- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tersesat Di Gunung Padang


TS
ymulyanig3
Tersesat Di Gunung Padang
Misteri Di Gunung Padang

Cerita ini diambil dari beberapa mitos yang tersebar di masyarakat sekitar kaki gunung Padang. Namun, dibuat cerita karangan fiksi yang ane karang sendiri. Nama gunung Padang sendiri terdapat di beberapa tempat di Jawa Barat, salah satunya yang ane ambil dalam cerita adalah gunung Padang di dekat tempat tinggal ane di Bandung Barat yang konon adalah sebuah gunung tempat pemujaan dan pesugihan.

***
Awan mendung tampak beriringan di atas cakrawala, pertanda hujan akan turun hari itu. Kami masih berdiskusi di teras rumah. Aku, Bima, Anggi dan Angga sudah merencanakan pendakian ini jauh-jauh hari. Gunung Padang kami pilih untuk pendakian kali ini. Kisah gunung padang yang terkenal mistis dan penuh misteri menjadi alasan utama kami.
Kami, empat sahabat memang senang berburu hal-hal mistis. Semua berawal dari Bima yang memiliki kemampuan khusus dan bisa berkomunikasi dengan dunia lain.
"Yakin Lu, banyak pendaki yang hilang di gunung itu," ucap Angga dengan tatapan tajam ke arah Bima.
"Justru itu yang bikin gua penasaran, emang seserem itu tuh gunung," jawab Bima pasti.
"Dek, kamu nggak usah ikut ya!" pinta Angga kepada sang adik Anggi.
"Aku mau ikut .... "
Gadis berjilbab hitam itu nampaknya ingin ikut merasakan sensasi mistis dan misteri yang tersimpan di balik cerita gunung Padang. Ia adalah satu-satunya wanita yang turut serta dalam pendakian kali ini.
Malam itu, kami pun sepakat berangkat awal setelah shalat subuh. Semua perlengkapan pendakian telah disiapkan dalam masing-masing ransel. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat ke tempat pendakian. Ketiga sahabatku terlihat tertidur lelap. Namun, mataku sulit terpejam, ada perasaan takut yang menyergap dada.
***
Embusan angin serasa menusuk pori-pori kulit hingga ke jantung. Aku mengeratkan jaket tebal hingga menutupi leher, kupluk hitam yang menempel di kepala turut melindungi dari dinginnya angin gunung. Baru satu jam berjalan, tubuhku serasa kaku. Semakin tinggi mendaki udara pun semakin menusuk.
Dari kejauhan terlihat sebuah gubuk tua beeukuran 4x5 meter. Saat itu sinar mentari telah tampak dari ufuk timur. Membelai hangat tubuh kami yang hampir membeku. Seorang lelaki tua terlihat keluar dari gubuk dan menghampiri kami.
"Mau ke mana, Sep?" tanyanya sembari menatap kami satu per satu.
"Kami mau mendaki gunung, Mang. Mau ke atas puncak," jawab Bima denga santun.
Orang tua yang ternyata adalah juru kunci gunung Padang itu memberikan beberapa nasehat dan peringatan kepada kami. Di dalam gunung, kami tidak boleh menyebutnya sebagai gunung melainkan Nagara Padang. Sang juru kunci juga mewanti-wanti agar berprilaku sopan dan tidak berbicara kotor.
"Jangan sekali-kali masuk ke dalam gua yang ada di dalam gunung!" pinta sang juru kunci dengan mimik serius.
Itulah gua yang banyak dibicarakan orang. Konon gua itu dijadikan tempat pemujaan dan pesugihan. Ada rumor yang beredar bahwa di dinding gua terpahat nama-nama orang yang menjalankan pesugihan.
Akhirnya, kami pun melanjutkan perjalanan. warna hijau dari pohon pinus yang menjulang tinggi mendominasi pemandangan hutan. Kicauaan burung yang bersahutan memanjakan telinga siapa pun yang mendengarnya. Sesekali terlihat beberapa kera liar melintas, berayun dari satu pohon ke pohon lain. Sungguh tempat yang benar-benar asri dan jarang terjamah manusia.
Benarlah kata sang juru kunci, terdapat beberapa gua yang terlihat sunyi dan gelap. Aura mistis begitu kuat saat melintasinya. Bulu kudukku seakan meremang disertai hawa dingin yang menjalar ke seluruh tubuh.
"Jangan melihat ke gua, cepat jalanya!" pinta Bima saat menyadari netraku yang terpaku ke dalam gua hingga membuat kaki seakan berat untuk melangkah. Akhirnya, Bima menyeretku untuk tetap mempercepat langkah.
Matahari tepat di atas kepala ketika kami mencapai puncak gunung, sebuh dataran yang cukup bersih kami jadikan tempat mendirikan tenda.

***
Sang surya perlahan tenggelam, warna orange berpadu dengan kepulan embun tampak memesona mata. Sungguh ciptaan Tuhan yang tidak ada duanya. Langit pun perlahan menghitam, seisi hutan berubah mencekam. Semakin malam, semakin riuh dengan berbagai suara binatang, kicauan burung hantu dan lolongan anjing turut menambah angker hutan itu.
Kami tengah berkumpul di depan api unggun ketika sekelebat bayangan hitam besar melintas dihadapan.
"Apa itu, Bim?" tanyaku kaget.
"Entahlah, mungkin binatang," jawab Angga datar.
Bima tampak menatap tajam ke satu arah di balik semak-semak. Raut mukanya seketika tegang, cucuran keringat mulai membasahi pelipisnya, padahal udara saat itu terasa sangat dingin.
"Ada apa Bim? kenapa lo seperti ketakutan?" tanyaku khawatir.
"Tidak apa-apa, sebaiknya kita beristirahat di tenda," jawab Bima sembari melangkah ke dalam tenda.
Kami pun mengikutinya dari belakang menuju tenda. kami berbaring di dalam tenda. Mengistirahatkan tubuh yang letih karena seharian mendaki. Di luar sana suara binatang malam semakin jelas terdengar, sesekali terdengar suara seringai tawa wanita yang membuat bulu kuduk kami berdiri.
"Hi ... hi ... hi ....!" Seringainya semakin nyaring dan Cumiakan telinga hingga membuat bulu kuduk kami berdiri.
"Suara apa itu, aku takut ... " ucap Anggi sembari memegang erat tangan sang kakak.
"Mereka merasa terganggu dengan kehadiran kita. Sebaiknya kita turun gunung sekarang," ucap Bima dengan sorot tajam.
Tenda kami tetiba berguncang hebat, Kami menghambur ke luar dan berlari seketika. Semua tampak gelap, hanya cahaya temaram sinar rembualan yang menjadi penerang langkah kami. Berlari sekencang mungkin, tapi sosok bayangan hitam terus membayang. Bayangan itu semakin mendekat dan tampak semakin besar.
"Argghhh .... " pekik Anggi yang tertinggal di belakang. Ia tampak terjatuh dan mengerang kesakitan.
"Bim, tunggu Anggi!" pintaku kepada Bima yang berlari di depanku. Kami pun menghentikan langkah dan berbalik menuju tempat Anggi terjatuh.
Angga memapah sang adik dan kembali berlari, bayangan hitam dan besar itu terlihat masih mengikuti. Namun, setelah lama berlari. Kami selalu kembali ke tempat semula, tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Belari seolah hanya berputar-putar saja hingga tubuh lemas.
"Bim, kenapa kita hanya muter-muter aja? Kita harus keluar dari hutan ini." Angga bertanya dengan mimik cemas bercampur takut.
"Coba kalian ingat-ingat, apa ada larangan yang dibilang juru kunci yang kalian langgar?" tanya Bima tegas.
"Iya, tadi Angga ngetawain kenapa gunung harus disebut Nagara?" timpal Anggi.
Kami pun terdiam dan berfikir sejenak. Untunglah sosok bayangan hitam itu sudah tidak mengikuti. Kembali berlari melalui jalan yang berbeda. Namun, tetap kembali ke tempat yang sama hingga fajar menyingsing dan membuat tubuh kami semakin lemah hingga tak bisa digerakkan lagi.
Entah sudah berapa lama kami tak sadarkan diri, kaki terasa kaku dan ngilu. Matahari tepat di atas kepala. Namun, ketiga temanku masih terlihat tak sadarkan diri.
"Tolong ... tolong!" pekiku demi mencari bantuan. Tidak lama, ketiga temanku pun terbangun dan turut berteriak meminta pertolongan.
Selang beberapa menit, tampak beberapa warga mendekat ke arah kami dan akhirnya kami pun tertolong dan bisa kembali pulang.
End
Bandung, 19 September 2019
Sumber : Karangan pribadi
Pic by link gambar

Cerita ini diambil dari beberapa mitos yang tersebar di masyarakat sekitar kaki gunung Padang. Namun, dibuat cerita karangan fiksi yang ane karang sendiri. Nama gunung Padang sendiri terdapat di beberapa tempat di Jawa Barat, salah satunya yang ane ambil dalam cerita adalah gunung Padang di dekat tempat tinggal ane di Bandung Barat yang konon adalah sebuah gunung tempat pemujaan dan pesugihan.

***
Awan mendung tampak beriringan di atas cakrawala, pertanda hujan akan turun hari itu. Kami masih berdiskusi di teras rumah. Aku, Bima, Anggi dan Angga sudah merencanakan pendakian ini jauh-jauh hari. Gunung Padang kami pilih untuk pendakian kali ini. Kisah gunung padang yang terkenal mistis dan penuh misteri menjadi alasan utama kami.
Kami, empat sahabat memang senang berburu hal-hal mistis. Semua berawal dari Bima yang memiliki kemampuan khusus dan bisa berkomunikasi dengan dunia lain.
"Yakin Lu, banyak pendaki yang hilang di gunung itu," ucap Angga dengan tatapan tajam ke arah Bima.
"Justru itu yang bikin gua penasaran, emang seserem itu tuh gunung," jawab Bima pasti.
"Dek, kamu nggak usah ikut ya!" pinta Angga kepada sang adik Anggi.
"Aku mau ikut .... "
Gadis berjilbab hitam itu nampaknya ingin ikut merasakan sensasi mistis dan misteri yang tersimpan di balik cerita gunung Padang. Ia adalah satu-satunya wanita yang turut serta dalam pendakian kali ini.
Malam itu, kami pun sepakat berangkat awal setelah shalat subuh. Semua perlengkapan pendakian telah disiapkan dalam masing-masing ransel. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat ke tempat pendakian. Ketiga sahabatku terlihat tertidur lelap. Namun, mataku sulit terpejam, ada perasaan takut yang menyergap dada.
***
Embusan angin serasa menusuk pori-pori kulit hingga ke jantung. Aku mengeratkan jaket tebal hingga menutupi leher, kupluk hitam yang menempel di kepala turut melindungi dari dinginnya angin gunung. Baru satu jam berjalan, tubuhku serasa kaku. Semakin tinggi mendaki udara pun semakin menusuk.
Dari kejauhan terlihat sebuah gubuk tua beeukuran 4x5 meter. Saat itu sinar mentari telah tampak dari ufuk timur. Membelai hangat tubuh kami yang hampir membeku. Seorang lelaki tua terlihat keluar dari gubuk dan menghampiri kami.
"Mau ke mana, Sep?" tanyanya sembari menatap kami satu per satu.
"Kami mau mendaki gunung, Mang. Mau ke atas puncak," jawab Bima denga santun.
Orang tua yang ternyata adalah juru kunci gunung Padang itu memberikan beberapa nasehat dan peringatan kepada kami. Di dalam gunung, kami tidak boleh menyebutnya sebagai gunung melainkan Nagara Padang. Sang juru kunci juga mewanti-wanti agar berprilaku sopan dan tidak berbicara kotor.
"Jangan sekali-kali masuk ke dalam gua yang ada di dalam gunung!" pinta sang juru kunci dengan mimik serius.
Itulah gua yang banyak dibicarakan orang. Konon gua itu dijadikan tempat pemujaan dan pesugihan. Ada rumor yang beredar bahwa di dinding gua terpahat nama-nama orang yang menjalankan pesugihan.
Akhirnya, kami pun melanjutkan perjalanan. warna hijau dari pohon pinus yang menjulang tinggi mendominasi pemandangan hutan. Kicauaan burung yang bersahutan memanjakan telinga siapa pun yang mendengarnya. Sesekali terlihat beberapa kera liar melintas, berayun dari satu pohon ke pohon lain. Sungguh tempat yang benar-benar asri dan jarang terjamah manusia.
Benarlah kata sang juru kunci, terdapat beberapa gua yang terlihat sunyi dan gelap. Aura mistis begitu kuat saat melintasinya. Bulu kudukku seakan meremang disertai hawa dingin yang menjalar ke seluruh tubuh.
"Jangan melihat ke gua, cepat jalanya!" pinta Bima saat menyadari netraku yang terpaku ke dalam gua hingga membuat kaki seakan berat untuk melangkah. Akhirnya, Bima menyeretku untuk tetap mempercepat langkah.
Matahari tepat di atas kepala ketika kami mencapai puncak gunung, sebuh dataran yang cukup bersih kami jadikan tempat mendirikan tenda.

***
Sang surya perlahan tenggelam, warna orange berpadu dengan kepulan embun tampak memesona mata. Sungguh ciptaan Tuhan yang tidak ada duanya. Langit pun perlahan menghitam, seisi hutan berubah mencekam. Semakin malam, semakin riuh dengan berbagai suara binatang, kicauan burung hantu dan lolongan anjing turut menambah angker hutan itu.
Kami tengah berkumpul di depan api unggun ketika sekelebat bayangan hitam besar melintas dihadapan.
"Apa itu, Bim?" tanyaku kaget.
"Entahlah, mungkin binatang," jawab Angga datar.
Bima tampak menatap tajam ke satu arah di balik semak-semak. Raut mukanya seketika tegang, cucuran keringat mulai membasahi pelipisnya, padahal udara saat itu terasa sangat dingin.
"Ada apa Bim? kenapa lo seperti ketakutan?" tanyaku khawatir.
"Tidak apa-apa, sebaiknya kita beristirahat di tenda," jawab Bima sembari melangkah ke dalam tenda.
Kami pun mengikutinya dari belakang menuju tenda. kami berbaring di dalam tenda. Mengistirahatkan tubuh yang letih karena seharian mendaki. Di luar sana suara binatang malam semakin jelas terdengar, sesekali terdengar suara seringai tawa wanita yang membuat bulu kuduk kami berdiri.
"Hi ... hi ... hi ....!" Seringainya semakin nyaring dan Cumiakan telinga hingga membuat bulu kuduk kami berdiri.
"Suara apa itu, aku takut ... " ucap Anggi sembari memegang erat tangan sang kakak.
"Mereka merasa terganggu dengan kehadiran kita. Sebaiknya kita turun gunung sekarang," ucap Bima dengan sorot tajam.
Tenda kami tetiba berguncang hebat, Kami menghambur ke luar dan berlari seketika. Semua tampak gelap, hanya cahaya temaram sinar rembualan yang menjadi penerang langkah kami. Berlari sekencang mungkin, tapi sosok bayangan hitam terus membayang. Bayangan itu semakin mendekat dan tampak semakin besar.
"Argghhh .... " pekik Anggi yang tertinggal di belakang. Ia tampak terjatuh dan mengerang kesakitan.
"Bim, tunggu Anggi!" pintaku kepada Bima yang berlari di depanku. Kami pun menghentikan langkah dan berbalik menuju tempat Anggi terjatuh.
Angga memapah sang adik dan kembali berlari, bayangan hitam dan besar itu terlihat masih mengikuti. Namun, setelah lama berlari. Kami selalu kembali ke tempat semula, tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Belari seolah hanya berputar-putar saja hingga tubuh lemas.
"Bim, kenapa kita hanya muter-muter aja? Kita harus keluar dari hutan ini." Angga bertanya dengan mimik cemas bercampur takut.
"Coba kalian ingat-ingat, apa ada larangan yang dibilang juru kunci yang kalian langgar?" tanya Bima tegas.
"Iya, tadi Angga ngetawain kenapa gunung harus disebut Nagara?" timpal Anggi.
Kami pun terdiam dan berfikir sejenak. Untunglah sosok bayangan hitam itu sudah tidak mengikuti. Kembali berlari melalui jalan yang berbeda. Namun, tetap kembali ke tempat yang sama hingga fajar menyingsing dan membuat tubuh kami semakin lemah hingga tak bisa digerakkan lagi.
Entah sudah berapa lama kami tak sadarkan diri, kaki terasa kaku dan ngilu. Matahari tepat di atas kepala. Namun, ketiga temanku masih terlihat tak sadarkan diri.
"Tolong ... tolong!" pekiku demi mencari bantuan. Tidak lama, ketiga temanku pun terbangun dan turut berteriak meminta pertolongan.
Selang beberapa menit, tampak beberapa warga mendekat ke arah kami dan akhirnya kami pun tertolong dan bisa kembali pulang.
End
Bandung, 19 September 2019
Sumber : Karangan pribadi
Pic by link gambar
Diubah oleh ymulyanig3 25-09-2019 11:11






embunsuci dan 16 lainnya memberi reputasi
17
3.6K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan