- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
KPK Tak Butuh Dewan Pengawas


TS
noisscat
KPK Tak Butuh Dewan Pengawas

Selasa, 10 September 2019
Jakarta, CNN Indonesia -- Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (5/9) menyepakati Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Revisi UU KPK. Rencana revisi UU KPK itu pun menjadi usul inisiatif DPR untuk diminta persetujuan pemerintah.
Tak ada penyampaian pandangan masing-masing fraksi secara terbuka dalam sidang paripurna tersebut. Kesepakatan diambil setelah juru bicara dari 10 fraksi yang duduk di Senayan menyampaikan pendapat secara tertulis ke meja Pimpinan DPR.
Dari keseluruhan 70 Pasal, terdapat satu poin mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK. Anggota Dewan Pengawas terdiri dari lima orang yang dipilih dengan mekanisme Panitia Seleksi (Pansel), Presiden, dan ditetapkan DPR. Dalam draf RUU tersebut diketahui bahwa Dewan Pengawas dibentuk dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Lembaga nonstruktural yang dalam menjalankan tugasnya ini bersifat mandiri.
Tugas dari Dewan Pengawas seperti tercantum pada Pasal 37B RUU KPK ialah memberi izin atau tidak terkait penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan; menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai KPK; menyelenggarakan sidang dugaan pelanggaran kode etik. Kemudian melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun; menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang tersebut.
Lalu Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala dan disampaikan kepada Presiden serta DPR.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai RUU KPK yang di dalamnya mengatur segala tugas dan wewenang Dewan Pengawas sebetulnya memiliki niat dengan tujuan untuk mengontrol KPK.
Dalam tatanan tata negara, kata dia, sebagai lembaga independen maka KPK sebetulnya sudah memiliki pengawasnya sendiri yakni rakyat dan perwakilannya yang berada di DPR.
"Karena itu, ciri dari lembaga independen seperti KPK itu pengawasannya langsung dari rakyat, secara sosial-politik. DPR juga masih bisa mengawasi tapi kan tidak bisa intervensi kasus. Jadi, dia bisa ada kontrol administratif, anggaran, dan sebagainya," tutur Refly saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Senin (9/9).
Menurut dia, tidak sepatutnya dibentuk pengawas untuk KPK. Sebab, KPK juga sudah dikontrol dengan mekanisme pengadilan.
"Sekarang saat ini menurut saya KPK sudah sibuk sekali ketika praperadilan diperbolehkan, karena hampir semua penetapan tersangka dipraperadilankan. Dan orang-orang tertentu; orang-orang kuat bisa memenangkan itu. Ya, kan?," imbuhnya.
"Nah, sementara kalau dia sembarangan tanpa bukti yang kuat ini akan keteter di pengadilan tipikor nanti. Apalagi kita tahu bahwa kalau sudah tidak adanya Artidjo Alkostar di MA itu orang semakin berani mengajukan kasasi dan PK," sambungnya.
Di satu sisi, Refly tak bisa menampik kecurigaan bahwa pembentukan Dewan Pengawas berkelindan erat dengan tindakan korupsi yang masih bersarang di tubuh DPR.
Apalagi, terdapat kasus menahun yang masih berjalan di KPK yang dalam fakta persidangan menyeret sejumlah nama anggota DPR seperti korupsi mega proyek e-KTP elektronik (e-KTP). Kasus tersebut terjadi pada 2011 silam, sementara dalam draf RUU KPK disebutkan bahwa KPK dibatasi waktu satu tahun untuk menangani suatu perkara dan berwenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
"Ya, memang sudah menjadi rahasia umum. Jangankan itu, DPR lebih dari itu. Yang mereka mau KPK bubar. Dulu kan sebelum ini 2-3 tahun yang lalu ada RUU yang membatasi nasib KPK cuma 12 tahun ke depan," kata pria yang pernah menjadi staf ahli di Mahkamah Konstitusi (MK) dan staf ahli presiden dalam bidang hukum.
"Lalu kemudian yang namanya pengungkapan kasus yang Rp5 miliar ke atas, kan gitu. Kalau itu dipraktikkan, 'o ngga ada lagi gunanya KPK'," sambungnya.
Berdasarkan catatan KPK, hingga Juni 2019 pejabat publik terbanyak yang tersandung ke dalam pusaran korupsi dan pencucian uang adalah Anggota DPR dan DPRD dengan 255 perkara. Disusul kepala daerah berjumlah 110 perkara.
"Padahal niatnya adalah untuk mengontrol KPK, baik langsung maupun tidak langsung," katanya.
Oleh karena itu, Refly menilai KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini sedang menghadapi ujian yang berat. Bukan hanya RUU KPK, proses seleksi calon pimpinan KPK yang tengah berlangsung pun menambah daftar ujian tersebut.
Agak sedikit berbeda dengan Refly, pakar hukum tata negara Syamsuddin Radjab justru setuju dengan rencana hadirnya dewan pengawas KPK. Tapi, sambungnya, dengan catatan tak memiliki tugas dan wewenang yang termaktub dalam draf RUU KPK saat ini. Tugas dan wewenang Dewan Pengawas yang tercantum dalam RUU KPK saat ini, katanya, sudah seharusnya ditolak.
"Terkait Dewan Pengawas KPK poinnya menurut saya dibutuhkan dengan fungsi untuk mempercepat laju pemberantasan tipikor. Bukan menjadi penghambat pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Dan tentu saja mengawasi hal-hal yang bersifat etik moral," kata pengajar ilmu hukum di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.
Syamsuddin mengatakan setidaknya ada sejumlah masalah terkait pembentukan Dewan Pengawas dalam draf RUU tersebut. Seperti kedudukan Dewan Pengawas yang nonstruktural atau bersifat mandiri sampai penyadapan yang harus mendapat izin Dewan Pengawas.
"Dewan Pengawas dalam rumusan norma DPR itu melakukan perluasan kewenangan," ucapnya.
Kesimpulan tersebut mengacu pada fungsi Dewan Pengawas yang berada di atas komisioner KPK. Dalam hal ini terkait pemberian izin atau tidak mengenai penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Menurutnya tiga tindakan tersebut merupakan ranah penyidik lembaga antirasuah atas persetujuan Pimpinan KPK.
Selain itu juga terhadap tindak lanjut mengenai laporan dari masyarakat perihal dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang tersebut. Terkait permasalahan etik, ia mengatakan KPK sebenarnya memiliki Direktorat Pengawasan Internal (PI). Termutakhir, divisi itu memproses dugaan pelanggaran etik Deputi Penindakan KPK Irjen Firli Bahuri karena telah bertemu Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi. Padahal, lembaga antirasuah itu sedang menyelidiki dugaan kasus divestasi saham PT Newmont yang menyeret TGB.
Namun, proses pemeriksaan terhenti lantaran Firli ditarik lembaga asalnya yakni Kepolisian RI untuk mengisi kursi Kapolda Sumatera Selatan. Firli sendiri saat ini ikut dalam proses seleksi capim KPK, dan masuk 10 besar untuk dipilih di DPR.
Hampir serupa, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar pun mengungkapkan substansi RUU KPK tidak logis dan malah melemahkan kedudukan lembaga antirasuah itu. Menurut pengajar di Universitas Trisakti tersebut, eksistensi KPK sebagai lembaga independen bisa terhapus oleh sejumlah perubahan yang diusulkan ke dalam UU KPK itu.
Menurutnya dalih menguatkan KPK yang 'nyaring' dibunyikan legislator hanya sebatas alibi untuk 'menggergaji' independensi dan eksistensi gerakan pemberantasan korupsi.
"Korupsi tidak punya lagi oposisi karena ternyata musang berbulu demokrasi," ujarnya.
Atas dasar itu, Fickar mengultimatum Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) agar tegas menolak RUU tersebut.
"Jangan main-main dengan aspirasi masyarakat, pasti akan ada akibat sosiologi dan yuridisnya," kata Abdul Fickar.
https://m.cnnindonesia.com/nasional/...dewan-pengawas
Revisi UU KPK berkaitan dengan pembentukan "Dewan Pengawas KPK" yg bertugas mengawasi tugas dan wewenang KPK...
Ya lucu donk kalo KPK bekerja ada dewan pengawas nya??
Belum lagi para "Dewan Pengawas KPK" di pilih oleh anggota DPR..
Kalo KPK mau nyadap si A trus sama Dewan Pengawas nya bilang "tidak perlu disadap dan di geledah" amsyong donk ntar keburu bukti nya di lenyapkan mereka yg pada korup....


Trus part revisi UU KPK soal "SP3"...

Karna sering KPK buang waktu kelamaan buang menyelidiki suatu kasus korupsi kaya contoh kasus korupsi "EKTP"..
KPK padahal udah punya bukti korupsi "EKTP" dari tahun 2013 terkait setnov.. tapi di tetapkan tersangka nya si setnov baru per 2017.. 4 tahun itu kelamaan woi...


TAPI kalo kasus korupsi EKTP saat itu udah di berlakukan SP3 yg ada di revisi UU KPK sekarang,,
Ya berarti setnov saat ini justru lolos jadi tersangka donk..???
Gak masuk penjara donk setnov kalo kasus korupsi dari penyidik KPK lewat dari setahun??? Karna kasus nya di berhentikan SP3??? Cape dech gw...


Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) akan segera direvisi DPR.
Salah satu poinnya akan mengatur kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan ( SP3).
SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 40 ayat 1 yang berbunyi, "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun."
Penghentian penyidikan dan penuntutan nantinya harus dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK, dalam jangka waktu satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.
Namun demikian, jika ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan, Pimpinan KPK dapat mencabut surat SP3.
Diubah oleh noisscat 12-09-2019 00:27
0
1.1K
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan