Hari ini aku kembali menurunkan ego, mengubur rasa yang teramat sakit, mengukur kesabaran walaupun pahit.

Aku yang berhasil bertahan dari ujian justru dia yang kau beri pujian, sungguh miris, kadang hidup memang se-bercanda itu, aku yang berusaha dengan kuat untuk menjadi yang terhebat mampu dikalahkan dengan mudah dari dia yang kau anggap dekat.

Jadi aku ini kau anggap apa? Matahari yang menemanimu 12 jam lalu dengan mudahnya kau lupakan saat datang senja? Apanya yang hebat dari senja, meskipun indah tapi sadarlah; ia sementara, bahkan tak cukup setengah jam hingga dia berpamitan.

Hei, sadarlah, apa perasaanmu sesederhana itu? Aku sudah berusaha sekuat tenaga membuatmu bahagai, sedangkan dia? Hanya datang tiba-tiba; justru malah engkau beri cinta.

Ya, memang aku keterlaluan meminta imbalan dari kegigihanku, tapi setidaknya sedikit saja hargai perjuanganku. Aku tidak meminta warna dari pelangi yang kau ciptakan, tapi cobalah sedikit saja berbagi keindahan, setidaknya agar aku tau apa itu bahagia.

Apa hanya kau saja yang berhak bahagia? Tolong, aku juga ingin merasakannya. Orang-orang bilang cinta itu indah, tapi ternyata aku salah, cinta itu menyakitkan, sangat menyakitkan.

Aku berusaha menjadi rumah yang melindungimu dari panasnya mentari, dari dinginnya malam, tapi tak pernah dianggap sedikitpun, tak dipandang sedetikpun. Dia yang hanya menjadi ruangan kecil dengan alat pendingin dan benda empuk merah muda bisa dengan mudahnya kau puja-puja, kau bilang kau nyaman.

Tapi, sadarlah, aku yang berjuang mati-matian, bukan dia.

Apakah dunia ini memang selalu berkebalikan? Aku benci dengan keadaan seperti ini, andaikan saja aku bisa pergi sudah kulakukan dari dulu, tapi sayangnya aku yang bodoh ini masih saja bertahan dengan penuh harapan. Menantikan cinta seperti menantikan air dihamparan padang pasir.

Hentikan lah, aku mohon, aku tak memintamu untuk berhenti melakukan apa yang menurutmu itu kebahagiaanmu, aku hanya minta hentikan aku untuk tetap memperjuangkanmu.