- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[SFTH] Jam Dua Belas Malam


TS
RetnoQr3n
[SFTH] Jam Dua Belas Malam
Cerita pendek
![[SFTH] Jam Dua Belas Malam](https://s.kaskus.id/images/2019/08/21/10517178_201908211049540810.jpg)
Matahari bersinar cerah hari ini, tidak dengan Indri yang masih bermalasan di kasur. Ia menyambut pagi dengan desahan napas panjang dan kasar. Bukan apa-apa, hari ini dia diminta untuk membantu menjadi panitia di Perkemahan sekolahnya.
Sebenarnya sih, ia selalu semangat mengikuti perkemahan, tapi kali ini bertepatan dengan hari lahirnya. Rencananya, pada malam hari kelahirannya, Indri ingin mengadakan pesta perayaan bersama geng koplak—teman gaje Indri di sekolah. Tapi apa boleh buat, tugas sebagai anggota pramuka senior harus dilakukan. Dengan menggunakan pakaian pramuka lengkap, Indri berangkat. Tidak lupa ransel hitam berisi perlengkapan selama di perkemahan.
“Ndri, udah siap? Bawa bawang putih ga?”
“Nggak, emang buat apa?”
“Katanya tempat kemah yang sekarang banyak yang kesurupan.”
“Masa? Emang di mana?”
“Itu di Lapangan Karikil. Denger-denger, tempatnya angker, banyak penunggunya.”
“Ah, ga caya gua.”
***
![[SFTH] Jam Dua Belas Malam](https://s.kaskus.id/images/2019/08/21/10517178_201908211101400306.jpg)
Sumber: dokumen ade
Hari sudah petang saat rombongan pramuka SMAN 13 sampai di tempat berkemah. Hutan bambu berada di dua sisi lapangan. Di arah utara lapangan, terdapat jalan raya. Seberang jalan raya adalah puskesmas. Di gedung itulah kami menumpang kamar mandi. Sedangkan sisi samping adalah kali yang cukup besar. Kali ini merupakan saluran irigasi untuk warga sekitar.
Gedung tua itu memiliki bentuk bangunan seperti zaman penjajahan belanda. Pintu depan yang berdaun pintu dua itu memiliki banyak tralis. Belum lagi jendela kamar-kamarnya yang terbuat dari kayu. Jika ingin angin masuk, harus dibuka luas.
Angin berhembus membawa hawa sejuk cenderung dingin yang entah mengapa membuat bulu kuduk berdiri. Hari semakin malam, bintang-bintang mulai menampakkan cerahnya langit. Menemani rangkaian acara di malam pertama perkemahan ini.
Bersama beberapa panitia, Indri tampak sibuk menyiapkan api unggun untuk menghangatkan suasana. Musim kemarau yang terjadi di wilayah ini, menjadikan suhu lebih dingin dan terasa kering. Saat seperti ini adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan perkemahan.
Sirine berbunyi, menandakan waktu untuk berkumpul di sekitar api unggun. Acara makan malam, cukup menyenangkan. Koki dadakan yang merupakan teman-teman sesama anggota pramuka sukses membuat kenyang seluruh peserta kemah. Termasuk Indri.
Setelah makan malam selesai, dilanjutkan dengan acara perkenalan anggota pramuka. Sampailah ke Indri. Semua bertepuk tangan saat Indri mengatakan bahwa ia berulangtahun besok. Ucapan selamat dan doa diberikan sepenuh hati oleh seluruh anggota pramuka.
“Gaess, sory. Gue ke tenda duluan, ya. ngantuk banget,” pamitnya kepada seluruh panitia yang masih berkumpul di api unggun.
“Ga nungguin nanti jam 12 malem?” Lisa berusaha mencegah Indri.
“Ga, ah. Mata gue udah berat banget.”
“Ya, udah. Happy nice dream, ya.”
Indri beranjak ke tenda panitia perempuan. Tidak menunggu waktu lama ia memejamkan mata. suara napasnya sudah mulai melambat dan teratur. Menandakan bahwa tidurnya semakin nyenyak. Bahkan nyamuk kebon yang ikut masuk ke tenda tidak mampu membangunkan.
***
Malam semakin larut, jarum jam menunjuk ke angka 12. Jam antik di puskesmas berdentang beberapa kali menandakan waktu dini hari. Indri tersadar dari tidurnya, mengucek mata yang masih beradaptasi dengan lingkungan. Matanya memandang awas lingkungan sekitar. Gelap!
Dimana ini? Mengapa semua gelap? Linda memejamkan kembali matanya, berharap semua hanya mimpi. Terdengar suara pintu berdecit dan jendela terbuka disertai hembusan angin malam yang masuk ke tempatnya terbaring. Semakin dingin.
Perlahan, Linda membuka matanya kembali. Ia segera menegakkan diri, duduk di atas kasur. Bulu kuduknya semakin merinding saat hembusan angin kembali mengenai indera perabanya. Semakin kencang dan dingin. seketika tubuhnya kaku dan napas tertahan di paru-paru. Hanya lutut yang semakin bergetar.
Tidak lama kemudian suara orang tertawa terdengar di telinga, menambah tegang bulu kuduk Indri. Ia mencoba menguasai diri dengan menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Sedikit demi sedikit melangkah, meraba benda di sekitar, tapi dikagetkan dengan suara pintu yang tiba-tiba tertutup.
“Dewi, Lisa, Rina” lirihnya memanggil teman-teman sekamar. Namun, nihil. Mereka tidak berada di sini. Mengapa aku berada di sini? batin Linda bertanya-tanya.
“Haaah!” teriak Indri saat mulai mendekati pintu, karena merasa ada yang menepuk pundaknya. “Siapa di sana?” Tidak ada yang menjawab. Sunyi.
Indri semakin berusaha keras untuk keluar dari kamar itu. Prasangka-prasangka keanehan berdasarkan cerita teman-teman berkelebat di dalam pikirannya. Mungkinkah aku dipindahkan oleh setan penghuni lapangan?Namun, semua segera ditepisnya. Ah, tidak mungkin.
Akhirnya, Indri berhasil meraih gagang pintu, kemudian membukanya. Suasana di luar kamar masih gelap. Indri mengerjapkan matanya, mencoba beradaptasi dengan kegelapan. Dibantu cahaya remang dari luar ia mampu melihat poster-poster kesehatan terpampang di dinding. Aku berada di dalam puskesmas?
Lampu yang semula mati, kini berkedip-kedip, menambah cepat degup jantung Indri. Segera Indri berlari ke pintu keluar.
“Waaa!” teriak Indri saat badannya dipeluk dari belakang.
Tidak lama, lampu menyala dan teman-temannya bermunculan dari berbagai sisi sambil mengucapkan, “Selamat ulang tahun.”
Lisa melepaskan dekapannya dan mebalikkan badan Indri, kemudian memeluk kembali. “Selamat ulang tahun, ya,” ucap Lisa dengan tersenyum manis.
Wajah Indri yang semula pucat, perlahan kembali seperti semula. Senyuman terbentuk bersamaan dengan lesung pipit yang menambah manis. “Makasih, ya atas perayaan ultah gue. Sumpeh, gue ga akan melupakan apa yang terjadi di malam ini. Gue sayang sama semuanya. Thanks, ya.”
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang juga.” Lagu tiup lilin dinyanyikan serentak oleh teman-teman Indri. Wanita berambut panjang itu meniup lilin hingga mati. Tepuk tangan bergemuruh di gedung Puskesmas.
BRAKK!
Dalam sekejap, semua menahan napas dan suara. Saling melirik dan mengira-ngira apa sumber suara itu.
CEKLEK. Suara kunci pintu terdengar dan derit pintu kayu terdengar.
“Sudah selesai?” tanya Mang Maman--penjaga puskesmas.
Semua menghembuskan napas lega. “Udah, Mang. Nuhun.” Jawab Rina dengan nada lega.
“Kalo udah, keluar cepet. Mamang mau mati-matiin lampu lagi.” Indri dan teman-teman keluar dari gedung itu dengan riang.
“Sory, ya, bikin lo takut tadi.” Lisa memulai pembicaraan.
“Santai aee, gue kan anak pramuka, pemberani. Takut mah biasa, tapi mengalahkan rasa takut itu yang perlu terus gue latih,” jawab Indri santai. “Eh, tapi gimana kalian bisa bikin kaya tadi?”
“Ya, kita masukin obat tidur dosis rendah ke makanan lo, terus pas lo udah lelap, kita pindahin deh ke Puskesmas. Tapi sebelumnya, udah minta izin sama Mang Maman buat pake satu kamar di sana. Untung Mang Maman ngizinin,” jawab Rina dengan ciri khasnya kalo cerita selalu panjang dan runut.
“Sumpeh, keren. Thanks, ya.” Mereka kembali bersama ke lingkungan perkemahan. Mempersiapkan kembali acara sebelum subuh untuk peserta yang lain.
Salam Hangat,
Retno Qren (RetnoQr3n)
![[SFTH] Jam Dua Belas Malam](https://s.kaskus.id/images/2019/08/21/10517178_201908211049540810.jpg)
Matahari bersinar cerah hari ini, tidak dengan Indri yang masih bermalasan di kasur. Ia menyambut pagi dengan desahan napas panjang dan kasar. Bukan apa-apa, hari ini dia diminta untuk membantu menjadi panitia di Perkemahan sekolahnya.
Sebenarnya sih, ia selalu semangat mengikuti perkemahan, tapi kali ini bertepatan dengan hari lahirnya. Rencananya, pada malam hari kelahirannya, Indri ingin mengadakan pesta perayaan bersama geng koplak—teman gaje Indri di sekolah. Tapi apa boleh buat, tugas sebagai anggota pramuka senior harus dilakukan. Dengan menggunakan pakaian pramuka lengkap, Indri berangkat. Tidak lupa ransel hitam berisi perlengkapan selama di perkemahan.
“Ndri, udah siap? Bawa bawang putih ga?”
“Nggak, emang buat apa?”
“Katanya tempat kemah yang sekarang banyak yang kesurupan.”
“Masa? Emang di mana?”
“Itu di Lapangan Karikil. Denger-denger, tempatnya angker, banyak penunggunya.”
“Ah, ga caya gua.”
***
![[SFTH] Jam Dua Belas Malam](https://s.kaskus.id/images/2019/08/21/10517178_201908211101400306.jpg)
Sumber: dokumen ade
Hari sudah petang saat rombongan pramuka SMAN 13 sampai di tempat berkemah. Hutan bambu berada di dua sisi lapangan. Di arah utara lapangan, terdapat jalan raya. Seberang jalan raya adalah puskesmas. Di gedung itulah kami menumpang kamar mandi. Sedangkan sisi samping adalah kali yang cukup besar. Kali ini merupakan saluran irigasi untuk warga sekitar.
Gedung tua itu memiliki bentuk bangunan seperti zaman penjajahan belanda. Pintu depan yang berdaun pintu dua itu memiliki banyak tralis. Belum lagi jendela kamar-kamarnya yang terbuat dari kayu. Jika ingin angin masuk, harus dibuka luas.
Angin berhembus membawa hawa sejuk cenderung dingin yang entah mengapa membuat bulu kuduk berdiri. Hari semakin malam, bintang-bintang mulai menampakkan cerahnya langit. Menemani rangkaian acara di malam pertama perkemahan ini.
Bersama beberapa panitia, Indri tampak sibuk menyiapkan api unggun untuk menghangatkan suasana. Musim kemarau yang terjadi di wilayah ini, menjadikan suhu lebih dingin dan terasa kering. Saat seperti ini adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan perkemahan.
Sirine berbunyi, menandakan waktu untuk berkumpul di sekitar api unggun. Acara makan malam, cukup menyenangkan. Koki dadakan yang merupakan teman-teman sesama anggota pramuka sukses membuat kenyang seluruh peserta kemah. Termasuk Indri.
Setelah makan malam selesai, dilanjutkan dengan acara perkenalan anggota pramuka. Sampailah ke Indri. Semua bertepuk tangan saat Indri mengatakan bahwa ia berulangtahun besok. Ucapan selamat dan doa diberikan sepenuh hati oleh seluruh anggota pramuka.
“Gaess, sory. Gue ke tenda duluan, ya. ngantuk banget,” pamitnya kepada seluruh panitia yang masih berkumpul di api unggun.
“Ga nungguin nanti jam 12 malem?” Lisa berusaha mencegah Indri.
“Ga, ah. Mata gue udah berat banget.”
“Ya, udah. Happy nice dream, ya.”
Indri beranjak ke tenda panitia perempuan. Tidak menunggu waktu lama ia memejamkan mata. suara napasnya sudah mulai melambat dan teratur. Menandakan bahwa tidurnya semakin nyenyak. Bahkan nyamuk kebon yang ikut masuk ke tenda tidak mampu membangunkan.
***
Malam semakin larut, jarum jam menunjuk ke angka 12. Jam antik di puskesmas berdentang beberapa kali menandakan waktu dini hari. Indri tersadar dari tidurnya, mengucek mata yang masih beradaptasi dengan lingkungan. Matanya memandang awas lingkungan sekitar. Gelap!
Dimana ini? Mengapa semua gelap? Linda memejamkan kembali matanya, berharap semua hanya mimpi. Terdengar suara pintu berdecit dan jendela terbuka disertai hembusan angin malam yang masuk ke tempatnya terbaring. Semakin dingin.
Perlahan, Linda membuka matanya kembali. Ia segera menegakkan diri, duduk di atas kasur. Bulu kuduknya semakin merinding saat hembusan angin kembali mengenai indera perabanya. Semakin kencang dan dingin. seketika tubuhnya kaku dan napas tertahan di paru-paru. Hanya lutut yang semakin bergetar.
Tidak lama kemudian suara orang tertawa terdengar di telinga, menambah tegang bulu kuduk Indri. Ia mencoba menguasai diri dengan menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Sedikit demi sedikit melangkah, meraba benda di sekitar, tapi dikagetkan dengan suara pintu yang tiba-tiba tertutup.
“Dewi, Lisa, Rina” lirihnya memanggil teman-teman sekamar. Namun, nihil. Mereka tidak berada di sini. Mengapa aku berada di sini? batin Linda bertanya-tanya.
“Haaah!” teriak Indri saat mulai mendekati pintu, karena merasa ada yang menepuk pundaknya. “Siapa di sana?” Tidak ada yang menjawab. Sunyi.
Indri semakin berusaha keras untuk keluar dari kamar itu. Prasangka-prasangka keanehan berdasarkan cerita teman-teman berkelebat di dalam pikirannya. Mungkinkah aku dipindahkan oleh setan penghuni lapangan?Namun, semua segera ditepisnya. Ah, tidak mungkin.
Akhirnya, Indri berhasil meraih gagang pintu, kemudian membukanya. Suasana di luar kamar masih gelap. Indri mengerjapkan matanya, mencoba beradaptasi dengan kegelapan. Dibantu cahaya remang dari luar ia mampu melihat poster-poster kesehatan terpampang di dinding. Aku berada di dalam puskesmas?
Lampu yang semula mati, kini berkedip-kedip, menambah cepat degup jantung Indri. Segera Indri berlari ke pintu keluar.
“Waaa!” teriak Indri saat badannya dipeluk dari belakang.
Tidak lama, lampu menyala dan teman-temannya bermunculan dari berbagai sisi sambil mengucapkan, “Selamat ulang tahun.”
Lisa melepaskan dekapannya dan mebalikkan badan Indri, kemudian memeluk kembali. “Selamat ulang tahun, ya,” ucap Lisa dengan tersenyum manis.
Wajah Indri yang semula pucat, perlahan kembali seperti semula. Senyuman terbentuk bersamaan dengan lesung pipit yang menambah manis. “Makasih, ya atas perayaan ultah gue. Sumpeh, gue ga akan melupakan apa yang terjadi di malam ini. Gue sayang sama semuanya. Thanks, ya.”
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang juga.” Lagu tiup lilin dinyanyikan serentak oleh teman-teman Indri. Wanita berambut panjang itu meniup lilin hingga mati. Tepuk tangan bergemuruh di gedung Puskesmas.
BRAKK!
Dalam sekejap, semua menahan napas dan suara. Saling melirik dan mengira-ngira apa sumber suara itu.
CEKLEK. Suara kunci pintu terdengar dan derit pintu kayu terdengar.
“Sudah selesai?” tanya Mang Maman--penjaga puskesmas.
Semua menghembuskan napas lega. “Udah, Mang. Nuhun.” Jawab Rina dengan nada lega.
“Kalo udah, keluar cepet. Mamang mau mati-matiin lampu lagi.” Indri dan teman-teman keluar dari gedung itu dengan riang.
“Sory, ya, bikin lo takut tadi.” Lisa memulai pembicaraan.
“Santai aee, gue kan anak pramuka, pemberani. Takut mah biasa, tapi mengalahkan rasa takut itu yang perlu terus gue latih,” jawab Indri santai. “Eh, tapi gimana kalian bisa bikin kaya tadi?”
“Ya, kita masukin obat tidur dosis rendah ke makanan lo, terus pas lo udah lelap, kita pindahin deh ke Puskesmas. Tapi sebelumnya, udah minta izin sama Mang Maman buat pake satu kamar di sana. Untung Mang Maman ngizinin,” jawab Rina dengan ciri khasnya kalo cerita selalu panjang dan runut.
“Sumpeh, keren. Thanks, ya.” Mereka kembali bersama ke lingkungan perkemahan. Mempersiapkan kembali acara sebelum subuh untuk peserta yang lain.
Salam Hangat,
Retno Qren (RetnoQr3n)
Diubah oleh RetnoQr3n 21-08-2019 11:04


anasabila memberi reputasi
1
417
3
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan