- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Menguak Awal Mula Terjadinya Reklamasi Kali Ciliwung hingga Respons Pakar Tata Kota


TS
noisscat
Menguak Awal Mula Terjadinya Reklamasi Kali Ciliwung hingga Respons Pakar Tata Kota



Jumat, 16 Agustus 2019
JAKARTA,KOMPAS.com - Polemik dataran buatan atau "reklamasi" di bantaran kali Ciliwung menjadi topik hangat yang tengah dibicarakan masyarakat.
Warga bantaran kali Ciliwung memperluas lahan mereka dengan mengendapkan bebatuan yang dimasukan kedalam karung di pinggir kali.
Sontak perilaku ini memicu keresahan masyarakat karena lebar kali menjadi sempit akibat dari pelebaran tersebut.
Kompas.com coba mengupas pengakuan warga setempat terkait kronologi pelebaran lahan tersebut. Berikut beberapa poin yang berhasil dirangkum.
1. Asal muasal bebatuan dari proyek galian selokan
Warga yang tinggal di bantaran kali Ciliwung di jalan Tanah Rendah, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakart Timur buka suara terkait pelebaran lahan di bantaran kali menggunakan batu dan tanah terbungkus karung.
Bebatuan tersebut berasal dari sisa proyek galian selokan yang sedang berjalan di kawasan Tanah Tinggi.
Hal tersebut dibenarkan Ketua RW 08 Jalan Tanah Tinggi, Tamsis saat ditemui di kediamannya, Kamis (15/8/2019).
Awalnya, bebatuan tersebut diambil dari dalam jalan setapak warga yang akan dibangun selokan.
Kan dikawasan ini sedang ada pemasangan U-ditch segi empat. Nah jadinya kita ngegruk tanah kedalaman 70 cm dan lebar 40 cm lah," ujar dia.
Batu dan tanah tersebut dimanfaatkan oleh warga setempat untuk membuat dataran buatan di pinggir kali.
Tamsis mengatakan, bebatuan hasil galian tersebut digunakan warga bantaran kali untuk menahan derasnya aliran air kali Ciliwung dan antisipasi banjir.
"Jadi warga pada minta 'pak RW bagi puingnya dong'. Puinya buat nahan air kalau banjir dan ombak air. Puing puing itu baru ditaro pinggir kali sejak tiga bulan terakhir," ucap dia.
2. Warga klaim reklamasi tidak mempersempit ukuran kali.
Tamsis selaku ketua RW setempat mengklaim reklamasi bantaran kali Ciliwung tidak mempersempit ukuran kali.
Tentunya bukan menjadi sempit malah (ukuran) kembali seperti semula," ujar Tamsis.
Dia menjelaskan awalnya tanah pinggiran kali yang ditempati warga terkikis sedikit demi sedikit karena terpaan aliran air kali.
Warga bantaran kali pun khawatir jika lama kelamaan tanah pinggiran tempat mereka tinggal menjadi longsor.
3. Satu-satunya jalan keluar adalah ditertibkan.
Pengamat tata kota Yayat Supriatna mengatakan, warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung beserta tanah reklamasinya harus ditertibkan. Sebab, hal tersebut dapat mempersempit luas sungai dan menghambat aliran air.
"Enggak boleh itu (warga bangun dataran dibantaran Kali Ciliwung). Jadi bantaran sungai itu harus bebas dari pemukiman. Ya kan sungai menyempit. Dengan sungai menyempit banjir akan terjadi dengan mudah," ujar dia saat dihubungi Kompas.com.
Lebih lanjut Yayat menilai kawasan di sekitar bantaran kali haruslah steril. Namun, kenyataannya warga malah lebih memilih lokasi tersebut sebagai tempat tinggal.
Dia menduga banyak warga yang menganggap lahan tersebut bebas untuk digunakan.
"Kenapa sungai itu diuruk karena seakan-akan tidak ada pemiliknya. Tidak ada yang awasi dan tidak ada yang nindak," ucap dia.
4. Pengamat menilai gubernur belum punya konsep jelas benahi Kali Ciliwung.
Yayat Supriatna mengatakan banyak orang menilai program normalisasi kali lebih tepatnya dibanding naturalisasi untuk menertibkan rumah dan reklamasi di bantaran kali Ciliwung.
Dengan normalisasi, rumah yang ada di bantaran kali otomatis akan ditertibkan.
Yayat justru mempertanyakan program naturalisasi yang digadang-gadang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
"Makanya yang harus dilaksanakan normalisasi. Tapi untuk normalisasi Pak Anies enggak bisa, sukanya naturalisasi. Nah konsep naturalisasi saja belum jelas nih," ujar dia.
Normalisasi merupakan kegiatan pengembalian lebar sungai seperti semula. Artinya, rumah yang berdiri di bantaran kali harus digusur. Pemprov DKI Jakarta biasanya memindahkan warga yang tinggal di bantaran kali tersebut ke rusun.
Yayat mempertanyakan konsep naturalisasi yang diinginkan Anies. Menurut dia, belum ada kepastian akan ada penertiban rumah di bantaran kali dengan konsep naturalisasi ala Anies.
"Kalau dinormalisasi kemungkinan pindah ke rumah susun bisa. Tapi kalau naturalisasi ada enggak relokasi warga dari situ?," tambah dia.
https://amp.kompas.com/megapolitan/r...-respons-pakar
Ketua RW Tanah Rendah Klaim Reklamasi ala Warganya Tidak Mempersempit Kali Ciliwung
Tamsis selaku Ketua RW 08 Jalan Tanah Rendah, Kampung Melayu, Jatinegara mengklaim bahwa reklamasi bantaran kali Ciliwung tidak mempersempit ukuran kali.
"Tentunya bukan menjadi sempit, malah (ukuran) kembali seperti semula," ujar Tamsis saat ditemui di kediamannya, Kamis (15/8/2019).
Dia menjelaskan awalnya tanah pinggiran kali yang ditempati warga terkikis sedikit demi sedikit karena terpaan aliran air kali.
Warga bantaran kali pun khawatir jika tanah pinggiran tempat mereka tinggal menjadi longsor.
Karena itulah mereka memperluas lahan atau melakukan "reklamasi" dengan puing-puing bebatuan agar dapat menahan terpaan air sungai dan banjir.
Dari data yang dia punya, terdapat 49 rumah di RW 08 yang tinggal di pinggiran kali. Ke-49 rumah itu melakukan pelebaran lahan di pinggir kali Ciliwung dengan menggunakan puing bebatuan.
"Iya karena mereka takut kalau banjir, wah serem kalau banjir di sini," ujar Tamsis.
https://amp.kompas.com/megapolitan/r...k-mempersempit

Kondisi halaman belakang bangunan yang ditempati Pierre (36), warga Manggarai Selatan, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (16/8/2019).
Bagian belakang bangunan yang ditempati salah satu warga Manggarai Selatan, Tebet, tampak miring dan berpotensi longsor.
Bukan karena sengaja dibuat miring, melainkan tanahnya yang terkikis aliran air Sungai Ciliwung.
Penyebabnya adalah sejumlah warga di seberang bangunan yang ditempati Pierre (36) memperluas lahan menggunakan tumpukan karung berisi bebatuan.
Hal itu membuat kondisi Sungai Ciliwung menyempit. Air pun mengalir ke bangunan di seberangnya.
Pantauan TribunJakarta.com pada Jumat (16/8/2019), halaman belakang bangunan yang ditempati Pierre hanya diisi beberapa pot bunga.
Padahal, ia mengatakan, sebelumnya halaman itu sempat digunakan sebagai kamar tidur.
"Sempat buat taruh beberapa barang juga. Akhirnya kita kosongin karena takut jatuh," ujarnya.
"Semakin ke sini makin parah miringnya. Soalnya kan di bawahnya itu makin kosong karena terkikis tadi itu," tambah dia.
Pierre pun berharap Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta segera mengambil tindakan untuk membersihkan tumpukan karung berisi bebatuan di bantaran Sungai Ciliwung.
https://jakarta.tribunnews.com/2019/...otensi-longsor
Basuki saat itu menantikan konsep Anies terkait naturalisasi sungai. Pasalnya, sudah dua kali rapat digelar, yang datang hanya utusan dari Pemprov DKI yang masih belum mengerti soal konsep yang akan dilakukan DKI dalam menata sungai-sungai.
Ada 13 sungai yang melintasi Jakarta yakni Sungai Ciliwung, Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Baru Barat, Mookevart, Baru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung.
Dengan berhentinya program normalisasi sungai di DKI, saat ini pemerintah pusat hanya fokus pada penyelesaian program yang sama di hulu tepatnya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
https://megapolitan.kompas.com/read/...iliwung?page=3
Eaaaa... Warga bikin daratan buatan sendiri...


Kreativitas tanpa batas ini pun di dukung oleh Ketua RW setempat sedangkan kita tau sungai bukan tempat orang bertempat tinggal...
Seharus nya memasuki musim penghujan pemprov dki fokus terkait normalisasi sungai sungai..
Jakarta masih terdapat lingkungan kumuh seperti foto diatas sangat gak layak disebut "jakarta adalah ibu kota"..
Diubah oleh noisscat 16-08-2019 07:02






youdoyouknow dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.7K
18


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan