Menjelang Kemerdekaan Indonesia beberapa saat yang lalu, terjadi suatu insiden yang dampaknya masih terasa sampai sekarang. Yakni insiden pengrusakan bendera merah putih di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, yang akhirnya semakin melebar karena ada oknum dari ormas dan aparat yang melontarkan ujaran kebencian dalam proses penyelesaiannnya.

Ujaran tersebut berupa kata "monyet" yang digunakan untuk melabeli para mahasiswa Papua. Namun ormas dan instansi terkait tempat oknum ini bernaung, telah mengklarifikasi bahwa sikap mereka merupakan sikap pribadi dan ini tidak sama sekali mencerminkan sikap ormas atau instansi.

Secara garis besar, kronologi insiden ini terjadi ialah karena di asrama mahasiswa Papua menurut keterangan masyarakat sekitar tidak pernah mengibarkan bendera merah putih saat memperingati Hari Kemerdekaaan Indonesia. Sebagai bentuk protes, masyarakat akhirnya memasang tiang beserta bendera merah putih didepan asrama tersebut. Beberapa saat kemudian didapati bahwa bendera ini ada di got dan tiangnya yang berupa bambu dipatah-patah.

Ramelah disitu. Asrama tersebut akhirnya dikepung dengan para oknum yang vokal meneriaki dan memaki hingga terlontarlah kata-kata "monyet". Walaupun kemudian tidak terbukti bahwa yang merusak tiang dan bendera adalah penghuni asrama Papua.

***
Perihal memasang bendera merah putih memang bukan sekedar budaya. Melainkan suatu peraturan yang biasanya dipertegas dengan surat edaran yang isinya mewajibkan untuk mengibarkan bendera merah putih. Namun ane mengakui bahwa ane tidak ingat kapan terakhir ane menerima surat yang biasanya diedarkan oleh Pak RT ini.



Masalah menghina bendera merah putih, bentuknya bisa bermacam-macam. Bahkan mungkin sebagian dari kita juga melakukannya. Siapa diantara kita yang kalau mengibarkan bendera tapi tidak diturunkan pas maghrib atau menjelang malam? Padahal peraturannya, pengibaran bendera itu dilakukan pagi hari kemudian diturunkan pas maghrib. Hal ini terus dilakukan selama seminggu sebelum sampai seminggu sesudah 17 Agustus. Sadarkah kalian kalau kalian telah menghina bendera merah putih dengan membiarkan bendera tersebut diluar pada malam hari?

***
Menurut ane keadaan saat itu bisa dianalogikan begini. Jika pada saat agan berjalan lalu ada yang meneriaki agan maling, apakah agan akan diam saja menunggu dikepung warga? Normalnya agan pasti lari. Sebab warga yang sudah terlanjur emosi kemungkinan tidak akan mendengarkan apapun yang agan katakan. Walaupun sebenarnya agan bukan maling.

Silakan cari sendiri di internet, sudah berapa orang yang babak belur dihajar warga tapi tidak terbukti maling. Begitulah kira-kira alasan mahasiwa Papua tersebut mengurung diri di asrama.

***
Yang paling disesalkan adalah ujaran rasis "monyet" yang terlontar. Semoga ini hanya merupakan pandangan pribadi oknum tersebut. Dan tidak ada lagi rakyat Indonesia yang berpikiran seperti ini.

Ini merupakan bentuk kegagalan pendidikan di negara ini. Ingatkah buku sekolah telah mendefinisikan bangsa Indonesia sebagai bangsa melayu? Secara tidak langsung pemerintah telah mendiskriminasi etnis melanesia (Indonesia Timur: Papua dan sekitarnya). Pemerintah telah mendoktrin rakyat bahwa Indonesia hanyalah terdiri dari satu bangsa etnis melayu. Apakah memang itu Indonesia?

Maka kemudian wajarlah terjadi diskriminasi dan rasisme. Karena secara tidak langsung kita telah diajarkan begitu. Diajarkan bahwa Indonesia adalah melayu, yang lain hanya menumpang disini. Akibatnya seruan untuk kemerdekaan Papua semakin kencang, karena mereka merasa dianak tirikan. Mereka diperlakukan tidak seperti saudara, tidak dianggap setara.

Ane teringat penggalan lirik lagu rapper Whllyano yang berjudul My Land Papua.