Kaskus

Story

online.addictAvatar border
TS
online.addict
Tali Temali dan Nenek Pendorong Kursi Roda
Tali Temali dan Nenek Pendorong Kursi Roda


"Pencuri cilik! Mau apa kamu di sini?" si nenek kurus kering yang aneh itu tahu-tahu mencengkram kerah polo shirtku.[/quote]

Ku jauhkan tubuhku dari si nenek, lalu lari kencang ke arah Marina, bungalow mungil yang baru 4 hari menjadi 'rumah'-ku bersama Mama. Terletak di desa perbukitan, Marina sesungguhnya bukan nama yang cocok untuk bungalow ini. Mungkin nama itu disematkan karena wujudnya yang agak bernuansa pantai dengan kusen putih dan furnitur biru terang. Seolah-olah ada yang memindahkan rumah pantai ke bukit.

Tali Temali dan Nenek Pendorong Kursi Roda


Terengah-engah, ku berjalan ke dapur. Sejak tadi aku memang lapar. Tadinya aku mau ke warung Mie Ayam di dekat lapang, tapi gara-gara nenek anehtadi gagal rencanaku. Sejak hari pertama kedatanganku di desa ini, beberapa kali ku lihat nenek itu di jalan, selalu berjalan sendirian sambil mendorong kursi roda tak berpenumpang, sekosong tatapan matanya. Pakaiannya bagus untuk ukuran nenek-nenek yang tinggal di desa. Sesekali ku dengar si nenek mengucapkan sesuatu, tapi tidak jelas. 'Pencuri Cilik' adalah kalimat jelas pertama yang ku dengar darinya.

"Wanita tua gila," dengusku sambil melahap potongan besar telur dadar dingin yang ku temukan di balik tudung saji di meja makan.[/quote]

"Klak-klak-klak," terdengar bunyi ketukan mesin tik Ibu dari dalam kamar. Ibuku, Mira, adalah seorang penulis yang old school, lebih suka mengetik dengan mesin tik daripada laptop. Walau novelnya menarik, namanya sulit dikenal karena kerap dibandingkan dengan Mira W, novelis yang ketenarannya sudah melambung sejak dahulu. Alhasil di sinilah kami sekarang, lari dari kejaran hutang bekas judi yang ditinggalkan Papa sebelum meninggal. What a good for nothing type of father. . Lalu mama mati-matian menulis, berharap novel barunya ini akan mendatangkan uang banyak untuk langsung melunasinya sambil pindah sana-sini menghindari para penagih.


"Mama nulis lagi? Udah makan l?" tanyaku.

"Udah. Kamu udah Hen? Mama belom sempet belanja, jadi cuma masak segitu. Ya sudah sana kamu pergi main lagi," jawab mama yang kembali cetak-cetuk mengetik.[/quote]


Main apa? Tak seperti anak-anak lain yang suka main game online di ponsel, aku hanya punya ponsel jadul buat SMS dan telepon doang. Agar tak ketergantungan gadget kata Mama. Buku bukanlah hanya sumber ilmu tapi juga hiburan utamaku. Namun semua bukuku sudah kubaca, masa harus diulang? Bosan kan.

Quote:


Aku si anak baru belum punya teman di sini.Sejauh ini belum ku lihat satu pun anak-anak di desa membosankan ini. Beberapa rumah bahkan tak ditempati, mungkin mereka disewakan untuk musim liburan sama seperti Marina. Bertemu dengan 'tetangga' pun aku sungkan, mereka selalu bertanya-tanya mengapa anak 11 tahun sepertiku pagi-siang keluyuran tak sekolah. Tebakanku mungkin Mama baru akan kembali menyekolahkanku yang sudah 3 bulan tak sekolah ini bila desa Mekar Jaya ini dirasa aman untuk menetap.

Tak terasa langkahku membawa ku ke lapang (yang ada warung Mie Ayam itu). Suatu pemandangan membuatku tersentak. Akhirnya, anak pertama yang kulihat di desa ini!

Quote:


SKSD bukan nama tengahku, tetapi kini terpaksa ku lakukan, atau aku akan gila karena bosan. Anak lelaki yang sedang membangun sesuatu dengan banyak pensil dan benang kasur menoleh. Ia mengenakan kacamata. Dari hidungnya menetes cairan hijau, dan wajahnya penuh cacar air. Yuck! Sambil memerhatikanku dari atas ke bawah, perlakuan yang sudah biasa ku terima ketika Mama membawaku lari ke desa karena wajah blasteranku, ia mengangguk. 

Quote:


Begini-begini aku memang bule.Papaku dari Peru. Mama bertemu dengannya di kelas Salsa gratis di salah satu cafe bernuansa Latin di Bali, dahulu sekali.

Tali Temali dan Nenek Pendorong Kursi Roda

Dengan Ikatan Silang yang semester lalu Kak Budi ajarkan saat Pramuka, ku talikan kedua pensil. Gusti tampak kagum dan memintaku untuk mengajarinya. Lalu perlahan, bangunan yang kami buat mulai tampak wujudnya seperti pondasi menara. Tak kuduga tali-temali Pramuka dapat memberiku teman baru.

Quote:


Lalu kami berdua kembali membangun menara mini itu. Seolah membalas ngidam ku yang tak kesampaian, kami makan di warung Mie Ayam sore harinya, Gusti bersikeras mentraktirku sebagai ucapan terima kasih. Asyik. Sebelum magrib kami janjian akan main bareng lagi di situ keesokan hari. Ah, harus pulang sebelum Magrib biar tak diculik Wewe Gombel, mitos warga desa memang unik. Lalu aku pun kembali berjalan ke rumah. Di perjalanan, dari salah satu rumah kosong yang letaknya agak naik ke bukit ku lihat cahaya berpendar, menyala-mati-menyala lagi beberapa kali.Rumah kosong itu mungkin lampunya rusak, pikirku sambil lalu.

Quote:



Yes! Tambang nylon, tambang Pramuka sesungguhnya, bukan benang kasur konyol Gusti, haha. Berlari ke kamar, ku korek backpack-ku mencari gunting dan cutter. Kami memang belum sepenuhnya unpack. Berdasarkan pengalaman, kami jarang tinggal lama di suatu tempat. Repot kan kalau sering packing? Agar bisa langsung pergi bila seandainya tiba-tiba penagih datang, lebih baik barang-barang yang jarang dipakai tetap berada di koper, ransel dan bagasi mobil. Andai ini Amerika, kami pasti sudah tinggal di rumah mobil layaknya kaum gypsy.

Keesokan harinya aku kembali bermain bersama Gusti. Kali ini bukan benang dan pensil yang ia bawa, tetapi sebuah peluit dan alat tulis. Wah niatnya belajar menyusun menara ternyata tak sekuat itu pikirku. Sekarang ia ingin berlatih kode Morse.

Quote:



Tak kusangka Gusti jago Morsenya. Gilirannya yang mengajariku kali ini. Begitulah keseharian kami 5 hari terakhir ini (Gusti izin sekolah seminggu kata mamanya),mempelajari macam-macam keterampilan Pramuka demi Persami. Semaphore, PBB, membuat api unggun, hingga memasak (di rumah Gusti, mamaku tak bisa menulis bila berisik) kami pelajari juga. Sepertinya bila ada ujian dadakan kenaikan tingkat pun kami berdua bisa lulus.

Quote:


Ternyata si nenek aneh pendorong kursi roda.

Tali Temali dan Nenek Pendorong Kursi Roda


Quote:



Tak ingin mood Gusti down karena percakapan ini, ku cetuskan sebuah ide brilian.

Quote:


Mama senang ketika ku ceritakan bahwa besok Gusti akan camping di halaman. Mama pikir hal semacam ini akan membuatku lupa bahwa kami adalah pelarian. Huhu sedihnya. Lalu Mama menyiapkan tikar, sleeping bag(ada 1 di bagasi mobil kami, jenis yang bisa masuk berdua) hingga kompor kecil. Paginya aku ikut mama pergi membeli sosis, marshmallow dan kawan-kawan untuk kami bakar saat camping besok. Lalu ku kumpulkan senter, teropong, dan rantang-rantang,seakan-akan kami akan camping di hutan dan bukannya di halaman. Jadi tak sabar!

Tali Temali dan Nenek Pendorong Kursi Roda


Sabtu sore aku ke rumah Gusti untuk membantunya membawa perlegkapan. Kami bocah sok mandiri ini tak mau mama - papa kami membantu ngangkut barang, padahal kalau dipikir-pikir pakai mobil kan jadi praktis. Ternyata persiapan Gusti sama rempongnya sepertiku. Ia bahkan lupa letak beberapa barang sehingga kami harus mencarinya sampai hari mulai gelap. Lalu kami berpamitan pada mama Gusti, papa Gusti yang seorang TNI-AD sedang piket katanya. Kami pun mulai berjalan ke arah rumahku. Gusti menggendong backpack dan membawa gitar, aku membawa tenda lipat mini milik papa Gusti.[/font][/color]


Quote:



]Belum separuh perjalanan, suara Gusti menghentikan langkahku.


Quote:


Aku langsung membandingkannya dengan informasi di catatan, benar saja, TOLONG terjemahannya.

Quote:



Kebanyakan nonton film, aku kira nomor telepon darurat polisi adalah 911, nyatanya itu tak berlaku di negara kita.Telepon ku tak nyambung kemana-mana. Lalu ku telepon Mama agar menelepon polisi, tak lupa kuberi Mama penjelasan tentang lokasi rumah itu. Beres menelepon ku lihat Gusti sudah menaruh gitar dan backpacknya di pinggir jalan. Ia hanya mengambil pisau lipat dan senternya. Aku yang pergi dari rumah hanya membawa tambang nylonku (selalu tergantung di ikat pinggang sejak Mama membelikannya untukku. Membuatku merasa 'sangat Pramuka') segera menaruh tenda di samping barang Gusti.


Quote:


Lalu kami naik ke atas bukit. Dalam hati ku berdoa semoga tak ada penjahat di sana. Setan aku tak takut-takut amat, tapi kalau penjahat aku takut. Ya ampun aku ini anak pelarian, ingin hidup tenang. Eh malah dihadapkan dengan petualangan semacam ini. Semakin dekat ke rumah itu hari semakin gelap, semakin jelas lah pendar pesan TOLONG itu. 

Quote:


Gusti berpaling ke arahku sambil melongo.

Quote:


Seketika lututku lemas, berharap gitar Gusti kami bawa. Akan kuhantamkan benda itu ke kepala si penjahat bila kami harus berhadapan dengannya.

Quote:


Gusti menurut. Tak lama kemuduan, dari pintu rumah bercat krem itu keluar seorang pria tinggi besar berseragam hijau mengantungi senter (mungkin milik si peminta tolong itu). Seragam hijau, ya ampun seorang hansip menyekap seseorang di rumah kosong! Kami menunggu sampai si hansip berjalan turun ke kaki bukit. 

Quote:


Gusti mengeluarkan poselnya dan mengetikkan sesuatu dengan cepat.

Quote:


"Duk, duk, duk," kami dengar suara dari dalam rumah. Kami kembali menunggu beberapa saat. Setelah yakin tak ada suara teriakan dan tamparan lain kami berani mendekat. Gusti ke pintu depan, aku ke belakang. Keduanya dikunci, tentu saja. Bila tidak, siapapun yang disekap di dalam sudah kabur. Seandainya saja ada anak perempuan yang bersama kami dan memiliki bobby pins yang layaknya paper clipdapat digunakan untuk membuka pintu seperti di film-film...

Tali Temali dan Nenek Pendorong Kursi Roda


Quote:


Pisau lipat Swiss Army ayah Gusti tentu saja. Kuniri ingin jadi street smart seperti Gusti dan bukan book smart sepertiku. Ilmu street smart jauh lebih berguna di kehidupan nyata daripada sekedar pintar di sekolah. Lalu kami masuk. Wah ruangan yang bau apek adalah pikiranku ketika pertama masuk. Tak seperti Marina kami yang bersih dan sejak awal fully furnished, tak banyak barang di ruangan ini. Mungkin sudah lama tak ditinggali baik oleh pemilik ataupun penyewa.

Tali Temali dan Nenek Pendorong Kursi Roda



Quote:


Di ruangan itu kulihat seorang wanita berambut sebahu dalam balutan dress kuning. Di hadapannya terletak nampan logam berisi makanan yang belum disentuh. Wanita itu lalu menengadah menatapku sambil memeluk Gusti. Wajahnya ayu khas perempuan Jawa, namun tubuhnya kurus kering. Iya lah damanya juga disekap. Kira-kira 25-30 tahun usianya. Tak seperti Gusti yang menangis meraung-raung, wanita ini meneteskan air mata namun tak bersuara. Oh iya dia kan bisu.

Quote:


Lalu Pak polisi menggendong Mbak Lara. Kami semua berjalan turun ke arah mobil Patroli yang ia kemudikan untuk menuju ke Puskesmas, memeriksa keadaan Mbak Lara.

Kemudian aku dan Gusti ikut Pak Polisi ke kantor polisi. Mama tinggal menemani Mbak Lara. Sesampainya di pos ternyata sudah ada Om Tono yang sedang diinterogasi, di sampingnya ada pria paruh baya dengan pakaian rapi yang rupanya adalah Pak Lurah. Ternyata mereka berdua berkomplot menculik Mbak Lara untuk mendapatkan uang dari dinas sosial, hanya sedikit yang disalurkan ke Bude Sri. Jahanam!

Beberapa hari kemudian kondisi Mbak Lara membaik. Bude Sri juga mulai bisa diajak mengobrol. Mama yang jadi dekat dengan Mbak Lara kemudian berkolaborasi menyusun buku cerita bergambar bersama Mbak Lara. Lalu aku Mama sekolahkan di SDN Mekar Jaya 1, sekolah Gusti. Kami pergi Persami bersama, bahagianya! Beberapa bulan kemudian buku bergambar Mama-Mbak Lara terbit dan sukses. Royalti bagian mama digunakan untuk bayar hutang Papa, bagian Mbak Lara untuk terapi trauma dirinya dan Bude Sri. Kami pun memulai kehidupan sebagai warga desa.
Diubah oleh online.addict 02-09-2019 11:26
enfp.fellaAvatar border
Ibu DirekturAvatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.3K
3
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan