- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Schizofrenia


TS
cattleyaonly
Schizofrenia

Schizofrenia Part 1
Jadi beginikah Zaen, suaminya yang dulu mengejar-ngejarnya? Rima berteriak dalam hati. Tega sekali lelaki itu memperlakukannya seperti ini. Tangan dan kakinya memang tidak dirantai, tapi dia dikurung dalam kamar itu. Apa salahnya? Rima memandang pantulan wajahnya di cermin, yang terlihat adalah wanita dengan sorot mata yang datar, bibir pucat dan rambut awut-awutan.
Dia ingin membebaskan diri dari kamar itu dan berlari sejauh mungkin, menyusun strategi, dan pada saatnya akan membalas ketidakadilan itu. Awas kau Zaen!
Dari balik teralis jendela kamarnya dia bisa memandang ke arah halaman. Rima melihat Zaen, suaminya, berbincang dengan Nayla, tetangga sebelah yang baru 2 bulan yang lalu ditinggal mati oleh suaminya. Sikap suaminya sangat mesra pada wanita itu. Jadi ini arti dari sikap aneh Zaen belakangan ini? Berusaha menyingkirkan dirinya demi wanita itu? Bahkan, dari dalam kamarnya Rima bisa mendengar percakapan mereka.
“Dik Nayla, apa kabar?”
“Baik, Mas.”
“Kamu terlihat sangat cantik hari ini.”
“Ah, Mas bikin saya malu.”
“Bagaimana dengan rencana pernikahan kita? Apakah Dik Nayla setuju jika kita percepat?”
“Jika itu yang Mas Zaen inginkan, Nayla siap.”
“Terima kasih, Dik, mas sangat senang mendengarnya.”
“Jadi, kira-kira kapan saat yang Membahagiakan itu?”
“Dik Nayla sudah tak sabar ya?” Zaen tertawa genit disambut rona merah di pipi Nayla yang tersipu.
Rima tak kuat lagi mendengarkan percakapan mereka. Ditutupnya ke dua telinganya dengan telapak tangan. Matanya menyala, memendam amarahnya yang hampir meledak. Darahnya mendidih. Suara-suara dalam telinganya berlomba membisikan suatu.
“Dasar, kamu wanita pecundang.”
“Bunuh saja lelaki tak berguna itu.”
“Ha...ha...ha...ternyata kamu tidak cukup berarti baginya.”
“Bahkan menolong dirimu sendiri kamu tidak mampu.”
“Cih....”
Rima tak kuat mendengar suara-suara itu, hingga dia pun mulai berteriak-teriak.
Di halaman, Zaen memohon kepada Nayla. “Tolong jemput Yasmin di sekolahnya jam 11. Saya mungkin tak bisa tepat waktu. Kondisi Rima semakin buruk. Saya tak mungkin menunda lagi membawanya ke rumah sakit.”
“Tenang saja, Mas Zaen, saya akan menjemput Yasmin pulang sekolah. Konsentrasi saja pada kesembuhan Mbak Rima.” Nayla tersenyum sopan. Wanita cantik dengan bola mata yang bening itu harus menghadapi ujian yang tak kalah beratnya dari Zaen. Suaminya yang seorang pilot meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat di saat usia pernikahan mereka Baru berjalan 1 tahun.
***
Pintu kamar terbuka. Zaen masuk bersama Ibunya dan Fauzan, adik laki-lakinya. Mereka berusaha memenangkan Rima.
“Mau dibawa ke mana aku? Lepaskan...lepaskaaan....!” Rima berusaha berontak.
“Rima sayang, aku akan membawamu berobat.” Zaen membelai pipi istrinya dan menyisir rambutnya yang awut-awutan.
“Aku tidak sakit. Kenapa dibawa ke rumah sakit?”
“Lihatlah wajahmu di cermin, Sayang, kamu pucat sekali.” Zaen berusaha meyakinkan istrinya.
“Kamu akan menyingkirkanku demi wanita itu bukan?”
“Wanita yang mana?”
“Tidak usah pura-pura, Mas, wanita yang barusan kamu ajak ngobrol.” Rima tersenyum sinis. “Tidak usah mengelak, aku mendengar sendiri percakapan kalian tadi.” Mata Zaen terbelalak. Bagaimana istrinya itu bisa mendengar percakapannya dengan Nayla sedangkan jarak antara kamar dan tempat dirinya berbicara dengan Nayla tadi sangat jauh. Rumah mereka adalah rumah kuno dengan halaman yang sangat lebar dan dipenuhi oleh aneka pepohonan. Rima semakin sulit dimengerti bagi Zaen, tak ada lagi kehangatan dan kemesraan seperti yang dulu.
“Aku hanya meminta tolong Nayla untuk menjemput Yasmin dari sekolah, karena kita akan ke rumah sakit.”
Rima mendengus tak percaya namun membiarkan Zaen membimbingnya ke mobil.
Bu Afifah, mertua Rima menangis sesenggukan di sebelahnya. Sementara Raut wajah Zaen tampak membeku, dan Fauzan dengan wajah gusar menyetir terburu-buru.
Akan ke mana mereka membuangnya? Rima bertanya dalam hati. Ia tiba-tiba merasa senang. Di tempatnya dibuang nanti, ya...dari situ dia akan keluar dan menuntut balas atas perlakuan buruk ini. Sudah 2 hari dia dikurung dalam kamar itu. Bahkan Yasmin, anak semata wayangnya, tak diperbolehkan masuk.
Fauzan memarkir mobil di halaman rumah sakit. Rima menatap sekeliling dengan liar. Zaen menuntunnya turun dari mobil. Seketika ada rasa muak pada lelaki itu. Lelaki yang beberapa menit yang lalu berselingkuh di halaman rumahnya sendiri dan sekarang pura-pura baik padanya.
Mereka memasuki ruangan. Rima didudukkan di sebuah kursi di samping Zaen, di depan seorang dokter. Dokter itu bernama Devi, bisa dilihat dari papan namanya.
“Jadi...apa yang terjadi?” Dokter Devi membuka percakapan. Seorang perawat menyerahkan sebuah buku dokumen pasien yang biasa disebut status kepadanya.
“Sudah semenjak sebulan ini istri saya berkelakuan aneh dok,” jelas Zaen sambil menoleh kepada Rima. Rima bersikap tak acuh. “Mula-mula dia sering menyendiri, berkata-kata yang tidak jelas, marah-marah tanpa sebab dan seminggu terakhir ini mulai jarang mandi. Dia merasa ada suara-suara yang menganggunya. Suara-suara itulah yang terkadang membuatnya mengamuk.”
Dokter Devi membuat catatan anamnesis dan kemudian melihat ke arah Rima. “Bu Rima, suara-suara itu membisikkan apa?”
“Suara-suara itu menghina saya.” Rima menjawab dengan terbata. Matanya melihat ke arah dokter Devi, tapi dokter hanya melihat _afek_ yang tumpul.
“Kapan suara-suara itu terdengar di telinga Ibu?”
“Hampir setiap waktu, terlebih ketika saya sedang sendiri.”
“Adakah hal lain yang mengganggu Ibu?”
“Ada. Hubungan suami saya dengan tetangga kami. Suami saya berselingkuh.” Rima menatap Zaen dengan marah.
“Tidak, Dok, itu hanya anggapannya. Dia selalu mencurigai apa saja. Bahkan para tetangga yang saling menyapa ketika berpapasanpun dia merasa mereka sedang membicarakan dirinya.”
“Dia memang berselingkuh, Dok.” Rima kehilangan kendali dan berusaha menyerang suaminya. Perawat dengan sigap mengamankan Rima.
Dokter Devi memberi instruksi kepada perawat untuk menyuntikkan 1 ampul obat kepada Rima. Butuh Zaen dan 2 orang perawat untuk menginjeksikan obat itu. Dalam beberapa menit Rima tenang dan tertidur. Zaen memandang wanita itu. Wanita yang sangat dicintainya dan telah memberinya satu anak. Apa yang sesungguhnya terjadi padanya? Apakah ada sesuatu kejadian buruk menimpanya, menekan jiwanya yang tak diketahui Zaen?
Zaen meninggalkan rumah sakit. Hatinya sedikit tenang karena Rima akan mendapatkan perawatan yang maksimal dan tadi sebelum berangkat dia telah titip kepada Nayla agar menjemput Yasmin pulang sekolah.
Sampai di rumah Zaen melihat Yasmin sudah ganti baju dan berlari ke arahnya. Nayla mengikutinya dari belakang.
“Ayah, bagaimana keadaan Bunda?”
“Bunda baik, Nak...hanya saja bunda perlu perawatan. Nanti hari minggu kita jenguk bunda sama-sama ya?” Yasmin mengangguk dan memeluk ayahnya erat.
“Terima kasih, Nayla, sudah mau menjemput Yasmin.” Zaen melihat ke arah Nayla. Wanita itu tersenyum. Mata beningnya berpendar ramah, memberikan keteduhan bagi siapa saja yang melihatnya.
“Tidak usah sungkan, Mas, lagian saya tidak ada kerjaan di rumah.”
“Katakan saja kalau sudah siap bekerja lagi, nanti aku hubungkan dengan kepala bagian kepegawaian di kantorku.”
“Iya, Mas, nanti saya kabari kalau saya sudah siap.” Nayla mencubit pelan pipi Yasmin. “Tante pulang dulu ya?” katanya pada gadis kecil itu dan melangkah keluar.
Zaen memandang wanita itu hingga menghilang di balik pagar.
***
Ini adalah bulan ke 5 Rima dirawat di rumah sakit. Tetapi tidak ada perubahan yang berarti. Hanya saja dia tidak agresif seperti dulu.
Hari itu Zaen menjenguk Rima di bangsalnya. Suster Mariani memanggil Rima ke luar, ke tempat suster-suster biasanya duduk, di situ ada satu set kursi tamu.
Rima duduk di hadapan Zaen, wajahnya datar, tak ada secuilpun senyum di bibirnya. Bahkan tadi Zaen melihat jalannya agak kaku seperti robot.
“Bagaimana keadaanmu, Rima?” sapa Zaen. Rima tak segera menyahut. Dia asyik memainkan ujung bajunya.
“Rima, kenapa diam saja? Tak rindukah kau pada suamimu?” Suster Mariani ikut angkat bicara.
“Emmm.... iya....aku baik... tapi suara-suara itu masih sesekali datang,” Rima membuka suara.
“Rima.....” Zaen meraih tangan Rima. “Kamu Harus melawan suara-suara itu.... suara-suara itu sebenarnya tidak ada....” Zaen menatap mata istrinya. Mata itu terlihat kosong. Dia memang melihatnya, tapi pikirannya entah di mana. Rima seperti hidup dalam dunianya sendiri.
“Cepatlah sembuh, Rima, kami merindukanmu. Aku dan Yasmin....kami ingin kamu cepat pulang.....” Suara Zaen melemah, tidak mampu dirinya melihat Rima seperti itu. Rima dulu adalah gadis yang cerdas, dia pandai membaca puisi, idola cowok-cowok di sekolahnya namun Zaenlah yang berhasil menaklukkan hatinya dan membawanya ke pelaminan.
“Suster aku ngantuk, aku mau kembali ke kamarku.” Rima meminta kepada suster mariani untuk masuk ke bangsalnya.
“Rima, kan masih ada suamimu, masa mau kau tinggal?” Suster Mariani berusaha mencegah.
“Sudahlah suster, biarkan Rima istirahat jika dia menginginkannya. Saya akan pulang saja,” kata Zaen.
Rima bangkit dari duduknya kemudian tanpa berpamitan pada Zaen dirinya meninggalkan laki-laki itu.
“Suster Mariani, saya pamit dulu. Titip istri saya,” kata Zaen sambil menjabat tangan suster Mariani. Bersamaan dengan itu ponsel-nya berdering.
Sesampainya di koridor rumah sakit Zaen mengangkat ponsel-nya. Sebuah panggilan dari Nayla.
“Assalamu’alaikum, Mas Zaen.”
“Wa alaikumussalam. Ada apa, Nayla?”
“Saya pikir-pikir sebaiknya saya tidak berlarut-larut dalam kesedihan saya, Mas, saya ingin kerja lagi, supaya ada kegiatan.”
“Oh, bagus itu, Nay, biar kamu tidak kebanyakan melamun.”
“Iya, Mas.”
“Besok pagi bareng saya saja ke kantornya. Jangan lupa bawa berkas-berkas yang diperlukan.”
“Iya. Terima kasih banyak.” Nayla menutup telponnya. Senyumnya sedikit mengembang. Sudah lama dia tidak merasakan kebahagiaan. Sejak kecelakaan merenggut nyawa suaminya.
***
Pagi itu Zaen terlihat sedikit bersemangat. Disuruhnya Yasmin bersiap lebih pagi dari biasanya. Zaen akan mengantar Yasmin ke sekolahnya dulu sebelum melanjutkan perjalanannya ke kantor.
“Ayo, Yasmin, nanti ayah telat.”
“Sebentar, Yah, Yasmin pakai sepatu dulu.”
“Yasmin, jangan lupa bekalnya dibawa.” Bu Afifah mengingatkan cucunya.
“Sudah, Nek.” Yasmin mendekati wanita tua itu kemudian mencium tangannya, berpamitan. Bu Afifah mencium kening cucunya dan memeluknya, kali ini begitu erat.
“Belajar yang rajin ya, Nak?” kata Bu Afifah. Yasmin mengangguk kemudian berlari-lari kecil menyusul ayahnya yang sudah lebih dulu berjalan ke luar.
Di luar dilihatnya ayahnya sedang berbicara dengan Nayla dan ketika melihat Yasmin sudah di dekatnya lelaki itu mempersilahkan Nayla untuk masuk mobil.
Zaen memacu mobil dengan kecepatan seperti biasa. Ketika sampai di depan sekolah Yasmin, laki-laki itu menghentikan mobil mengantar anaknya sampai di gerbang, melambaikan tangan ke arah gadis kecil itu dan kembali ke mobil.
“Maaf menunggu,” katanya pada Nayla.
“Tidak apa-apa, Mas,” jawab Nayla. “O ya, saya dengar dari Bu Afifah kemarin Mas Zaen menjenguk Mbak Rima. Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Belum ada perkembangan, Nayla, saya sendiri pun sudah merasa putus harapan.” Zaen memandang ke depan dengan menerawang. Sekilas dia kehilangan konsentrasi menyetirnya.
“Sabar, Mas, masing-masing kita mendapatkan ujian sendiri-sendiri.” Nayla berusaha menghibur tetangganya itu.
Hari itu, Nayla diterima di kantor tempat Zaen bekerja. Dia ditempatkan di bagian penjualan, sedangkan Zaen sudah 2 tahun ini menjadi kepala bagian produksi.
Walaupun beda bagian namun mereka sering bertemu. Terkadang Zaen menawarkan diri untuk pulang bersamanya, namun Nayla menolak dengan halus. Takut dengan pandangan orang, dia janda dan Zaen adalah lelaki yang ditinggal istrinya sakit.
Zaen tak bisa memungkiri, pasti di belakangnya orang-orang di kantor membicarakannya. Mungkin ada yang menghina, mungkin juga kasihan. Seperti halnya Pak Rahman, direktur di perusahaan tempatnya bekerja, secara khusus tadi memanggil Zaen ke ruangannya.
“Saya turut prihatin atas apa yang terjadi pada istri Pak Zaen, “ ucap Pak Rahman.
“Terima kasih atas perhatiannya, Pak, saya tidak tahu lagi harus melakukan apa.” Zaen merasa sangat pasrah.
Di luar hujan turun sangat deras. Zaen segera merapikan barang-barangnya, bersiap-siap pulang. Dia ingin segera merebahkan punggungnya di tempat tidur. Hari ini sangat melelahkan.
Zaen berjalan melewati lobi, memberi salam pada pegawai front office, kemudian melangkah keluar. Angin dingin membawa butiran-butiran hujan menerpa wajahnya. Di beranda kantor dilihatnya Nayla sedang berdiri sambil memandangi ponsel-nya.
“Nay, belum pulang?” sapa Zaen.
“Iya nih, lagi pesan grab car tapi belum ada driver yang ambil.”
“Pulang sama aku saja, Nay, daripada repot.”
“Boleh deh. Sudah 15 menit nunggu tapi belum dapat juga.”
“Mungkin karena hujan banyak yang pesan.”
“Mungkin juga.” Nayla mengikuti Zaen menuju mobil lelaki itu. Dia dan lelaki itu adalah dua orang yang sama-sama tidak beruntung.
Di dalam mobil, Zaen dan Nayla lebih banyak diam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Kedekatan fisik di antara mereka membuat Zaen tiba-tiba merasa kikuk. Hatinya mendadak gelisah. Semenjak Rima sakit belum pernah dia merasakan kedekatan dengan wanita lain.
Kedekatan fisik dengan Nayla membuat satu sisi dalam hatinya bergejolak. Zaen melirik wanita di sebelahnya. Dia wanita yang cantik, anggun dan sopan. Terlebih lagi dia sudah sendiri. Jantungnya tiba-tiba berdegub kencang.
“Nayla....” Suara Zaen memecah kesunyian di antara keduanya.
“Apakah kamu tidak berniat mencari pengganti almarhum suamimu?”
“Entahlah, Mas....aku belum berniat untuk itu. Biarkan saja semua mengalir. Jika suatu saat aku menemukan lagi jodohku aku akan menikah.” Nayla tersenyum.
“Jika suatu saat ada lelaki baik-baik melamarmu apakah
akan kamu terima?”
“Tergantung.” Nayla tertawa renyah. “Memangnya ada?”
“Suatu saat pasti ada. Kamu wanita yang cantik, rajin beribadah, sopan dan sudah pasti wanita yang sangat kuat. Semua lelaki pasti mendambakan wanita seperti itu.”
Nayla tersenyum, melihat lelaki di sebelahnya dari sudut matanya. Tampak gurat-gurat lelah di wajahnya, bukan hanya lelah fisik, namun jiwanya juga lelah. Nayla sangat mengenal lelaki itu dan keluarganya. Mereka keluarga yang harmonis, sampai cobaan itu datang.
Secara fisik lelaki empat puluh tahunan ini cukup tampan dengan mata yang lembut dan garis wajah yang kuat. Apa yang akan dilakukan lelaki ini nanti seandainya istrinya tak juga bisa disembuhkan? Apakah dia akan meninggalkan Rima?
Zaen berhenti di depan rumah Nayla. “Sudah sampai, Nay” katanya.
Nalya tersentak.
“Terima kasih, Mas,” katanya buru-buru turun dari mobil. Hujan tinggal menyisakan gerimis. Zaen melihat Nayla berlari-lari kecil melintasi halaman rumahnya. Lelaki itu kemudian segera menuju rumahnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Yasmin, anaknya sudah tidur. Sedangkan ibunya asyik menyulam di sofa ruang keluarga.
“Baru pulang ķau, Zaen? Sudah sholat isya?”
“Sudah, Bu, di kantor tadi. Zaen mau langsung tidur ya? Zaen lelah. Seharian ini sibuk sekali di kantor.” Zaen berjalan ke kamarnya. “Bagaimana Yasmin hari ini?”
“Dia ngambek tadi. Karena pamannya telat jemput sekolah. Tapi begitu pamannya merayu dengan es krim, ngambeknya jadi hilang.”
Zaen tersenyum, segera mengambil handuk dan mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Air hangat akan membuat otot-ototnya rileks. Tiba-tiba dia teringat senyuman Nayla. Wanita itu tiba-tiba membuat dadanya berdebar-debar. Dia tak bisa memungkiri, dia rindu sentuhan wanita. Rima...ah...wanita itu tak lagi mengenalinya seperti yang dulu. Dia juga tak mengenali orang lain sebagaimana dulu. Bahkan dia kehilangan realitas atas dirinya sendiri.
Zaen mematikan kran. Disekanya tubuhnya dengan handuk.
Dulu Rima selalu memanjakannya jika Zaen pulang lembur. Memijit kakinya dengan tangannya yang lembut. Juga sentuhan-sentuhan nakalnya. Zaen sungguh merindukan itu. Tapi masih mungkinkah dia berharap pada Rima?
Zaen mengenakan piyamanya, merebahkan tubuhnya di kasur dan memejamkan matanya yang lelah. Dalam sekejap dia tertidur dan melayang di alam mimpi. “Nayla,” gumamnya pelan.
Dalam mimpinya dia menggenggam erat tangan Nayla dan menariknya dalam pelukan. Wanita itu sungguh membuat hatinya yang kosong kembali bergairah.
***
Zaen mengetuk pintu kamar ibunya malam itu.
“Siapa?” Terdengar suara dari dalam.
“Zaen, Bu.”
“Masuklah, Zaen.”
Zen membuka pintu, dan dilihatnya ibunya sedang duduk di sisi ranjang, membaca tafsir Al-Qur’an.
“Ada apa , Zaen?” tanya wanita tua itu.
“Ibu, aku ingin melamar Nayla untuk aku jadikan istriku.” Bu Afifah sedikit terkejut tapi kemudian bisa menguasai diri.
“Apakah Nayla mencintai kamu?”
“Entahlah, Bu, aku tidak tahu hatinya. Tapi sepertinya sikapnya selama ini memberi angin.”
“Lalu bagaimana Rima. Apakah kamu akan membuangnya begitu saja?”
“Ibu, aku tidak mungkin membuangnya, aku tidak akan menceraikannya. Dia ibu dari anakku, Bu. Dan dia pernah mencintaiku dan mencintai keluarga ini dengan sepenuh hatinya.”
Air mata Bu Afifah meleleh mengingat kebaikan menantunya itu. “Jika begitu, ibu akan melamarkan Nayla untukmu.” Bu Afifah memeluk Zaen dengan erat. Betapa iba hatinya pada anak sulungnya itu. “Ya Allah, apapun ketentuan-Mu pasti baik untuk kami,” bisiknya dalam hati.
***
Pagi itu, di hari libur kerja, Bu Afifah dan Zaen pergi ke rumah Nayla. Nayla agak terkejut dengan kedatangan 2 orang tetangganya tersebut.
“Silahkan duduk dulu, Bu, Mas Zaen,” katanya. Nayla buru-buru hendak ke belakang tapi Bu Afifah segera mencegahnya.
“Tidak usah repot-repot, Nayla. Duduklah di sini,” pinta Bu Afifah. Nayla duduk di depan bu Afifah. Kepala Nayla diliputi tanda tanya.
“Nayla, ibu hendak melamarmu untuk anakku Zaen,” kata Bu Afifah pelan tapi membuat jantung Nayla hampir melompat dari tempatnya.
“Ibu, ini sungguh membuat saya terkejut,” kata Nayla
“Apakah kalian belum pernah membicarakan ini sebelumnya?” tanya Bu Afifah.
“Ibu, kami tidak berpacaran.” Zaen berusaha menjelaskan.
Sejenak suasana menjadi hening.
“Beri saya waktu untuk berpikir.” Suara Nayla memecah keheningan.
“Baiklah Nayla, berpikirlah baik-baik. Anak saya, Zaen, mungkin bukan lelaki yang sempurna, tapi dia lelaki yang bertanggung jawab dan pastinya akan berusaha membahagiakanmu.” Bu Afifah memandang wanita muda di depannya dengan tatapan yang lembut.
“Lalu Mbak Rima bagaimana?” Nayla menoleh ke arah Zaen.
“Aku tidak ingin menceraikanya, Nayla. Dia ibu dari anakku. Dia menyayangi kami semua. Bagaimana aku bisa meninggalkannya ketika dia sangat butuh aku?” Wajah Zaen tampak memelas. “Tapi aku lelaki, aku butuh seorang wanita di sampingku. Aku butuh teman untuk mengarungi hidup ini.”
Sejenak Nayla tertegun. Dia Ingin waktu sehari untuk berpikir. Sebenarnya dia sudah tahu jawabannya, sejak dia melihat ke dalam mata lelaki itu, ada cinta yang besar untuknya.
Esok harinya, sebelum berangkat kerja Nayla mengirimkan pesan singkat kepada Zaen.
“Mas, aku mau menjadi istrimu.”
Hati Zaen melompat
gembira. Segera diberitahukannya kabar itu kepada ibunya.
“Zaen, jangan pernah kau kecewakan dia. Jagalah dia dengan sepenuh jiwa ragamu,” pesan Bu Afifah
“Tentu saja, Bu, Zaen tak akan pernah mengecewakan Ibu.” Zaen memeluk ibunya.
***
Pernikahan Zaen dan Nayla diselenggarakan dengan sederhana. Hanya kerabat, tetangga dan teman dekat saja yang diundang. Zaen dan Nayla merasa sangat bahagia. Sisi hati yang kosong itu kini kembali terisi.
Para undangan pun tak kalah bahagia menyaksikan dua insan itu. Zaen dan Nayla layak mendapatkan kebahagiaan mereka lagi. Mereka sudah sangat bersabar untuk itu.
Bersambung
Diubah oleh cattleyaonly 12-09-2019 07:50






someshitness dan 14 lainnya memberi reputasi
15
3.9K
26


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan