- Beranda
- Komunitas
- News
- Indonesia Update
Moratorium Izin Hutan Alam Primer dan Gambut Efektif Kurangi Deforestasi


TS
indonesiaupdate
Moratorium Izin Hutan Alam Primer dan Gambut Efektif Kurangi Deforestasi

JPP JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, moratorium pemberian izin baru hutan alam primer dan gambut efektif mengurangi angka deforestasi. Karena itu, deforestasi Indonesia yang memburuk, seperti dikatakan Greenpeace dalam pernyataan persnya, tidak benar.
Bantahan KLHK terhadap pernyataan Greenpeace tersebut disampaikan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, Belinda Arunawati Margono di Jakarta, Minggu (11/08/2019).
Belinda Arunawati Margono mengungkapkan besaran laju deforestasi Indonesia sebelum dan sesudah moratorium. Dikatakannya, luas Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) adalah 66 juta hektare (ha) atau sebesar 35% dari luas daratan Indonesia, dan berada baik di dalam maupun luar kawasan hutan.
"Perlu juga dipahami bahwa di dalam PIPPIB, terdapat areal berkategori kawasan hutan, lahan gambut dan hutan alam primer. Di dalam kategori kawasan hutan dan lahan gambut, terdapat areal yang tidak bertutupan hutan karena memang merupakan ekosistem alami yang dijaga seperti rawa gambut, savana, atau pun semak belukar alami. Total areal bertutupan hutan di dalam PIPPIB adalah 52,3 juta ha, atau 79% dari luas PIPPIB," papar Belinda,
Belinda menjelaskan, setelah moratorium diberlakukan pada tahun 2011, memang terjadi lonjakan angka deforestasi di tahun 2014-2015 karena kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Namun, bencana itu terjadi pada seluruh wilayah Indonesia, baik non-kawasan maupun kawasan hutan, tanah mineral maupun gambut, serta berhutan maupun tidak.
Sebelumnya Greenpeace melalui Kiki Taufik menyatakan bahwa deforestasi di Indonesia lebih buruk setelah moratorium. Pernyataan Greenpeace ini tidak benar karena tidak berdasarkan fakta yang sesungguhnya.
"Soal tutupan lahan yang hilang disebut lebih besar di periode moratorium, KLHK tidak tahu data yang dipakai Greenpeace untuk dasar statement itu. Begitupun tidak jelas metode yang dipakai dalam melakukan interpretasi citra atau apa yang mereka lakukan. Harus jelas rule base untuk interpretasi citra. Di situlah metodis atau tidaknya sebuah analisis spasial. Tidak sembarangan. KLHK menggunakan data resmi di bawah sistem pemantauan yang sudah dibangun secara gradual untuk memenuhi kaidah akurasi dan konsistensi suatu sistem pemantauan," ujar Belinda.
Lebih lanjut dikatakan, untuk mengetahui efektivitas moratorium, dengan menggunakan periode yang sama, yaitu 8 tahunan, atau periode 2003-2010 untuk periode sebelum moratorium dan 2011-2018 untuk periode setelah moratorium. Maka total deforestasi periode sebelum moratorium adalah 7 juta ha (atau kurang lebih 0,88 ribu ha per tahun), dan setelah periode moratorium adalah sebesar sekira 5,6 juta ha (atau kurang lebih 0,7 ribu ha per tahun).
"Dengan informasi ini maka total deforestasi Indonesia untuk periode sebelum dan sesudah moratorium mengalami penurunan sekitar 20%. Sedangkan apabila hanya fokus pada areal moratorium saja (di dalam PIPPIB), analisa yang dilakukan dengan menggunakan sistem pemantauan yang sama, memberikan hasil bahwa terjadi penurunan angka deforestasi di dalam moratorium (PIPPIB) sebesar 38%, dari periode 2003-2010 seluas kurang lebih 1,9 juta ha (sebelum moratorium) ke periode berikutnya (2011-2018)," ujar Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, Belinda Arunawati Margono.
Efektivitas Moratorium untuk Karhutla
Sementara itu, mengenai perkembangan karhutla, Belinda Arunawati Margono mengungkapkan, pada tahun 2019, KLHK tidak hanya memantau menggunakan sebaran dan akumulasi titik panas api (hot spot) sebagai informasi, namun sudah langsung menghitung luas lahan.
Total areal terbakar sampai dengan bulan Juli 2019 adalah kurang lebih 135 ribu ha. Sebesar 77% dari luas terbakar tersebut terjadi di luar wilayah area moratorium atau peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB). Dan sebagian besar atau 71 ribu dari 135 ribu ha (53%) terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang didominasi savana. Dikatakan, kebakaran yang tidak terelakkan terjadi di dalam PIPPIB bisa ditekan hingga mencapai 0,8% khusus untuk areal yang bertutupan hutan alam. Sisanya 99,2% terjadi pada areal yang memang tidak berhutan, yaitu lahan gambut dan kawasan yang merupakan ekosistem alami tidak berhutan.
"Bisa dilihat efektivitas moratorium terhadap Karhutla. Karena luas areal berhutan yang terbakar di dalam PIPPIB sudah semakin berkurang. Bahkan saat ini hingga mencapai 1% dari total areal terbakar," kata Belinda.
Sebelumnya, menurut KLHK, terutama pada tahun 2014-2015 yang merupakan tahun El Nino kuat, total luas areal terbakar di Indonesia mencapai 2,6 juta ha, adapun sebanyak 69% dari luas itu terjadi di luar area moratorium (PIPPIB). Kebakaran memang juga terjadi di dalam wilayah moratorium, namun hanya 3% yang terjadi pada areal berhutan. Sisanya 97% terjadi pada areal yang memang tidak berhutan yaitu lahan gambut dan kawasan ekosistem alami tidak berhutan seperti savana atau semak belukar. "Jadi tidak benar yang disampaikan oleh Greenpeace tentang moratorium dan cenderung tendensius," tukas Belinda Arunawati Margono.
Untuk perkembangan kebijakan koreksi terkait kehutanan dalam empat tahun terakhir, sila baca berita Karhutla dan Langkah Koreksi Kebijakan Kehutanan. (lhk)
Sumber : https://jpp.go.id/humaniora/lingkung...gi-deforestasi
---
Kumpulan Berita Terkait HUMANIORA :
-

-

-

0
106
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan