- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Wabah Rasisme Anti-Papua di Indonesia


TS
pasti2periode
Wabah Rasisme Anti-Papua di Indonesia
Quote:
Pemerintah Indonesia terlalu lunak dalam menangani tindakan rasisme anti-Papua. Menurut Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis negara itu, siapa pun yang melakukan diskriminasi ras atau etnis dapat dihukum maksimal lima tahun penjara dan/atau denda maksimum Rp500 juta. Namun, ketentuan ini tidak diterapkan dengan benar dan tidak menghalangi pelaku, karena pihak berwenang tidak bertindak cepat dan tegas terhadap tindakan rasis.
Satu hari sebelum Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus, diskriminasi rasial dialami oleh mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Masalahnya dipicu oleh kerusakan yang tidak disengaja pada bendera Indonesia yang jatuh ke selokan di depan asrama mahasiswa Papua. Saat itu, mahasiswa Papua dituduh sengaja merusak bendera tersebut.
Akibatnya, asrama tersebut dikelilingi oleh organisasi nasionalis dan beberapa orang yang berpakaian seragam TNI. Mereka merusak pagar asrama, lalu mengutuk dan meneriakkan “monyet” dan cemoohan lainnya pada para mahasiswa Papua. Mereka juga mengancam akan membunuh para mahasiswa itu alih-alih berbicara secara diplomatis untuk mengklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi. Video kejadian itu menyebar dengan cepat ke seluruh Indonesia.
Masyarakat Indonesia, khususnya orang Papua, menanggapi rasisme ini dengan ganas. Gubernur provinsi Papua dengan tegas menyatakan kepada media bahwa orang Papua bukan ras monyet, mereka adalah anggota ras manusia.
Rasisme di Surabaya juga memicu demonstrasi besar-besaran di beberapa daerah di provinsi Papua dan Papua Barat, termasuk Jayapura, Sorong, Manokwari, Nabire, Fakfak, dan Mimika. Mereka membakar gedung parlemen Papua Barat di Manokwari dan merusak fasilitas umum di Fakfak. Beberapa orang Papua bahkan berdemonstrasi di Istana Presiden di Jakarta Pusat. Mereka menuntut agar pemerintah Indonesia menghukum berat mereka yang melakukan diskriminasi rasial.
Orang Papua secara etnis sangat berbeda dari orang Indonesia lainnya, terutama karena warna kulit mereka. Mereka telah lama menjadi sasaran dengan stereotip negatif dan pelecehan ras.
Pada tahun 2016, seorang mahasiswa Papua di Yogyakarta dikejar, ditangkap, dan dipukuli oleh polisi tanpa alasan yang jelas. Fakta yang paling memilukan adalah foto yang tersebar menunjukkan hidung mahasiswa itu ditarik oleh polisi dan tangannya diborgol. Namun, penegakan hukum terhadap pelanggaran rasis dan HAM terhadap orang Papua seringkali bias dan tidak lengkap.
Pemerintah Indonesia terlalu lunak dalam menangani tindakan rasisme terhadap orang Papua. Menurut Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis negara itu, siapa pun yang melakukan diskriminasi ras atau etnis dapat dihukum maksimal lima tahun penjara dan/atau denda maksimum Rp500 juta. Namun, ketentuan ini tidak diterapkan dengan benar dan tidak menghalangi pelaku, karena pihak berwenang tidak bertindak cepat dan tegas terhadap tindakan rasis.
Polisi malah berfokus pada orang yang menyebarkan video rasis, karena mereka menganggap video itu provokatif atau dapat disalahgunakan. Ironisnya, Kementerian Kominfo justru memblokir akses Internet di Papua dan Papua Barat pada 21 Agustus, dengan alasan untuk mencegah penyebaran tindakan provokatif di dunia maya dan untuk mempercepat proses pemulihan keamanan. Tetapi tindakan pemerintah itu tampaknya menekan kebebasan orang Papua untuk mengekspresikan rasa frustrasi mereka atas diskriminasi rasial kepada media atau masyarakat internasional.
Jelaslah bahwa Indonesia membutuhkan undang-undang khusus yang mengatur rasisme dan bahkan tim independen yang secara khusus ditugaskan menangani kasus-kasus rasisme. Ini penting karena tindakan rasisme dapat memicu konflik sosial yang serius atau bahkan gerakan separatis.
Integrasi Papua ke Indonesia memiliki sejarah panjang, dari sejak era kolonial Belanda. Integrasi dimulai dengan resolusi yang disebut Manifesto Politik Dewan Papua pada tanggal 1 Desember 1961. Resolusi itu menyatakan bahwa Papua akan memiliki bendera nasionalnya sendiri yang disebut Bintang Kejora dan lagu kebangsaannya sendiri berjudul “Hai Tanahku Papua”. Integrasi ini bertujuan untuk membuktikan kepada Indonesia, Belanda, dan komunitas internasional bahwa rakyat Papua berkomitmen untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Kemudian integrasi Papua dan Indonesia dilakukan dengan Perjanjian New York 1962. Setelah didiskusikan di Majelis Umum PBB pada bulan September 1962, pengalihan otoritas pemerintah dari Belanda ke Indonesia disetujui. Meskipun demikian, implementasi perjanjian ini ditolak oleh elit Papua. Namun, hasil integrasi itu belum final, karena menurut Pasal XVIII Perjanjian New York, penentuan masa depan Papua harus dilakukan selambat-lambatnya delapan tahun setelah perjanjian ditandatangani.
Pada tahun 1969, ada referendum yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk orang Papua, tetapi referendum tersebut tidak melibatkan semua orang Papua. Hal ini melanggar ketentuan yang diatur dalam Perjanjian New York bahwa penentuan masa depan Papua akan dilakukan dengan sistem “satu orang satu suara”.
Terlebih lagi, implementasi Pepera diintervensi oleh TNI, yang bertujuan memenangkan suara untuk integrasi Papua ke Indonesia. Tak lama setelah hasil referendum dibawa ke Majelis Umum PBB, Indonesia berhasil menduduki Papua.
Proses integrasi ini tetap menjadi salah satu pemicu konflik Papua hingga hari ini. Oleh karena itu, masih banyak kelompok separatis Papua yang secara konsisten menentang integrasi Papua dengan Indonesia, bahkan mendapatkan dukungan dan pengakuan dari beberapa komunitas internasional. Misalnya, di Inggris tahun ini, Dewan Kota Oxford memberikan penghargaan kepada separatis Papua Benny Wenda dengan penghargaan Freedom of the City untuk gerakannya yang mendukung kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia. Namun, penghargaan semacam itu telah dikritik oleh Indonesia yang yakin bahwa Wenda telah mendukung penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik.
Pemerintah Indonesia menghadapi masalah yang sangat serius yang timbul dari rasisme. Mengingat sejarah Papua, insiden di Surabaya dapat menghidupkan kembali konflik yang sebenarnya telah dilupakan oleh beberapa orang Papua. Jika pemerintah pusat gagal menanggapi masalah ini, ini dapat memberikan momentum kepada kelompok separatis Papua untuk mengintensifkan kegiatan mereka, karena sejarah mendukung mereka.
Pemerintah harus mendidik rakyat Indonesia tentang orang Papua, menjelaskan bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia, dan memulihkan kepercayaan orang Papua dalam penegakan hukum terhadap rasisme.
Satu hari sebelum Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus, diskriminasi rasial dialami oleh mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Masalahnya dipicu oleh kerusakan yang tidak disengaja pada bendera Indonesia yang jatuh ke selokan di depan asrama mahasiswa Papua. Saat itu, mahasiswa Papua dituduh sengaja merusak bendera tersebut.
Akibatnya, asrama tersebut dikelilingi oleh organisasi nasionalis dan beberapa orang yang berpakaian seragam TNI. Mereka merusak pagar asrama, lalu mengutuk dan meneriakkan “monyet” dan cemoohan lainnya pada para mahasiswa Papua. Mereka juga mengancam akan membunuh para mahasiswa itu alih-alih berbicara secara diplomatis untuk mengklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi. Video kejadian itu menyebar dengan cepat ke seluruh Indonesia.
Masyarakat Indonesia, khususnya orang Papua, menanggapi rasisme ini dengan ganas. Gubernur provinsi Papua dengan tegas menyatakan kepada media bahwa orang Papua bukan ras monyet, mereka adalah anggota ras manusia.
Rasisme di Surabaya juga memicu demonstrasi besar-besaran di beberapa daerah di provinsi Papua dan Papua Barat, termasuk Jayapura, Sorong, Manokwari, Nabire, Fakfak, dan Mimika. Mereka membakar gedung parlemen Papua Barat di Manokwari dan merusak fasilitas umum di Fakfak. Beberapa orang Papua bahkan berdemonstrasi di Istana Presiden di Jakarta Pusat. Mereka menuntut agar pemerintah Indonesia menghukum berat mereka yang melakukan diskriminasi rasial.
Orang Papua secara etnis sangat berbeda dari orang Indonesia lainnya, terutama karena warna kulit mereka. Mereka telah lama menjadi sasaran dengan stereotip negatif dan pelecehan ras.
Pada tahun 2016, seorang mahasiswa Papua di Yogyakarta dikejar, ditangkap, dan dipukuli oleh polisi tanpa alasan yang jelas. Fakta yang paling memilukan adalah foto yang tersebar menunjukkan hidung mahasiswa itu ditarik oleh polisi dan tangannya diborgol. Namun, penegakan hukum terhadap pelanggaran rasis dan HAM terhadap orang Papua seringkali bias dan tidak lengkap.
Pemerintah Indonesia terlalu lunak dalam menangani tindakan rasisme terhadap orang Papua. Menurut Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis negara itu, siapa pun yang melakukan diskriminasi ras atau etnis dapat dihukum maksimal lima tahun penjara dan/atau denda maksimum Rp500 juta. Namun, ketentuan ini tidak diterapkan dengan benar dan tidak menghalangi pelaku, karena pihak berwenang tidak bertindak cepat dan tegas terhadap tindakan rasis.
Polisi malah berfokus pada orang yang menyebarkan video rasis, karena mereka menganggap video itu provokatif atau dapat disalahgunakan. Ironisnya, Kementerian Kominfo justru memblokir akses Internet di Papua dan Papua Barat pada 21 Agustus, dengan alasan untuk mencegah penyebaran tindakan provokatif di dunia maya dan untuk mempercepat proses pemulihan keamanan. Tetapi tindakan pemerintah itu tampaknya menekan kebebasan orang Papua untuk mengekspresikan rasa frustrasi mereka atas diskriminasi rasial kepada media atau masyarakat internasional.
Jelaslah bahwa Indonesia membutuhkan undang-undang khusus yang mengatur rasisme dan bahkan tim independen yang secara khusus ditugaskan menangani kasus-kasus rasisme. Ini penting karena tindakan rasisme dapat memicu konflik sosial yang serius atau bahkan gerakan separatis.
Integrasi Papua ke Indonesia memiliki sejarah panjang, dari sejak era kolonial Belanda. Integrasi dimulai dengan resolusi yang disebut Manifesto Politik Dewan Papua pada tanggal 1 Desember 1961. Resolusi itu menyatakan bahwa Papua akan memiliki bendera nasionalnya sendiri yang disebut Bintang Kejora dan lagu kebangsaannya sendiri berjudul “Hai Tanahku Papua”. Integrasi ini bertujuan untuk membuktikan kepada Indonesia, Belanda, dan komunitas internasional bahwa rakyat Papua berkomitmen untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Kemudian integrasi Papua dan Indonesia dilakukan dengan Perjanjian New York 1962. Setelah didiskusikan di Majelis Umum PBB pada bulan September 1962, pengalihan otoritas pemerintah dari Belanda ke Indonesia disetujui. Meskipun demikian, implementasi perjanjian ini ditolak oleh elit Papua. Namun, hasil integrasi itu belum final, karena menurut Pasal XVIII Perjanjian New York, penentuan masa depan Papua harus dilakukan selambat-lambatnya delapan tahun setelah perjanjian ditandatangani.
Pada tahun 1969, ada referendum yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk orang Papua, tetapi referendum tersebut tidak melibatkan semua orang Papua. Hal ini melanggar ketentuan yang diatur dalam Perjanjian New York bahwa penentuan masa depan Papua akan dilakukan dengan sistem “satu orang satu suara”.
Terlebih lagi, implementasi Pepera diintervensi oleh TNI, yang bertujuan memenangkan suara untuk integrasi Papua ke Indonesia. Tak lama setelah hasil referendum dibawa ke Majelis Umum PBB, Indonesia berhasil menduduki Papua.
Proses integrasi ini tetap menjadi salah satu pemicu konflik Papua hingga hari ini. Oleh karena itu, masih banyak kelompok separatis Papua yang secara konsisten menentang integrasi Papua dengan Indonesia, bahkan mendapatkan dukungan dan pengakuan dari beberapa komunitas internasional. Misalnya, di Inggris tahun ini, Dewan Kota Oxford memberikan penghargaan kepada separatis Papua Benny Wenda dengan penghargaan Freedom of the City untuk gerakannya yang mendukung kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia. Namun, penghargaan semacam itu telah dikritik oleh Indonesia yang yakin bahwa Wenda telah mendukung penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik.
Pemerintah Indonesia menghadapi masalah yang sangat serius yang timbul dari rasisme. Mengingat sejarah Papua, insiden di Surabaya dapat menghidupkan kembali konflik yang sebenarnya telah dilupakan oleh beberapa orang Papua. Jika pemerintah pusat gagal menanggapi masalah ini, ini dapat memberikan momentum kepada kelompok separatis Papua untuk mengintensifkan kegiatan mereka, karena sejarah mendukung mereka.
Pemerintah harus mendidik rakyat Indonesia tentang orang Papua, menjelaskan bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia, dan memulihkan kepercayaan orang Papua dalam penegakan hukum terhadap rasisme.
SUMBER
ga hanya mendidik rakyat papua untuk mempercayai indonesia
bahwa papua masih adalah bagian dari NKRI
tapi juga harus mendidik rakyat indonesia "lainnya" untuk menganggap rakyat papua sebagai bagian dari NKRI bahkan sebagai "manusia"

note:
saya membela rakyat papua bukan berarti saya membela OPM atau oknum2 yang memanfaatkan situasi untuk melakukan tindak kekerasan
toh tindakan kekerasan ini terjadi pun "ADA PEMICU"nya bukan?
siapa yang mulai duluan mengepung dan teriak monyet ke arah anak papua di surabaya?
jika tidak ada pemicunya ga akan bisa di manfaatkan oleh oknum







lonelylontong dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.9K
Kutip
33
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan