Kaskus

Entertainment

indahmamiAvatar border
TS
indahmami
Pasar Bubrah Pendakian Gunung Merapi
Pasar Bubrah Pendakian Gunung Merapi



Pasar Bubrah Pendakian Gunung Merapi

Sumber: canva




Awan terlihat begitu putih bercorak biru langit memanjang menghiasi cakrawala. Pohon-pohon rimbun dengan dahan beraneka membentuk deretan kursi bambu usang bercorak coklat tua. Sungguh tempat duduk yang nyaman untuk menanti seorang teman. Lalu, rumah joglo khas bercat putih yang tak pernah berubah.


"Zhe, si Mila ikut enggak sih? Jam segini ko' belum datang. Keburu siang nih," gerutu Johan si pria tampan.

"Entahlah, aku pun tidak tahu. Di-WA dari tadi enggak balas tuh," jawab Zhe sambil menggedikan bahu acuh.

"Sudahlah, percuma juga tanya kamu." Bangkit dari kursi berjalan masuk rumah.

"Duuhhh ... si Mila bener-bener kebangetan. Udah telat, nggak kabar-kabar pula." Sonia mulai jengah lalu kembali main hp berlambang apel setengah.

"Udah, malah pada berantem. Kita tungguin aja. Kalau sampai jam 12 masih belum datang, tinggal saja. Keburu malam kita naik," jelas Irul.

Kami mengangguk sepakat dengan penjelasan Irul.

"Aku udah ngecek perlengkapan kita, semoga nggak ada yang ketinggalan. Bisa berabe kalau sampai ada yang kurang." Syarif keluar mobil dengan membawa segelas kopi hangat.

"Ngopi terus kau, Rif. Emang ngantuk?" tanya Zhe.

"Enggak juga sih, buat tenaga aja Zhe. Biar kuat menghadapi kenyataan. Eaaa...." canda Syarif.

"Dasar! Masih sempet aja ngegombal." Zhe geleng-geleng heran.

"Jojo kemana, Son? Cowok lu ngilang-ngilang terus kaya setan," kata Syarif.

"Sembarangan kalau ngomong! Noh, masuk rumah," jawab Sonia.

"Ada apa ribut-ribut gini?" Datang langsung duduk samping Sonia.

"Tahu tuh si Syarif, ngomel mulu kaya cewek pms," gerutu Sonia.

"Enak aja, emang gue bencong melambai-lambai," sanggah Syarif.

"Udah, udah, kalian berdua malah ribut mulu. Fokus nungguin Mila nih," potong Zhe.

"Nah, itu baru betul," bela Syarif.

"Betul, betul aja kau Rif," ucap Sonia.

"Mbuhlah, capek aku ngomong," Zhe memutar bola mata malas dibalas cengiran yang lain.

"Btw belum kasih kabar juga si Mila? Tuh anak niat ikut enggak sih?" tanya Johan.


Zhe hendak menjawab tiba-tiba cewek cantik dengan tinggi 160, tubuh langsing, dan rambut panjang semampai turun dari ojek.


"Sory gaeesss, aku telat," ucapnya tanpa berdosa.

"Gw kira enggak ikut lu, ditungguin kagak nongol juga."

"Sory, Rif. Nungguin ojek tuh. Pan kamu tahu sendiri aku enggak bolehin bawa motor ma bapak."

"Iya deh, iya. Ya udah buruan kita berangkat sekarang. Mobil gue udah nungguin dari tadi."


Mereka pun masuk ke dalam mobil. Perjalanan panjang dari Weru Sukoharjo menuju Merapi membutuhkan satu setengah jam perjalanan. Selama di dalam mobil, semua menyibukan diri masing-masing. Malahan ada yang udah mimpi ketemu pangeran pujaan hati.


"Kamu nggak tidur Zhe? Temenmu aja pada tidur," tanya Irul.

"Enggak ah, lagi pula nggak ngantuk pula." cumirik kesamping.

Dasar tukang molor, batin Zhe


Perjalanan menuju gunung merapi lumayan jauh dan menguras waktu. Melewati banyak perumahan warga dan toko-toko sepanjang jalan. Kota semakin berubah, tapi persaudaraan masih bertahan.

"Nah, kita udah sampai," jelas Syarif memakirkan mobil setelah melewati gerbang Desa Selo.

"Woy, pada bangun. Dasar cewek-cewek tukang molor. Mobilan dikit aja langsung molor," protes Irul.

"Apaan sih, Rul. Rese banget deh," protes Mila.

"Iya, kagak jelas banget dah," imbuh Sonia.

"Udah sayang, ngomel-ngomel mulu dari tadi," protes Johan keluar mobil.

"Hay, kalian mau berantem aja di mobil atau mau ikut keluar terus mendaki? Capek lihat drama mulu," protes Zhe.

"Peace Zhe! Kalau ngomel makin syantik aja kamu," rayu Irul.

"Halah! Gombal Rul!" Memutar bola mata jengah.

"Yuk, kita ke sana dulu ya gaeess. Udah sampai ke Base Camp, aku mau laporan dulu ke pos." Johan dan Syarif pamit ke pos Base Camp. Kami mengangguk barengan tanda setuju.

"Gimana kalau kita beli makanan dulu? Lumayan pengganjal perut," tanya Irul.

"Okelah, aku ikut. Kalian berdua ikut nggak?" tanya Zhe pada Mila dan Sonia.

"Enggak ah, kita di sini mau mainan hp. Nitip aja deh, aku nitip makanan. Kalau kamu, Son?" tanya Mila.

"Sama, aku juga." Sonia dan Mila ngasih uang.

"Ya udah, kita tinggal dulu. Kalian berdua jangan kemana-mana."

"Beres." Sambil acunngkan jempol bersama.

"Kompak banget urusan mager tuh bocah," Irul geleng-geleng kepala.

"Biasa aja kali, mereka berdua kan emang gitu," ucap Zhe.

Berjalan sampai di depan hik (tempat tongkrongan).

"Bu, pesen es teh 2. Aku mau makan dulu, lapar belum sarapan," kata Irul.

"Makan aja, aku tungguin ko'. Aku ngemil sambil beliin titipan Mila ma Sonia," jawab Zhe dibalas anggukan.


Sambil nungguin Irul makan, Zhe berbincang-bincang dengan ibu warung. Sekedar basa-basi untuk mengakrabkan diri, kalian kan tahu indonesia terkenal akan keramah tamahannya.


"Semua berapa, Bu?" tanya Irul.

"50 ribu, Mas. Sama yang di bungkus Mbanya," jelas Ibu.

"Ini Bu, makasih,"

"Sama-sama Mas."

Berjalan menuju parkiran, Johan dan Syarif masih saja belum nampak.

"Son, Jojo belum datang juga? Lama banget?" tanya Irul.

"Iya, belum datang. Nggak tahu ngapain, tadi kan bilangnya mau laporan," jawab Sonia.

"Gimana kalau kita susul aja? Daripada nungguin di sini tanpa kepastian?" tanya Mila.

"Kamu curhat, Mil?" Goda Zhe.

"Enak aja, curhat apa pula." Lempar kacang.

"Enggak kena, wleekkk."

"Biarin!"

Mereka menyusul Johan dan Syarif ke basecamp.

"Pemandangannya indah yah?" kata Mila.

"Iya dong, meski merapi masih aktif. Tapi pesonanya bikin pecinta alam selalu datang untuk mendaki," jelas Zhe.

"Bener tuh, Zhe. Kita berdo'a aja semoga pendakian aman, lancar, dan selamat pulang dan pergi," imbuh Irul.

"Emang kenapa Rul?" tanya Sonia penasaran.

"Enggak apa-apa, setiap tempat kan berdampingan dengan alam lain. Jadi harus memberikan salam dan jangan berbuat aneh-aneh," jelas Irul.


Mereka bertiga mengangguk tanda sepakat dan setuju. Karena setiap tempat selalu ada penunggunya. Jadi harus berperilaku yang baik dan sopan, dimanapun kaki melangkah.


"Sory, kita lama. Kita berdua udah laporan sama petugas. Jadi mengantisipasi kalau sampai terjadi sesuatu, mereka langsung bertindak. Kita naik gunung 3 hari aja. Enggak usah lama-lama," jelas Johan.


"Bener tuh kata Brader. Jadi lu semua harus menjaga norma dan kesopanan. Apalagi di alam bebas begini, ada apa-apa langsung laporan tapi jangan manja juga," imbuh Syarif.


"Siap bos!" jawab serempak.

Mereka serempak melanjutkan perjalanan mendaki ke pos yang lebih atas. Banyak wejangan dijelaskan oleh Johan dan Syarif pada saat melapor ke post basecamp.

Sebenernya di sekitaran basecamp banyak yang jualan pernak-pernik souvenir khas gunung merapi, tapi mereka sepakat untuk tidak membeli. Baru datang masa mau shoping? Jadi mereka putuskan jika pulang saja.

Semua perlengkapan terbawa dengan aman, jadi nggak perlu risau memikirkan stok persediaan.

Sesekali kaum cewek istirahat sekedar untuk minum. Yah, ini pendakian pertama untuk mereka semua. Kecuali untuk Johan dan Syarif, mereka berdua ikut komunitas pecinta alam. Mendaki seperti ini sudah biasa.


"Sayang, kamu capek yah? Istirahat dulu gimana?" tanya Johan.

"Enggak usah, Sayang. Aku masih kuat," kata Sonia.


"Ya udah, kalau capek bilang," imbuh Johan dibalas anggukan.


"Yaelah, di tempat kaya gini sempat-sempatnya mesraan gitu," gerutu Irul.

"Biasa aja kali, Rul. Jomblo mah ngiri dah," balas Mila.

"Dasar!"

"Apa?"

"Heh, kalian malah ribut-ribut. Cepet lanjutin perjalanan lagi," protes Zhe.

"Siap Ibu Cantik," goda Irul.

Dasar bocah labil! batin Zhe sambil memutar bola mata dengan malas.


Perjalanan mereka lanjutkan menuju Joglo dengan jalur yang masih aspal walaupun harus menanjak dengan waktu tempuh yang tidak bisa ditentukan. Seharusnya sih lebih cepat, tapi beberapa dari mereka pemula dan amatir. Jadi agak ngaret sedikit sampai di bangunan rumah khas ornamen jawa.


Rumah berbentuk joglo dengan guratan pahatan seni indah pada tiang-tiang penyanggah. Warna yang begitu aksen dengan ciri khas rumah kebanyakan orang jawa. Teras yang luas untuk sekedar istirahat dan menikmati pemandangan alam di sekitar. Bahkan Gunung Merbabu sangat tampak begitu jelas.

Pasar Bubrah Pendakian Gunung Merapi

Sumber: Instagram

"Wah, keren banget rumahnya. Mana tuh gunung Merbabu juga kelihatan. Duuhhh ... indah banget gaeesss," Mila histeris.

"Iya, lihat noh. Jalan raya juga kelihatan dari sini. Bener-bener view yang mengagumkan. Enggak sia-sia kita mendaki, Yang," imbuh Sonia.

"Bener banget gaesss. Pemandangan di sini kelihatan semuanya," kata Zhe.

Jangan tanya para cowok kemana? Mereka lagi serius ngecek perbekalan kami lagi.

"Oke, semua udah lengkap dan aman. Kita udah cukup istirahat. Langsung lanjut lagi, takut kemalaman di pos selanjutnya," ajak Johan.

"Nah, bener banget tuh. Lagian baru naik aja istirahat terus. Kapan sampainya?" protes Irul.


Matahari mulai condong ke arah barat, bayangan dari pohon-pohon mulai nampak miring. Jalan yang di lalui pun hanya tinggal setapak. Melanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya, yaitu pos Tugu 1. Jalanan mulai bebatuan dengan kerikil-kerikil kecil tak seperti tadi yang aspal.


"Indah banget yah, lihat para penduduk sedang menanam di ladang. Mereka terlihat bahagia walaupun sederhana," kata Mila.


"Tentu dong, kita harus banyak bersyukur atas apa yang kita nikmati. Entah suka, sedih, bahagia, dan terluka," jelas Zhe.


"Hmm ... semoga pendakian kita berjalan dengan lancar ya gaeesss," imbuh Sonia.


"Aaamiiinnnn...." jawab kami serempak.

Perjalanan masih panjang dengan udara panas, rasanya sesak sekali menghirup udara campur debu.

"Rif, kamu bawa masker enggak?" tanya Mila.

"Buat apa?" tanya Syarif.

"Sesak banget aku, banyak debu. Bisa bengek dah," kata Mila.

"Nyoh, aku bawa. Pake aja, aku juga mau make," kata Zhe.

"Makasih, Zhe. Kamu emang paling baik hati." Popy eyes dengan wajah sok imut, Zhe memutar bola mata dengan malas.


"Biasa aja tuh mata! Kenapa? Kelilipan? Sini aku tiup," goda Irul.

"Ogah!" jawab Mila dengan cemberut dibalas dengan kelakar tawa kami bersama.


Benar-benar kumpulan sahabat yang hangat dan saling mendukung.


"Yang, aku capek. Istirahat dulu sebentar," Sonia merajuk pada Johan.

"Duuhhh ... yang dunia serasa milik berdua dan yang lain mah ngontrak," goda Syarif dibalas tawa kami.


"Rif, ko' cabang jalannya banyak sih? Kita lewat mana nih? Enggak akan nyasar kan nanti?" tanya Zhe khawatir.


"Woles aja, Zhe. Emang jalanya bercabang gini. Tapi kita bisa lewat jalur yang itu, asalkan jangan sampai pisah dari rombongan. IsnyaAllah Aman dan selamat," jelas Syarif.


"Oke deh, aku manut kamu aja," jawab Zhe.


"Tugunya udah kelihatan, artinya kita hampir sampai pos Tugu pertama. Istirahat dulu sebentar di sini. Sekalian bisa hilangin capek dan haus," perintah Johan.


"Siap!" jawab serempak.


"Zhe, kamu bawa minyak kayu putih nggak? Kepalaku sedikit pusing nih," tanya Sonia.

"Bawa, bentar aku ambilin," jawab Zhe.


"Zhe, kira-kira masih lama enggak sih? Aku udah capek banget rasanya," tanya Mila.

"Enggak tau, Mil. Coba tanya anak-anak cowok yang di sana," kata Zhe.

"Kalian pernah denger enggak tentang mitos mistis gunung merapi ini?" tanya Mila.

"Nggak tau, Mil. Emang kenapa?" tanya Sonia.


"Ada pasar bubrah di sini," jelas Mila.

"Pasar bubrah tuh apaan sih? Jelasin yang bener. Jangan setengah-setengah gitu," protes Sonia.

"Iya, jelaskan," imbuh Zhe sambil mendengarkan.


"Katanya dari cerita orang-orang dan artikel yang aku baca sih itu pasar setan. Mirip gitu sama pasar manusia, cuma bedanya ini pasar setan. Jangan sampai beli dan makan apapun di situ. Katanya enggak akan kembali ke dunia manusia lagi," jelas Mila.

"Iiihhhh .... serem juga Mil." Sonia bergidik ngeri.

"Iya, ngeri banget," kata Zhe setuju.

"Makanya jangan sampai kita terjebak di sana. Semoga aja kita aman dan selamat sampai pulang nanti," jelas Mila.


"Aaamiiinnnn...." jawab serempak.

"Hay gadis-gadis, waktu istirahat udah habis. Ayo jalan lagi! Malah ngerumpi," protes Irul.


"Kamu bawel amat sih, Rul. Sebel deh!" gerutu Mila.

"Dia kan emang nyebelin, di datengin setan baru nyaho lo!" kata Sonia.


"Hus! Son, jaga ucapanmu," protes Zhe.

"Maaf Zhe, habis sebel ma dia."

"Oke gaess, waktunya jalan lagi. Istirahat udah cukup. Sekarang ke pos selanjutnya keburu malam. Makin susah karena penerangan," perintah Johan.

Mereka melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya. Matahari semakin condong ke arah barat, langit berubah oranye khas senja. Indah banget dinikmati pas di alam bebas gini. Udara semakin dingin, bayangan pohon-pohon pun semakin menghilang.


"Duuhhh ... udah mau malam nih. Kita mau dirikan tenda dimana?" tanya Mila.

"Di pos Tugu dua atau pasar bubrah. Kita dirikan tenda di sana aja," jelas Johan.

Mereka mengangguk tanda setuju.


Setelah 1 jam perjalanan akhirnya tiba juga di lokasi, semua sibuk mempersiapkan dan membangun tenda. Malam semakin datang ditambah perut mereka lapar keroncongan.

"Zhe, kamu, Mila, dan Sonia bagian masak yah. Kita-kita bagian yang lain, perut udah lapar," perintah Johan.


"Siap bos!" jawab Zhe.


Ketiga cewek sibuk mempersiapkan masakan untuk makan malam. Setelah bergulat dengan semua kegiatan akhirnya selesai juga.

Pasar Bubrah Pendakian Gunung Merapi

Sumber: instagram


"Fyuuhhh ... Akhirnya kita selesai, Broder," kata Syarif.

"Alhamdulillah, bisa istirahat lebih cepat. Udah ngantuk nih. Kalian mau tidur atau ngobrol di luar?" tanya Irul.

"Nongkrong dulu dong, nikmatin pemandangan malam di gunung. Jarang-jarang begini," jawab Sonia.

"Yaelah, lu mah bukan menikmati keindahan malam tapi mau mojok," canda Syarif.


"Hahahaha...." kelakar serempak.


Malam bertabur bintang di langit dengan rembulan tersenyum menyapa. Dahan-dahan begoyang terlena oleh hembusan angin dan bebatuan menjadi alas untuk tubuh yang lelah. Mereka mendirikan tenda di lokasi pasar bubrah, kira-kira sekitar situ.


Setelah Irul masuk ke dalam tenda, lalu di susul oleh yang lain. Hanya ada suara deburan angin menggoyangkan alam. Sunyi senyap sampai tiba-tiba tengah malam sesuatu terasa beda.


"Zhe, zhe, bangun," perintah Mila menggoyangkan tubuh.

"Apaan sih Mil? Ganggu orang tidur aja,"

"Anterin aku pipis yuk, kebelet nih."

"Udah, pipis di luar aja sonoh."


"Enggak mau, ayolah anterin aku," pinta Mila.


"Iya deh, aku anterin. Lagian tadi ngapain coba enggak pipis dulu," omelku dibalas cengiran tanpa dosa.

"Sonia bangunin g'?" tanya Mila.

"Nggak usah, biarin aja dia tidur," jawab Zhe


Kita berdua keluar dari tenda menggunakan jaket yang super tebal dan bawa senter. Barengan Irul juga keluar dari tenda.

"Rul, mau kemana?" tanya Mila.

"Mau bikin kopi, kalian ngapain keluar tengah malam?" tanya Irul.

"Nih, si Mila mau pipis. Ehh, anterin kita Rul," minta Zhe.

"Ogah, mau ngopi aku," tolak Irul.

"Yaelah, nggak plend banget kamu Rul," protes Mila.

"Iya deh, aku anterin. Puas?" tanya Irul.

"Puas banget. Hahahaha...." jawab Zhe kompak dengan Mila.


"Kita kemana? Aku bingung mau pipis dimana," tanya Mila.

"Terserah kamu aja, Mil. Noh, pojokan deket semak-semak," tunjuk Zhe.

"Asiap! Kalian di sini, jangan kemana-mana," pinta Mila.

"Iya, bawel ah," kata Zhe.


Sepeninggal Mila, suasana semakin dingin menusuk tubuh. Udara semakin berubah, seperti pengap dan sesak. Asmofer malam yang aneh mulai terasa.

"Zhe, kamu ngerasa ada yang beda nggak? Ko' aku makin ngerasa aneh dan merinding," tanya Irul memegang tengkuknya.

"Iya, aku juga. Bentar aku panggil Mila dulu. Mil, Mila ... udah belum pipisnya? Ngantuk nih," protes Zhe.

Mila terlihat keluar dari persembunyian dengan wajah yang aneh.

"Mil, udah pipisnya? Lama amat?" tanya Zhe tapi tak ada jawaban.

Akhirnya mereka bertiga kembali pulang, tapi ada yang aneh. Mila sedari tadi hanya diam saja.

"Kamu kenapa Mil? Diem mulu, biasanya paling rame," tanya Irul.

Sekali lagi tidak ada balasan selain wajah datar dan lama-lama makin serem aja.


"Mila kenapa sih? Nggak biasanya Zhe?" tanya Irul.

"Entahlah, aku aja nggak tau," jawab Zhe menggedikan bahu.


Perjalan seraya makin lama, malam pun kian larut. Mereka bertiga belum juga sampai tenda, padahal pas berangkat hanya 10 menit sampai.

"Rul, ko' kita enggak sampai-sampai sih? Perasaan berangkat cuma bentaran doang?" tanya Zhe heran.

"Iya, baru aja mau tanya ma kamu. Mana Mila makin aneh aja tuh anak," kata Irul.

Terdengar sayup-sayup suara gamelan di ujung sana dan keramaian di ujung sisi satunya.

"Zhe, kamu denger suara gamelan enggak?" tanya Irul.

"Iya, aku dengerin. Ya Allah, Rul jangan-jangan kita tersesat," jawab Zhe mulai ketakutan.

"Kita berdo'a saja biar selamat sampai tenda," perintahnya Zhe balas anggukan kepala.

"Mil, kamu denger enggak ada suara gamelan?" tanya Zhe hanya dibalas dengan gelengan kepala.

Anak kenapa sih? batinku heran.


Semakin lama semakin jelas suara-suara tadi. Hanya saja gamelan telah hilang, terlihat seperti ada kerumunan orang sedang melakukan transaksi jual beli.

"Wah, kebetulan. Aku lapar Zhe, mau beli makanan di sana." Mau pergi tapi di tahan Zhe.


"Jangan Rul, firasatku nggak enak. Kayaknya bukan manusia," wajah Zhe penuh khawatir dan takut.


"Husshhh, ngomong tuh jangan gitu. Aku ke sana dulu."

"Kamu yakin? Emang enggak takut dan curiga?" tanya Zhe menyakinkan.


"Hmm ... husnudzon aja. Insya Allah nggak apa-apa." Irul melangkah pergi meninggalkan aku dan Mila.


Suasana semakin dingin dan sedikit demi sedikit kabut mulai menyelimuti.

"Aneh, ada kabut juga di sini," gumam Zhe.


Zhe menoleh pada teman di sampingnya, posisi yang tak berubah bahkan sekedar mimim di wajah. Bulu kuduk mulai menegeramangi tengkuk dan aliran darah, tubuh Zhe mulai gemetar. Takut dan kawatir menjadi satu.

Tiba-tiba

Krasak ... krasak ... krasakk ...

Seperti ada seseorang dibalik dahan-dahan kering.


"Rul, Irul itu kamu?" teriak Zhe.

Bukannya mendapat jawaban justru suara semakin dekat dan anehnya menghilang. Irul datang dari arah berlawanan.

"Uuhhh, kenyang banget perutku habis makan banyak." Sambil memegang perutnya.


"Udah kenyang kan? Ayo pulang ke tenda, aku ngantuk. Mana si Mila aneh, diem aja dari tadi," kata Zhe.

Mereka bertiga memutuskan untuk kembali, tapi aneh masih aja muter-muter enggak jelas. Padahal jalan mereka pikir benar.

"Jalannya bener enggak nih? Ko' perasaan dari tadi cuma muter-muter doang nggak sampe-sampe," keluh Zhe.

"Iya, bener juga," kata Irul

Mila? Jangan tanya. Dia seperti mayat hidup, wajahnya semakin pucat saja. Kabut semakin tebal menutupi, cahaya rembulan tidak terlihat. Suara-suara aneh mulai bermunculan.


Krasakk ... krasakk ... krasak ....


"Hiihiihii ... hihihi ...." Cewek tertawa melengking. Kain putih beterbangan di atas pohon.

Dug ... dugg ... dugg ....


Suara-suara aneh semakin jelas terdengar, terlihat semburat dua mata merah di balik pohon. Di satu sisi lain seperti ada suara mendekati mereka bertiga.


"Rul, takut Rul," bersembunyi di belakang tubuh Irul.

"Lari Zhe, lari .... Bawa Mila juga," perintah Irul.


"Terus kamu gimana Rul?" tanya Zhe.

"Aku menyusul kalian nanti, yang penting kalian aman dulu. Ingat berdo'a Zhe supaya kita selamat. Tolong maafkan aku jika punya salah ma kamu. Sekarang cepet pergi bawa Mila," perintah Irul


Zhe dan Mila bergegas pergi berlarian meninggalkan Irul sendiri menghadapi mereka semua. Zhe berdo'a semoga Irul baik-baik saja. Berlarian tidak tahu arah dan terus berdo'a, semoga di berikan jalan pulang.


Kabut semakin lama semakin tipis dan menghilang. Tiba-tiba Zhe dan Mila berdiri di belakang tenda mereka dengan tubuh gemetar keringat dingin. Seketika Mila terjatuh pingsan.

Bruukkk ....




Lanjut ke page 2....
Diubah oleh indahmami 03-07-2020 17:31
zafinsyurgaAvatar border
shortdistanceAvatar border
FauzanAli157Avatar border
FauzanAli157 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
7.3K
194
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan