Kaskus

Story

muttouAvatar border
TS
muttou
Kesaksian Ganjil
Kesaksian Ganjil

Siapa pun sangat segan padanya. Nyaris tak ada orang yang menilainya buruk. Bahkan jika ayam ternak warga sekampung bisa berbahasa manusia, jika domba-domba bisa ngomong, jika daun-daun bisa berfatwa, bakal bilang hal serupa. Haji Rahmat kesohor sosok dermawan.

Tekun berbagi kepada sesama: enteng tangan! Apalagi dalam kegiatan peringatan hari-hari besar Islam, ia tak pernah absen beramal. Kalau lewat jalanan kampung semua orang pasti menorehkan senyum sembari sedikit merendahkan dagu. Penghormatan.

Namun memang tak ada kehidupan yang ideal. Tak ada secuil hal pun di dunia ini yang sempurna. Tatanan ideal hanya lahir dari omong kosong. Orang-orang menginginkan dunia yang ideal dalam benaknya.

Dunia yang tanpa cela, Negara yang benar-benar adil, dunia tanpa kejahatan, rumah ibadah padat jemaat, dunia bak surga, dan dunia-dunia lain yang khayali. Idealis lahir dari perasaan sentimental untuk ogah menerima dunia apa adanya.

Agama bilang kullu syai’in mustatsnayat: setiap hal memiliki pengecualian. Tiada yang bulat sempurna. Semua warga kampung segan, hormat, takjub atas kedermawanan Haji Rahmat, tapi bagi Warto ia cuma Fir’aun yang bersembunyi di balik harta dan gelar Haji belaka.

Tak lebih daripada itu.

“Sudah … sudah, sudah. Tak baik menyimpan dendam terlalu lama. Lihat, anyamanmu tak keruan.”

Warto cuma bergeming. Menunduk. Memang mukanya ia todongkan ke pekerjaannya itu. Tapi sorot matanya entah ke alam mana. Ibunya berkali-kali menasihati untuk segera membuang jauh-jauh dendam yang tumbuh dalam hatinya.

Memang baru tiga bulan dendam itu bercokol. Tapi, ibunya selalu bilang pendendam adalah orang paling tak berdaya di dunia. Pendendam adalah si pandir yang sok jago.

“Lihat, pekerjaanmu selalu saja begitu. Kebencian telah membuatmu hilang gairah.”

“Bu ...,” Warto menatap wajah ibunya. Sorot mata Warto selayak ia masih bocah. Bocah ingusan yang memelas pada ibu sang bunda. Usia Warto sebetulnya telah 25. Tapi penyakit dalam hati mencabik psikisnya.

Juga, ah, sekarang, memang hanya ibu satu-satunya orang yang ia percaya memiliki mukjizat. Ayah Warto sudah mati.

Ibu dan anak itu tengah menganyam. Keluarga Warto memang pengrajin topi caping bambu. Topi yang biasa dikenakan para petani kampung buat menahan terik mentari kala membanting otot dan memeras keringat di sawah. Agar kepala tak kepanasan. Topi caping anyaman keluarga Warto terkenal paling apik. Awet dan lebih membikin adem.

Tapi memang sengatan matahari berbeda dengan bara dendam di hati. Warto lagi menganyam alat peneduh, tapi hatinya berapi-api. Panas!

“To, dengar,” ibu Warto menyudahi pekerjaannya. Mendekat ke anak semata wayangnya, “Kau tahu, bukan? Ayahmu itu orang berbudi baik. Bukan pendendam. Apa Kau mau ayahmu di alam sana menangis? Anaknya kok buruk perangai begini.”

“Bu …,” hanya itu yang bisa keluar dari lisan Warto. Seakan tertarik ke dalam, lidahnya susah diajak omong. Ah, jatuh juga air matanya.

Lengan kanan ibunya kini meraih pundak Warto. Lembut penuh sentuhan kasih sayang. “To, bukan apa-apa. Ini demi dirimu sendiri. Kau tak bisa terus-terusan begini. Dendam membuatmu hilang asa. Dendam menghayutkanmu dalam jurang gelap. Relakan Sumi, maafkan Haji Rahmat.”

“Tapi, Bu …”

“Dengar,” menghela napas, “gusti Allah tidak pernah merencanakan keburukan sekali pun buat hambaNya. Dalam satu dan banyak hal, gusti Allah punya rencana sendiri. Kita boleh merencanakan segala sesuatu, tapi urusan tercapai atau tidak gusti lebih tahu apa yang kita butuhkan. Gusti mengabulkan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita ingini. Ingat baik-baik … Percayalah apa yang hilang di masa lalu, akan tergantikan dengan yang lebih baik. Tentu, dengan cara dan waktu yang gusti kehendaki.”

Tetes-tetes air mata Warto menderas bercucur. Selayak mukjizat, petuah ibunya menggetarkan hati. Kabut di mata Warto seketika hilang. Sorot matanya kembali terang. Dendam yang selama ini menyelinap dalam hati Warto mulai pudar.

Dendam yang timbul dari remukan hatinya. Sumi, kekasihnya dijodohkan dengan Bagas, putra Haji Rahmat. Itulah yang merobek dan meremuk hati Warto.

Warto dan Sumi saling mencintai. Keduanya telah memadu kasih sejak masa SMA. Bahkan Sumi sering turut menganyam topi caping di rumah Warto. Ibu Warto juga sangat akrab dan sayang pada Sumi.

Kehadiran Sumi di keluarga Warto telah menambah keharmonisan satu bangunan keluarga kecil itu. Sumi bukan siapa-siapa, bagi ibu Wato, sumi adalah bak anak kandungnya sendiri.

Di tengah kesyahduan romantika ibu dan anak pengrajin itu, terdengar suara dari Surau. Tampaknya ada informasi penting. Seperti umumnya hari-hari yang lalu, Surau kampung Warto tak cuma buat sembahyang.

Jika ada informasi penting, Surau menjadi tempat pengumuman melalui pengeras suara.

”Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun … inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah meninggal dunia, bapak Haji Rahmat bin Haji Ahmad Sodik.”

Sontak bunyi pengeras suara itu membuat Warto dan ibunya kaget. Haji Rahmat wafat!

“Innalillahi …”

“Innalillahi …”

Berkecamuk di hati Warto dua rasa yang saling berebut tempat. Antara senang dan duka. Senang, sebab satu-satunya orang yang paling ia benci kini mati. Duka, sebab kesadarannya berkata bahwa belumlah pula ia berbaikan dengan Haji Rahmat.

“Bu …”

Tanpa banyak omong ibunya bilang, “cepat Kau ke rumah Haji Rahmat. Dendammu harus Kau copot. Kau lekas ke sana, turut salat jenazah.”

Warto segera beranjak, ganti pakaian, berwudu, dan menuju hunian Haji Rahmat.

Di halaman rumah mewah itu berkerumun hampir separuh warga kampung. Yang lain mungkin masih sibuk di ladang dan pesawahan. Riuh bergemuruh suara kalimat thayyibah.

Semua yang hadir berzikir menuntun kepergian Haji Rahmat ke alam baka. Juga, terdengar isak tangis sanak famili dan beberapa handai-tolan Haji Rahmat.

Warto tak terlalu telat. Saat ia tiba di rumah Haji Rahmat, warga telah siap bersalat jenazah. Walau di saf paling akhir, Warto senang masih sempat bertandang sembahyang. Dipimpin ustaz Subagyo, salat jenazah segera dilakukan.

Semua jemaat khidmat dan khusyuk. Barangkali mereka sangat tergampar hatinya atas kepulangan sosok Haji yang dermawan. Tak sedikit warga yang salat sambil sedu sedan.

Rampung salat, ustaz Bagyo
menghadap ke jemaat. Lazimnya tradisi keislaman di kampung itu, adalah syahadah bagi mayit, yakni penyaksian dari yang masih hidup bahwa jenazah benar-benar baik laku amalnya.

“Bismillah, semoga amal ibadah Haji Rahmat bin Haji Ahmad Sodik diterima di sisi Allah. Diampuni segala dosanya”, tutur ustaz Bagyo yang lantas diamini jemaat.

“Saya ingin meminta kesaksian para jemaat, bahwa Haji Rahmat ini adalah orang yang baik, saleh, dermawan. Apakah Haji Rahmat sosok yang baiiik?”

“Baiiik,” jawab jemaat serentak.

“Apakah Haji Rahmat sosok yang baiiik?”

“Baiiik!”

Tanpa dinyana ada suara lain. Lantang dan ganjil.

“Tidak!”

Itu suara Warto.[]


Cirebon, 26 Juli 2019

Ilustrasi: pixabay.com
Diubah oleh muttou 16-09-2019 18:35
doctorkelinciAvatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan doctorkelinci memberi reputasi
2
451
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan