Sumber: sini



Hal inilah yang membuatku antusias ingin mendaki gunung ini. Aku (Firman) bersama tiga orang temanku dari Mapala berencana ingin mendaki gunung Slamet ini pada hari Sabtu. Kami menaiki mobil dengan bak terbuka. Kurang lebih satu jam perjalanan sampailah kami di pos I. Di pos I ini kami diberi pengarahan oleh tim tentang hal-hal apa saja yang diperbolehkan dan dilarang untuk dilakukan selama pendakian.

"Bro. Sebaiknya ransel yang warna kuning itu enggak usah dibawa saja?" kata Firman pada salah satu temannya.

"Kenapa bro? Loe takut ketahuan sama tim senior?" timpal teman pertama.

"Bukan gitu sih. Feelingaku gak enak aja kalo kita tetap kekeh bawa ransel warna kuning itu?" tambah Firman.

"Udahlah. Itu cuma halusinasi loe aja Fir? Calm saja," sahut teman yang kedua.

Firman memang anak baik-baik dan dia cukup percaya dengan mitos yang berkembang di masyarakat. Sementara teman yang lainnya terlalu ngeyel dan keras kepala. Ransel berwarna kuning yang dibawa mereka berisi sejumlah kembang tujuh rupa dan sesaji yang akan dipakai di malam hari apabila mereka tiba di Pos IV. Rupanya mereka ingin bermain-main dengan makhluk tak kasat mata di gunung Slamet ini.

Melewati rute perjalanan menuju ke gunung Slamet ini memang cukup sulit. Di kawasan ini pun susah menemukan sumber mata air. Sehingga para pendaki wajib membawa persediaan air minum yang banyak. Selain itu kabut di kawasan gunung Slamet ini pekat dan berubah-ubah.


Pos II dan III sudah terlewati oleh tim senior, Firman dan tiga teman lainnya. Karena merasa kehausan, Firman beristirahat sejenak di bawah pohon pisang dan meneguk air mineral yang dibawanya. Sementara para pendaki yang lain sesekali saling berbincang sembari mengabadikan momen pendakian.


Dua jam perjalanan yang menguras tenaga. Sampailah para pendaki tersebut di Pos IV. Di Pos IV inilah mereka akan mendirikan tenda sekaligus melepaskan penat dan beristirahat sepuasnya. Tak terasa hari sudah mulai gelap, untung saja tenda yang mereka buat sudah jadi dan siap untuk digunakan.


Hawa dingin mulai menyeruak di Pos IV itu. Jaket tebal yang mereka gunakan cukup membuat para pendaki ini merasa hangat. Tepat jam 12 malam, saat tim senior sudah tertidur lelap. Firman dan teman-temannya mulai beraksi di Pos IV ini. Mereka mulai mengeluarkan benda-benda dari ransel yang berwarna kuning secara diam-diam.

"Hush. Pelan-pelan buka ranselnya Fir.
Nanti ketahuan sama tim senior?" perintah teman kedua.

Kembang tujuh rupa mereka tata rapi di atas selembar daun pisang. Tak lupa mereka menyiapkan sesaji berisi kemenyan yang diletakan di sebuah wadah yang terbuat dari tanah liat. Menurut mitos, aroma kemenyan yang menyengat bisa untuk memanggil makhluk gaib atau makhluk halus. Maka dari itulah mereka menggunakannya untuk memanggil makhluk gaib di area Pos IV tersebut.



Sumber: sini

Teman Firman mulai bersemedi di depan sesaji layaknya melakukan ritual pemanggilan arwah. Tak dipungkiri teman Firman ini memang memiliki kemampuan lebih yang diwariskan dari orang tuanya. Sementara Firman dan dua orang temannya dengan setia menunggunya. Meskipun perasaan takut dan tidak enak berkecamuk di hati Firman, tetapi sebagai sahabat dia tidak ingin berkhianat.

Hawa kian mencekam saat ritual dilakukan. Saat mereka sedang asyik berkonsentrasi tiba-tiba "sesuatu" jatuh dari atas dan menimbulkan suara yang amat keras.

"Bruk!!!!"

"Apaan tuh?" teriak Firman.

"Diam aja loe Fir. Itu tandanya makhluk halus di tempat ini sudah mulai terusik," jawab teman ketiganya.

"Iya. Berisik banget deh. Nanti kalau tim senior bangun bisa gagal misi kita ini?" timpal teman yang kedua.


Sejujurnya Firman menolak dan tidak suka akan ritual seperti ini, karena dia takut hal yang buruk akan menimpa mereka. Benar saja, tak lama kemudian dari arah pohon beringin besar yang jaraknya 200 meter dari tempat ritual, muncullah penampakan makhluk halus. Makhluk halus itu kian lama kian mendekat. Wujudnya seperti hantu pocong, tetapi dalam kondisi muka rusak dan penuh darah.



Sumber: sini

"Astaghfirulloh," ucap Firman ketakutan.

Firman tampak amat ketakutan melihat hantu pocong itu tak jauh dari mereka.

Ia tak sanggup dan tak kuasa lagi dengan ritual ini dan menyuruh temannya untuk segera menghentikannya.

"Udah Bro. Cukup. Aku udah enggak sanggup. Tolong hentikan ritual ini?" pinta Firman memelas.

Sementara penampakan hantu pocong itu tetap ada dan tidak mau pergi. Hantu pocong itu seolah marah karena keberadaannya telah diusik oleh mereka. Hantu pocong itu merasuki teman pertama Firman yang melakukan ritual, sehingga hantu itu bersikukuh tidak mau keluar dari jasadnya sebelum ia meninggal.



Sumber: sini

Sungguh tragis nasib teman Firman tersebut karena harus meregang nyawa akibat ulahnya sendiri. Sebelum ajal menjemput, tim senior yang tahu akan kejadian ini sempat menolong teman Firman dengan berbagai cara. Namun, sayangnya takdir berkata lain. Nyawa teman Firman tidak bisa tertolong.


Akibat kejadian ini pendakian terpaksa dibatalkan. Jenazah teman Firman dibawa turun ke Pos I dengan menggunakan tandu.Tangis haru mengiringi jenazah teman Firman di sepanjang perjalanan. Dalam hati yang paling dalam, mereka amat menyesal karena telah melanggar aturan dan berbuat tidak baik di kawasan gunung Slamet tersebut. Sampai di Pos I jenazah langsung dibawa menggunakan mobil warga untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.

Kini yang ada hanyalah rasa penyesalan dan isak tangis yang mereka dapatkan. Nasi sudah menjadi bubur. Yang pergi tidak bisa datang kembali. Semoga kepergian teman Firman menjadi pelajaran yang berharga untuk kita (terutama para pendaki dan pecinta alam). Bahwa kita tidak boleh berbuat seenaknya sendiri di tempat asing dan melanggar peraturan yang sudah ada.


Cerita ini hanya fiktif belaka. Meskipun nama gunung yang dipakai benar adanya.