- Beranda
- Komunitas
- Hobby
- Health
Penggunaan Robot untuk Terapi Kesehatan, mulai dari Milo hingga Operasi Jarak Jauh
TS
babygani86
Penggunaan Robot untuk Terapi Kesehatan, mulai dari Milo hingga Operasi Jarak Jauh
Perkenalkan, namanya Milo. Robot berukuran kurang-lebih 60 sentimeter ini sempat menghebohkan dunia kesehatan ketika pertama kali dimunculkan pada 2015 oleh Robokind, perusahaan teknologi robot asal Dallas, Amerika Serikat. Pasalnya. Milo bukan robot biasa. Ia merupakan robot yang didesain untuk membantu terapi anak-anak pengidap autisme. Penciptanya, Pamela Rollins, dokter pendidikan lulusan Harvard yang sudah 30 tahun menangani terapi autisme.
Milo didesain untuk berinteraksi dengan para pengidap autisme dan menstimulasi respons sosial mereka. Milo memang juga dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan untuk menerapkan kurikulum pendidikan bagi pengidap autisme. Semua anak autis memiliki masalah dengan interaksi sosial mereka.

Hasilnya, ternyata anak—anak autis mampu memberikan respons lebih besar ketika berinteraksi dengan Milo ketimbang dengan terapi biasa. Milo, yang juga dilengkapi dengan teknologi suara, memang berbicara lebih lamhat ketimbang orang pada umumnya. Ini membuat para anak pengidap autisme lebih bisa menerima. Selain itu, tentu saja karena wajah Milo disesain lucu dan menggemaskan. Sebelumnya ditemukan anak—anak hanya terlibat sebanyak 3% ketika berinteraksi dengan terapis, tapi bisa terlibat 87% ketika berinteraksi dengan Milo.
Bila ditarik ke belakang, penggunaan robot untuk terapi kesehatan memang bukan hal baru. Robot kesehatan ini terutama sangat populer di bidang fisiologi maupun neurologi. terutama di bidang neurologi, robot dinilai lebih efisien dalam membangkitkan stimulus untuk mengatasi dampak negatif penyakit.
Sebelum Milo, salah satu generasi awal robot yang digunakan di bidang kesehatan adalah Paro, karya ilmuwan Jepang Takanori Shibata pada 2001. Robot yang berbentuk anjing laut ini didesain untuk terapi bagi para kaum jompo yang mengidap demensia atau penyakit pikun.
Paro didesain sebagai “robot peliharaan” yang bisa dipangku kaum manula. Prinsip kerjanya juga sama dengan Milo. Robot ini termasuk sangat populer, karena berhasil menurunkan kecenderungan agitasi di kalangan penderita demensia.

Sebelumnya, untuk manula pengidap demensia teragitasi, sebagian klinik cenderung menggunakan suntikan obat penenang. Bahkan ada juga klinik yang langsung mengekang dan memaksa mereka untuk tenang saat kumat. Tentu saja itu akan membuat mereka makin teragitasi.
Oleh Takanori, hal negatif itu bisa diatasi karena Paro didesain untuk dielus. Makin sering dielus, makin bagus responsnya. Sebaliknya, robot Paro akan bereaksi negatif bila dipukul. Dalam percobaannya, ditemukan bahwa pengidap demensia yang berinteraksi dengan Paro tidak lagi mudah teragitasi, lebih tenang, dan lebih merasa nyaman. Jadi tidak perlu lagi menggunakan obat penenang.
Selain autisme dan demensia, yang memang terkait dengan neurologi, penerapan terapi robot juga populer di fisoterapi, misalnya terapi untuk penderita stroke. Bahkan saat ini bisa dibilang stroke adalah jenis penyakit yang paling populer untuk penerapan terapi robot. Lengan mekanik ala robot, misalnya, sering digunakan dalam terapi pasien stroke untuk memudahkan mereka kembali bergerak seperti biasa.
Yang lebih kompleks adalah robot untuk terapi kecelakaan tulang belakang. Lazimnya para pengidap kecelakaan tulang belakang berakhir dengan kelumpuhan atau kesulitan berjalan. lni karena sinyal dari otak ke kaki terganggu akibat cedera. Robot jenis ini lebih kompleks dan advanced karena persoalan terganggunya sinyal dari otak ke otot kaki harus dibereskan lebih dulu.

Biasanya, robot untuk terapi cedera tulang belakang memiliki teknologi canggih,sehingga selemah apa pun sinyal dari otak tetap bisa dirangkap robot sampai mampu membantu pasien menggerakkan kaki. Pengidap terapi cedera tulang belakang biasanya memilih robot terapi yang desainnya berupa exoskeleton (kerangka luar).
Dari terapi itulah para pengidap cedera tulang belakang memperkuat sinyal dari otak ke otot kaki mereka hingga, seiring dengan penyembuhan tulang belakang secara medis, mereka pun kembali bisa berjalan.
Selain untuk terapi. penggunaan robot diterapkan dalam pengobatan medis lain, seperti operasi. Untuk operasi jantung, mata, juga bedah caesar, teknologi robot juga sudah lama digunakan. Tapi salah satu terobosan penting terjadi di Cina baru-baru ini, tepatnya pada januari 2019, yakni operasi liver jarak jauh yang dilakukan di sebuah rumah sakit di Fujian, Cina.
Disebut jarak jauh karena antara dokter yang melakukan operasi dan pasiennya terbentang jarak 48 kilometer. Operasi liver ini dilakukan secara remote dengan menggunakan teknologi internet 5G. Sang dokter bedah tinggal menggerakkan alat kontrol sambil melihat layar. Sepintas orang mungkin akan menyangka dokter itu sedang bermain game. Tapi ini bukan operasi betulan, melainkan eksperimen. Pasien yang dioperasi livernya adalah salah satu hewan di laboratorium uji coba.

Meski demikian. Keberhasilan operasi ini mendapat sambutan hangat dari kalangan medis dunia. lnilah bukti bahwa remote operation benar-benar bisa dilakukan, sepanjang teknologi telekomunikasi mampu menyediakan jaringan kecepatan tinggi dan stabil.
Dalam kasus uji coba di rumah sakit Fujian itu, selisih gerakanan antara robot yang dikontrol dokter bedah dan gerakan asli robot pembedah cuma 0,1 detik. Ini menunjukkan, teknologi 5G ternyata juga bisa membuka medan eksperimen baru di dunia kesehatan.
Bila operasi jarak jauh ini bisa dikembangkan menjadi sebuah sistem yang mapan, pelayanan kesehatan bisa lebih mudah menjangkau wilayah-wilayah terpencil. Tidak perlu harus ada rumah sakit besar di tiap wilayah terpencil. Sepanjang ada jaringan komunikasi dan alat bedah robot, maka dokter bedah yang puluhan kilometer jauhnya bisa melakukan operasi.
Milo didesain untuk berinteraksi dengan para pengidap autisme dan menstimulasi respons sosial mereka. Milo memang juga dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan untuk menerapkan kurikulum pendidikan bagi pengidap autisme. Semua anak autis memiliki masalah dengan interaksi sosial mereka.

Hasilnya, ternyata anak—anak autis mampu memberikan respons lebih besar ketika berinteraksi dengan Milo ketimbang dengan terapi biasa. Milo, yang juga dilengkapi dengan teknologi suara, memang berbicara lebih lamhat ketimbang orang pada umumnya. Ini membuat para anak pengidap autisme lebih bisa menerima. Selain itu, tentu saja karena wajah Milo disesain lucu dan menggemaskan. Sebelumnya ditemukan anak—anak hanya terlibat sebanyak 3% ketika berinteraksi dengan terapis, tapi bisa terlibat 87% ketika berinteraksi dengan Milo.
Bila ditarik ke belakang, penggunaan robot untuk terapi kesehatan memang bukan hal baru. Robot kesehatan ini terutama sangat populer di bidang fisiologi maupun neurologi. terutama di bidang neurologi, robot dinilai lebih efisien dalam membangkitkan stimulus untuk mengatasi dampak negatif penyakit.
Sebelum Milo, salah satu generasi awal robot yang digunakan di bidang kesehatan adalah Paro, karya ilmuwan Jepang Takanori Shibata pada 2001. Robot yang berbentuk anjing laut ini didesain untuk terapi bagi para kaum jompo yang mengidap demensia atau penyakit pikun.
Paro didesain sebagai “robot peliharaan” yang bisa dipangku kaum manula. Prinsip kerjanya juga sama dengan Milo. Robot ini termasuk sangat populer, karena berhasil menurunkan kecenderungan agitasi di kalangan penderita demensia.

Sebelumnya, untuk manula pengidap demensia teragitasi, sebagian klinik cenderung menggunakan suntikan obat penenang. Bahkan ada juga klinik yang langsung mengekang dan memaksa mereka untuk tenang saat kumat. Tentu saja itu akan membuat mereka makin teragitasi.
Oleh Takanori, hal negatif itu bisa diatasi karena Paro didesain untuk dielus. Makin sering dielus, makin bagus responsnya. Sebaliknya, robot Paro akan bereaksi negatif bila dipukul. Dalam percobaannya, ditemukan bahwa pengidap demensia yang berinteraksi dengan Paro tidak lagi mudah teragitasi, lebih tenang, dan lebih merasa nyaman. Jadi tidak perlu lagi menggunakan obat penenang.
Selain autisme dan demensia, yang memang terkait dengan neurologi, penerapan terapi robot juga populer di fisoterapi, misalnya terapi untuk penderita stroke. Bahkan saat ini bisa dibilang stroke adalah jenis penyakit yang paling populer untuk penerapan terapi robot. Lengan mekanik ala robot, misalnya, sering digunakan dalam terapi pasien stroke untuk memudahkan mereka kembali bergerak seperti biasa.
Yang lebih kompleks adalah robot untuk terapi kecelakaan tulang belakang. Lazimnya para pengidap kecelakaan tulang belakang berakhir dengan kelumpuhan atau kesulitan berjalan. lni karena sinyal dari otak ke kaki terganggu akibat cedera. Robot jenis ini lebih kompleks dan advanced karena persoalan terganggunya sinyal dari otak ke otot kaki harus dibereskan lebih dulu.

Biasanya, robot untuk terapi cedera tulang belakang memiliki teknologi canggih,sehingga selemah apa pun sinyal dari otak tetap bisa dirangkap robot sampai mampu membantu pasien menggerakkan kaki. Pengidap terapi cedera tulang belakang biasanya memilih robot terapi yang desainnya berupa exoskeleton (kerangka luar).
Dari terapi itulah para pengidap cedera tulang belakang memperkuat sinyal dari otak ke otot kaki mereka hingga, seiring dengan penyembuhan tulang belakang secara medis, mereka pun kembali bisa berjalan.
Selain untuk terapi. penggunaan robot diterapkan dalam pengobatan medis lain, seperti operasi. Untuk operasi jantung, mata, juga bedah caesar, teknologi robot juga sudah lama digunakan. Tapi salah satu terobosan penting terjadi di Cina baru-baru ini, tepatnya pada januari 2019, yakni operasi liver jarak jauh yang dilakukan di sebuah rumah sakit di Fujian, Cina.
Disebut jarak jauh karena antara dokter yang melakukan operasi dan pasiennya terbentang jarak 48 kilometer. Operasi liver ini dilakukan secara remote dengan menggunakan teknologi internet 5G. Sang dokter bedah tinggal menggerakkan alat kontrol sambil melihat layar. Sepintas orang mungkin akan menyangka dokter itu sedang bermain game. Tapi ini bukan operasi betulan, melainkan eksperimen. Pasien yang dioperasi livernya adalah salah satu hewan di laboratorium uji coba.

Meski demikian. Keberhasilan operasi ini mendapat sambutan hangat dari kalangan medis dunia. lnilah bukti bahwa remote operation benar-benar bisa dilakukan, sepanjang teknologi telekomunikasi mampu menyediakan jaringan kecepatan tinggi dan stabil.
Dalam kasus uji coba di rumah sakit Fujian itu, selisih gerakanan antara robot yang dikontrol dokter bedah dan gerakan asli robot pembedah cuma 0,1 detik. Ini menunjukkan, teknologi 5G ternyata juga bisa membuka medan eksperimen baru di dunia kesehatan.
Bila operasi jarak jauh ini bisa dikembangkan menjadi sebuah sistem yang mapan, pelayanan kesehatan bisa lebih mudah menjangkau wilayah-wilayah terpencil. Tidak perlu harus ada rumah sakit besar di tiap wilayah terpencil. Sepanjang ada jaringan komunikasi dan alat bedah robot, maka dokter bedah yang puluhan kilometer jauhnya bisa melakukan operasi.
Spoiler for Referensi:
0
630
0
Komentar yang asik ya
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan