Kaskus

Story

muttouAvatar border
TS
muttou
Dan Brown, Aku, Dan Pria Redaktur Surat Kabar
Dan Brown, Aku, Dan Pria Redaktur Surat Kabar

Prolog yang sangat menghentak emosi dan investigative! Kurasa kau juga bakal merasakan hal serupa. Ketika kau baca prolog itu emosimu bakal dipacu menuju labirin cerita.

Kabut gerbang cerita demikian tebal. Rongga dadamu suka tidak suka dihentak rentetan kalimat-kalimat yang satu dengan lainnya terangkai secara investigative. Batok kepalamu bakal dipenuhi tanda tanya. Diamuk rasa penasaran!

Sungguh gerbang sebuah cerita yang memukau!

Bayangkan saja ….

… kau disuguhi adegan pukul 10.46 malam di Museum Louvre, Paris: seorang Kurator Jacques Sauniere dibunuh oleh pria albino dengan motif yang entah. Walau prolog itu sedikit membocorkan motifnya. Sungguh itu terlalu general.

Sekadar soal benturan keyakinan? Rahasia tentang sebuah benda? Benda yang disembunyikan? Simbol suatu “kebenaran”? Sebuah rahasia satu kelompok penganut keyakinan, Agama?

The Da Vinci Code karya Dan Brown yang, mmm …, sekitar tiga jam lalu kubaca di sebuah warung kopi memang sangat menakjubkan. Aku sangat menyesal tidak cepat-cepat membacanya.

Novel itu sebetulnya kubeli pada 2015 silam. Entah, aku sedikit lupa, apa alasan yang paling bisa diterima mengapa aku baru membacanya sekarang selain karena malas. Tapi aku optimis soal baca-membaca.

Bahwa tidak ada buku lama atau baru; yang ada aku belum membacanya. Buku tak pernah tidak relevan dan asyik. Selama kau berselera dan butuh nutrisi otak, buku selalu dan selalu gurih.

Saat imajinasiku sedang diseret ke labirin cerita berikutnya, sosok pria berjaket merah tua bercelana cream nyaris membuat jantungku padam. Ia menghampiriku duduk tepat ketika aku diliputi tanda tanya tak berkesudahan.

Kupastikan kau juga bakal bingung bila kau kusuruh memahami symbol angka dan kata di bawah ini:

13-3-2-21-1-1-8-5
O, Draconian devil!
Oh, lame saint!


Hahaha … jangankan kau dan aku, Profesor Simbologi Keagamaan Univ. Harvard “Robert Langdon” saja kebingungan membuat interpretasi atas kode-kode angka dan kata tersebut.

Itu adalah jejak kematian Jacques Sauniere yang persis ia tulis di samping mayat telanjangnya. Pasti ada makna dan maksud tertentu. Dan itu bisa aku temukan jawabannya jika aku telah tuntas membaca karya Dan Brown itu.

Penasaran akut!

Pria berjaket merah itu adalah seorang Redaktur Surat Kabar. Tentu orang yang kukenal. Walau tak terlalu akrab. Ia duduk menemaniku yang sedari petang magrib cuma sendirian seperti sandal jepit cuma sebelah. Memang sengaja. Aku niat berngopi buat baca buku, kok.

Tentu aku berjeda membaca. Pria itu sedikit mengejek, “sendirian aja? Tampak sekali jomblonya,” senyumnya lumayan berasa asam, bagiku. Hehe …

Tapi aku senang ia hadir walau tak aku undang. Tanpa ditanya, ia mengungkapkan berniat mengambil uang di mesin ATM. Lantas melihatku.

Waw … memang seringkali apa yang kita rencanakan tak selalu tercapai semau sekehendak kita. Aku sebetulnya telah jauh-jauh hari menghubungi Pria Redaktur yang kini di hadapanku ini. Ya untuk sekadar ngopi dan menggali wawasan jurnalistik. Dan, nggak jadi-jadi.

Tuhan selalu punya cara tersendiri. Tak diniat tak direncana kami berjumpa di pojokan warung kopi ini. Subhanallah banget.

Banyak sekali obrolan kami. Tapi lebih utama, jika bisa dibuat sebuah tema, tema obrolan cenderung ke dunia literasi. Tak jauh-jauh dari soal buku dan menulis. Aku yang lagi gandrung dengan tulis-menulis tentu sangat beruntung.

Ibarat pepatah, ada gula ada semut: aku manis makanya aku jomblo. Enggak nyambung Gan!

Gandrung … maksudnya aku lagi seneng-senengnya belajar menulis. Bukan maksud aku sudah benar-benar jadi penulis andal yang berkarya buanyak. Tidak sama sekali.

Kesempatan itu tak aku sia-siakan. Aku banyak bertanya. Ohya, aku juga menyodorkan sebuah tulisan recehku padanya yang pekan lalu dimuat di sebuah media online. Tulisan yang kontennya lelucon semata. Hehe … aku ingin ia menanggapinya.

“Humor ya … hmmm, ya memang kita butuh humor,” Pria Redaktur menanggapi Gan. “Perlu lah bisa menulis yang jenaka-jenaka. Umumnya sastrawan itu humoris, dan agak gila.” Waduh Gan, agak gila?

Lu gila kagak Gan?

Haaaah … beliaunya tidak melancarkan kritikan sama sekali Gan. Aku juga agak canggung untuk bertanya apa ada yang keliru dengan tulisanku. Sebab beliaunya nyerocos mulu Gan. Sebagai pendengar yang baik aku kudu menyimak dengan saksama dan dalam tempo yang susah diberhentiin.

Ada kesempatan, aku bertanya Gan. Aku nanyain soal kerakusanku untuk jadi seorang penulis, itu baik atau enggak.

Hehe … aku bilang kalau aku ini tergolong rakus. Obsesiku ya ingin bisa nulis sastra, opini, jadi kolumnis, nulis artikel ilmiah bisa, dan laen-laen. Apa tanggapan beliaunya, Gan?

“Itu wajar, bagi penulis pemula. Ibaratnya orang yang baru pergi ke mall. Melihat apapun ingin dibeli. Tapi harus ingat. Kudu disesuaikan dengan isi dompet,” begitu Gan respon beliaunya.

Aku yang cerdasnya sundul langit sangat paham dong maksud beliau. Bahwa, tetap, dalam hal tulis-menulis kita juga harus mempertimbangkan ketersediaan ide di otak kita.

Jangan sampai belum pernah membaca cerpen secuil pun, ujug-ujug menulis cerpen. Belum pernah sama sekali membaca puisi karya orang, ehh bikin puisi. Itu dijamin nggak bakal enak. Apalagi berkualitas?
Kira-kira begitu, Gan.

Artinya apa? Menulis dan membaca itu saling keterkaitan. Orang mahir menulis tentu ia demen baca buku. Walau orang candu buku belum tentu bisa menulis. Ide sangat sering muncul dari buku bacaan.

“Jadi membaca itu penting sekali,” kata beliaunya Gan. “Menulis itu, walau sekarang karyamu sudah diakui, sudah bisa dimuat di media, kamu tetap harus membaca buku. Jangan bangga sampai di situ.” Hmmm … gitu Gan kata beliaunya.

Giliran aku ngomong, aku bilang aku punya keyakinan bahwa ya, memang, aku sekarang miskwin, wkwkwk ... pengasilan dari menulis belum seberapa. Seratus dua ratus. Tapi aku yakin beberapa tahun ke depan aku bisa benar mapan dengan menulis ...

... terutama aku bisa jadi penulis beneran.
Doain Gan. Hehe.

Tanggapan beliaunya?

“Harus, harus begitu. Harus yakin dan optimis. Jangan menyerah. Saya saja, dulu, 2010, waktu awal-awal jadi wartawan, masih magang, saya diupah cuma lima puluh ribu kurang lima ratus seminggu. Belum lagi saya tidak punya motor.

Hunting berita jalan kaki. Uang saku dari rumah cuma lima ribu. Dua ribu lima ratus untuk ongkos berangkat. Setengahnya untuk ongkos pulang naek angkot. Sekarang sih tinggal metik hasilnya.”

Kebayang Gan?

Aku jadi makin semangat Gan. Emang hidup butuh orang lain Gan. Sebagai homo humoris kita nggak bakal kan tertawa sendirian di depan cermin. Kita butuh orang lain untuk saling berbagi ke-ngakakak-an. Saling berbagi wawasan. Berbagi pengalaman.

Boleh jadi pengalaman yang kita anggap remeh menjadi luar biasa bagi orang lain. Inspirasi yang ciamik.

Never Give Up and Jangan Pernah!


salam!


▪▪▪▪▪◇▪▪▪▪▪



ilustrasi; dok. pribadi
Diubah oleh muttou 24-07-2019 01:19
doctorkelinciAvatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan doctorkelinci memberi reputasi
2
410
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan