Kaskus

News

babygani86Avatar border
TS
babygani86
Mewujudkan Impian Industri 4.0 di Indonesia agar Bukan Sekadar Khayalan
Kemajuan teknologi mengubah peradaban manusia dari berburu dan meramu menjadi masyarakat agraris dengan struktur kelas sosial ekonomi. Melalui kemajuan teknologi pula, manusia memiliki kemampuan produksi yang terus meningkat baik secara kualitas dan kuantitas. Setiap temuan teknologi baru selalu berpotensi menjadi batu pijakan terhadap teknologi terdahulu. Namun sepanjang peradaban manusia, kemajuan teknologi relatif lambat.

Perubahan dari kehidupan berburu dan meramu dengan struktur masyarakat egaliter menjadi masyarakat agraris dengan kelas-kelas sosial ekonomi, membutuhkan waktu puluhan ribu tahun dan berjalan tidak merata di setiap belahan bumi. Usia masyarakat agraris dalam peradaban manusia pun sangat lama hingga belasan ribu tahun. Sebagai contoh, teknologi bercocok tanam di Afrika Utara pada 1000 SM relative tidak berbeda jauh dari teknologi bercocok tanam pada 500 M.

Mewujudkan Impian Industri 4.0 di Indonesia agar Bukan Sekadar Khayalan

Namun, jika tiba-tiba terjadi perbedaan kemampuan produksi secara sangat signifikan dari sudut pandang waktu, kuantitas, dan kualitas, berarti revolusi industry sedang terjadi. Dalam revolusi industri, teknologi produksi baru secara fundamental benar—benar mengubah kondisi kerja dan gaya hidup masyarakat.

Revolusi industri 1.0 terjadi pada abad ke-18 melalui penemuan dan penggunaan kekuatan mesin uap untuk mekanisasi produksi. Melalui penemuan mesin uap, kain berukuran satu meter persegi dapat diproduksi hingga delapan kali lebih cepat jika dibandingkan dengan pengerjaan manual. Penemuan kapal uap (sekitar 100 tahun pasca penemuan mesin uap) membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat secara lebih radikal karena manusia dan barang dapat berpindah dalam jarak jauh dengan waktu jauh lebih singkat dibandingkan dengan era dokar ditarik kuda.

Revolusi industri 2.0 dimulai pada abad ke-19 melalui penemuan listrik dan produksi jalur perakitan. Henry Ford (1863—1947) mengambil ide dari rumah potong hewan untuk keperluan produksi mobil dan hasilnya adalah mengubah proses produksi dan perakitan mobil secara drastis. Jika sebelumnya satu tim memproduksi dan merakit semua bagian mobil, Henry Ford membuat produksi mobil berjalan secara parsial melalui ban berjalan hingga produksi berjalan lebih cepat dengan biaya lebih rendah.

Revolusi industri 3.0 dimulai pada tahun 1970-an melalui otomasi terpisah menggunakan komputer dan kendali berbasis memori terprogram. Sejak pengenalan teknologi tersebut, peradaban manusia mampu mengotomasi seluruh proses produksi tanpa pendampingan manusia. Contoh revolusi industry 3.0 adalah pabrik perakitan mobil yang mampu menjalankan proses sekuensial tanpa campur

Mewujudkan Impian Industri 4.0 di Indonesia agar Bukan Sekadar Khayalan

Memasuki abad ke-21, peradaban manusia sedang menerapkan revolusi industri 4.0 yang dicirikan teknologi informasi dan komunikasi untuk industri. Melalui pengembangan revolusi industry 3.0 yang sudah berbasis teknologi komputer, revolusi industri 4.0 mengembangkan lebih jauh dengan menerapkan teknologi internet dan koneksi jaringan. Hal ini memungkinkan komunikasi antarfasilitas dan keluaran informasi berjalan sendiri tanpa campur tangan manusia. Pengembangan jaringan semua sistem membawa kita pada “pabrik pintar" yang menja|ankan system produksi robotik, yang di dalamnya terdapat sistem produksi, komponen, dan manusia saling berkomunikasi melalui jaringan intranet dan produksi nyaris otomatis total.

Per Maret 2018, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian merilis peta jalan dengan tajuk "Making Indonesia 4.0" yang kemudian disampaikan secara resmi pada awal April 2018 oleh Presiden Joko Widodo kepada publik.

Sebagaimana rilis pers dan berkas ringkas yang terdapat pada situs Kementerian Perindustrian, disampaikan oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bahwa industry 4.0 sudah resmi berjalan sejak 2011 yang ditandai meningkatnya konektivitas, interaksi, dan batas antara manusia, mesin, dan sumber data lainnya yang semakin konvergen melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Agar Indonesia tidak terdesak oleh arus besar perubahan ini, sektor industri nasional perlu melakukan banyak pembenahan aspek penguasaan teknologi yang menjadi kunci penentu daya saing di era industri 4.0, yaitu teknologi cetak 3D, teknologi robotik dan sensor, interaksi antarmuka manusia-mesin, artificial intelligence, dan internet of things. Agar lima teknologi tersebut dapat dikuasai dengan baik oleh bangsa Indonesia, beberapa pemangku kepentingan wajib terlibat secara positif, mulai dari unsur akademisi, asosiasi dan pelaku industri, hingga institusi pemerintahan.

Mewujudkan Impian Industri 4.0 di Indonesia agar Bukan Sekadar Khayalan

Dalam waktu lain, di antaranya saat debat 2 Capres 2019—2024, moderator debat Anisha Dasuki mengajukan pertanyaan, "Apa strategi Anda menghadapi revolusi industri 4.0 di sektor pertanian, perikanan, dan peternakan?" yang kemudian dijawab capres petahana dan capres penantang. Namun, jawaban yang diberikan terkesan masih normatif dan belum benar-benar menyentuh masalah riil mengenai kesiapan industri di Indonesia menghadapi revolusi industri 4.0.

Sebelum terlalu jauh membahas industri 4.0, perlu kita ketahui empat syarat menjadi negara industri, yaitu industri dasar yang andal untuk mengamankan rantai pasok dari hulu hingga hilir, pengusaha manufaktur yang andal untuk urusan produksi hingga memasok ke pasar, periset yang andal untuk membuat produk—produk dan menemukan teknologi baru, dan pekerja andal terdidik, terampil, dan berintegritas. Apakah Indonesia memiliki empat syarat tersebut?

Kenyataan saat ini adalah Indonesia menghadapi masalah deindustrialisasi dan kualitas SDM. Hal tersebut sudah disampaikan berulang—ulang oleh para ekonom, mulai dari Faisal Basri hingga Bhima Yudhistira. Indonesia masih mengalami masalah kemampuan produksi, kemampuan menciptakan produk sesuai permintaan pasar lokal dan global, ongkos rantai pasok, biaya energi, dan kualitas sumber daya manusia.

Dalam konteks keluaran pendidikan, bangsa kita masih masuk kategori papan bawah. Budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Indeks membaca rakyat Indonesia hanya 0.001, yang berarti dari 1.000 penduduk, hanya 1 orang yang memiliki minat baca tinggi. Menurut data Ikatan Penerbit Indonesia (2014), jumlah buku terbit di Indonesia hanya sekitar 30.000 judul berbanding 240 juta penduduk Indonesia dengan rasio 1 buku dibaca 4 hingga 5 orang. Televisi justru menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%) di kota-kota baik di Jawa dan luar lawa. Padahal banyak studi menunjukkan bahwa menonton televisi menyebabkan gelombang otak pada kondisi alfa karena dominasi fungsi indra visual dan perasaan. Kondisi alfa biasa berasosiasi dengan kondisi meditasi. Dengan kata lain, otak manusia cenderung mengistirahatkan dirinya saat menonton televise.

Mewujudkan Impian Industri 4.0 di Indonesia agar Bukan Sekadar Khayalan

Selain date_data di atas, masih ada data yang menunjukkan bangsa Indonesia lemah dalam hal literasi, numerasi, dan kemampuan pemecahan masalah. Hasil tes PISA (Programme for International Students Assessment) yang mengukur kompetensi siswa usia 15 tahun yang bersekolah dan PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competencies) yang mengukur tingkat kecakapan orang dewasa, menunjukkan temuan tersebut. Baik PISA dan PIAAC adalah keluaran Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Hasil PISA Indonesia (2015) menempatkan Indonesia di urutan ke-62 untuk sains, ke-63 untuk matematika, dan ke-64 untuk membaca dari 70 negara dalam survei membaca, dan posisi juru kunci dalam matematika serta sains. Berarti, Indonesia masuk dalam kelompok 10 negara terendah untuk kompetensi—kompetensi inti dunia industri.

Senada dengan PISA, PIAAC Indonesia juga menunjukkan hasil miris. Bangsa kita terpuruk pada peringkat terbawah di hampir semua jenis kompetensi yang dibutuhkan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya dalam masyarakat. Sebagai contoh, lebih dari separuh responden Indonesia mendapatkan skor kurang dari level 1 (kategori pencapaian terendah) dalam hal literasi di semua kategori umur (16—24 tahun sampai dengan 55—65 tahun) dan di semua tingkat pendidikan (SMP ke bawah sampai perguruan tinggi). Arti data ini adalah bangsa Indonesia memiliki rasio orang dewasa dengan kemampuan membaca terburuk dari 34 negara OECD dan mitra OECD yang disurvei pada putaran 2016.

Berdasarkan definisi OECD, maksud level <1 adalah hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang sudah akrab untuk menemukan satu bagian informasi spesifik. Padahal ini tidak sulit karena untuk menyelesaikan tugas tersebut hanya diperlukan pengetahuan kosakata dasar dan tidak perlu memahami struktur alinea dan kalimat.

Mewujudkan Impian Industri 4.0 di Indonesia agar Bukan Sekadar Khayalan

Patut diketahui bahwa survei PIAAC ini dilakukan hanya di Jakarta yang notabene adalah ibu kota negara yang penduduknya memiliki tingkat Indeks Pembangunan Manusia mencapai 78,99; di atas rata-rata nasional 69,55 (BPS, 2016). Bagaimana hasilnya jika survei PIAAC juga dilakukan di kota-kota lain dengan fasilitas pendidikan, kecukupan gizi, informasi, dan kesehatan yang lebih buruk dari Jakarta?

Paparan data di atas belum komprehensif, namun sudah memberikan indikasi kuat bahwa bangsa Indonesia masih ada di tahapan industri 2.0. Jika ada yang sudah menja|ankan industri 3.0, besar kemungkinan masuk kategori anomali. Apalagi jika ada yang sudah menja|ankan industri 4.0, berarti dia masuk kategori sangat anomali.

Dalam kata sambutan Making Indonesia 4.0, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa industri 4.0 memberikan peluang untuk merevitalisasi sektor manufaktur Indonesia dan menjadi salah satu cara untuk mempercepat pencapaian visi Indonesia untuk menjadi 10 ekonomi terbesar di dunia (pada 2030).

Kini yang patut menjadi pertanyaan adalah, seberapa besar niat pemerintah untuk mewujudkan peta jalan industri 4.0. Mewujudkan bangsa yang mampu menjalankan industri 4.0 membutuhkan keberadaan berbagai faktor, antara lain penerapan dan penegakan payung hukum yang jelas, industri dasar yang kuat, keberadaan SDM yang mumpuni, hingga dukungan kebijakan politik. Harapan akhir yang ingin diraih tentu terwujudnya impian industri 4.0 di Indonesia, bukan sekadar khayalan.

Mewujudkan Impian Industri 4.0 di Indonesia agar Bukan Sekadar Khayalan


Spoiler for Referensi:


0
815
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan