

TS
akuanakgaruda
Pernah denger nggak, tentang SMA Selamat Pagi Indonesia ?
Pernah dengar SMA Selamat Pagi Indonesia (SMA SPI)? Tidak seperti SMA pada umumnya, sekolah yang didirikan oleh Julianto Eka Putra, ini hanya menampung anak yatim piatu, tidak mampu. “Karena yang pintar bisa mendapat beasiswa, kami konsen pada masa depan anak-anak tidak mampu dan yang belum pandai secara akademik, “ ujar Agus Setiadi, ST, MM, Dipl. FP, Direktur Transformer Center yang juga pengelola SMA SPI. Tidak mengherankan, yang masuk ke SMA SPI antara lain anak para tukang, preman, pembantu, dan anak jalanan.
Kendati untuk kalangan tidak mampu, bukan berarti fasilitas SMA SPI tidak memadai. Berdiri di atas tanah seluas 20 hektare di Kota Batu, SMA ini dicanangkan menjadi potret sekolah yang berbasis entrepreurship.
Menurut Agus, pembangunan sekolah itu dimulai pada 2005 dan dua tahun kemudian aktivitas sekolah mulai berjalan. SMA SPI memiliki komposisi siswa yang beragama Islam 40%, Katolik 20%, sisanya Hindu dan Buddha, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Sejak didirikan, sekolah ini ingin walau sekolah gratis dan yang bersekolah anak-anak kurang beruntung, mereka yang berkunjung ke sekolah bukan lantas kasihan, justru anak-anak harus terlihat percaya diri dan bangga. Maka itu pihaknya tidak ingin sekolah dibangun atas dasar kasihan, namun dengan kemandirian.
“Kami ingin anak-anak di SPI adalah anak-anak yang produktif dan positif,” tegasnya. Menurut Agus, tantangan terberat bukan pada memenuhi kebutuhan infrastruktur sekolah, tapi justru membuat anak-anak yang semula lebih banyak “bebas” tanpa aturan, menjadi anak yang disiplin dan teratur.
“Awal datang ke sini mereka tidak sholat, tidak ke gereja atau pura. Mereka kebanyakan benci pada Tuhan. Bagi mereka, kehidupan tidak adil padanya. Proses transformasi inilah yang kami lakukan selama kurang lebih 2 bulan di awal kedatangannya dan menjadi siswa SPI,” imbuhnya.
Pihaknya bersyukur dalam waktu 2 bulan itu mampu mentransformasi anak-anak ini mengenal Tuhannya kembali. Memahami konsep takdir dari Tuhan dan nasib ditentukan oleh kemampuan mereka sendiri untuk mengubahnya. Diakuinya, tentu saja tidak semua bertahan di sekolah ini, namun ternyata angkanya tidak banyak, yang keluar hanya 2-3 anak saja rata-rata per tahun.
Sebagai kelanjutan dari program kegiatan sekolah, pada 23 Januari 2010 dibangun Laboratorium Entrepreneur and Life Skill, yang juga disebut Transformer Center. Melalui Transformer Center ini, semua bakat siswa SMA SPI dikembangkan. Mereka juga mempelajari beberapa keterampilan baru untuk bekal kehidupan mereka di kemudian hari.
Saat ini sudah ada 16 divisi bisnis yang dikelola Transformer Center. Di antaranya, pemasaran, keuangan, tour and travel, merchandise, peternakan, penyiaran, manajemen pertunjukan, produksi makanan, event organizer, dan production house. “Semua dikelola oleh anak-anak di sela mereka sekolah memenuhi kurikulum mengikuti Diknas. Kami bersyukur divisi usaha ini terus berkembang, membuat mereka mandiri. Awalnya untuk meraih Rp 50 juta omset susah, tapi per 2018 omsetnya sudah bisa mencapai Rp 2,5 miliar dari berbagai usaha itu,” ungkap Agus.
Misalnya, dalam usaha produksi makanan, siswa-siswi SMA SPI menghasilkan snack oleh-oleh Malang seperti choco banana, membuat minyak aroma terapi, dan menjadi pemandu wisata.
Melihat anak-anak SPI yang bertransformasi menjadi anak-anak yang produktif dan positif, sekolah lain dan berbagai korporasi berminat untuk belajar transformasi diri dari mereka. “Kami tidak menyangka akan mendapat sambutan ini, karena niat awal kami hanya ingin membantu anak-anak kurang beruntung ini,” kata Agus. SMA Al Azhar, SMA BPK Penabur, SMA IPK (banyak yang dari luar Malang), juga perusahaan seperti Indofood, Grup Astra, Grup Kalbe, Alfamart, dan Konimex pernah memanfaatkan Transformer Center untuk benchmark. “Kami memberikan training transformasi ke mereka.
Saat ini ratusan perusahaan sudah mendapatkan training di Transformer Center ini. “Kami sampai pernah diundang Kick Andy, bahkan memenangi Kick Andy Award 2018. Diulas dalam acara TV Hitam Putih. Ibunda Pak Jokowi, para Menteri, PBB juga pernah ke tempat kami,” kata Agus bangga.
“Belum mandiri 100%, Pak Julianto masih merogoh kocek untuk sekolah ini. Mengingat anak-anak ini bukan saja sekolah, tapi juga kami ajak terbuka matanya dengan study tour ke luar negeri, seperti Makau, Singapura, bahkan Eropa,” katanya. Diharapkan, anak-anak ini tumbuh dengan melihat dunia luar.
Saat ini ada 250 anak yang sekolah di SMA SPI (putra-putri, dengan asrama berbeda). “Setidaknya per bulan kami belanja beras 3 ton,” ungkap Agus. Pihaknya merasa beruntung dan berterima kasih kepada orang-orang yang terpaut hatinya pada SMA SPI. Mereka bukan memberikan rupiah ke sekolah, tetapi dengan banyak berbagi cerita tentang SPI, juga sharing dan promosi pada berbagai kegiatan di Transformer Center. Mereka ini di antaranya Irawati Setiadi (salah satu pemilik Kalbe Farma), Rahmadi Jusuf (pemilik Konimex), Paulus Bambang (Direksi Grup Astra), dan Joseph Bataona, yang didaulat menjadi pembina kehormatan SPI. Secara struktural mereka tidak ada di organisasi, tetapi sebagai duta SPI.
“Ada tiga peraturan Transformer Center yang sangat ketat: tidak boleh pindah agama, pacaran, dan mencuri. Walau beragama adalah hak pribadi, ini tidak boleh dilakukan selama mereka di Transformer Center,” katanya. Kini luas lahan SPI sudah mencapai 22 hektare. Lalu, dari mana uang untuk pengembangannya? “Kami menyisihkan dari pendapatan divisi bisnis, plus dana Pak Julianto pribadi, yang membeli sedikit demi sedikit tanahnya. Ini, kata Pak Jul, adalah panggilan sukacita. Para pembina pun bekerja sukarela. Saya sendiri profesional, saya Sekretaris Yayasan SPI,” ungkap Agus.
Targetnya, pada 2020, di bawah Yayasan Karunia Kesehatan pihaknya akan mendirikan rumah sehat (bukan rumah sakit), mengingat areanya luas. “Kami sedang mengumpulkan sedikit demi sedikit bahan bangunannya, plus mengajak tenaga medis yang mau mendukung gerak sosial ini,” tambahnya. Selain itu, juga akan membangun Rumah Sejahtera untuk para jompo pada 2030. Mimpinya adalah membantu siapa saja yang tidak mampu.
“Kami juga sudah mendapat izin mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Kewirausahaan di Batu, Malang. Kami sudah bidani (kelahirannya) pada Januari 2019. Mahasiswanya anak-anak kami agar mereka lulus S-1. Untuk angkatan pertama ada 30 mahasiswa,” kata Agus. Menariknya, mayoritas lulusan ini kembali ke daerah masing-masing, hanya 10-20% yang tinggal.
Kendati untuk kalangan tidak mampu, bukan berarti fasilitas SMA SPI tidak memadai. Berdiri di atas tanah seluas 20 hektare di Kota Batu, SMA ini dicanangkan menjadi potret sekolah yang berbasis entrepreurship.
Menurut Agus, pembangunan sekolah itu dimulai pada 2005 dan dua tahun kemudian aktivitas sekolah mulai berjalan. SMA SPI memiliki komposisi siswa yang beragama Islam 40%, Katolik 20%, sisanya Hindu dan Buddha, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Sejak didirikan, sekolah ini ingin walau sekolah gratis dan yang bersekolah anak-anak kurang beruntung, mereka yang berkunjung ke sekolah bukan lantas kasihan, justru anak-anak harus terlihat percaya diri dan bangga. Maka itu pihaknya tidak ingin sekolah dibangun atas dasar kasihan, namun dengan kemandirian.
“Kami ingin anak-anak di SPI adalah anak-anak yang produktif dan positif,” tegasnya. Menurut Agus, tantangan terberat bukan pada memenuhi kebutuhan infrastruktur sekolah, tapi justru membuat anak-anak yang semula lebih banyak “bebas” tanpa aturan, menjadi anak yang disiplin dan teratur.
“Awal datang ke sini mereka tidak sholat, tidak ke gereja atau pura. Mereka kebanyakan benci pada Tuhan. Bagi mereka, kehidupan tidak adil padanya. Proses transformasi inilah yang kami lakukan selama kurang lebih 2 bulan di awal kedatangannya dan menjadi siswa SPI,” imbuhnya.
Pihaknya bersyukur dalam waktu 2 bulan itu mampu mentransformasi anak-anak ini mengenal Tuhannya kembali. Memahami konsep takdir dari Tuhan dan nasib ditentukan oleh kemampuan mereka sendiri untuk mengubahnya. Diakuinya, tentu saja tidak semua bertahan di sekolah ini, namun ternyata angkanya tidak banyak, yang keluar hanya 2-3 anak saja rata-rata per tahun.
Sebagai kelanjutan dari program kegiatan sekolah, pada 23 Januari 2010 dibangun Laboratorium Entrepreneur and Life Skill, yang juga disebut Transformer Center. Melalui Transformer Center ini, semua bakat siswa SMA SPI dikembangkan. Mereka juga mempelajari beberapa keterampilan baru untuk bekal kehidupan mereka di kemudian hari.
Saat ini sudah ada 16 divisi bisnis yang dikelola Transformer Center. Di antaranya, pemasaran, keuangan, tour and travel, merchandise, peternakan, penyiaran, manajemen pertunjukan, produksi makanan, event organizer, dan production house. “Semua dikelola oleh anak-anak di sela mereka sekolah memenuhi kurikulum mengikuti Diknas. Kami bersyukur divisi usaha ini terus berkembang, membuat mereka mandiri. Awalnya untuk meraih Rp 50 juta omset susah, tapi per 2018 omsetnya sudah bisa mencapai Rp 2,5 miliar dari berbagai usaha itu,” ungkap Agus.
Misalnya, dalam usaha produksi makanan, siswa-siswi SMA SPI menghasilkan snack oleh-oleh Malang seperti choco banana, membuat minyak aroma terapi, dan menjadi pemandu wisata.
Melihat anak-anak SPI yang bertransformasi menjadi anak-anak yang produktif dan positif, sekolah lain dan berbagai korporasi berminat untuk belajar transformasi diri dari mereka. “Kami tidak menyangka akan mendapat sambutan ini, karena niat awal kami hanya ingin membantu anak-anak kurang beruntung ini,” kata Agus. SMA Al Azhar, SMA BPK Penabur, SMA IPK (banyak yang dari luar Malang), juga perusahaan seperti Indofood, Grup Astra, Grup Kalbe, Alfamart, dan Konimex pernah memanfaatkan Transformer Center untuk benchmark. “Kami memberikan training transformasi ke mereka.
Saat ini ratusan perusahaan sudah mendapatkan training di Transformer Center ini. “Kami sampai pernah diundang Kick Andy, bahkan memenangi Kick Andy Award 2018. Diulas dalam acara TV Hitam Putih. Ibunda Pak Jokowi, para Menteri, PBB juga pernah ke tempat kami,” kata Agus bangga.
“Belum mandiri 100%, Pak Julianto masih merogoh kocek untuk sekolah ini. Mengingat anak-anak ini bukan saja sekolah, tapi juga kami ajak terbuka matanya dengan study tour ke luar negeri, seperti Makau, Singapura, bahkan Eropa,” katanya. Diharapkan, anak-anak ini tumbuh dengan melihat dunia luar.
Saat ini ada 250 anak yang sekolah di SMA SPI (putra-putri, dengan asrama berbeda). “Setidaknya per bulan kami belanja beras 3 ton,” ungkap Agus. Pihaknya merasa beruntung dan berterima kasih kepada orang-orang yang terpaut hatinya pada SMA SPI. Mereka bukan memberikan rupiah ke sekolah, tetapi dengan banyak berbagi cerita tentang SPI, juga sharing dan promosi pada berbagai kegiatan di Transformer Center. Mereka ini di antaranya Irawati Setiadi (salah satu pemilik Kalbe Farma), Rahmadi Jusuf (pemilik Konimex), Paulus Bambang (Direksi Grup Astra), dan Joseph Bataona, yang didaulat menjadi pembina kehormatan SPI. Secara struktural mereka tidak ada di organisasi, tetapi sebagai duta SPI.
“Ada tiga peraturan Transformer Center yang sangat ketat: tidak boleh pindah agama, pacaran, dan mencuri. Walau beragama adalah hak pribadi, ini tidak boleh dilakukan selama mereka di Transformer Center,” katanya. Kini luas lahan SPI sudah mencapai 22 hektare. Lalu, dari mana uang untuk pengembangannya? “Kami menyisihkan dari pendapatan divisi bisnis, plus dana Pak Julianto pribadi, yang membeli sedikit demi sedikit tanahnya. Ini, kata Pak Jul, adalah panggilan sukacita. Para pembina pun bekerja sukarela. Saya sendiri profesional, saya Sekretaris Yayasan SPI,” ungkap Agus.
Targetnya, pada 2020, di bawah Yayasan Karunia Kesehatan pihaknya akan mendirikan rumah sehat (bukan rumah sakit), mengingat areanya luas. “Kami sedang mengumpulkan sedikit demi sedikit bahan bangunannya, plus mengajak tenaga medis yang mau mendukung gerak sosial ini,” tambahnya. Selain itu, juga akan membangun Rumah Sejahtera untuk para jompo pada 2030. Mimpinya adalah membantu siapa saja yang tidak mampu.
“Kami juga sudah mendapat izin mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Kewirausahaan di Batu, Malang. Kami sudah bidani (kelahirannya) pada Januari 2019. Mahasiswanya anak-anak kami agar mereka lulus S-1. Untuk angkatan pertama ada 30 mahasiswa,” kata Agus. Menariknya, mayoritas lulusan ini kembali ke daerah masing-masing, hanya 10-20% yang tinggal.
Diubah oleh akuanakgaruda 20-09-2019 10:17
0
1.2K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan