- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Fokus Tangani Terorisme, Militer Indonesia Bentuk Unit Super Elit Koopssus


TS
pasti2periode
Fokus Tangani Terorisme, Militer Indonesia Bentuk Unit Super Elit Koopssus
Quote:
Pada tanggal 30 Juli 2019 di Jakarta, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menginagurasi unit elit khusus Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memiliki tugas menangani keadaan darurat keamanan nasional, termasuk serangan teror. Komando Operasi Khusus (Koopssus) baru-baru ini dibentuk dengan menggabungkan 400 personel pasukan khusus militer terbaik dari Detasemen Khusus 81 (Penanggulangan Teror/Gultor), Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) dari Korps Marinir Angkatan Laut, dan Detasemen Bravo 90 (Denbravo) dari Korps Pasukan Khas Angkatan Udara (Korpaskhas). Koopssus diharapkan sangat gesit dalam melakukan operasi khusus di Indonesia dan luar negeri untuk melindungi kepentingan keamanan nasional.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) diharapkan dapat memainkan peran yang lebih besar dalam perang melawan teror di Indonesia dengan pembentukan “unit super elit” untuk ditempatkan dalam keadaan darurat keamanan nasional, termasuk serangan teror.
Dikutip dari The Jakarta Post, Komando Operasi Khusus (Koopssus) baru-baru ini dibentuk dengan menggabungkan 400 personel pasukan khusus militer terbaik dari Detasemen Khusus 81 (Penanggulangan Teror/Gultor), Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) dari Korps Marinir Angkatan Laut, dan Detasemen Bravo 90 (Denbravo) dari Korps Pasukan Khas Angkatan Udara (Korpaskhas).
Koopssus berada di bawah komando Brigadir Jenderal Rochadi, yang diangkat ke peran baru dari posisi sebelumnya sebagai direktur Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Koopssus diharapkan sangat gesit dalam melakukan operasi khusus di Indonesia dan luar negeri untuk melindungi kepentingan keamanan nasional.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa unit super elit tersebut memiliki tiga fungsi kontraterorisme, yakni menangkal, menindak, dan memulihkan. Peran utama Koopssus ialah menyediakan pengawasan sebagai fungsi pencegahan. Dalam kesempatan upacara pelantikan unit tersebut di markas besar TNI hari Selasa (30/7), Panglima TNI menuturkan bahwa sekitar 80 persen dari operasi unit itu akan berada di ranah pengawasan.
Hadi menambahkan bahwa 100 personel Koopssus dapat dikerahkan untuk memerangi kelompok-kelompok teroris jika diperlukan, menekankan bahwa TNI akan berkoordinasi dengan Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam berbagai misinya.
Hadi melanjutkan bahwa unit khusus Koopssus akan dapat melakukan misi di luar negeri, mengutip Operasi Woyla tahun 1981 sebagai contoh situasi ketika Koopssus dapat melakukan mobilisasi. Operasi Woyla dikerahkan ketika penerbangan Garuda Indonesia dibajak dan dipaksa mendarat di Bangkok, Thailand di bawah pemberontakan teroris Komando Jihad terhadap kelompok pemberontak bersenjata Darul Islam di Indonesia. Personel pasukan khusus Indonesia saat itu menyerbu pesawat serta membebaskan sebagian besar penumpang dan awak.
RIWAYAT PEMBENTUKAN KOOPSSUS
Pembentukan Koopssus dianggap relevan saat ini, mengingat meningkatnya ancaman teror di kawasan, khususnya di Filipina selatan di mana beberapa warga negara Indonesia telah diculik oleh gerilyawan kelompok Abu Sayyaf yang berafiliasi dengan ISIS.
Tahun 2016, TNI mengaku siap untuk memberikan dukungan operasional kepada militer Filipina terhadap gerilyawan Abu Sayyaf yang telah membajak dua kapal Indonesia dan menculik 10 awak Indonesia.
Disadur dari Kompas, Koopssus sebenarnya bukanlah hal baru di lingkungan TNI. Tahun 2015, kesatuan serupa yang disebut dengan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) dibentuk oleh Panglima TNI saat itu Jenderal Moeldoko. Namun, setelah Moeldoko turun dari jabatannya, Koopsusgab rupanya sempat dibekukan.
Gagasan itu dihentikan oleh penggantinya Jenderal Gatot Nurmantyo sebelum dihidupkan kembali tahun 2018 ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui revisi undang-undang anti-terorisme tahun 2003. Revisi tersebut memberikan kekuatan yang lebih besar kepada polisi, khususnya militer, untuk memerangi kelompok-kelompok teroris, yang sekaligus mengamanatkan pembentukan Koopssus.
Wacana pengaktifan kembali Koopsusgab pun muncul pada 2018 sebagai dampak dari aksi teror di Surabaya. Wacana menghidupkan kembali Koopsusgab saat itu sempat menimbulkan pro dan kontra. Bagi para pendukung gagasan, Koopsusgab dinilai perlu hadir kembali untuk membantu Polri memberantas terorisme. Sebaliknya, kelompok yang menentang justru mempertanyakan dasar hukum pengaktifan kembali Koopsusgab. Revisi UU Antiterorisme yang saat itu masih dibahas di DPR dinilai lebih krusial dibandingkan dengan rencana mengaktifkan kembali Koopsusgab.
Polri selama ini telah menjadi satu-satunya badan keamanan yang ditugaskan untuk menjaga ketertiban umum dan keamanan internal setelah Reformasi 1998. Banyak tugas yang sebelumnya berada di bawah lingkup militer dipindahkan ke Polri ketika dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), pendahulu TNI.
Sementara Polri telah mencapai beberapa keberhasilan dengan pasukan antiteror Densus 88, terutama di lingkungan perkotaan, unit paramiliter Brigade Mobil (Brimob) merasa kesulitan untuk menekan kegiatan teroris dan separatis di lingkungan non-perkotaan, terutama dalam operasi yang membutuhkan taktik “perang hutan.”
Polri telah menyerukan penambahan kekuatan militer dalam operasi semacam itu, seperti ketika membentuk satuan tugas bersama untuk memadamkan kelompok teror Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. Satuan tugas itu gagal menangkap Santoso melalui Operasi Camar Maleo. Tahun 2016, Santoso akhirnya terbunuh dalam Operasi Tinombala.
Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI menetapkan kontraterorisme sebagai salah satu dari 14 operasi militer selain perang (MOOTW/military operations other than war) yang dapat dilakukan oleh TNI di samping tugas utamanya untuk melindungi kedaulatan negara dan integritas wilayah.
Panglima TNI Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa TNI telah mengajukan proposal ke DPR untuk meminta 1,5 triliun rupiah pendanaan APBN, yang diusulkan untuk mengembangkan infrastruktur dan pengadaan peralatan untuk unit baru.
Panglima TNI menyatakan bahwa Koopssus dibentuk untuk mengatasi ancaman asimetris yang terus berkembang, salah satunya ialah terorisme yang akan ditangani oleh Koopssus TNI. “Dinamika ancaman asimetris yang terus berkembang, khususnya terorisme global, menuntut kesiapan TNI untuk dapat mengatasinya dengan dilandasi ketentuan dan aturan hukum yang kuat,” ujar Hadi dalam amanatnya saat bertindak sebagai inspektur upacara peresmian Koopssus di Mabes TNI, Jakarta hari Selasa (30/7).
Menurut Dewan Riset Nasional (DRN), perang asimetris adalah model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim di luar aturan peperangan yang berlaku dan dengan spektrum perang yang sangat luas. Perang asimetris mencakup aspek-aspek astagatra, yang merupakan perpaduan antara trigatra, yakni geografi, demografi, dan sumber daya alam, dan pancagatra berupa ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Kepada CNN, Hadi menambahkan bahwa Koopssus merupakan implementasi dari sebelas Program Prioritas yang ia canangkan saat dilantik sebagai Panglima TNI, yakni membentuk Pasukan Khusus Tri Matra (darat, laut, dan udara).
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo belum mengeluarkan peraturan presiden tentang operasi Koopssus. “Unit khusus Koopssus dapat memainkan peran penting, tergantung pada besarnya situasi,” tuturnya, mengutip pembajakan dan situasi penyanderaan besar di antara sejumlah situasi yang secara hukum akan menjamin keterlibatan Koopssus.
Sejauh ini, Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 10 Tahun 2010 tentang Sususan Organisasi Tentara Nasional Indonesia. Perpres tersebut ditandatangani dan mulai berlaku sejak tanggal 3 Juli 2019, yang menjadi dasar perubahan susunan Markas Besar TNI dan pembentukan Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI yang berasal dari matra darat, laut, dan udara.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sisriadi Iskandar mengatakan bahwa militer akan terus merujuk pada Pasal 7 UU TNI 2004 sebagai dasar hukum untuk operasi kontraterorisme sementara menunggu Perpres yang akan merinci prosedur operasionalnya. “Koopssus harus dikerahkan secara khusus sesuai dengan ancaman keamanan individu kepada negara,” ujarnya. Selain siaga memberikan permintaan bala bantuan dari Polri, dalam keadaan tertentu Koopssus dapat bertindak langsung tanpa permintaan sebelumnya.
REAKSI PUBLIK TERHADAP PEMBENTUKAN KOOPSSUS
Kepada Republika, Pengamat Terorisme dan Intelijen Harits Abu Ulya menilai bahwa selama ini proyek kontra terorisme telah menjadi domain Densus 88 dan BNPT. Dengan demikian, keberadaan Koopssus berpotensi menimbulkan tumpang tindih kepentingan jika tidak ada koordinasi yang solid.
“Teroris jenis apa yang harus ditangani Polri dan teroris jenis apa yang harus ditangani unsur TNI dengan organisasi barunya plus kewenangan khususnya. Ini harus clear,” kata Harits hari Rabu (31/7).
Harits menekankan agar keberadaan Koopssus harus betul-betul tepat guna. Jika tidak, ini hanya akan menimbulkan kesan sebagai jalan pintas salah satu problem internal TNI, yaitu penumpukan para perwira non job. “Dan jangan lupa, dengan adanya organisasi baru akan menambah nomenklatur anggaran baru, dan semua itu adalah uang rakyat dan negara menjadi sumber utamanya. Tentu ini beban baru bagi APBN,” tutur Harits. Harits menyebutkan bagaimana selama ini publik belum pernah mengetahui transparansi anggaran maupun aspek akuntabilitas dari institusi yang sudah terlibat dengan proyek kontraterorisme.
Proyek kontraterorisme di Indonesia institusi pelaksanaanya selama ini telah dilembagakan Densus 88 dan BNPT dalam lingkup kerja pengawasan dan intelijen yang juga memiliki porsi besar, selain penindakan hukum. Harits menekankan bahwa harus ada mekanisme teknis yang jelas agar implementasi di lapangan tidak kontraproduktif, apakah peran Koopssus akan menunggu perintah dari pihak Polri ataukah permintaan presiden.
Pembentukan Koopssus bersinggungan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 yang menyebutkan bahwa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dengan rincian disebut pada pasal selanjutnya adalah tugas pokok Polri.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga memuat kewenangan TNI terkait kontraterorisme, meski juga mengamanatkan lembaga kontrol yang independen dibentuk oleh parlemen. “Sampai saat ini amanah tersebut juga belum terealisasi. Itu akan menjadi tantangan baru, dengan ada unit baru yang juga punya kewenangan kontraterorisme dari unsur TNI ini, perlu kontrol agar tidak abuse of power,” kata Harits.
Tanpa kontrol, langkah kontraterorisme sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Benny Mamoto dari Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia mengatakan bahwa pengerahan pasukan gabungan khusus diperlukan untuk memerangi ancaman non-tradisional terhadap keamanan nasional. Namun, ia mendesak agar segera dikembangkan standar operasi prosedur (SOP) komprehensif untuk secara jelas mendefinisikan wewenang dan yurisdiksi militer dan polisi dalam kontraterorisme.
Dilansir dari The Jakarta Post, keterlibatan TNI yang lebih besar dalam perang melawan teror semakin memperkuat persepsi bahwa pemerintahan Indonesia saat ini membuka jalan untuk keterlibatan militer yang lebih besar dalam urusan sipil.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia telah menyuarakan keprihatinan terhadap pembentukan Koopssus, mengatakan bahwa keterlibatan unit militer dalam kontraterorisme, yang merupakan domain tradisional pasukan keamanan sipil, berpotensi membatasi kebebasan sipil.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amirudin Al Rahab menyerukan adanya aturan yang spesifik dan jelas tentang keterlibatan Koopssus. “Setelah Peraturan Presiden (Perpres) tentang operasi Koopssus disusun, Komnas HAM akan meninjaunya dan menawarkan rekomendasi tentang langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi potensi pelanggaran HAM.”
Sementara itu, pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengatakan kepada iNews bahwa konsep operasi Koopssus TNI sangat berbeda dibandingkan berbagai satuan TNI reguler lainnya. Koopssus TNI mengutamakan kekuatan serangan yang mematikan untuk aksi preventif maupun represif.
“Karena stamina yang unggul, para prajurit dari ketiga matra yang dilengkapi peralatan tempur individual yang andal merupakan kunci keberhasilan setiap tugas yang diemban,” tutur Susaningtyas hari Jumat (19/7), merespons pembentukan Koopssus.
Susaningtyas menuturkan bahwa keistimewaan Koopssus sebagaimana pasukan khusus negara lain ialah kapabilitas untuk bertempur di kawasan regional maupun internasional. “Dengan terbentuknya Koopssus, upaya pemerintah memberantas teroris akan semakin fokus dan tuntas. Interoperabilitas Koopssus TNI dan Densus 88 Polri sangat didambakan oleh masyarakat Indonesia,” tandasnya.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) diharapkan dapat memainkan peran yang lebih besar dalam perang melawan teror di Indonesia dengan pembentukan “unit super elit” untuk ditempatkan dalam keadaan darurat keamanan nasional, termasuk serangan teror.
Dikutip dari The Jakarta Post, Komando Operasi Khusus (Koopssus) baru-baru ini dibentuk dengan menggabungkan 400 personel pasukan khusus militer terbaik dari Detasemen Khusus 81 (Penanggulangan Teror/Gultor), Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) dari Korps Marinir Angkatan Laut, dan Detasemen Bravo 90 (Denbravo) dari Korps Pasukan Khas Angkatan Udara (Korpaskhas).
Koopssus berada di bawah komando Brigadir Jenderal Rochadi, yang diangkat ke peran baru dari posisi sebelumnya sebagai direktur Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Koopssus diharapkan sangat gesit dalam melakukan operasi khusus di Indonesia dan luar negeri untuk melindungi kepentingan keamanan nasional.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa unit super elit tersebut memiliki tiga fungsi kontraterorisme, yakni menangkal, menindak, dan memulihkan. Peran utama Koopssus ialah menyediakan pengawasan sebagai fungsi pencegahan. Dalam kesempatan upacara pelantikan unit tersebut di markas besar TNI hari Selasa (30/7), Panglima TNI menuturkan bahwa sekitar 80 persen dari operasi unit itu akan berada di ranah pengawasan.
Hadi menambahkan bahwa 100 personel Koopssus dapat dikerahkan untuk memerangi kelompok-kelompok teroris jika diperlukan, menekankan bahwa TNI akan berkoordinasi dengan Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam berbagai misinya.
Hadi melanjutkan bahwa unit khusus Koopssus akan dapat melakukan misi di luar negeri, mengutip Operasi Woyla tahun 1981 sebagai contoh situasi ketika Koopssus dapat melakukan mobilisasi. Operasi Woyla dikerahkan ketika penerbangan Garuda Indonesia dibajak dan dipaksa mendarat di Bangkok, Thailand di bawah pemberontakan teroris Komando Jihad terhadap kelompok pemberontak bersenjata Darul Islam di Indonesia. Personel pasukan khusus Indonesia saat itu menyerbu pesawat serta membebaskan sebagian besar penumpang dan awak.
RIWAYAT PEMBENTUKAN KOOPSSUS
Pembentukan Koopssus dianggap relevan saat ini, mengingat meningkatnya ancaman teror di kawasan, khususnya di Filipina selatan di mana beberapa warga negara Indonesia telah diculik oleh gerilyawan kelompok Abu Sayyaf yang berafiliasi dengan ISIS.
Tahun 2016, TNI mengaku siap untuk memberikan dukungan operasional kepada militer Filipina terhadap gerilyawan Abu Sayyaf yang telah membajak dua kapal Indonesia dan menculik 10 awak Indonesia.
Disadur dari Kompas, Koopssus sebenarnya bukanlah hal baru di lingkungan TNI. Tahun 2015, kesatuan serupa yang disebut dengan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) dibentuk oleh Panglima TNI saat itu Jenderal Moeldoko. Namun, setelah Moeldoko turun dari jabatannya, Koopsusgab rupanya sempat dibekukan.
Gagasan itu dihentikan oleh penggantinya Jenderal Gatot Nurmantyo sebelum dihidupkan kembali tahun 2018 ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui revisi undang-undang anti-terorisme tahun 2003. Revisi tersebut memberikan kekuatan yang lebih besar kepada polisi, khususnya militer, untuk memerangi kelompok-kelompok teroris, yang sekaligus mengamanatkan pembentukan Koopssus.
Wacana pengaktifan kembali Koopsusgab pun muncul pada 2018 sebagai dampak dari aksi teror di Surabaya. Wacana menghidupkan kembali Koopsusgab saat itu sempat menimbulkan pro dan kontra. Bagi para pendukung gagasan, Koopsusgab dinilai perlu hadir kembali untuk membantu Polri memberantas terorisme. Sebaliknya, kelompok yang menentang justru mempertanyakan dasar hukum pengaktifan kembali Koopsusgab. Revisi UU Antiterorisme yang saat itu masih dibahas di DPR dinilai lebih krusial dibandingkan dengan rencana mengaktifkan kembali Koopsusgab.
Polri selama ini telah menjadi satu-satunya badan keamanan yang ditugaskan untuk menjaga ketertiban umum dan keamanan internal setelah Reformasi 1998. Banyak tugas yang sebelumnya berada di bawah lingkup militer dipindahkan ke Polri ketika dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), pendahulu TNI.
Sementara Polri telah mencapai beberapa keberhasilan dengan pasukan antiteror Densus 88, terutama di lingkungan perkotaan, unit paramiliter Brigade Mobil (Brimob) merasa kesulitan untuk menekan kegiatan teroris dan separatis di lingkungan non-perkotaan, terutama dalam operasi yang membutuhkan taktik “perang hutan.”
Polri telah menyerukan penambahan kekuatan militer dalam operasi semacam itu, seperti ketika membentuk satuan tugas bersama untuk memadamkan kelompok teror Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. Satuan tugas itu gagal menangkap Santoso melalui Operasi Camar Maleo. Tahun 2016, Santoso akhirnya terbunuh dalam Operasi Tinombala.
Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI menetapkan kontraterorisme sebagai salah satu dari 14 operasi militer selain perang (MOOTW/military operations other than war) yang dapat dilakukan oleh TNI di samping tugas utamanya untuk melindungi kedaulatan negara dan integritas wilayah.
Panglima TNI Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa TNI telah mengajukan proposal ke DPR untuk meminta 1,5 triliun rupiah pendanaan APBN, yang diusulkan untuk mengembangkan infrastruktur dan pengadaan peralatan untuk unit baru.
Panglima TNI menyatakan bahwa Koopssus dibentuk untuk mengatasi ancaman asimetris yang terus berkembang, salah satunya ialah terorisme yang akan ditangani oleh Koopssus TNI. “Dinamika ancaman asimetris yang terus berkembang, khususnya terorisme global, menuntut kesiapan TNI untuk dapat mengatasinya dengan dilandasi ketentuan dan aturan hukum yang kuat,” ujar Hadi dalam amanatnya saat bertindak sebagai inspektur upacara peresmian Koopssus di Mabes TNI, Jakarta hari Selasa (30/7).
Menurut Dewan Riset Nasional (DRN), perang asimetris adalah model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim di luar aturan peperangan yang berlaku dan dengan spektrum perang yang sangat luas. Perang asimetris mencakup aspek-aspek astagatra, yang merupakan perpaduan antara trigatra, yakni geografi, demografi, dan sumber daya alam, dan pancagatra berupa ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Kepada CNN, Hadi menambahkan bahwa Koopssus merupakan implementasi dari sebelas Program Prioritas yang ia canangkan saat dilantik sebagai Panglima TNI, yakni membentuk Pasukan Khusus Tri Matra (darat, laut, dan udara).
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo belum mengeluarkan peraturan presiden tentang operasi Koopssus. “Unit khusus Koopssus dapat memainkan peran penting, tergantung pada besarnya situasi,” tuturnya, mengutip pembajakan dan situasi penyanderaan besar di antara sejumlah situasi yang secara hukum akan menjamin keterlibatan Koopssus.
Sejauh ini, Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 10 Tahun 2010 tentang Sususan Organisasi Tentara Nasional Indonesia. Perpres tersebut ditandatangani dan mulai berlaku sejak tanggal 3 Juli 2019, yang menjadi dasar perubahan susunan Markas Besar TNI dan pembentukan Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI yang berasal dari matra darat, laut, dan udara.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sisriadi Iskandar mengatakan bahwa militer akan terus merujuk pada Pasal 7 UU TNI 2004 sebagai dasar hukum untuk operasi kontraterorisme sementara menunggu Perpres yang akan merinci prosedur operasionalnya. “Koopssus harus dikerahkan secara khusus sesuai dengan ancaman keamanan individu kepada negara,” ujarnya. Selain siaga memberikan permintaan bala bantuan dari Polri, dalam keadaan tertentu Koopssus dapat bertindak langsung tanpa permintaan sebelumnya.
REAKSI PUBLIK TERHADAP PEMBENTUKAN KOOPSSUS
Kepada Republika, Pengamat Terorisme dan Intelijen Harits Abu Ulya menilai bahwa selama ini proyek kontra terorisme telah menjadi domain Densus 88 dan BNPT. Dengan demikian, keberadaan Koopssus berpotensi menimbulkan tumpang tindih kepentingan jika tidak ada koordinasi yang solid.
“Teroris jenis apa yang harus ditangani Polri dan teroris jenis apa yang harus ditangani unsur TNI dengan organisasi barunya plus kewenangan khususnya. Ini harus clear,” kata Harits hari Rabu (31/7).
Harits menekankan agar keberadaan Koopssus harus betul-betul tepat guna. Jika tidak, ini hanya akan menimbulkan kesan sebagai jalan pintas salah satu problem internal TNI, yaitu penumpukan para perwira non job. “Dan jangan lupa, dengan adanya organisasi baru akan menambah nomenklatur anggaran baru, dan semua itu adalah uang rakyat dan negara menjadi sumber utamanya. Tentu ini beban baru bagi APBN,” tutur Harits. Harits menyebutkan bagaimana selama ini publik belum pernah mengetahui transparansi anggaran maupun aspek akuntabilitas dari institusi yang sudah terlibat dengan proyek kontraterorisme.
Proyek kontraterorisme di Indonesia institusi pelaksanaanya selama ini telah dilembagakan Densus 88 dan BNPT dalam lingkup kerja pengawasan dan intelijen yang juga memiliki porsi besar, selain penindakan hukum. Harits menekankan bahwa harus ada mekanisme teknis yang jelas agar implementasi di lapangan tidak kontraproduktif, apakah peran Koopssus akan menunggu perintah dari pihak Polri ataukah permintaan presiden.
Pembentukan Koopssus bersinggungan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 yang menyebutkan bahwa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dengan rincian disebut pada pasal selanjutnya adalah tugas pokok Polri.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga memuat kewenangan TNI terkait kontraterorisme, meski juga mengamanatkan lembaga kontrol yang independen dibentuk oleh parlemen. “Sampai saat ini amanah tersebut juga belum terealisasi. Itu akan menjadi tantangan baru, dengan ada unit baru yang juga punya kewenangan kontraterorisme dari unsur TNI ini, perlu kontrol agar tidak abuse of power,” kata Harits.
Tanpa kontrol, langkah kontraterorisme sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Benny Mamoto dari Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia mengatakan bahwa pengerahan pasukan gabungan khusus diperlukan untuk memerangi ancaman non-tradisional terhadap keamanan nasional. Namun, ia mendesak agar segera dikembangkan standar operasi prosedur (SOP) komprehensif untuk secara jelas mendefinisikan wewenang dan yurisdiksi militer dan polisi dalam kontraterorisme.
Dilansir dari The Jakarta Post, keterlibatan TNI yang lebih besar dalam perang melawan teror semakin memperkuat persepsi bahwa pemerintahan Indonesia saat ini membuka jalan untuk keterlibatan militer yang lebih besar dalam urusan sipil.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia telah menyuarakan keprihatinan terhadap pembentukan Koopssus, mengatakan bahwa keterlibatan unit militer dalam kontraterorisme, yang merupakan domain tradisional pasukan keamanan sipil, berpotensi membatasi kebebasan sipil.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amirudin Al Rahab menyerukan adanya aturan yang spesifik dan jelas tentang keterlibatan Koopssus. “Setelah Peraturan Presiden (Perpres) tentang operasi Koopssus disusun, Komnas HAM akan meninjaunya dan menawarkan rekomendasi tentang langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi potensi pelanggaran HAM.”
Sementara itu, pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengatakan kepada iNews bahwa konsep operasi Koopssus TNI sangat berbeda dibandingkan berbagai satuan TNI reguler lainnya. Koopssus TNI mengutamakan kekuatan serangan yang mematikan untuk aksi preventif maupun represif.
“Karena stamina yang unggul, para prajurit dari ketiga matra yang dilengkapi peralatan tempur individual yang andal merupakan kunci keberhasilan setiap tugas yang diemban,” tutur Susaningtyas hari Jumat (19/7), merespons pembentukan Koopssus.
Susaningtyas menuturkan bahwa keistimewaan Koopssus sebagaimana pasukan khusus negara lain ialah kapabilitas untuk bertempur di kawasan regional maupun internasional. “Dengan terbentuknya Koopssus, upaya pemerintah memberantas teroris akan semakin fokus dan tuntas. Interoperabilitas Koopssus TNI dan Densus 88 Polri sangat didambakan oleh masyarakat Indonesia,” tandasnya.
SUMBER
ada positif dan negatifnya sih
tentu buat "badan khusus" untuk nangani ̶n̶a̶s̶b̶u̶n̶g̶ terroris adalah hal yg bagus

tapi jika tidak disertai dengan hukum yg tegas, buat apa?
habis di tangkap, lalu deradikalisasi?

ini mah sama saja dengan buang buang anggaran
sebaiknya pertegas dulu sanksi untuk ̶n̶a̶s̶b̶u̶n̶g̶ terroris yang tertangkap
ga usa di bunuh gpp
cukup di potong 2 kaki dan 2 tangannya
beserta cabut 2 biji matanya
itu sudah cukup kok

Diubah oleh pasti2periode 01-08-2019 02:57






slametgentho dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2.1K
Kutip
26
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan