- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Menyibak Kelam


TS
l13ska
Menyibak Kelam

Maudy sebal harus berada di bus sewaan sekolah barunya. Ia terpaksa ikut kegiatan pramuka karena ancaman ayahnya yang seorang pengusaha mebel terkenal. Hamadi, siapa yang tak kenal dengan pesohor usaha mebel itu? Langganannya adalah para pejabat dan orang-orang kelas atas.
Quote:
"Ihg, apaan sih papa. Pake nyuruh aku ikut pramuka." gerutu Maudy sebal.
Maudy masih teringat kejadian sebulan lalu yang masih membuat hatinya kesal.

"Pap, aku udah setuju pindah sekolah meski semua fasilitas di sekolah baru gak sebagus sekolah lama. Udah gitu isinya orang kere-kere. Gengsi aku Pap sama teman-teman. Aku kan bilang ke mereka mau pindah ke UK Paaaap." Hamadi tak menggubris omongan Maudy yang tiba-tiba itu.
"Pap?! Ini kenapa juga aku harus ikut ekskul pramuka?"
"Dengerin papa. Mulai besok kamu wajib ikut pramuka. papa sudah daftarin kamu ke pihak sekolah dan papa sudah bertemu dengan kakak pembina kamu."
"Pap, gak bisa gitu donk. Kenapa harus pramuka Pap? Aku khan bisa ikut ekskul lain. Dance atau cherleader itu khan lebih cocok buat aku." Maudy kembali berkilah.
"Di sekolahmu gak ada dance atau cheerleader."
"Papa khan bisa bilang ke kepala sekolah biar ada ekskul dance. Sekarang apa sih yang gk bisa dibeli pake uang?"
"Papa maunya kamu ikut pramuka titik. Karena dari pramuka Papamu bisa seperti ini. Jadi pengusaha mebel terkenal."
"Papa kan dari orok udah ditakdirkan kaya. Kakek dan nenek orang kaya. Wajar dong jika Papa sekarnag kaya."
"Dengerin papa. Meski kakek nenekmu meninggalkan banyak warisan. Usaha papa gak akan sukses jika papa gak bisa memanage. Sebanyak apapun harta kalau kita tidak bijak mengatur bisa habis dalam hitungan tahun bahkan bulan." Ucap Hamadi mencoba menjelaskan
"Tapi Pa..."
Sudah gak pakai tapi-tapian

Sekarang Maudy terpaksa berkumpul dengan para pelajar yang menurutnya dekil, rusuh, norak dan tidak berkelas. Sesekali ia membuang muka ke arah kaca demi menghindar melihat kumpulan teman-teman pramuka dengan seragam khas atasan coklat susu dan bawahan coklat. Mereka tengah bernyanyi dan bersorak kegirangan.
"Norak banget sih. Lagu apa itu kau suka hati-ku suka hati. Gak lihat apa hatiku lagi suntuk begini?! Capek deh. Gak level."
Tatapan Maudy sempat mengarah ke sebuah bayangan di kursi paling belakang yang kosong. Maudy melihat sesosok cowok asik duduk memandangi kerumunan para cewek yang asik bernyanyi. Wajahnya lumayan ganteng dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya.
Maudy menatap tajam menelisik dari atas hingga bawah tubuh. Maudy langsung membuang muka kembali begitu matanya dan cowok itu saling beradu. Dinikmatinya lagi pemandangan yang tak pernah indah baginya.
"Kamu sedang lihat apa??" sebuah suara mengagetkan Maudy.
Cowok yang tadi dilihatnya itu tiba-tiba sudah duduk di bangku sebelah Maudy
"Igh, bikin kaget aja nih orang." Protes Maudy
"Bagus khan pemandangannya?"
Cowok itu melihat le arah jendela dan tersenyum kepada Maudy.
"Lumayanlah." jawab Maudy ketus
"Berbaurlah sengan kawanmu, maka perjalanan ini akan terasa lebih indah." nasehat cowok itu.
"Tidak sudi. Gak level gaul sama mereka." Ucap Maudy sinis dengan mimik wajah merendahkan.
"Ow... Anak orang kaya rupanya ya?... Jangan sekalipun berpikir karena km anak orang kaya kamu merasa lebih baik dari mereka??"
"Maudy melotot tajam ke arah cowok yang belum diketahui namanya."
Siapa sih ni cowok, usil banget. Pikirmya
"Kasihan orangtua yang punya anak seperti kamu. Kamu pasti tidak bisa melihat jerih ayah dan ibumu untuk membesarkanmu. Anak manja yang taunya hanya belanja saja. Kekanakan."
"What's?! Kekanakan?! Heh elo ini yah?? Kenal saja enggak enak sekali mengkritik orang." maki Maudy
"Lain kali bicara lebih lembut lagi ya? Lebih sopan... Biar kelihatan cantik."
Demi mendengar kata cantik, pipi Maudy berubah memerah. Amarah yang muncul sepintas pergi entah kemana.
"Lihat, kamu jadi bahan tertawaan yang lain."
Pandangan Maudy mengarah pada sekitar. Benar kata Hamka, para anggota ekskul pramuka lain tengah menertawakan dirinya.
Salah seorang dari mereka malah menyilangkan keduan jari telunjuk di depan dahinya yang berarti GILA.
Entah kenapa ada rasa malu menggeliat lembut dihati Maudy. Untuk kali pertama ia merasa malu akan sikapnya.
"Nikmati pemandangan ini, karena suatu saat kau akan merindukan perjalanan ini."
"Jika kau butuh teman. Panggil aku. Hamka."
Maudy membuang muka melihat kembali pemandangan yang mulai berubah menjadi hijau. Bus pariwisata yang sedang melaju sudah melewati perkotaan dan hendak berjalan menuju kawasan cagar alam.


Picture: kompasiana.com
Bus berhenti tepat disebuah lokasi perkemahan.
Tak ada satupun siswa yang mau menemani Maudy. Mereka ngeluyur begitu saja meninggalkan Maudy. Bukan tanpa alasan sejak resmi menjadi anggota ekskul pramuka Maudy tak pernah bergaul dengan mereka.
Fendi, kakak pembina sampai kerepotan dengan sikap egois dan introvert Maudy. Beberapa kali ia mengatakan kepada ayah Maudy untuk memindahkan Maudy dari ekskul pramuka. Beberapa kali pula ayahnya bilang untuk mempertahankan Maudy sampai persami usai
"Papaaa"
"Loh anak papa sudah pulang."
"Iyah kangen."
"Bagaimana persaminya??"
"Hmmm lumayan... seru. Aku suka. Terima kasih papa."
Hamadi terkejut dengan jawaban Maudy terlebih saat kecupan manja mendarat ke pipi Hamadi.
"Bagimana dengan teman baru? Sudah punya?"
"Iyah, ada namanya Hamka. Orangnya baik deh Pap. Ganteng pula." jelas Maudy
"Haaamka?!"
Pandangan Hamadi berubah kosong. Ia seolah sangat familiar dengan nama itu.
"Pap ada apa?!"
"Eh, nggak papa kug nak... Ya sudah gih, segera temui mama kamu. Dari kemaren mamamu kawatir ngajakin nyusul melulu."

Jadwal persami sudah keluar. Maudy senang bukan kepalang karena itu tandanya ia akan bertemu lagi dengan Hamka. Sebenarnya ia inhin bertanya kepada anak pramuka lain tentang Hamka. Namun gengsi membuatnya memilih menyimpan pertanyaan itu dalam saku ingatannya.
Benar adanya saat naik bus pariwisata, Hamka sudah menyambutnya dengan senyuman.
"Maudy duduk sini." Kata Agatha, teman baru Maudy.
"Heh, lagi seneng ya kug senyum-senyum sendiri?" tanya Agatha.
Agatha, si gadis berambut keriting yang setia dengan gaya rambut kepang satunya itu keheranan melihat sikap Maudy. Sesekali dilihatnya Maudy tengah senyum-senyum sendiri lagi.
"Mau tau aja sih kamu."
"Ya iya donk kita khan prend." Jawab Agatha
Malam harinya, saat acara api unggun telah usai dan semua anggota pramuka kembali ke peraduan.
"Sedang apa?"
"Lagi belajar buat simpul tali."


sumber
"Kamu bisa ikut aku sebentar?"
"Iya kemana?"
"Ikut saja."
"Kemana? Kapan."
"Sekarang yah?!"
"Bisakah kamu menolongku? Untuk terakhir kalinya?"
"Terakhir kali? Emang kamu mau kemana Kak?!"
"Aku mengubur sebuah kotak disana. Tepat dibawah pohon itu. Ambil dan bukalah. Aku ingin kau memberikan itu pada kawanku."
"Kawanmu? Siapa?? Kenapa tidak diambil sendiri sih?"
"Nanti kau akan tahu."
"Sepertinya sudah saatnya aku mengucapkan selamat tinggal. Kau sudah berubah jadi gadis yang baik dan kau sudah jadi anak yang sanga manis. Hamadi pasti akan bangga."
Tangan Hamka menyentuh lembut pipi Maudy. Kemudian mengusap kepala Maudy dengan lembut. Maudy hanya bisabdiam menebak rahasia yang disembunyikan Hamka.
"Bagaimana kau tahu nama ayahku?!"
"Pergilah. Kau akan temukan jawabannya disana."
Tanpa banyak bertanya lagi. Maudy bergegas berlari menuju sebuah pohon besar. Sesekali ditengoknya Hamka yang tak bergerak dari tpat berdirinya. Ia mulai menggali tanah dengan kayu yang ditemukan di dekatnya.
Ia tertegun begitu melihat sebuah benda dari kayu mulai kelihatan. tertimbun disana. Ia gali sisa lagi sisi tanah yang masih menutupi sisi-sisi benda berbentuk kotak tersebut.
Ia pun segera mengeluarkan kotak itu. Bergegas membuka dengan nafas terburu-buru.
Saat kotak itu berhasil dibuka. Maudy menemukan beberapa foto dan sebuah surat di dalamnya. Foto-foto kebanyakan bergambar dua orang anak lelaki seumuran yang tengah mengenakan seragam PRAMUKA lengkap dengan hasduk merah putih dan topi yang menutupi rambut agak gondrong keduanya.
Diambilnya senter yang sedari tadi ada disampingnya. Diarahkannya caahya senter itu tepat ke foto yang ada digenggamannya.
Betapa terkejutnya Maudy. Ia mendapati salah satu dari remaja itu adalah Hamka. Iya Hamka, lelaki yang dikenalnya sebagi kakak pembina. Maudy melihat sekelilingnya, mencari keberadaan Hamka yang tiba-tiba menghilang seperti biasanya.
Maudy terkejut. Badannya oleng seketika hingga harus disandarkan ke pohon besar itu. Jam di tangannya menunjukkan angka 1. Dini hari. Sepi tak ada siapapun selain dirinya. Hanya jerikan jangkrik dan suara lolongan anjing dari arah tang tak diketahuinya.
Hawa dingin merasuki tubuh Maudy. Ia mulai menggigil. Ketakutan dan penasaran menyelimuti pikirannya.
Maudy membuka satu-satunya surat dalam kotak itu. Di amplop bertuliskan:
Quote:
"Hamadi. Bukankah itu ayahku? Jadi Hamka adalah? Hantu."
Maudy jatuh ke tanah. Pingsan. H
Fendi yang kebetulan lihat Maudy tergeletak di tanah langsung menghampirinya. Diboponhnya Maudy yang setengah sadar itu ke kemahnya.

Gubrak, suara pintu tiba-tiba dibuka
"Maudy, sudah pulang?! Ada apa?"
"Papa dimana Ma?"
"Di tempat ker..." belum selesai berbicara Maudy meninggalkan mamanya.
"Maudy, kamu kenapa Nak?! Kenaa seragmu kotor dan banyak tanah begini?
"Maudy, ada apa Nak?! Bukannya kamu msih persami." Mama Maudy memberondong Maudy dengan banyak pertanyaan. Tak dihiraukan. Maudy diam.
"Paaaap"
Maudy tiba-tiba masuk ke ruang kerja ayahnya. Hamadi kaget melihat kehadiran Maudy yang tiba-tiba.
Maudy meletakkan kotak yang sedari tadu dipeganginya tepat diatas meja kerja ayahnya. Hamadi yang kaget dengan apa yang disodorkan anaknya langsung berdiri.
"Apa ini?"
Dibukalah kotak usang itu.
"Aku menemukannya di perkemahan."
Hamadi menyermati isi kotak itu. Diambilnya surat yang sudah dibaca Maudy.
"Hamka, ya Allah.. Kenapa baru sekarang? Sudah lama aku merindukan penjelasan ini. Aku tak percaya Hamka yang baik bisa begitu tega mengakhiri persahabatan kami."
"Dari mana kamu dapat ini? Maudy?!"
"Ada dibawah pohon besar."
"Bagaimana kamu bisa?!... Hmmm Hamka yang selama ini kamu ceritakan adalah Hamka ini?! Hamadi menunjukkan foto di tangannya.
"Iyaaa" air mata menetes di pipi Maudy
Maudy berlari meninggalkan ayahnya menuju kamar yang tak lagi dirindukannya. Hatinya merasa hampa. Hamka yang dikenalnya tak benar-benar ada. Kesedih memyelimuti hatinya.
"Maafkan aku. Terima kasih."
Hamka tiba-tiba datang. Mengulurkan tangan kanannya. Maudy membalas uliran tangan itu. Ia tak mau melewatkan kesempatan menggenggam tangan Hamka lagi.
Mata yang indah dan wajah ganteng Hamka selalu membuat luluh hati Maudy.
Hamka dengan setelan berwarna putih pergi meninggalkan Maudy. Perlahan genggaman kedua tangan itu sudah ada di ujung jari. Jauh. Hilang. Hanya tinggal lambain tangan.
"Haaaamkaaaa." teriak Maudy
Ia terbangun dari tidurnya. Dilihatnya sekeliling. Kamar. Ia ada di kamarnya. Jam wecker di mejanya menunjukkan pukul 3 sore.
"Maudy. Kau sudah bangun nak?!"
"Iyah Maaam."
Mama Maudy menghampiri putrinya yang masih ada di kasur. Maudy seketika memeluk mamanya. Tangisnya langsung meledak kala itu.
"Hai Maudy." suara
Beberapa orang masuk ke kamar Maudy. Fendi dan Agatha sudah ada di kamarnya, diiringi beberapa orang dibelakangnya. Maudy segera menyeka pipi yang penuh air mata.
Kawan-kawan dari ekskul pramuka sudha memenuhi kamar Maudy. Semua hadir satu persatu memeluk Maudy.
"Mauuudy.. Kamu gak papa?? Aku kawatir." Agatha berhambur memeluk Maudy
"Iyah Maudy kau tiba-tiba meninggalkan perkemahan. Kami kawatir." celetuk beberapa teman yang lain.
Maudy senang melihat kawan-kawannya
"Kenangan yang akan kau rindukan." terngiang kata-kata Hamka pada dirinya.
Maudy melihat Hamka di pelupuk matanya. Lalu menghilang.
"Kaulah yang paling kurindukan. Hamka"
Sekian

Picture: haurgeulis.com
Diubah oleh l13ska 25-08-2019 09:07




anasabila dan triwinarti memberi reputasi
2
980
14
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan