- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Konspirasi Arwah Pemikiran


TS
kreator.9.ES
Konspirasi Arwah Pemikiran


Spoiler for Selamat Datang:

Kali ini ane mau bagi cerita pendek ane, langsung aja ya:
Quote:
KONSPIRASI ARWAH PEMIKIRAN
Spoiler for pic pajangan:
Tubuhku tak punya bentuk pasti, wujudku tak telihat secara kasat mata, namun aku bisa memilih memperlihatkan diri dengan berubah menjadi penampakkan yang aku mau: benda mati, tumbuhan, hewan, atau manusia dari usia kecil hingga tua. Usiaku sendiri, sudah mencapai ratusan dalam hitungan tahun, membuatku sudah menyaksikan beragam peristiwa: damai, peperangan, kematian, kelahiran. Kelahiranku, bermuasal dari sebuah proyek rahasia pada zaman Majapahit.
Pekerjaan rahasia pada sebuah gua tersembunyi, ada duapuluhdelapan insan dari berbagai belahan Majapahit yang turut mengkreasikan diriku. Mereka terdiri dari bermacam latarbelakang, untuk menyebut beberapa: Empu, Pujangga, Patih, Rakryan Tumenggung. Aku tercipta pada tahun Saka 1254, maka mereka memberiku sengkala “Kak4win Wisikan Mlakuning Pikiran”.
Setelah adanya eksitensiku, bersabdalah mereka tentang aku. “Wahai kamu, Arwah Pemikiran, kamu yang tidak punya tubuh tetap, kamu yang punya indera seperti manusia namun juga punya indera pendeteksi yang tak dimiliki manusia. Wahai kamu, Arwah Pemikiran, yang akan punya usia......” Mereka juga memberi wejangan tugas dan pekerjaan yang harus aku tempuh. “Wahai kamu, Arwah Pemikiran, carilah ilmu dan pengetahuan dari kepingan manapun, dari serikat manapun. Wahai kamu, Arwah Pemikiran, bacalah.......”
Pekerjaan rahasia pada sebuah gua tersembunyi, ada duapuluhdelapan insan dari berbagai belahan Majapahit yang turut mengkreasikan diriku. Mereka terdiri dari bermacam latarbelakang, untuk menyebut beberapa: Empu, Pujangga, Patih, Rakryan Tumenggung. Aku tercipta pada tahun Saka 1254, maka mereka memberiku sengkala “Kak4win Wisikan Mlakuning Pikiran”.
Setelah adanya eksitensiku, bersabdalah mereka tentang aku. “Wahai kamu, Arwah Pemikiran, kamu yang tidak punya tubuh tetap, kamu yang punya indera seperti manusia namun juga punya indera pendeteksi yang tak dimiliki manusia. Wahai kamu, Arwah Pemikiran, yang akan punya usia......” Mereka juga memberi wejangan tugas dan pekerjaan yang harus aku tempuh. “Wahai kamu, Arwah Pemikiran, carilah ilmu dan pengetahuan dari kepingan manapun, dari serikat manapun. Wahai kamu, Arwah Pemikiran, bacalah.......”
(***)
Dari teori graf sampai ilmu saraf, dari geometri hingga ergonomi. Semua telah aku rekam dan aku proses. Semua sampai detik yang sekarang berjalan, dan akan terus bertambah pengetahuan yang kuhimpun.
Seperti pada kala ini, saat aku melihat-lihat bit-bit informasi dan ekspresi di dunia internet. Saat ini, aku memeriksa jejak digital komentar warganet tentang orang-orang Timur Tengah Raya. ‘Hahaha.....sobat gurun memang begitu’, ‘Sahabat Miramar siap membakar sumbu ledak!’, ‘ARAB dibalik jadi BARA, fakta ARAB memang cuma menghasilkan BARA’, ‘Masih berlanjut ya ternyata berlomba-lomba dalam ledakan
emang apa yang bisa kaum Sunagakure tawarkan selain itu?‘.
Komentar netizen, boleh disebut cermin dari apa yang diperlihatkan orang-orang yang mereka komentari. Dilihat dari statistik, memang sudah punah manusia kawasan Maghrib-Masyriq Raya yang mampu berkreasi dan membuat pilihan tamadun. Tak ada lagi manusia pencipta, seperti sosok yang aku temui, pada suatu hari itu.
Pada hari itu.... Ya, aku ingat akan hari itu. Saat aku bertemu dengan sosok itu, ratusan tahun lalu. Sosok yang juga seorang Metafora.
Seperti pada kala ini, saat aku melihat-lihat bit-bit informasi dan ekspresi di dunia internet. Saat ini, aku memeriksa jejak digital komentar warganet tentang orang-orang Timur Tengah Raya. ‘Hahaha.....sobat gurun memang begitu’, ‘Sahabat Miramar siap membakar sumbu ledak!’, ‘ARAB dibalik jadi BARA, fakta ARAB memang cuma menghasilkan BARA’, ‘Masih berlanjut ya ternyata berlomba-lomba dalam ledakan

Komentar netizen, boleh disebut cermin dari apa yang diperlihatkan orang-orang yang mereka komentari. Dilihat dari statistik, memang sudah punah manusia kawasan Maghrib-Masyriq Raya yang mampu berkreasi dan membuat pilihan tamadun. Tak ada lagi manusia pencipta, seperti sosok yang aku temui, pada suatu hari itu.
Pada hari itu.... Ya, aku ingat akan hari itu. Saat aku bertemu dengan sosok itu, ratusan tahun lalu. Sosok yang juga seorang Metafora.
(***)
Di kala matahari baru saja tenggelam dari angkasa sepenuhnya, saat wewe gombel akan menculik anak-anak yang masih bermain-main di luar rumah. Di suatu pantai di kawasan Utara Jawa yang sepi tak berpenghuni. Waktu itu, terasa udara yang lebih tebal hadir menutupi bumi. Kabut, saat awan datang ke tanah.
Berlatar suasana senja-berkabut itulah, aku yang duduk dari suatu bukit dekat pantai, melihat sesuatu perlahan mendekati pantai. Ternyata sebuah kapal, dengan dayung-dayung yang bergerak. Ukurannya besar: aku taksir, lebarnya sekitar enam depan dan panjangnya sekitar tigapuluh depa. Aku perhatikan: bentuknya menyerupai galai, model kapal di Laut Tengah di belahan bumi Utara sana. Bentuknya punya kemiripan dengan kapal yang pernah dikirim orang Osmanli ke ujung barat Suwarnadwipa.
Setelah kapal itu berlabuh dan berhenti, di bagian lambungnya muncul sebuah papan, bergerak turun menuju pantai. Tak berselang lama aku mendengar, “Krek... krek... krek....” Aku melihat seseorang turun, dan dibelakang orang itu, ikut berjalan........ pertama kali aku kira yang mengikuti orang itu hewan-hewan –tapi bila kuperhatikan lebih lanjut, mereka bukan hewan. Begitu kaki orang itu menyentuh tanah berpasir, ia mengubah arah badan dan berdiri di samping papan. Kemudian tangannya bergerak-gerak dan bertepuk-tepuk, seolah memerintah entah-peliharaan-macam-apa yang mengikutinya untuk mengambil posisi masing-masing.
Aku penasaran. Aku ingin melihat dari jarak yang lebih dekat, namun aku masih menahan keinginanku. Mengawasi dari bukit, orang itu terus menggerak-gerakkan tangan. Makhluk-makhluk yang turun dari kapal semakin banyak –hei, tunggu, semakin banyak? Bicara jumlah, aku baru melihat satu orang yang turun. Apa tidak ada awak kapal lain selain orang itu?
Aku semakin penasaran. Aku ingin tahu: Apa benar hanya ada satu awak kapal dari kapal sebesar itu? Siapa orang itu? Makhluk-makhluk macam apa yang mengikutinya? Apa tujuannya datang kemari?
Aku memutuskan untuk menemuinya. Maka, untuk menemuinya, aku merubah wujudku. “Wus... wus... wus...” Asap muncul di sekitar tubuhku, penanda saat aku berubah wujud: menjadi seorang tua berwajah ramah, dengan tongkat pembantu jalan. Harapanku, dengan tampang tua dan tubuh renta seperti ini, orang itu tak akan merasa terancam.
Aku berjalan turun dengan cepat dari atas bukit. Sambil melangkahkan kaki, indera penglihatanku masih mengawasi orang itu, makhluk-makhluk yang menyertainya kulihat menempatkan diri secara rapi dalam baris kotak-kotak. Begitu mendekati orang itu, yang posisinya memunggungiku, aku mengurangi kecepatanku agar sesuai dengan kecepatan seorang kakek tua. Tepat pada saat aku akan menyapanya, ia menganggkat tangannya ke udara dan bertepuk keras tiga kali, yang membuat makhluk-makhluk peliharaannya berhenti. Orang itu –yang kukira telah menyadari keberadaanku– langsung berbalik menghadapiku.
“Eh–”
“Hei–”
Kami tak mampu menyembunyikan ekspresi keterkejutan kami begitu kami bertatap muka. Mata kami yang saling menatap, menunjukkan bahwa kami saling bertanya: Siapa orang ini? Tanpa kata, tubuh memaku tanpa gerakan, hanya pikiran yang bergerak saling menerka identitas. Aku memperhatikan orang itu: laki-laki, perawakannya lebih besar dari rata-rata tubuh orang Nusantara, berkulit kecoklatan, berjenggot dan berkumis putih tebal, memakai sorban di kepalanya, memakai jubah putih, dan memakai alas kaki berkuncung berwarna hijau, dan....... dengan indera pendeteksiku, aku merasa ada yang berbeda di dalam tubuh orang itu, sesuatu yang aneh.
Satu detik.... dua detik.... tiga detik.... empat detik.... lima detik.... enam detik..... hening. Segala pertanyaan dalam pikiranku tertahan tak menjadi lisan melalui mulut. Sampai pada akhirnya aku menghadirkan senyum di wajahku, lalu membuka percakapan, “Selamat malam, kisanak...... apa kisanak bisa bahasa saya?”
Orang itu membalas senyumku. “Selamat malam, wahai kakek. Ya, saya bisa bahasa anda,” jawabnya.
Yang kuucapkan selanjutnya, “Oh... begitu.... begitu.... kisanak sudah bisa bahasa saya..... Kalau boleh saya tahu, kisanak ini siapa? Saya baru pertama kali melihat kisanak?”
Jawabnya, “Saya datang dari jauh, dari arah barat tempat ini, dari utara. Sebelum datang ke sini saya sudah belajar bahasa anda”. Ia melangkah lebih mendekatiku, mengulurkan tangannya, “Perkenalkan, nama saya Insan Ali. Tapi silakan, bila anda ingin memanggil saya dengan sebutan yang lain.”
Aku menjabat uluran tangannya, sembari secepatnya aku mengarang nama untuk wujudku saat ini, “Namaku, sebut saja aku Sudarana.” Aku melanjutkan, “Omong-omong perlu apa tuan Insan Ali datang? Apa ada yang bisa saya bantu?”
Insan Ali tak segera menjawab. Ia hanya memandangiku, lalu kepalanya menoleh ke kiri menatap kapalnya, lalu menoleh ke kanan melihat makhluk peliharaannya, lalu menatapku lagi. Insan Ali terlihat menimbang sesuatu. Lalu ia memutuskan: tersenyum, bertanya “Kakek Sudarana, bisakah kita saling terus terang?”
Berlatar suasana senja-berkabut itulah, aku yang duduk dari suatu bukit dekat pantai, melihat sesuatu perlahan mendekati pantai. Ternyata sebuah kapal, dengan dayung-dayung yang bergerak. Ukurannya besar: aku taksir, lebarnya sekitar enam depan dan panjangnya sekitar tigapuluh depa. Aku perhatikan: bentuknya menyerupai galai, model kapal di Laut Tengah di belahan bumi Utara sana. Bentuknya punya kemiripan dengan kapal yang pernah dikirim orang Osmanli ke ujung barat Suwarnadwipa.
Setelah kapal itu berlabuh dan berhenti, di bagian lambungnya muncul sebuah papan, bergerak turun menuju pantai. Tak berselang lama aku mendengar, “Krek... krek... krek....” Aku melihat seseorang turun, dan dibelakang orang itu, ikut berjalan........ pertama kali aku kira yang mengikuti orang itu hewan-hewan –tapi bila kuperhatikan lebih lanjut, mereka bukan hewan. Begitu kaki orang itu menyentuh tanah berpasir, ia mengubah arah badan dan berdiri di samping papan. Kemudian tangannya bergerak-gerak dan bertepuk-tepuk, seolah memerintah entah-peliharaan-macam-apa yang mengikutinya untuk mengambil posisi masing-masing.
Aku penasaran. Aku ingin melihat dari jarak yang lebih dekat, namun aku masih menahan keinginanku. Mengawasi dari bukit, orang itu terus menggerak-gerakkan tangan. Makhluk-makhluk yang turun dari kapal semakin banyak –hei, tunggu, semakin banyak? Bicara jumlah, aku baru melihat satu orang yang turun. Apa tidak ada awak kapal lain selain orang itu?
Aku semakin penasaran. Aku ingin tahu: Apa benar hanya ada satu awak kapal dari kapal sebesar itu? Siapa orang itu? Makhluk-makhluk macam apa yang mengikutinya? Apa tujuannya datang kemari?
Aku memutuskan untuk menemuinya. Maka, untuk menemuinya, aku merubah wujudku. “Wus... wus... wus...” Asap muncul di sekitar tubuhku, penanda saat aku berubah wujud: menjadi seorang tua berwajah ramah, dengan tongkat pembantu jalan. Harapanku, dengan tampang tua dan tubuh renta seperti ini, orang itu tak akan merasa terancam.
Aku berjalan turun dengan cepat dari atas bukit. Sambil melangkahkan kaki, indera penglihatanku masih mengawasi orang itu, makhluk-makhluk yang menyertainya kulihat menempatkan diri secara rapi dalam baris kotak-kotak. Begitu mendekati orang itu, yang posisinya memunggungiku, aku mengurangi kecepatanku agar sesuai dengan kecepatan seorang kakek tua. Tepat pada saat aku akan menyapanya, ia menganggkat tangannya ke udara dan bertepuk keras tiga kali, yang membuat makhluk-makhluk peliharaannya berhenti. Orang itu –yang kukira telah menyadari keberadaanku– langsung berbalik menghadapiku.
“Eh–”
“Hei–”
Kami tak mampu menyembunyikan ekspresi keterkejutan kami begitu kami bertatap muka. Mata kami yang saling menatap, menunjukkan bahwa kami saling bertanya: Siapa orang ini? Tanpa kata, tubuh memaku tanpa gerakan, hanya pikiran yang bergerak saling menerka identitas. Aku memperhatikan orang itu: laki-laki, perawakannya lebih besar dari rata-rata tubuh orang Nusantara, berkulit kecoklatan, berjenggot dan berkumis putih tebal, memakai sorban di kepalanya, memakai jubah putih, dan memakai alas kaki berkuncung berwarna hijau, dan....... dengan indera pendeteksiku, aku merasa ada yang berbeda di dalam tubuh orang itu, sesuatu yang aneh.
Satu detik.... dua detik.... tiga detik.... empat detik.... lima detik.... enam detik..... hening. Segala pertanyaan dalam pikiranku tertahan tak menjadi lisan melalui mulut. Sampai pada akhirnya aku menghadirkan senyum di wajahku, lalu membuka percakapan, “Selamat malam, kisanak...... apa kisanak bisa bahasa saya?”
Orang itu membalas senyumku. “Selamat malam, wahai kakek. Ya, saya bisa bahasa anda,” jawabnya.
Yang kuucapkan selanjutnya, “Oh... begitu.... begitu.... kisanak sudah bisa bahasa saya..... Kalau boleh saya tahu, kisanak ini siapa? Saya baru pertama kali melihat kisanak?”
Jawabnya, “Saya datang dari jauh, dari arah barat tempat ini, dari utara. Sebelum datang ke sini saya sudah belajar bahasa anda”. Ia melangkah lebih mendekatiku, mengulurkan tangannya, “Perkenalkan, nama saya Insan Ali. Tapi silakan, bila anda ingin memanggil saya dengan sebutan yang lain.”
Aku menjabat uluran tangannya, sembari secepatnya aku mengarang nama untuk wujudku saat ini, “Namaku, sebut saja aku Sudarana.” Aku melanjutkan, “Omong-omong perlu apa tuan Insan Ali datang? Apa ada yang bisa saya bantu?”
Insan Ali tak segera menjawab. Ia hanya memandangiku, lalu kepalanya menoleh ke kiri menatap kapalnya, lalu menoleh ke kanan melihat makhluk peliharaannya, lalu menatapku lagi. Insan Ali terlihat menimbang sesuatu. Lalu ia memutuskan: tersenyum, bertanya “Kakek Sudarana, bisakah kita saling terus terang?”
(***)
Kami sepakat saling jujur. Akibatnya? Aku dan ia tahu saling tahu identitas masing-masing.
Ia seperti diriku, bisa mengubah wujud. Insan Ali, seperti halnya Sudarana, adalah nama yang ia karang untuk identitasnya. Eksistensinya sudah lebih lama dibandingkan denganku, ia diciptakan lebih dulu, sekitar abad sepuluh. Ia juga lahir dari proyek rahasia, takwin, dengan tempat penciptaan yang hampir mirip denganku: di sebuah ruang bawah tanah. Penciptanya adalah para manusia yang berkelompok secara senyap-eksklusif, yang berpusat di wilayah Mesopotamia.
Insan Ali bercerita, sabda dan wejangan diberikan kreatornya tentang pekerjaan yang harus ia lakukan. Ia waritakan pengalamannya: perjalanan-perjalanan yang telah ia lakukan, bagaimana makhluk seperti kami bisa bergerak lebih cepat, bagaimana ia membuat kapal –yang ia kendalikan seorang diri– dan juga makhluk-makhluk peliharaannya. Ia jelaskan ilmu dan pengetahuannya: dari lingkar bumi yang dihitung Al-Biruni sampai unani, dari Banu Musa hingga Dawud al-Antaki, dari bahasa Latin hingga bahasa Arin, dari Euklides yang misterius sampai orang-orang berjangka dan berpenggaris.
Ia beritahukan alasan mengapa ia datang kemari, ia menyatakan aku orang yang tepat dan pantas untuk diberitahu. Bahwa ia sudah mempunyai perhitungan-perhitungan tentang masa depan: tentang orang-orang di asalnya, tentang orang londo, tentang orang Nusantara. Lebih lanjut, ia bilang bahwa kami bisa saling bekerjasama.
Kamu tahu? Bagi orang-orang yang tidak bisa memahami, aku dan Insan Ali adalah persekutuan-elit-bumi, dan apa yang kami bicarakan-rencanakan akan disebut sebagai konspirasi.
Ia seperti diriku, bisa mengubah wujud. Insan Ali, seperti halnya Sudarana, adalah nama yang ia karang untuk identitasnya. Eksistensinya sudah lebih lama dibandingkan denganku, ia diciptakan lebih dulu, sekitar abad sepuluh. Ia juga lahir dari proyek rahasia, takwin, dengan tempat penciptaan yang hampir mirip denganku: di sebuah ruang bawah tanah. Penciptanya adalah para manusia yang berkelompok secara senyap-eksklusif, yang berpusat di wilayah Mesopotamia.
Insan Ali bercerita, sabda dan wejangan diberikan kreatornya tentang pekerjaan yang harus ia lakukan. Ia waritakan pengalamannya: perjalanan-perjalanan yang telah ia lakukan, bagaimana makhluk seperti kami bisa bergerak lebih cepat, bagaimana ia membuat kapal –yang ia kendalikan seorang diri– dan juga makhluk-makhluk peliharaannya. Ia jelaskan ilmu dan pengetahuannya: dari lingkar bumi yang dihitung Al-Biruni sampai unani, dari Banu Musa hingga Dawud al-Antaki, dari bahasa Latin hingga bahasa Arin, dari Euklides yang misterius sampai orang-orang berjangka dan berpenggaris.
Ia beritahukan alasan mengapa ia datang kemari, ia menyatakan aku orang yang tepat dan pantas untuk diberitahu. Bahwa ia sudah mempunyai perhitungan-perhitungan tentang masa depan: tentang orang-orang di asalnya, tentang orang londo, tentang orang Nusantara. Lebih lanjut, ia bilang bahwa kami bisa saling bekerjasama.
Kamu tahu? Bagi orang-orang yang tidak bisa memahami, aku dan Insan Ali adalah persekutuan-elit-bumi, dan apa yang kami bicarakan-rencanakan akan disebut sebagai konspirasi.
---000---
**Keterangan:
Sengkala atau sengkalan, angka tahun yang disimbolkan dengan kata-kata, gambar, atau benda. Di atas, ane pakai "Kak4win", karena ada pengotomatisan KASKUS pengubahan ke kata kimpoi

Suwarnadwipa, sebutan untuk pulau Sumatra
Al-Biruni, bisa agan baca di: https://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
Unani, bisa agan baca di: https://en.wikipedia.org/wiki/Unani_medicine
Banu Musa, bisa agan baca di: https://en.wikipedia.org/wiki/Ban%C5...M%C5%ABs%C4%81
Dawud al-Antaki, bisa agan baca di: https://en.wikipedia.org/wiki/Dawud_al-Antaki
Bahasa Arin, ane telah menulis tentang bahasa Arin (& berkreasi) di blog ane:
[ASAL CORET] Bahasa Arin: esɨga itelamä
Euklides, ane telah menulis tentang Euklides di blog ane: Bapak Geometri Euklides(Euclid) yang Misterius & Euclid’s Elements
Baca juga thread-thread ane:
>>Sajak-Sajak RK Awan (Saintifik, Filosofis, Historis)
>>Freemason & Jasa-Jasanya Terhadap SepakbolaHOT THREAD
>>30 Jenis Narkoba Beserta Efek dan Dampaknya Bagi Kesehatan HOT THREAD >>Sejarah MRT di Negara-Negara Lain Sejak 1863 HOT THREAD
Diubah oleh kreator.9.ES 07-08-2019 02:38




anasabila dan vestycide memberi reputasi
2
1K
Kutip
1
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan