- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Sayang Dimanakah Tubuhmu Berada?


TS
.unicorn.
Sayang Dimanakah Tubuhmu Berada?

Hari ini adalah hari di mana kenangan kita masih terlintas, selayang pandang, pada kedua bola mata yang semakin sayu dan sudah terlampau letih melihat dunia ini, masih menemukan keindahan pucuk pohon oak yang semakin menua oleh cuaca. Indah sedari berkabut hingga kabut tertidur manis.
Masih nampak bendera semapur itu, membentuk sandi cinta di antara lukisan yang kita buat bersamaan. Juga seragam Pramuka yang terjahit menyatu kemudian terbingkai bersama simpul tali silaturahmi yang tidak lebih hanyalah sebuah kenangan. Sebab kini, senyum kepuasan kita kepada persami hanya tinggal masa lalu saja.

"Dik, ayo kita pecahkan teka-teki pembina Pramuka." Kata Yoga saat pandangan kami bertemu di kemah dengan perut yang lapar.
Tiba-tiba perutku berbunyi, walau tidak begitu nyaring serupa kentut Kak Desta guru Pramuka yang tidak mau di sebuah bapak. Karena tingkat kejomloannya sudah lebih dari kadaluarsa. Sepuluh babak lagi mungkin sudah berupa namanya saja. Tetapi suara lapar itu sedikit mengganggu, sehingga nampak kecemasan pada raut wajah Yoga.
"Oh, kamu lapar ya!"
Yoga memberikan semua makanan kepadaku dengan sedikit memaksa. Namun pada akhirnya kita menikmati tiap suapan bersama-sama sambil berpikir untuk memecahkan teka-teki dari kak pembina.
"Aku sudah tau jawabannya."
"Apa, Dik?"
"Manusia itu bisa cacingan tetapi cacing gak bisa kemanusiaan."
Kami tertawa bersama-sama kemudian menuliskan jawaban ke dalam kotak teka-teki. Sejam berlangsung kemudian kakak pembina membuka, helai demi helai kertas jawaban dari masing-masing peserta.
Saat kertas kami di buka kakak pembina merasa takjub dan pada akhirnya memberikan hadiah juara kepada kami.
"Dik, kau dapat apa?"
"Semapur dan sebuah baju kaos bertuliskan "KAMILAH PRAMUKA" bagimana dengan hadiahmu?"
"Ponsel keluaran terbaru."
"Ciussss?"
"Nih lihat!" Sambil menunjukkan hadiahnya.
Tidak beberapa lama teriakan pembina menggema memanggil nama Yoga.
"Kembalikan ponselku?" Kata kakak pembina.
"Tapi ini kan hadiahku."
"Salah bungkusan! Ini hadiahmu."
Dengan berat hati Yoga mengembalikannya. Kemudian membuka hadiah yang syah. Ternyata hadiah kami sama.
"Bundaaa ...."
Lamunanku buyar karena Meta anak pertama dari Yoga sudah datang menghampiri dengan tangis yang tidak lagi ada berjeda.
"Ada apa, Nak?"
"Di mana ayahku?"
Aku hanya diam tanpa suara. Namun ibu segera datang membawa Meta ke dalam rumah.
"Yoga, apa yang harus kuucapkan sekarang?"
Saat aku masuk ke dalam rumah, Meta sedang terdiam sendirian dan masih dalam balutan baju sekolahnya. Kudekati perlahan-lahan kemudian memeluknya dari belakang.
"Bunda, aku sudah bertemu dengan ayah. Namun kenapa nenek bilang aku berhalusinasi? Lihatlah ke arah kanan. Bukankah itu adalah ayahku?
Mataku segera ke arah kanan dan sangat terkejut sekali.
"Mas Bromo! Apa yang kau lakukan di sini?"
"Melihat anakku."
"Tapi Meta adalah anak Yoga."
"Yoga dan aku adalah satu ruh. Lihatlah baik-baik kepada kedua bola mataku."
"Kau ...kau ...kau ...."
"Aku datang memenuhi panggilanmu dan mulai sekarang akan menghapus semua tangis, dari pipi yang semakin tirus oleh daftar kerinduan."
Kami berpelukan, namun anehnya aku tidak merasakan sentuhannya sama sekali. Padahal tubuhnya sudah begitu dekat tanpa adanya jarak pemisah serupa yang pernah dilakukan semua orang.
Ibu datang lalu pingsan. Selang beberapa jam kemudian dia menatapku sambil berkata, "jangan lagi berhalusinasi. Kenyataan itu memang pahit, tetapi harus segera kau tangani."
Aku semakin tidak mengerti dan tak mau lagi mendengar apa kata ibu. Sebab sudah ada yoga di sini, semua pasti membaik serupa sedia kala.
"Dik, ini seragam kita! Lihatlah, bukankah aku pantas menjadi pembina sekarang?"
"Ya, Yoga. Kau sudah lebih pantas sekarang!"
"Ayah, mari kita ke taman."
Dari kejauhan kulihat wajah ibu semakin sendu. Kehilangan terbesar dalam hidupnya adalah ketika sebuah kenyataan terbuka di depan matanya, tentang siapakan kami sebenarnya.
"Semoga kalian bahagia di alam sana, sayang."
Jakarta, 7 Agustus 2019.
Masih nampak bendera semapur itu, membentuk sandi cinta di antara lukisan yang kita buat bersamaan. Juga seragam Pramuka yang terjahit menyatu kemudian terbingkai bersama simpul tali silaturahmi yang tidak lebih hanyalah sebuah kenangan. Sebab kini, senyum kepuasan kita kepada persami hanya tinggal masa lalu saja.

"Dik, ayo kita pecahkan teka-teki pembina Pramuka." Kata Yoga saat pandangan kami bertemu di kemah dengan perut yang lapar.
Tiba-tiba perutku berbunyi, walau tidak begitu nyaring serupa kentut Kak Desta guru Pramuka yang tidak mau di sebuah bapak. Karena tingkat kejomloannya sudah lebih dari kadaluarsa. Sepuluh babak lagi mungkin sudah berupa namanya saja. Tetapi suara lapar itu sedikit mengganggu, sehingga nampak kecemasan pada raut wajah Yoga.
"Oh, kamu lapar ya!"
Yoga memberikan semua makanan kepadaku dengan sedikit memaksa. Namun pada akhirnya kita menikmati tiap suapan bersama-sama sambil berpikir untuk memecahkan teka-teki dari kak pembina.
"Aku sudah tau jawabannya."
"Apa, Dik?"
"Manusia itu bisa cacingan tetapi cacing gak bisa kemanusiaan."
Kami tertawa bersama-sama kemudian menuliskan jawaban ke dalam kotak teka-teki. Sejam berlangsung kemudian kakak pembina membuka, helai demi helai kertas jawaban dari masing-masing peserta.
Saat kertas kami di buka kakak pembina merasa takjub dan pada akhirnya memberikan hadiah juara kepada kami.
"Dik, kau dapat apa?"
"Semapur dan sebuah baju kaos bertuliskan "KAMILAH PRAMUKA" bagimana dengan hadiahmu?"
"Ponsel keluaran terbaru."
"Ciussss?"
"Nih lihat!" Sambil menunjukkan hadiahnya.
Tidak beberapa lama teriakan pembina menggema memanggil nama Yoga.
"Kembalikan ponselku?" Kata kakak pembina.
"Tapi ini kan hadiahku."
"Salah bungkusan! Ini hadiahmu."
Dengan berat hati Yoga mengembalikannya. Kemudian membuka hadiah yang syah. Ternyata hadiah kami sama.
"Bundaaa ...."
Lamunanku buyar karena Meta anak pertama dari Yoga sudah datang menghampiri dengan tangis yang tidak lagi ada berjeda.
"Ada apa, Nak?"
"Di mana ayahku?"
Aku hanya diam tanpa suara. Namun ibu segera datang membawa Meta ke dalam rumah.
"Yoga, apa yang harus kuucapkan sekarang?"
Saat aku masuk ke dalam rumah, Meta sedang terdiam sendirian dan masih dalam balutan baju sekolahnya. Kudekati perlahan-lahan kemudian memeluknya dari belakang.
"Bunda, aku sudah bertemu dengan ayah. Namun kenapa nenek bilang aku berhalusinasi? Lihatlah ke arah kanan. Bukankah itu adalah ayahku?
Mataku segera ke arah kanan dan sangat terkejut sekali.
"Mas Bromo! Apa yang kau lakukan di sini?"
"Melihat anakku."
"Tapi Meta adalah anak Yoga."
"Yoga dan aku adalah satu ruh. Lihatlah baik-baik kepada kedua bola mataku."
"Kau ...kau ...kau ...."
"Aku datang memenuhi panggilanmu dan mulai sekarang akan menghapus semua tangis, dari pipi yang semakin tirus oleh daftar kerinduan."
Kami berpelukan, namun anehnya aku tidak merasakan sentuhannya sama sekali. Padahal tubuhnya sudah begitu dekat tanpa adanya jarak pemisah serupa yang pernah dilakukan semua orang.
Ibu datang lalu pingsan. Selang beberapa jam kemudian dia menatapku sambil berkata, "jangan lagi berhalusinasi. Kenyataan itu memang pahit, tetapi harus segera kau tangani."
Aku semakin tidak mengerti dan tak mau lagi mendengar apa kata ibu. Sebab sudah ada yoga di sini, semua pasti membaik serupa sedia kala.
"Dik, ini seragam kita! Lihatlah, bukankah aku pantas menjadi pembina sekarang?"
"Ya, Yoga. Kau sudah lebih pantas sekarang!"
"Ayah, mari kita ke taman."
Dari kejauhan kulihat wajah ibu semakin sendu. Kehilangan terbesar dalam hidupnya adalah ketika sebuah kenyataan terbuka di depan matanya, tentang siapakan kami sebenarnya.
"Semoga kalian bahagia di alam sana, sayang."
Jakarta, 7 Agustus 2019.






anasabila dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.8K
30


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan