kaku.

Tanpa berdebat, kami pun mengisi botol Tapirware masing-masing. Di sela menadahkan air, sesekali aku meneguk kesegaran mata air tersebut. Sumpah seger banget!

OK, here we go!

Kami mendaki sekitar 3 jam. Saat itu kami sudah sampai di post 3, yaitu Pos Pangguyangan Badak. Aku dan Sofi mulai mengeluh kelelahan.

"Sembahyang dulu, Geng. Udah masuk waktu dzuhur," ajak Bian. Ia kemudian membuka botol Tapirware dan menggunakannya untuk berwudu.

"Eh, elo! Kenapa malah boros-borosin air minum, sih?!" cecar Rendi. "Salatnya satuin aja lah. Kita kan musafir."

Bian tidak menggubris.

"Pokoknya kalau elo kehausan di tengah jalan nanti, gue nggak mau berdonasi air minum," gertak Rendi.

"Jahat banget sih lo, Ren," tukas Sofi. Lirikan tajamnya membuat Rendi tersenyum sinis.

"Udah ah, nggak usah berantem. Kita istirahat dulu aja di sini sekalian makan siang," tawarku. Sofi dan Rendi pun akhirnya menyimpan carrier-nya.

Kami melahap perbekalan yang sudah disiapkan untuk makan siang. Bian yang telah selesai sembahyang pun bergabung.

"Cel, anterin pipis dong. Sekalian mau ganti pembalut juga," pinta Sofi manja.

"Lo bisa tahan sampai nemu sumber air, nggak?" tanya Bian. "Jangan buang air sembarangan!"

"Gue bisa tembus kalau nggak ganti pembalut sekarang," rengek Sofi.

"Lo mens? Kenapa lo nggak cancel mendaki, sih?" cecar Rendi.

"Kalian cowok yang nggak punya perasaan, ya! Udah yuk, Sof." Aku menarik lengan Sofi untuk mencari tempat yang sepi.

Aku membelakangi Sofi yang sibuk dengan urusannya. Sebuah colekan terasa di lenganku dan membuat aku menoleh. Ketika itu, mataku bertemu dengan mata Sofi yang sedang berjongkok.

"Lo kenapa ngintip gue, Cel?" Sofi berteriak memarahiku.

"Bukannya tadi elo yang—" Aku menggantungkan kalimat ketika melihat jarak Sofi yang kini tengah membenarkan celana panjangnya cukup jauh dengan lokasiku berdiri. "Sori, gue pikir elo udah beres."

"Untung aja elo cewek. Kalau cowok, udah gue tonjok muka mesum pas nengok gue yang lagi jongkok."

Aku tertawa melihat Sofi yang memberikan kepalan tangan ke arahku. Walau sejujurnya, ada rasa dingin yang menyeruak di kedua lengan ini.

"Pembalut bekasnya mana?" tanya Bian ketika aku dan Sofi sampai di tempat mereka beristirahat.

"Udah gue buang lah. Emang lo mau apa? Mabok pake air rebusan pembalut gue? Hahaha!" Kembali Sofi terbahak, disusul Rendi yang ikut terkekeh. Aku yang masih shock dengan kejadian tadi, hanya bisa memaksakan tertawa.

"Lo buang sembarangan?" tanya Bian lagi.

"Ya udah sih, ribet amat, Bi. Emang lo mau jinjing-jinjing sampah yang bau anyir?" Sofi berhenti tertawa. Raut mukanya terlihat kesal.

"Semoga kita nggak celaka."

Kalimat Bian berhasil menghipnotis keadaan menjadi suram. Lanjutan perjalanan pun tak ada candaan seperti liburan-liburan kami sebelumnya.

***


"Kalian nyium bau amis, nggak?" tanya Sofi yang ada di urutan paling belakang.

"Justru gue juga mau tanya. Tapi takut nyinggung elo, Sof," jawabku. Jujur saja, bau itu terasa cukup kentara sejak melewati pos 4. Aku pikir, itu hanya aroma telur yang dimasak oleh pendaki lain di sana. Namun, bau amis tetap terasa sampai kami sudah jauh dari pos tersebut.

"Gue cek dulu ya, takutnya gue tembus," pinta Sofi.

"Ribet ya mendaki gunung bawa cewek yang lagi mens!" bentak Rendi.

"Ribet ya sama cowok yang nggak peka terhadap cewek!" Sofi tak ingin kalah. Matanya melotot ke arah Rendi.

"Lo yang bau!" seru Sofi dan Rendi bersamaan.

"Kalian kenapa?" tanyaku heran.

"Dia ngatain gue bau!" seru keduanya kembali bersamaan.

"Sori nih, Geng. Kayaknya gue nggak denger deh salah seorang dari kalian ngatain bau," ucapku hati-hati. Sejurus kemudian, aku menengok ke arah Bian. Wajahnya pucat. Bibirnya bergerak seiring dengan pergerakan jarinya yang seperti tengah menghitung.

"Euh, boleh nggak gue cek celana gue di sini aja?" pinta Sofi. Tanpa aba-aba, aku, Rendi, dan Bian pun memunggungi Sofi.

"Gue nggak tembus, Geng. Yuk lanjut lagi," ujar Sofi dengan ceria.

Urutan mendaki masih sama seperti awal. Rendi ada di posisi paling depan, lalu aku, Bian, dan Sofi. Sebenarnya Sofi ada di antara Bian dan aku, tetapi ia terlalu lambat sehingga sering beralih ke posisi paling akhir. Kami tidak was-was dengan urutan tersebut karena beberapa meter di bawah kami, ada rombongan pendaki lain yang masih terlihat. Setidaknya, kalau Sofi benar-benar lupa kami tinggalkan, pasti masih bisa sebaris dengan rombongan lain.

Jarum pendek pada arlojiku sudah mengarah ke angka 5 dan kami sudah sampai di pos 5. Entah mengapa sedari tadi, angka jam dan posko tempat beristirahat selalu sama. Kebetulan ganjil yang cukup ganjil. Belum lagi 2 kejadian ganjil yang masih tersimpan di memori jangka pendekku.


Pict Source

Kami memutuskan untuk berkemah di pos 5. Hanya 1 tenda yang kami dirikan karena tubuh-tubuh langsing milik 4 orang ini akan muat di dalamnya.

"Lupa ya nggak bawa gitar," kata Rendi.

"Iya ya, padahal pasti seru kalau nanti malam nyalain api unggun sambil nyanyi-nyanyi," tambah Sofi.

"Nggak apa-apa deh. Kan kita bisa nge-beer," ujar Rendi yang langsung disambut dengan highfive Sofi.

Aku bersyukur mereka sudah melupakan perdebatan tidak penting beberapa saat yang lalu. Semoga saja tidak ada pertengkaran lainnya.

"Iya, semoga."

Aku menegakkan tubuh. Suara yang seolah menanggapi kalimat permohonanku terdengar jelas di telinga kiri. Itu bukan suara Sofi, bukan pula Rendi dan Bian. Suara perempuan.

Dengan segera aku merapat ke tubuh Bian. Entah mengapa, komat-kamit Bian yang aku yakini sebagai dzikir, membuat aku bisa menetralkan rasa takut. Eh, baiknya aku pastikan dulu deh.

"Lo lagi dzikir, Bi?" tanyaku pelan. Bian mengangguk. Aku tersenyum tenang.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidur diapit oleh Bian dan Sofi. Selamat tidur semuanya.

***


"Cel, Bi, bangun! Rendi hipo!"

Teriakan panik Sofi membuat kepalaku pusing karena terbangun tiba-tiba. Aku pun tidak menyadari di luar turun hujan dengan sangat deras.

"Cel, Bi, gimana ini?" tanya Sofi lagi.

Aku menengok ke luar tenda, berharap bisa meminta bantuan dari rombongan lain. Ternyata, hanya kami yang mendirikan tenda di sini." Kok aneh, ya?

"Gue rebus air dulu," usul Bian. Aku menoleh ragu ke arahnya. "Gue usahain bisa nyalain api."

"Hati-hati ya, Bi." Entah mengapa malah kata-kata itu yang terucap di bibirku.

Beberapa saat kemudian Bian masuk ke dalam tenda dengan botol berisi air panas. Ia menuangkan perlahan pada warm water sackmilik Sofi kemudian menempelkan pada leher Rendi.

"Ren, sadar dong, Ren. Gue kan cinta sama elo." Sofi terisak di sela kata-katanya.

Bian memindahkan posisi warm water sack ke lipatan tangan dan kaki Rendi. Namun, tidak ada perubahan yang signifikan.

"Lo bisa kasih PCR, nggak?" tanyaku pada Sofi.

"Gue mantan anggota PMR sih, tapi kan udah lama. Gue takut salah." Sofi menjawab dengan panik.

Di sela perdebatan dan kebingungan kami, perlahan lengan Rendi mulai bergerak. Mulutnya sedikit membuka, dan terlihat napasnya konstan.

"Syukur lah, Ren!" pekik Sofi sambil memeluk Rendi yang baru saja membuka mata.

Bian meminumkan air hangat untuk Rendi. Aku dan Sofi mencoba menghangatkan tubuh Rendi dengan pelukan.

Setelah kejadian itu, tidak ada satu pun yang kembali tertidur. Kami terjaga sampai pukul 3 dini hari dan meyakinkan masing-masing untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak.

***


Di luar dugaan. Rencana kami yang ingin mengejar matahari terbit di puncak Gunung Ciremai, disambut dengan banyaknya rombongan pendaki yang sudah sampai lebih pagi. Spot untuk berfoto saja sampai harus mengantri.

"Cel, Sof, Ren," panggil Bian. Kami bertiga kompak menoleh. "Kalau kita turun tanpa menginap, kalian kuat, nggak?"

Aku tahu mengapa Bian berkata seperti itu. Sofi dan Rendi pun terdiam lalu mengangguk bersamaan. Setelah menikmati euforia puncak yang ternyata tidak berhasil membuat aku merasa tenang, kami memutuskan untuk istirahat sebentar sebelum menuruni gunung.

Sejujurnya, baik aku maupun ketiga temanku, mereka sudah cukup letih untuk terus berjalan. Sempat terpikir untuk menggelindingkan badan agar bisa sampai ke Basecamp. Ah, keinginan yang absurd.

"Bruk!

Tiba-tiba saja tubuhku limbung karena dihantam oleh sesuatu dari arah belakang. Saat terjatuh, aku menduga ini disebabkan oleh Sofi yang pingsan di belakangku.

"Cel!"

Aku tidak tahu kapan tubuh ini berhenti berguling. Hal yang terakhir aku ingat hanya sayup-sayup suara Bian, Rendi, dan Sofi yang memanggil namaku.

Eh, sebentar. Sofi? Bukannya dia yang menabrakku?

***


Tidak ada yang ingin aku tanyakan saat pertama kali aku membuka mata di sebuah ruangan. Aku masih bisa mengenali bangunan tempat aku terbaring adalah Basecamp Palutungan.

Ketiga temanku menyambut dengan wajah semringah. Sofi memelukku erat dan menciumi wajahku secara berlebihan. Mungkin dia terlalu mengkhawatirkanku.

"Yuk, pulang." Bian menjulurkan tangan setelah memastikan bahwa aku sudah kembali pulih.

Mobil pamannya Rendi sudah menjemput. Bian dan Rendi memasukkan barang bawaanku dan Sofi ke dalam bagasi. Aku dan Sofi masuk ke dalam mobil terlebih dahulu.

Pintu samping dibuka oleh Bian. Ia ternyata memilih duduk bertiga di baris kedua SUV ini.

Dua puluh menit pertama, kami masih terdiam. Hingga akhirnya, Rendi yang biasanya tertidur selama perjalanan, menoleh ke arah kami bertiga dan membuka pembicaraan.

"Oke, stop diem-diem kayak gini. Gue tahu ada yang terjadi sama kita selama mendaki. Iya, kan?"

Belum ada tanggapan dari aku, Sofi, maupun Bian.

"Oke, gue dulu yang cerita. Gue denger suara cewek yang bilang 'Berisik, bau' saat kita debat soal bau anyir," ujar Rendi.

"Nah, itu! Gue juga denger. Makannya gue ngomel ke elo. Tapi, yang gue denger itu, suara cowok," timpal Sofi.

"Gue dicolek pas lagi nunggu Sofi pipis. Terus, gue denger suara orang yang setuju dengan gumaman gue. Yang terakhir, pas perjalanan pulang, gue ketimpa benda dari belakang yang gue kira itu Sofi. Setelah itu, gue pingsan lama ya?"

Kulihat mereka bertiga saling bertatapan setelah mendengar ceritaku. Kemudian, Sofi menggenggam lenganku.

"Jadi gini, Cel," ujar Sofi, tetapi seperti berat untuk melanjutkan.

"Gini, Cel." Kini giliran Bian yang menggenggam lenganku yang satunya.

"Sori ya, Cel. Gue nggak suka drama kayak Sofi dan Bian. Intinya aja ya, Cel. Elo ngilang pas izin pipis di perjalanan pulang. Lama, Cel. Ada satu jam lebih," jelas Rendi.

"Gue kok nggak inget kalau gue izin pipis, ya?" Sumpah, aku si detail oriented ini sangat tidak mungkin lupa dengan apa saja yang dilakukan. Terlebih semua terjadi belum lama.

"Setelah lo ketemu, lo jadi aneh. Lo banyak ketawa padahal kita nggak lagi ngelucu. Muka lo juga pucat. Terus, elo tiba-tiba dorong Sofi sampai jatuh," papar Rendi. "Tuh." Rendi menunjuk ke arah lecet di pelipis dan pergelangan tangan Sofi.

"Untungnya, Sofi jatuh nggak jauh dari pos 1 dan kebetulan banyak rombongan lain. Jadi, kita memapah Sofi bergantian," lanjut Rendi.

"Lo tidur pulas saat nunggu Sofi siuman. Di dalam tidur lo, lo sempet mengigau."

Tatapanku mengarah ke Bian karena ia yang melanjutkan cerita.

"Gue ngigau apa?" tanyaku ragu. Seumur hidup, aku tidak pernah mengigau.

"Tolong, teman-teman. Tolong, jangan tinggalin aku."

Kalimat yang diucapkan oleh Rendi membuat suasana di dalam mobil kembali hening dan tegang. Aku pun bingung harus berkomentar apa. Dari semua yang terjadi, aku masih berharap bahwa ini adalah prankyang dibuat ketiga sahabatku.

"Gue nggak marah sama lo, Cel. Gue udah pasrah aja saat lo dorong. Gue malah khawatir sama lo." Sofi memelukku.

"Kalian bikin banyak kesalahan. Sofi buang air dan sampah sembarangan, Rendi melewatkan salat, belum lagi kalian minum-minum pas kedinginan, dan elo, Cel, kira-kira apa kesalahan yang lo buat selama perjalanan kita kali ini?" Tatapan Bian yang murni bertanya, bukan menghakimi, membuat aku mengingat-ngingat apa yang aku pikirkan selama mendaki gunung.

Beberapa saat kemudian, aku muntah tanpa bisa menahannya.



*Gordes adalah singkatan dari gorowok desa. Artinya berbicara keras seperti memakai pengeras suara

**inspired by true story
ceuhettyAvatar border
sebelahblogAvatar border
zafinsyurgaAvatar border
zafinsyurga dan 14 lainnya memberi reputasi
15
4.8K
86
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan