- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kabut Misteri Di HM 39


TS
o.best
Kabut Misteri Di HM 39

Kabut Misteri
Di
HM 39
Spoiler for misteri:

Quote:
Gua dan lainnya dari kampus B akan mengadakan Makrab di salah satu gunung dipinggiran ibukota total peserta ada 11 orang, 8 diantaranya termasuk gua yang merupakan MaBa meskipun beberapa sudah ada yang pernah naik gunung, tapi gua salah satu dari mereka yang baru pertama kali naik. Sedangkan yang 3 nya adalah senior dari kampus yang memang sudah sering naik gunung. Sebenarnya rencana naik seharusnya ke rinjani, namun ada satu hal yang menjadi alasan akhirnya dipindahkan untuk makrab di gunung yang dekat saja dari kampus. Perjalanan kita ke tujuan cukuplah lama, karena jarak dari kampus ke area tujuan sekitar 3-6 jam jika jalanan sedang macet-macetnya ditambah jalur pintu masuk pendakian yang akan kita lalui letaknya berada di utara sukabumi jadi kita harus memutar untuk menuju lokasi.
Sekitar pukul 16.00 kita sudah sampai dipintu utama, bang john dan desta membayar sikmasi para peserta 10ribu/orang sedangkan gua dan lainnya memesan kopi diwarung yang tak jauh dari pos pembayaran sambil istirahat. Setelah melakukan pembayaran kami berjalan melalui jalan aspal hingga menemui sebuah gerbang terlihat nampak papan nama pintu masuk berwarna hijau yang sudah berkarat.
"Gini guys, karena di gerbang ini di bagi 2 jalur, nah disini kita mau lewat jalur aspal atau jalur hutan?" ucap bang john ditengah-tengah kami
"Hutan aja biar menantang" sahut suara tia si wanita centil dengan ceplosnya langsung mengatakan hal tersebut
"Ok kalau gitu, sekarang sudah jam16.30 untuk menuju ke pos berikutnya'" ucap bang john memberi arah
Sepanjang perjalanan ternyata jalan yang ditempuh tidak semudah yang dipikirkan, jalanan licin bertanah dan berbatu ditambah beberapa tanjakan cukup curam.
"Lu pegangan tali yang kuat det, karena tumpuannya cuma di sini hati-hati sama pijakan kaki karena kemiringan sekitar 70° jadi andalannya di tangan dan kaki lu" ucap bang john mengarahkan peserta wanita, oiya ada 3 wanita yang ikut dalam pendakian ini, Tia, Deti dan Tasya.
"Begini ya bang?" tanya deti perlahan mengambil aba-aba untuk naik keatas.
"Nah iya benar tarik talinya ke atas pakai tangan kiri dan tangan kanan tahan tali yang dibelakanglu sambil kaki cari pijakan, yang lain bantu senterin biar terang, woi des bantu tahan tali dari atas ya" bang john memberi arah.
"Ok siap john" desta berteriak memegang tali dengan badannya memeluk pohon agar dapat memberikan tahanan.
Satu persatu naik menggunakan tali di arahkan oleh bang john, meski gelap gulita namun dia benar-benar mengarahkan juniornya dengan baik. Setelah melewati berbagai rintangan kita menuju ke HM 39, suasana yang gelap gulita membuat jalan yang ditempuh sulit untuk dilihat. Gua ke 2 dari belakang bersama bang desta, memegang senter mengarahkan kedepan namun ada hal yang membuat gua bingung, seingat gua ada 11 peserta yang ikut, gua hitung dari depan menggunakan senter total ada 12 orang disini, gua kebingungan hingga ke 3 xnya gua mengulang hitung hasilnya tetap 12.
"Bang, kita 11 orang kan?" tanya gua menoleh ke bang desta dengan nafas sedikit ngos-ngosan
"Iya, kenapa emang?" jawab bang desta
"Ko gua hitung ada 12 sih"
"Aah salah ngitung x lu, emang kelihatan gelap gini?"
"Benaran bang, gua jadi ingat tadi waktu lu sama bang john pas bayar sikmasi, kan kita-kita ngopi diwarung tuh, nah yang jual kakek-kakek tua ngomongnya pakai bahasa sunda dia bilang kalau naik ke atas jangan ganjil, biasanya ada yang nemenin"
"Yaudh jalan aja dulu bentar lagi sampai, nanti lu hitung lagi dah"
Sekitar setengah jam kemudian kita sampai di HM 39 jam sudah menunjukan pukul 22.00, Setelah pendakian yang cukup lama dan melelahkan akhirnya kita bisa istirahat dan mendirikan tenda.
Gua masih penasaran dengan yang dihitung tadi, kini semua sudah berkumpul. Gua hitung lagi ternyata benar ada 12, gua lihat yang memakai baju hijau sendirian berjalan ke atas masuk kesemak-semak.
"Bang itu siapa yang pakai baju hijau?" tanya gua ke bang john
"Mana?"
"Itu bang yang lagi jalan keatas"
Bang john melirik yang gua tunjuk, dia merasa sesuatu yang janggal dan mengecheck kembali para peserta hasilnya semua lengkap tapi ada 1 peserta tambahan yang tak terduga.
"Lengkap semua, Udah bes jangan dihiraukan, mungkin penghuni sini ikut gabung kita"
"Iiiii..aaaa bang" terpatah-patah gua menjawab, badan guapun langsung merinding sampai ke kepala ternyata ada makhluk lain yang menemani sepanjang perjalanan tadi.
Akhirnya bang john memutuskan untuk memberhentikan pendakian dan melanjutkan ke puncak pada dini hari dikarenakan kondisi langit yang gelap gulita dan cuacanya yang mulai dingin serta badan yang lainnya sudah pada kelelahan. Ditambah jalur yang cukup terjal dilewati serta beberapa peserta yang ikut pun harus diobati karena terkena serangan lintah dikakinya.
----------===----------
"Ahhh.. ini baru kopi" ucap gua melepas hawa dingin yang menusuk tubuh dengan segelas kopi hangat yang dimasak dengan katel kecil.
"Enak ya, bagi gua dong" bang john menepuk pundak gua dari belakang.
Gua dan bang john pindah ke sebuah pohon besar sambil memandangi yang lainnya, mereka asyk memainkan ukulele didepan api unggun sambil bernyanyi-nyanyi.
Gua duduk sedikit lebih mundur dari bang john dengan menyeruput segelas kopi namun tiba-tiba angin dingin menerpa tengkuk leher, gua coba lirik rerumputan yang cukup tinggi disebelah kanan tapi tak goyang, beberapa kali gua gesek-gesekan dengan telapak tangan ke leher, namun semakin lama hembusan tersebut semakin kencang. Bulu kuduk gua mulai berdiri kepala gua menggigil merinding. Gua bergeser perlahan mendekati bang john, tapi hembusan angin tersebut semakin kencang menerpa kuping.
Mata gua mencuri dikit sedikit ke pundak kanan sekilas bayangan hitam terlihat dibelakang , gua palingkan wajah kekiri melihat bang john yang masih memandang kedepan. Mulut dan tubuh gua kaku ga bisa digerakin tiba-tiba bisikan suara di belakang terdengar sangat jelas "Tolooongg bang toloooong", Gua jatuhkan tubuh ke bang john mendengar suara tersebut.
"Eeeh, kenapa lu bes?" bang john kaget memegang gua
"Luuu tiaaa."
"Hahahaha Duaan aja lu kaya pacaran sesama jenis ngumpet-ngumpet" ucap tia berdiri di semak-semak kepalanya nongol sambil tertawa terbahak-bahak.
"Emang setan!!!" grutu gua kesal melihat tia yang tertawa, rasanya jantung mau copot deg-degan pake banget badan gua lemas tersungkur ke bang john.
"Adawwwww aaahhhh..." jerit Tia keluar dari semak-semak dibelakang gua
"Kenapa lu?" tanya bang john berdiri menghampiri
"Kaki gua digigit ular john" Tia menunjuk ke kaki, ularnya masih menempel kemudian bang john dengan sigap memegang leher kepala ular tersebut mencopotnya dari kaki si Tia.
"Wanjrit sanca kembang, bes gendong Tia ke tenda ambil kotak P3K tanya ma yang lain ditas siapa" ucap bang john panik memegang kepala ular.
Gua menggendong Tia, dan membawanya ke teman lainnya didekat api unggun. Gua lirik bang john masih memegangi ularnya dan melemparkannya ke api, namun hal aneh terjadi sebelum masuk ke api, ular tersebut tiba-tiba menghilang.
Gua mulai merasakan sesuatu yang tidak beres dari awal mendaki sampai sekarang. Bang john membawa 2 batang kayu kemudian diikatnya ke kaki Tia, sebelumnya ia memberikan beberapa obat luka dan memperbankan kakinya.
Setelah selesai mengobati Tia, kita semua berkumpul didepan api unggun mengobrol satu sama lain. Namun Tia tertidur lemas di depan tenda tak jauh dari kita hanya berjarak setengah meteran, badannya berkeringat cukup banyak saat dipegang tubuhnya dingin.
"Bang, bagaimana ini?" tanya Tasya kepada bang John melihat kondisi Tia seperti itu, membuat dia semakin khawatir akan keselamatannya.
"Yang cewe peluk Tia, sepertinya dia terserang Hipotermia, jaga tubuhnya biar hangat jangan sampai dia menggigil" ucap bang John menyuruh para wanita segera menghangatkan Tia.
"Siiiaaappaa yangg lllaaggii nnyyeetteel ggaammeellaan?" ucap samar-samar Tia, mulutnya bergetar menggigil.
"Ah? Gamelan? Maksud lu apa ti?" tanya Tasya ke Tia
"Gguuaaa ddeenngeeerr ssuuaarraa mmuussiikkk ggaammeellaan" jawab Tia
"Ahh..jangan ngigo gitu lah lu, lagi kaya gini ngomongnya ngaco" sahut Deti dengan nada khawatir
"Woi lihat itu si Dinar kenapa nari-nari?" teriak Tesa mengagetkan semua mata yang lagi tertuju ke Tia.
Dinar sedang berdiri di sebuah batu yang cukup jauh dari tenda tangannya meleok-leok lunglai seperti penari jaipong matanya melotot kosong dengan tajam.
Bang John, Desta, Tesa dan Gua berlari menghampiri Dinar.
Tiba-tiba kabut turun dengan cepat dari berbagai arah menutupi semua area kami, sulit untuk melihat kedepan karena jarak pandang kurang dari 1 meter itupun masih berbayang.
"Wooii kalian dimana?" suara teriakan dari kami satu persatu
"kalian masih bisa lihat api ga?" teriak bang John memberi arah, kabut benar-benar lebat menutup semua jarak pandang.
"Itu si Dinar dipegang jangan sampai lepas, siapa aja tolong teriiaaakk hitungan" suara bang Desta terdengar cukup keras
"Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan, Sembilan, Sepuluh, Sebelas, Dua Belas" teriak para peserta
"Woi lu jangan nakut-nakutin, kita cuma 11 orang" teriak Desta.
"Tia Gua Yang wakilin teriak, Tujuh sama Delapan" teriak Deti.
"Senter woi senter, dikantong kalian keluarin senternya itu kita taruh masing-masing di saku untuk berjaga-jaga, kasih tanda kedipin" teriak Gua.
Suara kami beradu menembus kabut tebal yang menutupi, suasana panik menyelimuti kami dari berbagai hal-hal aneh yang terjadi.
Suara gamelan yang didengar oleh Tia kini didengar oleh semua peserta.
"Kalian dengar ga itu?" ucap salah satu dari kami
"Eh busyet tengah hutan gini sapa yang nanggep sinden"
"Jangan panik, Semuanya ngumpul arahkan senter ke depan, patokan cahaya senter ya" teriak bang john dari suaranya yang kita kenal
Kamipun berkumpul didepan api unggun yang samar-samar cahayanya menembus asap, suara musik gamelan terus terdengar semakin lama semakin kencang. Rasa was-was, ketakutan membuat kami panik tidak ketulungan.
"Semuanya sudah ngumpul kan?" ucap bang john suaranya terdengar didekat kami
"Kabutnya masih tebal, semuanya pegangan tangan sebut nama kalian satu persatu hapalkan teman disamping kalian jangan sampai lupa, mulai dari kanan" ucap bang desta untuk kembali mengecheck peserta.
"John, Desta, Tesa, Dinar(yang nyebut Tesa), Obes(gua), Tasya, Tia(yang nyebut Deti), Deti, Tio, Angga, Samsul, Pangku wibawa"
"Jjjjllleeebbb!!!"
Semua langsung terdiam ditengah kabut tebal yang menutupi,
"Seeeeettaaaan!!!!!" Teriak Samsul panik berlari kedepan menabrak gua
Kondisi semakin kacau.
"Sul, tenang sul jangan panik" ucap Angga yang kemudian malah ikutan lari ke arah gua, karena tangannya tertarik samsul.
"Semuanya tenang, kita baca doa masing-masing entah dalam hati atau teriak bacanya, pokoknya sekarang semua baca doa" ucap Deti yang masih memeluk Tia, mencoba menenangkan suasana.
Suasana saat itu benar-benar penuh dengan ketakutan dan kepanikan yang luar biasa, suara gamelan yang terus nyaring menemani kabut lebat. Kami hanya bisa berdoa kepada yang Maha Kuasa agar diberikan keamanan dan keselamatan.
Waktu terus berjalan tak terduga entah apa yang terjadi hingga tiba-tiba kami terbangun dengan sinar matahari yang menyengat menampar kulit.
"Loh ko sudah pagi? Bang john, bang Desta, bangun semuaa ayo bangun" ucap Tio dalam hati dengan kaget membangunkan semuanya yang tertidur didepan api unggun tanpa alas apapun.
Entah apa yang sebenarnya terjadi malam itu saat kabut tebal menyelimuti, suara gamelan, hingga sosok seseorang masuk dalam kelompok kami, bahkan si Dinar dan Tia pun saat pagi tiba dia sudah sehat tanpa merasakan apapun. Kami memutuskan untuk melanjutkan ke puncak karena jaraknya sekitar 1 jam pendakian, dan tidak sampai berlama-lama di puncak gunung tersebut kami memutuskan hari itu pun untuk turun agar tidak terjadi hal-hal mistis yang terulang lagi.
Sekitar pukul 16.00 kita sudah sampai dipintu utama, bang john dan desta membayar sikmasi para peserta 10ribu/orang sedangkan gua dan lainnya memesan kopi diwarung yang tak jauh dari pos pembayaran sambil istirahat. Setelah melakukan pembayaran kami berjalan melalui jalan aspal hingga menemui sebuah gerbang terlihat nampak papan nama pintu masuk berwarna hijau yang sudah berkarat.
"Gini guys, karena di gerbang ini di bagi 2 jalur, nah disini kita mau lewat jalur aspal atau jalur hutan?" ucap bang john ditengah-tengah kami
"Hutan aja biar menantang" sahut suara tia si wanita centil dengan ceplosnya langsung mengatakan hal tersebut
"Ok kalau gitu, sekarang sudah jam16.30 untuk menuju ke pos berikutnya'" ucap bang john memberi arah
Sepanjang perjalanan ternyata jalan yang ditempuh tidak semudah yang dipikirkan, jalanan licin bertanah dan berbatu ditambah beberapa tanjakan cukup curam.
"Lu pegangan tali yang kuat det, karena tumpuannya cuma di sini hati-hati sama pijakan kaki karena kemiringan sekitar 70° jadi andalannya di tangan dan kaki lu" ucap bang john mengarahkan peserta wanita, oiya ada 3 wanita yang ikut dalam pendakian ini, Tia, Deti dan Tasya.
"Begini ya bang?" tanya deti perlahan mengambil aba-aba untuk naik keatas.
"Nah iya benar tarik talinya ke atas pakai tangan kiri dan tangan kanan tahan tali yang dibelakanglu sambil kaki cari pijakan, yang lain bantu senterin biar terang, woi des bantu tahan tali dari atas ya" bang john memberi arah.
"Ok siap john" desta berteriak memegang tali dengan badannya memeluk pohon agar dapat memberikan tahanan.
Satu persatu naik menggunakan tali di arahkan oleh bang john, meski gelap gulita namun dia benar-benar mengarahkan juniornya dengan baik. Setelah melewati berbagai rintangan kita menuju ke HM 39, suasana yang gelap gulita membuat jalan yang ditempuh sulit untuk dilihat. Gua ke 2 dari belakang bersama bang desta, memegang senter mengarahkan kedepan namun ada hal yang membuat gua bingung, seingat gua ada 11 peserta yang ikut, gua hitung dari depan menggunakan senter total ada 12 orang disini, gua kebingungan hingga ke 3 xnya gua mengulang hitung hasilnya tetap 12.
"Bang, kita 11 orang kan?" tanya gua menoleh ke bang desta dengan nafas sedikit ngos-ngosan
"Iya, kenapa emang?" jawab bang desta
"Ko gua hitung ada 12 sih"
"Aah salah ngitung x lu, emang kelihatan gelap gini?"
"Benaran bang, gua jadi ingat tadi waktu lu sama bang john pas bayar sikmasi, kan kita-kita ngopi diwarung tuh, nah yang jual kakek-kakek tua ngomongnya pakai bahasa sunda dia bilang kalau naik ke atas jangan ganjil, biasanya ada yang nemenin"
"Yaudh jalan aja dulu bentar lagi sampai, nanti lu hitung lagi dah"
Sekitar setengah jam kemudian kita sampai di HM 39 jam sudah menunjukan pukul 22.00, Setelah pendakian yang cukup lama dan melelahkan akhirnya kita bisa istirahat dan mendirikan tenda.
Gua masih penasaran dengan yang dihitung tadi, kini semua sudah berkumpul. Gua hitung lagi ternyata benar ada 12, gua lihat yang memakai baju hijau sendirian berjalan ke atas masuk kesemak-semak.
"Bang itu siapa yang pakai baju hijau?" tanya gua ke bang john
"Mana?"
"Itu bang yang lagi jalan keatas"
Bang john melirik yang gua tunjuk, dia merasa sesuatu yang janggal dan mengecheck kembali para peserta hasilnya semua lengkap tapi ada 1 peserta tambahan yang tak terduga.
"Lengkap semua, Udah bes jangan dihiraukan, mungkin penghuni sini ikut gabung kita"
"Iiiii..aaaa bang" terpatah-patah gua menjawab, badan guapun langsung merinding sampai ke kepala ternyata ada makhluk lain yang menemani sepanjang perjalanan tadi.
Akhirnya bang john memutuskan untuk memberhentikan pendakian dan melanjutkan ke puncak pada dini hari dikarenakan kondisi langit yang gelap gulita dan cuacanya yang mulai dingin serta badan yang lainnya sudah pada kelelahan. Ditambah jalur yang cukup terjal dilewati serta beberapa peserta yang ikut pun harus diobati karena terkena serangan lintah dikakinya.
----------===----------
Spoiler for klik listen browser sebelum membaca:
"Ahhh.. ini baru kopi" ucap gua melepas hawa dingin yang menusuk tubuh dengan segelas kopi hangat yang dimasak dengan katel kecil.
"Enak ya, bagi gua dong" bang john menepuk pundak gua dari belakang.
Gua dan bang john pindah ke sebuah pohon besar sambil memandangi yang lainnya, mereka asyk memainkan ukulele didepan api unggun sambil bernyanyi-nyanyi.
Gua duduk sedikit lebih mundur dari bang john dengan menyeruput segelas kopi namun tiba-tiba angin dingin menerpa tengkuk leher, gua coba lirik rerumputan yang cukup tinggi disebelah kanan tapi tak goyang, beberapa kali gua gesek-gesekan dengan telapak tangan ke leher, namun semakin lama hembusan tersebut semakin kencang. Bulu kuduk gua mulai berdiri kepala gua menggigil merinding. Gua bergeser perlahan mendekati bang john, tapi hembusan angin tersebut semakin kencang menerpa kuping.
Mata gua mencuri dikit sedikit ke pundak kanan sekilas bayangan hitam terlihat dibelakang , gua palingkan wajah kekiri melihat bang john yang masih memandang kedepan. Mulut dan tubuh gua kaku ga bisa digerakin tiba-tiba bisikan suara di belakang terdengar sangat jelas "Tolooongg bang toloooong", Gua jatuhkan tubuh ke bang john mendengar suara tersebut.
"Eeeh, kenapa lu bes?" bang john kaget memegang gua
"Luuu tiaaa."
"Hahahaha Duaan aja lu kaya pacaran sesama jenis ngumpet-ngumpet" ucap tia berdiri di semak-semak kepalanya nongol sambil tertawa terbahak-bahak.
"Emang setan!!!" grutu gua kesal melihat tia yang tertawa, rasanya jantung mau copot deg-degan pake banget badan gua lemas tersungkur ke bang john.
"Adawwwww aaahhhh..." jerit Tia keluar dari semak-semak dibelakang gua
"Kenapa lu?" tanya bang john berdiri menghampiri
"Kaki gua digigit ular john" Tia menunjuk ke kaki, ularnya masih menempel kemudian bang john dengan sigap memegang leher kepala ular tersebut mencopotnya dari kaki si Tia.
"Wanjrit sanca kembang, bes gendong Tia ke tenda ambil kotak P3K tanya ma yang lain ditas siapa" ucap bang john panik memegang kepala ular.
Gua menggendong Tia, dan membawanya ke teman lainnya didekat api unggun. Gua lirik bang john masih memegangi ularnya dan melemparkannya ke api, namun hal aneh terjadi sebelum masuk ke api, ular tersebut tiba-tiba menghilang.
Gua mulai merasakan sesuatu yang tidak beres dari awal mendaki sampai sekarang. Bang john membawa 2 batang kayu kemudian diikatnya ke kaki Tia, sebelumnya ia memberikan beberapa obat luka dan memperbankan kakinya.
Spoiler for klik sebelum membaca:
Setelah selesai mengobati Tia, kita semua berkumpul didepan api unggun mengobrol satu sama lain. Namun Tia tertidur lemas di depan tenda tak jauh dari kita hanya berjarak setengah meteran, badannya berkeringat cukup banyak saat dipegang tubuhnya dingin.
"Bang, bagaimana ini?" tanya Tasya kepada bang John melihat kondisi Tia seperti itu, membuat dia semakin khawatir akan keselamatannya.
"Yang cewe peluk Tia, sepertinya dia terserang Hipotermia, jaga tubuhnya biar hangat jangan sampai dia menggigil" ucap bang John menyuruh para wanita segera menghangatkan Tia.
"Siiiaaappaa yangg lllaaggii nnyyeetteel ggaammeellaan?" ucap samar-samar Tia, mulutnya bergetar menggigil.
"Ah? Gamelan? Maksud lu apa ti?" tanya Tasya ke Tia
"Gguuaaa ddeenngeeerr ssuuaarraa mmuussiikkk ggaammeellaan" jawab Tia
"Ahh..jangan ngigo gitu lah lu, lagi kaya gini ngomongnya ngaco" sahut Deti dengan nada khawatir
"Woi lihat itu si Dinar kenapa nari-nari?" teriak Tesa mengagetkan semua mata yang lagi tertuju ke Tia.
Dinar sedang berdiri di sebuah batu yang cukup jauh dari tenda tangannya meleok-leok lunglai seperti penari jaipong matanya melotot kosong dengan tajam.
Bang John, Desta, Tesa dan Gua berlari menghampiri Dinar.
Tiba-tiba kabut turun dengan cepat dari berbagai arah menutupi semua area kami, sulit untuk melihat kedepan karena jarak pandang kurang dari 1 meter itupun masih berbayang.
"Wooii kalian dimana?" suara teriakan dari kami satu persatu
"kalian masih bisa lihat api ga?" teriak bang John memberi arah, kabut benar-benar lebat menutup semua jarak pandang.
"Itu si Dinar dipegang jangan sampai lepas, siapa aja tolong teriiaaakk hitungan" suara bang Desta terdengar cukup keras
"Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan, Sembilan, Sepuluh, Sebelas, Dua Belas" teriak para peserta
"Woi lu jangan nakut-nakutin, kita cuma 11 orang" teriak Desta.
"Tia Gua Yang wakilin teriak, Tujuh sama Delapan" teriak Deti.
"Senter woi senter, dikantong kalian keluarin senternya itu kita taruh masing-masing di saku untuk berjaga-jaga, kasih tanda kedipin" teriak Gua.
Suara kami beradu menembus kabut tebal yang menutupi, suasana panik menyelimuti kami dari berbagai hal-hal aneh yang terjadi.
Suara gamelan yang didengar oleh Tia kini didengar oleh semua peserta.
"Kalian dengar ga itu?" ucap salah satu dari kami
"Eh busyet tengah hutan gini sapa yang nanggep sinden"
"Jangan panik, Semuanya ngumpul arahkan senter ke depan, patokan cahaya senter ya" teriak bang john dari suaranya yang kita kenal
Kamipun berkumpul didepan api unggun yang samar-samar cahayanya menembus asap, suara musik gamelan terus terdengar semakin lama semakin kencang. Rasa was-was, ketakutan membuat kami panik tidak ketulungan.
"Semuanya sudah ngumpul kan?" ucap bang john suaranya terdengar didekat kami
"Kabutnya masih tebal, semuanya pegangan tangan sebut nama kalian satu persatu hapalkan teman disamping kalian jangan sampai lupa, mulai dari kanan" ucap bang desta untuk kembali mengecheck peserta.
"John, Desta, Tesa, Dinar(yang nyebut Tesa), Obes(gua), Tasya, Tia(yang nyebut Deti), Deti, Tio, Angga, Samsul, Pangku wibawa"
"Jjjjllleeebbb!!!"
Semua langsung terdiam ditengah kabut tebal yang menutupi,
"Seeeeettaaaan!!!!!" Teriak Samsul panik berlari kedepan menabrak gua
Kondisi semakin kacau.
"Sul, tenang sul jangan panik" ucap Angga yang kemudian malah ikutan lari ke arah gua, karena tangannya tertarik samsul.
"Semuanya tenang, kita baca doa masing-masing entah dalam hati atau teriak bacanya, pokoknya sekarang semua baca doa" ucap Deti yang masih memeluk Tia, mencoba menenangkan suasana.
Suasana saat itu benar-benar penuh dengan ketakutan dan kepanikan yang luar biasa, suara gamelan yang terus nyaring menemani kabut lebat. Kami hanya bisa berdoa kepada yang Maha Kuasa agar diberikan keamanan dan keselamatan.
Waktu terus berjalan tak terduga entah apa yang terjadi hingga tiba-tiba kami terbangun dengan sinar matahari yang menyengat menampar kulit.
"Loh ko sudah pagi? Bang john, bang Desta, bangun semuaa ayo bangun" ucap Tio dalam hati dengan kaget membangunkan semuanya yang tertidur didepan api unggun tanpa alas apapun.
Entah apa yang sebenarnya terjadi malam itu saat kabut tebal menyelimuti, suara gamelan, hingga sosok seseorang masuk dalam kelompok kami, bahkan si Dinar dan Tia pun saat pagi tiba dia sudah sehat tanpa merasakan apapun. Kami memutuskan untuk melanjutkan ke puncak karena jaraknya sekitar 1 jam pendakian, dan tidak sampai berlama-lama di puncak gunung tersebut kami memutuskan hari itu pun untuk turun agar tidak terjadi hal-hal mistis yang terulang lagi.
Sekian kisah misteri tentang Kabut Misteri di HM 39.
Jangan lupa memberikan kesan dan pesannya.
"Ada hal terindah bukan karena keeksotisannya, tapi karena pengalamannya membuat kita paham bagaimana Tuhan menjaga bumi tetap seimbang"






fidyani76671 dan 12 lainnya memberi reputasi
13
4.1K
Kutip
59
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan