- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Terima Kasih Telah Memelukku di Perkemahan Itu


TS
Kokonata
Terima Kasih Telah Memelukku di Perkemahan Itu

Awal Juli 1990
Langit malam gelap pekat tanpa rembulan. Azan Isya telah lewat hampir lima jam. Cahaya temaram menerangi bangunan sekolah dasar negeri yang tidak jauh dari Sungai Musi. Tiga kelas berupa bangunan panggung yang dibangun di atas rawa-rawa. Tiga kelas lainnya sudah memiliki fondasi di atas timbunan tanah.
Di depan kelas yang berfondasi di tanah itulah sepuluh tenda berdiri. Mengelilingi tumpukan abu dan bara kayu yang tadinya api unggun. Ada 4 – 5 orang pramuka siaga atau penggalang terlelap di tiap tenda-tenda itu.
Mungkin hanya aku yang masih terjaga. Mencari kerlip bintang di bentang langit malam. Meresahkan SMP macam kelak kumasuki setahun lagi?
Bukan!
Sosok seorang perempuan bermain-main di benakku. Sudah kupejamkan kelopak mata, dia tetap ada.
Pipiku basah lagi, tanpa kusadari.
Sinar terang lampu senter menyorot wajahku.
“Kamu belum tidur juga?” Suara laki-laki menegurku yang tengah memeluk lutut di pintu tenda.
Aku terkejut. Kuusap pipiku.
“Ayo ikut kami ke sana dulu.” Suara perempuan mengajakku.

Di depan tenda yang sedikit lebih besar daripada tenda-tenda pramuka lainnya, kami berhenti. Ada api unggun kecil di sana. Aku duduk bersama dua orang kakak pembina yang di hari sekolah merupakan bapak dan ibu guru.
“Sudah seminggu ini kamu susah tidur?”
Hening beberapa detik sebelum aku menjawab. “Iya, Bu... eh Kak.”
Kurasakan tepukan pelan tangan kekar di pundakku. Lalu usapan di punggung.
“Kami tidak begitu kenal dengan orang tuamu. Namun tentang ayahmu, kami sudah sering mendengarnya. Bagaimana dia berusaha mendidikmu untuk jadi lelaki sejati, khas tentara.”
“Barangkali kamu belum menangis. Kalau kamu ingin menangis, menangislah. Laki-laki menangis bukan berarti lemah. Cengeng. Kita terkadang butuh menangis untuk menyalurkan kesedihan yang kita rasakan.”
Aku terdiam. Beberapa detik hening. Sampai akhirnya air mataku mulai jatuh. Sebulir, dua bulir, kemudian menderas tanpa bisa kubendung lagi.
Sambil kulepaskan tangis, lintasan kenangan bersama perempuan itu hadir satu persatu. Dia yang menganjurku ikut kegiatan pramuka. Rajin menunggu dan menjemputku kala latihan pramuka. Membantuku untuk memahami trisatya dan dasadarma pramuka.
Sampai satu hari dia janji menjemputku namun tidak kunjung datang juga. Bu Rita dan Pak Iban, dua kakak pembinaku itulah yang akhirnya datang memberi kabar. Dia mengalami kecelakaan. Tabrakan. Aku hanya bertemu dengan sosoknya yang sudah terbujur kaku di rumah.
Pak Iban memelukku dari samping. Kupuaskan menangis yang kutahan-tahan sejak tujuh hari lalu. Bukan hanya memelukku, dia juga mengusap-usap kepalaku dengan penuh kasih sayang. Aku tidak ingat, apakah pernah ayah melakukan hal yang sama padaku?
Setelah puas menangis, Pak Iban dan Bu Rita mengajakku shalat malam bersama. Doa-doa dipanjatkan. Doa untuk dia. Untuk aku. Agar terus tegas dan semangat menjalani kehidupan.

Subuh, usai shalat. Pak Iban kembali mengajakku bercakap-cakap. Dia menceritakan kisah hidupnya sebagai anak yatim piatu. Aku mendengarkan dengan seksama.
Sejak pagi itu, terjalin ikatan antara kami. Ikatan yang sudah lama ingin kurasakan dengan ayahku.
***
Awal Juli 2019
Rumah itu masih sama dengan rumah dalam kenanganku hampir tiga puluh tahun yang lalu. Hanya penampakannya saja yang berubah dimakan usia. Di sanalah aku sering menghabiskan waktu setelah kematian yang menggucangkanku itu.
Kedua penghuninya memang tidak memiliki anak kandung. Namun aku yakin mereka punya banyak sekali anak-anak yang didik penuh cinta dalam pramuka. Apakah anak-anak pramuka itu melupakan kakak pembina, orang tua yang kasihnya terasa lebih daripada orang tua sendiri?
Aku merasa bersalah. Karena aku termasuk salah satu adik, anak durhaka itu.
Kuucapkan salam pelan di depan pintu kayu rumah panggung itu.
Sosok wanita tua berjilbab muncul.
“Assalamualaikum Bu Rita. Ini aku...”
Dia menjawab salamku, lirih. Mata yang dihiasi kerutan di tepiannya menatapku lekat.
“Masya Allah... “ dia menyebut namaku dengan jeritan tertahan.
Aku ditariknya masuk, menuju satu kamar. Di kamar yang hanya diisi satu lemari, meja kecil dan ranjang kayu untuk dua orang, kutemukan sosok laki-laki itu.
Aku serta merta memeluknya. Dia membalas pelukanku erat. Kehangatan seorang ayah yang dulu sempat kurasakan hadir kembali.
“Maaf, Pak. Baru sekarang aku datang lagi,” ucapku penuh penyesalan.
“Tidak apa. Yang penting sekarang kamu sudah datang.
Pelukannya merenggang. Aku duduk di tepi ranjang.
“Kamu terlihat matang sekarang. Kayak orang sukses pada umumnya. Tapi kamu pasti punya cerita yang seru untuk kami selepas lulus SD.” Mata tua laki-laki itu berbinar.
Ya, akan kuceritakan perjalanan hidupku setelah mendapat kehangatan cinta darimu. Darinya. Kau mendampingiku di masa-masa sulit itu. Memberi semangat, arahan, juga doa. Sehingga aku kuat melanjutkan SMP dan seterusnya di Jakarta.

Terima kasih telah memelukku di perkemahan itu sampai aku bisa belajar mengikhlaskan kematiannya. Bahkan kematian ayah lima tahun setelahnya, kemudian hidup tenang bersama paman dan bibiku yang menganggap aku seperti anak mereka sendiri.
Terima kasih kakak-kakak pembinaku. Guruku. Ayah ibu tanpa ikatan darah. Terima kasih telah memelukku malam itu, sehingga aku lega melepaskan kematiannya. Kematian ibu kandungku.
Belum sempat mulutku bercerita. Kupeluk tubuh yang sudah renta itu kemudian menangis. Oh... aku benar-benar seperti bocah yang pernah menangis dalam pelukannya di perkemahan itu.
Sumber foto: pixabay.com


anasabila memberi reputasi
1
415
0
Thread Digembok
Thread Digembok
Komunitas Pilihan