prayformyskyAvatar border
TS
prayformysky
Dua Aya


Aku tengah suntuk memandangi layar PC, mengetik laporan barang masuk ketika sebuah suara yang amat aku kenal muncul. Sebuah pesan WhatsApp. Aku langsung menyambar smartphoneku yang sedang di-charge.

Quote:


Moodku langsung turun. Rasanya belum seminggu aku bertemu dengannya di rumah sahabatku, Rizky. Saat itu dia begitu rewel, tidak mau lepas dari gendongan Bapaknya. Si cantik Soraya. Memakai baju terusan merah dengan sedikit aksen putih, dia menggelayut manja, masih belum puas tidur. Sementara aku dan ibunya akhirnya sibuk bercerita mengenang masa lalu di Jakarta.

“Mba, barang-barang yang kosong sudah aku catat di buku pesanan. Kapan mau diorder?”, tanya Eka. Aku kaget, lamunanku buyar seketika.

“Ya udah, nanti habis aku ngetik ini, aku hubungi Mas Wahyu. Tagihan bulan ini udah ada yang mengajukan?”

“Tadi sih Ibu sedang ngecek nota tagihan, Mbak,” jawab Eka pelan.

“Oke,tolong bantu Fitri aja dibelakang. Dia lagi klasifikasi barang.”

“Oke, Mbak”.

Aku pun kembali menyibukkan diri di depan komputer.

***

Mataku nanar memandangi pesan WhatsApp dari Dwi.

Quote:


Badanku langsung terasa lemas. Baru kemarin aku dan Dwi berencana menjenguknya di RS. Grup WhatsApp di smartphoneku langsung ramai dengan ucapan doa untuk Rizky dan anaknya, Soraya.

Susah rasanya bagiku membayangkan anak sekecil itu meninggal.

Quote:


Setelah ribut-ribut panjang di pembicaraan grup, akhirnya enam orang, termasuk aku, dan seseorang yang katanya salah satu teman sekelas Rizky saat SMA, yang datang kerumah untuk melayat.

Suasana rumah ternyata lengang. Hanya terlihat beberapa kursi plastik berjejer di garasi yang terbuka. Tidak tampak kehadiran Rizky menyambut kami di depan rumah.

Sambil celingukan mencari sosok Rizky, kami masuk kerumah tersebut disambut oleh ibu mertuanya. Dengan canggung kami duduk berderet di ruang tamu, beralaskan karpet berwarna hijau tua. Agak heran karena tidak ada jenazah yang biasanya dibaringkan untuk disholatkan dan tanda-tanda pelayat yang lain. Rizky keluar dari ruang dalam, memakai setelan rok batik dan baju panjang berwarna krem.

Muka sayunya memenuhi ingatan kami saat itu. Dia berjalan gontai menghampiri. Bergantian kami saling memeluk, bersalaman dengannya dan mengucapkan kata-kata, sekedar menguatkan hati. Ucapan 'terima kasih' yang pelan, kami terima darinya.

Saat kami sudah duduk kembali di karpet, minuman datang, dibawakan oleh mertua Rizky. Wanita setengah baya yang masih 'trengginas' (cekatan) di usianya yang menjelang senja. Kami mengucapkan terima kasih, sementara Rizky terduduk dengan muka lesu.

"Kamu baik-baik saja, ky?" Dini bertanya dengan wajah cemas.

"Ya beginilah... maaf, hanya bisa menyuguhkan seadanya." jawabnya pelan.

"Gapapa, kamu bukannya minggu kemarin sudah balik ke Jakarta, ya?"

Aku bertanya karena seingatku, Rizky karena pekerjaannya, hanya bisa menengok Soraya yang dititipkan dirumah mertuanya setiap seminggu sekali. Dan itu terakhir kalinya aku bertemu dengan dia dan anaknya, Aya.

"Iya, Ki. Minggu kemarin saat kamu kesini, senin nya aku balik ke Jakarta. Aya masih kena flu, tapi baik-baik saja. Kamis aku dikabari kalau flunya nggak sembuh-sembuh, akhirnya aku ijin, malamnya pulang naik kereta...", jawab Rizky sambil menarik nafas sejenak.

"Sampai sini Aya ternyata batuk dan diare juga. Sudah aku kasih obat tapi belum membaik. Akhirnya aku bawa ke Puskesmas sini, tapi dirujuk ke Rumah Sakit,"

"Berapa lama Aya dirumah sakit, Ky?", tanya Nana sambil beringsut mendekati Rizky.

"Kemarin sore aku bawa kesana, jam 4 sudah masuk kamar buat rawat inap. Aku nunggu dokternya visit, jam 11 malam baru datang. Dan selama itu pula Aya rewel, nangis terus...", jawab Rizky mulai tergagap, air mata merebak dari sudut matanya.

Nana mulai mengelus punggung Rizky, mencoba menenangkan.

"Aku sempat kesal... kenapa dokternya lama banget datengnya. Habis dokter visit, Aya mulai tenang dan mau nyusu. Habis itu dia tidur. Jam 1an mendadak dia bangun dan mulai rewel, saat jam 3 sudah mulai tenang dan mau tidur. Saat itu aku ngerasa badan dia lemas nggak ada tenaga, akhirnya aku baringkan... saat itu dia... nafasnya udah mulai pendek-pendek... dan akhirnya diem aja... ," tangisnya mulai pecah. Kami semua terdiam mendengarkan. Nana memeluk Rizky.

Aku menghela nafas panjang. Mendongakkan kepala, berharap air mata tidak turut tumpah saat mendengarnya bercerita. Aku paling tidak tahan mendengar cerita sedih, dan pasti bakal ikut menangis.

Lama kami terhanyut dengan pikiran masing-masing, menunggu Rizky tenang dari tangisnya.

"Aca mana, Ky?" Aku bertanya, memecahkan suasana sekaligus mengalihkan perhatian Rizky. Aca adalah anak laki-laki pertamanya.

"Lagi sama Ibuku di rumah sana, lagi jalan kesini tadi telpon," jawabnya pelan.

"Oh...," aku hanya bisa menjawab pendek.

"Sabar ya, Ky... pasti Aya sudah tenang disana," pernyataan klise yang diberikan semua orang mulai muncul dari mulut salah satu teman kami.

“Aya masih kecil, masih belum setahun umurnya, besok adalah ulang tahun pertamanya. Kenapa kamu pergi secepat itu, Nak...” tangis Rizky kembali pecah.

Well, kata sabar adalah kata yang sangat ambigu, menurutku. Walau kenyataannya hal tersebut sering dikatakan oleh orang-orang disituasi seperti ini. Tapi, tidak semua orang mempunyai kadar kesabaran yang sama, apalagi disituasi dimana kita kehilangan buah hati yang pernah dilahirkan dengan penuh perjuangan. Aku memahami perasaan kehilangan Rizky saat ini. Tapi aku pun bukan orang yang bisa mengucapkan kata-kata manis untuk menghibur. Terlalu peka memang menyusahkan. Pada akhirnya aku hanya bisa diam mengamati, sementara yang lain berusaha mengelus punggungnya dan memeluknya.

Getaran smartphoneku terasa di pahaku, tasku kutumpukan disana. Aku membaca sekilas pesan WhatsApp yang masuk.

Quote:


Astaga, aku lupa. Aku janjian dengan Mas Hendi mau ketemu di stasiun Purwokerto saat dia transit, sebelum naik kereta lanjutan. Aku bingung, disatu sisi aku tidak mungkin ijin pulang dulu saat ini. Disisi lain aku nggak enak dengan Mas Hendi karena sebelumnya sudah janjian mau ketemu dulu, aku mau kasih oleh-oleh. Dan oleh-oleh itu pun tertinggal dirumah. Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah. Tetap berada disini. Menemani kesedihan sahabatku.

Quote:


Lama Rizky masih menangisi kepergian Aya. Di saat dia mulai tenang dan bercerita, kami baru mengerti Aya ternyata sudah dikebumikan jam 7 tadi. Sehingga kedatangan kami bisa dibilang terlambat. Hal ini juga menjawab pertanyaan yang terus berkecamuk di benak kami sejak sampai disini.
Lama aku hanya bisa memandangi Rizky yang tiap teringat Aya masih menangis. Akhirnya aku mendekatinya, menepuk punggungnya.

“Kamu harus kuat untuk Aca, dan mungkin inilah yang terbaik untuk Aya. Dia sudah tidak akan merasakan sakit lagi. Berdoalah untuknya dan berikan yang terbaik untuk Aca. Agar kamu tidak menyesal nantinya,”

“Iya, Ki”.

Tak lama Suaminya Rizky dan Aca datang. Kami menyambut si anak lelakinya yang tengah tersenyum memandang ibunya itu dengan doa. Semoga dia bisa menghibur Ibunya yang tengah patah hati. Sejak kedatangan Aca, Rizky mulai tersenyum, menggendong dan mengajaknya bercanda.

Kami yang mulai merasa bahwa sudah terlalu lama berada disini mulai pamit undur diri. Rizky dan keluarganya mengantarkan kami semua sampai pintu gerbang.

Hari beranjak siang. Kami pun mulai kembali ke rutinitas masing-masing walau masih menyisakan kepedihan, turut merasakan kesedihan.


***

Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa tahun baru menyambut lagi dalam suasana yang berbeda. Kini, aku tengah melangkah keluar dari mobil bersama Dwi. Memandangi sebuah rumah yang asri di pinggir jalan. Bunga Mawar sedang bermekaran di halaman rumahnya.

Sesosok laki-laki muda menyambut kami di teras.

“Halo, Ki, Dwi. Ayo masuk, Sari sudah menunggu di dalam, tuh“

Aris, suami Sari, menuntun kami memasuki sebuah kamar yang cukup luas dan mulai dipenuhi barang-barang khas bayi.

“Halooo Sayaang.”

Kami mulai cipika-cipiki bersama Sari dan Sandra, salah satu teman kami, yang ternyata sudah datang lebih dahulu.Si jagoan kecil menggeliat manja di kasur empuknya.

“Namanya siapa, say?” Aku bertanya sambil menowel pipi lembutnya.

“Ibnu Sina”

“Kirain Avicenna, neng.” Aku memandang Sari dengan jahil.

“Ya itu kan nama aslinya. Bapaknya tuh penggemarnya.”

Kami tertawa bareng-bareng.

“Eh, kamu tahu, Eli melahirkan nggak, Ki?” Tanya Sari sambil mengendong anaknya.

“Beneran? Anak kedua, dong?” Ujarku kaget.

“Iya, tapi kata dia anak pertamanya, meninggal”

Perasaanku langsung loss , nggak enak.

“Maksudmu, Aya?”

“Iya.”

“Innalillahi… kok aku nggak di kasih tahu, ya? Aku udah lama nggak kerumah dia, sih. Lagi sibuk ngurusin ponakan yang lagi aktif-aktifnya.”

Aku merasa sedih mendengarnya, sekaligus menyesal karena kemarin-kemarin berniat kerumah Eli sehabis Idul Fitri namun belum sempat-sempat.

“Ya mungkin dia lagi sibuk, Ki.”

“Iya juga kali, ya. Kamu tahu dari siapa, Sar?”

“Kemarin Eli telepon aku, habis lihat story-ku yang melahirkan. Trus kita cerita-cerita gitu. Dia baru cerita habis kehilangan anak pertamanya. Sakit gitu. Tapi katanya udah lama sih meninggalnya.”

“Oalah, udah lama nggak kedengeran kabarnya. Malah berita duka dapetnya.”

Sejenak kami terdiam. Memanjatkan doa dalam hati.

Lama kami disana sampai hampir menghabiskan cemilan favorit suaminya. Dan pulang saat hari beranjak sore.

"Kamu mau kerumah Eli, Ki?" Dwi mengajukan pertanyaan sambil menyetir ke arah pulang.

"Besok aja deh aku kerumah dia. Ngabarin dulu, kali aja dia lagi pergi."

aku mengambil smartphone dan mengirim whatsApp ke Eli.

"Iya juga, sih. Katanya tadi diare, ya?"

"Iya, sama kayak Aya-nya Rizky, ya?"

"Aku denger dari temenku yang kerja di RSUD, cuma di daerah kita aja yang diarenya beda." Dwi mengarahkan mobil membelok di perempatan jalan protokol.

"Beda gimana, neng?"

"Ya entah kenapa cuma virus diare disini yang kalau terlambat ditangani, bisa menyerang sampai ke otak. Kebanyakan kasus kematian bayi disini karena diare."

"Lah, emang di daerah lain nggak?" aku menyebutkan salah satu daerah tetangga kabupaten. Dwi menggeleng.

"Temenku bilang hanya di daerah sini aja yang begitu. Daerah lain yang rujukan kesana malah nggak pernah ada."

aku tercenung.

"Di tempatmu belum pernah ada kasus itu?"

"Alhamdulillah sih belum ya, semoga aja nggak ada. Mesakke ngeliatnya."

"Iya sih, neng."

Banyak pikiran berkecamuk di otak kami sepanjang perjalanan pulang.

***

"Halo... Kiii."

Eli setengah menjerit menyambutku di pintu masuk rumahnya. Sambil menggendong bayi kecil.

"Halo, Say. Gimana kabar?"

Kami cipika-cipiki sejenak.

"Alhamdulillah, baik. Kamu habis darimana?"

Aku menyorongkan bungkusan kue kepadanya.

"Dari rumah aja, kok. Ini buat orang rumah."

"Ngerepotin aja, Ki. Ayo duduk. Maaf ya lagi berantakan. Belum sempet beres-beres."

Aku duduk di salah satu kursi yang kosong dari tumpukan buku.

"Sante, neng. Halo... siapa iniii?"

Aku mencubit pipi si bayi kecilnya.

"Halo, tante... aku Ahmad."

Mata Ahmad terbuka lebar memandangiku. Tangannya mengepal di depan mulutnya. Aku tersenyum memandanginya.

"Kamu kok nggak ngabarin kalau Ahmad lahir?"

"Maaf, Ki. Waktu itu juga lagi repot-repotnya. Banyak kejadian." Mata Eli menerawang jauh.

"Aya meninggal ya, Li?"

"Kamu tahu dari siapa, Ki?"

"Kemarin aku habis kerumah Sari, nengok bayinya. Terus dia cerita, deh."

Eli menarik nafas sejenak, mulutnya membentuk sebaris senyum tipis. Walau dari matanya, aku tahu bahwa kesedihan masih menghinggapinya.

"Habis Ahmad lahir, baru seminggu, Aya sakit diare. Udah sempet dibawa ke RS deket sini. Tapi karena katanya perlu penanganan serius, dirujuk ke RSUD. Aku gantian dengan adikku jagain dia. Repot banget. Apalagi Ahmad kan nggak dibolehin masuk kesana, aku jadi bolak balik."

"Berapa lama dia disana, Li?"

"Hanya sehari semalam, Ki. Besoknya dia pergi."

Aku mengelus punggungnya. Mencoba menguatkan.

"Maaf aku nggak datang, Li."

Eli menengok ke arahku, dia tersenyum lagi.

"Gapapa, kok, Ki. Aku memberi nama untuknya Arsyila... arti namanya adalah wanita cantik yang sempurna. Saking sempurnanya, dia sudah lebih dahulu menghadap Sang Khalik."

"Semoga dia menjadi bidadari-Nya yang akan menjemputmu kelak, Li."

"Aamiin, Ki."

Tak tampak air mata dari matanya. Tampaknya dia sudah mengikhlaskan kepergian anaknya. Aku yang malah hampir menitikkan air mata. Masih terpatri dalam ingatanku, saat Aya masih beberapa bulan, dia pernah tertidur ketika kugendong. Bahkan terakhir kali bertemu, Aya terus memandangiku ketika aku mau pulang sehabis main dirumah Eli.

Aku mengelus lengan Ahmad.

"Semoga kamu sehat terus ya, nak. Jadi anak kuat yang bisa menjaga bundanya."

Eli tersenyum kembali

"Aamiin, Ki."

***

“Kamu sudah belajar soal ini, kan?”, Tanya Mas Rio.

Aku tersadar.

“Iya, Mas. Udah. Cuma ya aku masih ngerasa sedih”.

Mas Rio tertawa pelan.

“Kamu emang gampang terharu tho, Mbak. Makanya kamu melakukannya. Nggak tegaan”.

“Ya... gimanapun juga. Aku kasihan, Mas. Dua-duanya masih setahun umurnya. Aku ngelihat gimana mereka tumbuh selama ini. Merasakan mereka pernah berada dalam gendonganku. Anak sekecil itu harus merasakan sakit.”

Aku terpekur. Memandangi lantai.

"Yang kita pahami, hidup itu milik Gusti Allah, bagi Gusti Allah. Kematian adalah sebuah keuntungan. Bukankah kematian merupakan tujuan akhir perjalanan hidup ini? Aku, kamu, dan yang lain pasti akan mati. Aku akan bilang turut berbahagia, karena sudah bertemu dengan Gusti Allah, berakhir perjalananmu, lulus. Nilai kelulusan kita? Itu urusan Gusti Allah nanti. Buat orang lain, apa yang kita yakini pasti jadi polemik. Tapi inilah tujuan hidup sebenarnya, kan?"

"Ya, Mas. Saat kita sudah berada di alam lain, sudah tidak bisa beribadah, beramal. Mumpung masih hidup ya maksimalkan hal tersebut."

"Teruslah mengingat kematian, Mbak. Kita tidak pernah tahu kapan Gusti Allah mengakhiri perjalanan kita disini. Seperti yang aku bilang saat kita bertemu pertama kali. Kamu sudah siap mati?", Tanya Mas Rio pelan.

Aku sedikit tersenyum mengingatnya.

Terdengar panggilan dari pengeras suara, kereta Joglokerto sudah datang di jalur Lima.

‘Yuk, Mbak. Ntar telat kamu naik keretane.’

Mas Rio beranjak berdiri dari bangku. Aku pun turut serta sambil menggendong tas ranselku. Kami berjalan bersama menuju tempat pemeriksaan tiket.

"Makasih Mas. Atas bantuannya disini".

"Aku yang seharusnya berterima kasih kamu sudah datang kesini memenuhi undanganku."

Aku tersenyum sedih. Rasanya masih kurang waktuku disini.

"Jangan lupa kabari kalau sudah sampai ya. Sampai jumpa lagi.” Ucap Mas Rio sambil tersenyum lebar.

"Iya, Mas. See you".

Aku melewati tempat pemeriksaan tiket, melihat kearahnya lagi. Dan berbalik menuju keretaku.

***

This thread is a Tribute to Soraya & Arsyila. Two little angels in heaven.

Terima kasih emoticon-rose


NB : Karena ini adalah real story, semua nama disamarkan utk kepentingan semua pihak. Bagi yg merasa mengenal atau mengetahui, diharapkan utk tdk menyebarkan. Terima kasih
Diubah oleh prayformysky 21-09-2019 02:20
anasabilaAvatar border
indriketarenAvatar border
indriketaren dan anasabila memberi reputasi
2
471
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan