- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Sekilas Sejarah Dwikewarganegaraan Indonesia-China 1958


TS
yoseful
Sekilas Sejarah Dwikewarganegaraan Indonesia-China 1958

Presiden SoeKarno dan PM Zhou Enlai, Bandung, 1955
Spoiler for Ke China, Aku Tak Akan Kembali:
Awal tahun 1960 menjadi hari-hari yang sibuk bagi sebuah keluarga bermarga Tjhie yang tinggal di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat. Mereka bersiap-siap menempuh perjalanan panjang dengan kapal laut, membelah Laut Jawa dan menyusuri Laut China Selatan menuju ke daratan China. Pakaian pun sudah dimasukkan dalam koper-koper. Namun rencana tersebut akhirnya batal pada saat-saat akhir.
Sang istri yang lahir di kota Bogor, Jawa Barat menahan niat keluarganya untuk eksodus ke tanah leluhur mereka. Ikatan emosional dengan tanah kelahirannya menjadi penyebab. "Mama rupanya merasa sangat berat meninggalkan negara ini," ujar Yi Lun pada detikX, di Jakarta beberapa waktu lalu. Namun, ada juga kerabatnya yang lain memutuskan tetap meninggalkan Indonesia.
Kisah rencana migrasi keluarga Tjhie itu punya akar peristiwa beberapa tahun sebelumnya. Saat berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada akhir 1949 terdapat kesepakatan soal kewarganegaraan. Salah satu isinya memutuskan orang etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia otomatis memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Sementara bagi yang ingin menolak jadi WNI, diberi tenggat sampai sebelum 27 Desember 1951 dengan mendaftar di konsulat China di Indonesia. Tak sedikit etnis Tionghoa yang bersemangat menolak status kewarganegaraan Indonesia. Terutama para pelajar muda yang memimpikan memperoleh pendidikan tinggi di China. Salah satunya, seorang pemuda di Jakarta bernama Liang Yingming.
Liang memutuskan ikut migrasi ke China pada Juni 1951. Sebelum menaiki kapal di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, pemuda kelahiran Surakarta pada 1931 ini mencantumkan pernyataan dan tanda tangan di balik Surat Tanda Lahir Indonesia yang dimilikinya. Dia menuliskan perjanjian, tak akan kembali ke Indonesia setelah menuntaskan sekolahnya. Janji itu memang dituntut pemerintah Indonesia.
-ux2qss.png)
Ahli sejarah Asia Tenggara dan China Modern, Taomo Zhou menuliskan kisah Liang itu dalam buku Revolusi, Diplomasi, Diaspora : Indonesia, Tiongkok, dan Etnis Tionghoa 1945-1967yang baru saja diluncurkan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Senin (29/7) lalu. Bersama Liang di kapal itu ada lebih dari seribu anak muda Tionghoa lulusan Sekolah Menengah Atas yang lahir di Indonesia.
Pada Taomo, Liang menggambarkan suasana di dalam kapal. Tak ada cucuran air mata, tak ada teriakan selamat berpisah, dan hanya ada teriakan "Sampai berjumpa di Beijing". Liang kemudian menjadi guru besar Studi Internasional di Universitas Peking. "Satu-satunya penyesalan Liang, dia tak pernah melihat ayahnya lagi setelah pindah ke China," kata Taomo pada detikX. Ayah Liang tak pernah sempat menyusul ke Beijing karena wafat beberapa tahun kemudian.
Tidak ada angka yang pasti berapa jumlah orang Tionghoa yang masuk dalam gelombang eksodus pertama tahun 1949-1951 itu. Informasi yang dikumpulkan baik pemerintah China di Beijing maupun seterunya di Taipei memperkirakan ada sekitar 630 ribu orang dari sekitar 2,5 juta etnis Tionghoa di Indonrdis. Namun ada juga penelitian yang menyebut pada angka 250 ribu sampai 350 ribu orang.
Selain ada yang menolak jadi WNI seperti Liang, banyak juga yang galau, terutama mereka yang berkecimpung dalam sektor perdagangan. "Satu sisi mereka perlu hak sebagai WNI demi kepentingan usahanya. Namun sisi lain mereka sangat ketakutan oleh kemungkinan putus untuk selamanya hubungan dengan negeri leluhur," ujar Taomo yang juga asisten profesor di History Programme, School of Humanities, Nanyang Technological University, Singapura.
-87w0t.png)
Persoalan lain, etnis Tionghoa tidak satu suara. Mereka terbelah imbas dari perang saudara yang melanda Tiongkok. Ada etnis Tionghoa pro Partai Kuomintang yang dipimpin Chiang Kai Shek. Banyak juga yang pro pada Partai Komunis China (PKC). Saat revolusi Indonesia berlangsung kedua pihak ini juga punya kebijakan berbeda. Sebagai sekutu Belanda, Kuomintang tidak mengakui berdirinya Republik Indonesia pada 1945. Kedua kelompok ini berebut pengaruh etnis Tionghoa perantauan termasuk di Indonesia.
Kuomintang yang kemudian pindah ke Taipei setelah kalah dalam perang saudara menerima keluhan dari kaum Tionghoa di Indonesia terkait aturan kewarganegaraan itu. Orang-orang Tionghoa itu khawatir, hukum Indonesia membuat mereka dalam "posisi terlantar". Untuk itu, Taipei berusaha keras membangun hubungan tidak resmi dengan Jakarta. Pasalnya Indonesia secara de jure hanya memberi pengakuan diplomatik pada Beijing.
Taipei memobilisasi jaringannya untuk membangun kontak dengan kekuatan politik Indonesia. Seorang politikus senior Koumintang bernama Chen Kewen ditugaskan. Chen punya kedekatan dengan Thung Liang Lee alias Tubagus Pranata Tirtawidjaja, asisten pribadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Sukiman, Achmad Soebardjo. Namun langkah ini gagal karena jatuhnya Kabinet Sukiman.
Gagal dengan strategi ini, Taipei melalui Koumintang cabang Jakarta menyerukan pada etnis Tionghoa pro Taipei untuk memilih jadi WNI. Status itu hanya kedok saja. Secara politik kesetiaan mereka untuk Taipei. Koumintang lalu menggerakkan kader-kadernya itu sebagai alat perjuangan menentang pengaruh Beijing pada etnis Tionghoa di Indonesia. "Yang paling penting status WNI itu memudahkan kader Koumintang menjalankan kegiatan terselubung di Indonesia," ujar Taomo.
Profesor Riset bidang Sejarah Sosial Politik LIPI, Asvi Warman Adam mengatakan gejolak internal di China memang berdampak ke Indonesia. Kelompok komunis dan golongan nasionalis saling berebut pengaruh di kalangan Tionghoa di Indonesia. Perebutan itu terutama pada media, organisasi, dan pendidikan. Tiga pilar budaya Tionghoa yang kemudian dilarang pada era Orde Baru. "Tajamnya rivalitas itu bahkan sampai memengaruhi persepsi kebanyakan orang Indonesia pada Tionghoa secara keseluruhan," ujar Asvi.
Di lain pihak, Beijing memakai strategi berbeda. Semua organ Partai Komunis China di luar negeri termasuk Indonesia dibubarkan. Kebijakan yang berhubungan dengan Tionghoa perantauan pun diubah. Tionghoa perantauan yang memilih jadi warganegara China diinstruksikan tidak boleh ikut dalam kegiatan politik apa pun di negara tempat mereka tinggal. "Kalau ini dilanggar, pemerintah lokal akan menuduh mereka terlibat dalam intervensi asing," ujar Taomo.

Taomo Zhao saat peluncuran bukunya di LIPI, Jakarta.
Beijing juga memutuskan tidak lagi menggunakan prinsip warisan garis darah dalam menentukan kewarganegaraan. Kebijakan ini ditandatangani Perdana Menteri Zhou Enlai dan Menteri Luar Negeri Sunario Sastrowardoyo pada 22 April 1955, disela-sela Konferensi Asia Afrika, di Bandung. Selain Beijing tidak lagi mengklaim semua etnis Tionghoa sebagai warganegara China, Indonesia juga mengubah prinsip pasif jadi aktif. Semua etnik Tionghoa yang mau jadi WNI harus melewati prosedur hukum yang disyaratkan.
Perubahan kebijakan dua negara mengecewakan sejumlah pihak. Penolakan dari kaum peranakan datang dari Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki dikenal sangat aktif mendukung revolusi Indonesia dan integrasi etnis Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia. Melalui ketuanya, Siauw Giok Tjhan yang pernah jadi Menteri Negara Urusan Peranakan dalam Kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948), Baperki menyatakan Perjanjian Dwikewarganegaraan China-Indonesia perlu ditinjau ulang.
Sistem aktif yang dipakai Indonesia, menurut Siauw akan menyebabkan proses denasionalisasi besar-besaran. Kewarganegaraan Indonesia di kalangan etnis Tionghoa yang sudah lama tinggal dan berniat tetap tinggal di Indonesia terancam hilang. Terutama bagi yang menetap di daerah pedesaan-pedesaan karena jauh dari akses informasi untuk melakukan pendaftaran sebagai WNI.
Baperki juga menyebut banyak etnis Tionghoa yang sudah lama aktif dalam politik Indonesia baik sebagai pemimpin partai, anggota parlemen, dan menteri. Kesetiaan mereka pada Indonesia tak perlu diragukan. Maka itu dengan sendirinya menunjukkan mereka WNI dan tak perlu lagi diwajibkan memilih kewarganegaraan.
Dalam pertemuan dengan PM Zhou Enlai, Siauw mengatakan, "Saya seorang anggota parlemen Indonesia dan Indonesia adalah tanah air saya. China bukan tempat tinggal saya, (karena itu hanya) tanah air leluhur saya."
Perjanjian Dwikewarganegaraan itu akhirnya disahkan di China pada 30 Desember 1957 dengan mengakomodasi catatan Siauw terkait dengan posisi kewarganegaraan etnis Tionghoa yang aktif dalam politik dan pemerintahan Indonesia. Sementara bagi Indonesia aturan ini ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 2 tahun 1958 tertanggal 27 Januari 1958.
-ombn10.png)
Setelah masa itu, diberlakukan Peraturan Presiden No 10 Tahun 1959 tentang larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di daerah pedesaan. Peraturan ini sebetulnya dimaksudkan terhadap orang Tionghoa non WNI. Tapi nyatanya aturan tersebut berimbas pada semua warga Tionghoa yang berdagang di pedesaan. Tidak peduli mereka memiliki kewarganegaraan Indonesia atau tidak.
Akibatnya terjadi gelombang kekerasan pada etnis Tionghoa. Siauw Giok Tjhan mencatat ada sekitar 300 ribu orang etnis Tionghoa yang terusir dari rumah mereka di kampung-kampung. Puluhan ribu bisnis milik orang etnis Tionghoa diambil alih dengan paksa. Akhirnya gelombang eksodus menuju daratan China seperti satu dekade sebelumnya kembali terjadi lagi. Tercatat 390 ribu orang etnis Tionghoa memilih untuk meninggalkan Indonesia pada arus migrasi besar kedua ini. Sebagian besar dari mereka memulai hidup "baru" di Tanah Pertanian Tionghoa Perantauan yang terletak di wilayah bergunung-gunung seperti Fujian, Guangdong, dan Hainan.
Ke China, Aku Tak Akan Kembali
---> hmm, br tau jk partai koumintang adlh sekutu nya Belanda, malah pd awal2 masa revolusi kemerdekaan RI trnyata partai Koumintang mendukung secara resmi atas kembalinya pasukan kolonial Belanda ke RI, walopun sebagian pendukung nya di RI justru mendukung kaum gerilyawan RI, sperti dalam kasus pertempuran 10 NOV 1945 di Surabaya.... ironis ya, gan..... ?!
Diubah oleh yoseful 04-08-2019 09:20
0
1.6K
Kutip
8
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan