- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kawasan Danau Toba tak Perlu Label Wisata Halal


TS
balnus2019
Kawasan Danau Toba tak Perlu Label Wisata Halal
Wacana Gubernur Sumatera Utara yang ingin menyajikan Wisata Halal menuai banyak polemik di tengah masyarakat, khususnya masyarakat yang lahir dan besar di kawasan Danau Toba, tak terkecuali alumni SMPN 1 Ajibata. Mereka dengan tegas menolak wacana tersebut.
Salah satu lulusan SMPN 1 Ajibata tahun 2007, Tunggu Situmorang secara tegas mengatakan menolak keras wacana Gubernur Sumatera Utara yang ingin menjadikan Kawasan Danau Toba (KDT) sebagai kawasan Wisata Halal.
“KDT tidak perlu dibuat label wisata halal, karena seperti yang kita ketahui bahwa sudah beberapa ratus tahun lamanya ini sudah terkandung di dalam adat kita. Ini sudah memudarkan kearifan lokal budaya kita. Nah, menurut saya bukan itu solusi atau langkah yang dibuat pemerintah untuk memajukan wisata Danau Toba. Masih banyak lagi solusi lain untuk memajukan bonapasogit kita,” ujarnya kepada tim Reaksi, Selasa (3/9)
Hal senada disampaikan Alex Ambarita, juga siswa lulusan tahun 2007. Dia menyebutkan bahwa kebijakan itu merupakan kebijakan yang keliru.
“Itu kebijakan keliru. Seharusnya kebijakan yang membangun itu menggabungkan budaya dan kearifan lokal dengan ide-ide modern yang baru, bukan malah mau menghilangkan budaya yang sudah ada sejak manusia sudah ada di kawasan wisata Danau Toba dan sekitarnya,” katanya.
Pernyataan yang sama juga disampaikan Leo Rencus Siallagan. masih lulusan 2007 yang sejak kecil selalu berkecimpung langsung dengan Danau Toba.
“Saya lama berkecimpung di pesisir Danau Toba bahkan turut serta berinteraksi dengan para pengunjung dari berbagai tempat karena saya dulu sering ke tempat-tempat rekreasi. Contohnya mulai dari masuk kota Parapat sampai ke pesanggarahan pantai bebas dan masuk ke Ajibata pintu penyebarangan ke Samosir. Banyak kok rumah makan halal di sana dan selama ini pengunjung gak pernah komplen atas hal tersebut,” ujarnya.
Di tempat terpisah Sunarsi Sirait, lulusan tahun 2008 yang saat ini memilih untuk berdomisili di Bali juga menceritakan pengalamanya kepada Tim Reaksi Nasional.
“Jika konsep wisata halal benar-benar diterapkan, mungkin lebih ke jumlah fasilitas publik yang halal yang akan bertambah. Rasanya wisatawan bisa berkunjung ke Danau Toba tanpa harus menggembar-gemborkan konsep wisata halal, Tapi balik lagi ke tujuan utamanya. Tujuannya kan hanya untuk memperluas pangsa pasar. Bukan sebagai bentuk islamisasi seperti yang mungkin banyak orang pikirkan,” katanya.
Menurut Sunarsih, selama ini masyarakat muslim di Danau Toba tidak pernah kesulitan menjalankan kehidupan beragama sehari-hari dan berwisata ke mana pun. Masjid ada, restoran penyedia makanan dan minuman halal juga banyak. Jadi, program wisata halal ini terlalu berlebihan dan malah bisa merusak “wajah” Danau Toba seperti yang dikenal orang sekarang..
“Sama kayak Bali, adat-istiadat Danau Toba tidak lepas dari babi yang haram itu, Itu budaya yang gak seharusnya dihapus secara tidak langsung,” imbuhnya.
Ditambahkannya, hal itu juga untuk pemerataan pendapatan masyarakat daerah itu, karena kalau segala properti harus berlogo halal, kasihan masyarakat setempat tidak merata lagi pekerjaan dan penghasilannya.
“Lihat Balilah, penduduk muslim mah lebih banyak di Bali. tapi konsep itu gak dipakai kok, karena para wisatawan udah pinter dan segala produk yang dihasilkan daerah diusahakan dalam bentuk kemasan dengan logo halal. Itu BPOM udah survei, kalau nggak percaya lagi sama instansi itu sama siapa lagi kita percaya?” tutupnya.
SUMUR BOR
SUMUR BOR
SUMUR BOR
Aceh aja yah pak Gubernur. Jangan Menyulut api
Salah satu lulusan SMPN 1 Ajibata tahun 2007, Tunggu Situmorang secara tegas mengatakan menolak keras wacana Gubernur Sumatera Utara yang ingin menjadikan Kawasan Danau Toba (KDT) sebagai kawasan Wisata Halal.
“KDT tidak perlu dibuat label wisata halal, karena seperti yang kita ketahui bahwa sudah beberapa ratus tahun lamanya ini sudah terkandung di dalam adat kita. Ini sudah memudarkan kearifan lokal budaya kita. Nah, menurut saya bukan itu solusi atau langkah yang dibuat pemerintah untuk memajukan wisata Danau Toba. Masih banyak lagi solusi lain untuk memajukan bonapasogit kita,” ujarnya kepada tim Reaksi, Selasa (3/9)
Hal senada disampaikan Alex Ambarita, juga siswa lulusan tahun 2007. Dia menyebutkan bahwa kebijakan itu merupakan kebijakan yang keliru.
“Itu kebijakan keliru. Seharusnya kebijakan yang membangun itu menggabungkan budaya dan kearifan lokal dengan ide-ide modern yang baru, bukan malah mau menghilangkan budaya yang sudah ada sejak manusia sudah ada di kawasan wisata Danau Toba dan sekitarnya,” katanya.
Pernyataan yang sama juga disampaikan Leo Rencus Siallagan. masih lulusan 2007 yang sejak kecil selalu berkecimpung langsung dengan Danau Toba.
“Saya lama berkecimpung di pesisir Danau Toba bahkan turut serta berinteraksi dengan para pengunjung dari berbagai tempat karena saya dulu sering ke tempat-tempat rekreasi. Contohnya mulai dari masuk kota Parapat sampai ke pesanggarahan pantai bebas dan masuk ke Ajibata pintu penyebarangan ke Samosir. Banyak kok rumah makan halal di sana dan selama ini pengunjung gak pernah komplen atas hal tersebut,” ujarnya.
Di tempat terpisah Sunarsi Sirait, lulusan tahun 2008 yang saat ini memilih untuk berdomisili di Bali juga menceritakan pengalamanya kepada Tim Reaksi Nasional.
“Jika konsep wisata halal benar-benar diterapkan, mungkin lebih ke jumlah fasilitas publik yang halal yang akan bertambah. Rasanya wisatawan bisa berkunjung ke Danau Toba tanpa harus menggembar-gemborkan konsep wisata halal, Tapi balik lagi ke tujuan utamanya. Tujuannya kan hanya untuk memperluas pangsa pasar. Bukan sebagai bentuk islamisasi seperti yang mungkin banyak orang pikirkan,” katanya.
Menurut Sunarsih, selama ini masyarakat muslim di Danau Toba tidak pernah kesulitan menjalankan kehidupan beragama sehari-hari dan berwisata ke mana pun. Masjid ada, restoran penyedia makanan dan minuman halal juga banyak. Jadi, program wisata halal ini terlalu berlebihan dan malah bisa merusak “wajah” Danau Toba seperti yang dikenal orang sekarang..
“Sama kayak Bali, adat-istiadat Danau Toba tidak lepas dari babi yang haram itu, Itu budaya yang gak seharusnya dihapus secara tidak langsung,” imbuhnya.
Ditambahkannya, hal itu juga untuk pemerataan pendapatan masyarakat daerah itu, karena kalau segala properti harus berlogo halal, kasihan masyarakat setempat tidak merata lagi pekerjaan dan penghasilannya.
“Lihat Balilah, penduduk muslim mah lebih banyak di Bali. tapi konsep itu gak dipakai kok, karena para wisatawan udah pinter dan segala produk yang dihasilkan daerah diusahakan dalam bentuk kemasan dengan logo halal. Itu BPOM udah survei, kalau nggak percaya lagi sama instansi itu sama siapa lagi kita percaya?” tutupnya.
SUMUR BOR
SUMUR BOR
SUMUR BOR
Aceh aja yah pak Gubernur. Jangan Menyulut api

User telah dihapus memberi reputasi
1
1.4K
26


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan