- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Negara yang Setuju dan Tolak Kebijakan China di Xinjiang: Indonesia Pilih Mana?


TS
pasti2periode
Negara yang Setuju dan Tolak Kebijakan China di Xinjiang: Indonesia Pilih Mana?
Quote:
Sebanyak 22 negara menandatangani surat kepada Dewan HAM PBB yang mengkritik kebijakan China di Xinjiang, terutama penindasan terhadap Muslim Uighur. Itu disusul oleh 37 negara yang menandatangani dukungan terhadap kebijakan China. Negara mana saja yang setuju dan menentang kebijakan China di Xinjiang? Apakah Indonesia menandatangani salah satunya?
Beberapa hari setelah 22 negara menandatangani surat yang ditujukan kepada Presiden Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia yang menyerukan China untuk mengakhiri program penahanan besar-besaran di Xinjiang, 37 negara mengajukan surat serupa untuk mendukung kebijakan China.
Teks surat pertama—yang mengkritik China—telah tersedia untuk umum, sedangkan surat kedua belum tersedia untuk umum, tetapi kedua surat itu dilaporkan berisi permintaan agar dicatat sebagai dokumen Sesi ke-41 Dewan HAM.
Dalam surat pertama, para penanda tangan menyatakan kekhawatiran tentang “laporan kredibel tentang penahanan sewenang-wenang” di Xinjiang dan “pengawasan dan pembatasan” khususnya yang menargetkan warga Uighur dan minoritas lainnya.
Para penanda tangan menyerukan China untuk menegakkan hukum nasional dan komitmen internasionalnya, termasuk sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia, dan “menahan diri dari penahanan sewenang-wenang dan pembatasan kebebasan bergerak warga Uighur, komunitas Muslim, dan minoritas lainnya di Xinjiang.”
Menurut Associated Press, dalam surat kedua, para penanda tangan menyatakan penentangan mereka terhadap “politisasi hak asasi manusia” dan menegaskan dukungan mereka untuk China atas apa yang disebut pemerintah China sebagai “pelatihan kejuruan dan pusat-pusat pelatihan” di Xinjiang, yang disebut para kritikus sebagai pusat-pusat penahanan atau “kamp pendidikan ulang.”
Reuters mengutip surat itu lebih banyak, termasuk bagian di mana para penanda tangan membenarkan upaya China di Xinjiang: “(China) dihadapkan dengan tantangan terorisme dan ekstremisme, China telah melakukan serangkaian tindakan kontra-terorisme dan deradikalisasi di Xinjiang, termasuk mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan.”
Mereka yang menandatangani surat pertama, yang mengkritik China, termasuk: Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Islandia, Irlandia, Jepang, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Inggris.
Menandatangani surat kedua, yang mendukung kebijakan China,adalah: Aljazair, Angola, Bahrain, Belarus, Bolivia, Burkina Faso, Burundi, Kamboja, Kamerun, Komoro, Kongo, Kuba, Republik Demokratik Kongo, Mesir, Eritrea, Gabon, Kuwait, Laos, Myanmar, Nigeria, Korea Utara, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Rusia, Arab Saudi
, Somalia, Sudan Selatan, Sudan, Suriah, Tajikistan, Togo, Turkmenistan, Uni Emirat Arab, Venezuela, dan Zimbabwe.
Yang langsung terlihat dari daftar negara-negara ini adalah perbedaan geografis antara masing-masing daftar. Yang pertama didominasi oleh negara-negara Barat, sebagian besar di Eropa, dan yang kedua diisi oleh negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Selain itu, para penanda tangan surat pertama tidak termasuk negara mayoritas Muslim, sedangkan surat yang kedua menampilkan banyak tanda tangan dari negara mayoritas Muslim, termasuk Arab Saudi dan Pakistan.
Lalu ada negara-negara yang tidak muncul di kedua daftar. Tidak adanya Amerika Serikat―yang keluar dari Dewan HAM PBB musim panas lalu―sangat penting. Walaupun Amerika Serikat secara kritis mengecam kebijakan China di Xinjiang, namun pemerintahan Trump tampaknya tidak mau mendorong terlalu jauh, dan lebih memprioritaskan negosiasi perdagangan dibandingkan kritik hak asasi manusia ini.
Dewan Editorial The Washington Post berkomentar dalam sebuah op-ed: “Amerika Serikat harus berada di garis depan untuk mengecam dan mengutuk pelanggaran tersebut. Alih-alih, Departemen Luar Negeri AS dan Gedung Putih berbicara hanya ketika suatu hal sesuai dengan prioritas Trump.”
Tidak adanya sebagian besar negara Eropa Tengah dan Timur juga mencolok. Misalnya, dari negara-negara yang disebut 16+1―dialog rutin negara-negara Eropa Tengah dan Timur (CEE) dan China―hanya Estonia, Latvia, dan Lithuania yang mengkritik China. Sisanya―Albania, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Hungaria, Makedonia, Montenegro, Polandia, Romania, Serbia, Slovakia, dan Slovenia―tidak mendukung atau menentang. Yunani juga tidak.
Yang juga absen dari daftar tersebut adalah Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Uzbekistan. Tajikistan dan Turkmenistan memihak China, tetapi tiga negara Asia Tengah lainnya tampaknya berusaha tetap netral. Bagi Kazakhstan dan Kyrgyzstan utamanya, masalah Xinjiang telah menjadi masalah domestik dengan munculnya protes dan organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi perhatian pada kamp-kamp Xinjiang. Etnis Kazakh dan Kyrgyz adalah di antara mereka yang telah ditahan, dan organisasi masyarakat sipil telah bermunculan di antara para keluarga yang kerabatnya telah menghilang di Xinjiang.
Dari Asia, yang absen adalah Malaysia, India, Indonesia, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa. Malaysia—negara mayoritas Muslim—telah meningkatkan kekhawatiran tentang kebijakan China di Xinjiang beberapa kali, dan bahkan mengambil risiko dengan menolak untuk mendeportasi sekelompok Uighur kembali ke China tahun lalu. Namun Malaysia tidak menandatangani surat yang mempertanyakan perlakuan terhadap Uighur dan kelompok etnis lainnya.
Indonesia (yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia), India (yang memiliki populasi Muslim terbesar ketiga), dan Bangladesh (keempat), secara mencolok absen dari daftar penanda tangan kedua surat itu. Baik Sri Lanka maupun Maladewa telah menjadi berita utama internasional karena keterlibatan politik dan ekonomi mereka dengan China, tetapi tidak ada yang menandatangani surat tersebut. Negara-negara Pulau Pasifik juga tidak ada.
Tidak begitu jelas bagaimana masing-masing pihak mengumpulkan tanda tangan, dan setiap negara memiliki alasan untuk menandatangani atau tidak. Bagi banyak negara, beban ekonomi China adalah masalah utama ketika memutuskan untuk menegur China secara terbuka.
Bagi negara-negara lain—seperti Rusia, Arab Saudi, dan Korea Utara—catatan hak asasi manusia mereka sendiri di dalam negeri telah sering diserang di luar negeri, dan dengan demikian, membela China secara tidak langsung menjadi cara untuk mempertahankan diri.
Beberapa hari setelah 22 negara menandatangani surat yang ditujukan kepada Presiden Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia yang menyerukan China untuk mengakhiri program penahanan besar-besaran di Xinjiang, 37 negara mengajukan surat serupa untuk mendukung kebijakan China.
Teks surat pertama—yang mengkritik China—telah tersedia untuk umum, sedangkan surat kedua belum tersedia untuk umum, tetapi kedua surat itu dilaporkan berisi permintaan agar dicatat sebagai dokumen Sesi ke-41 Dewan HAM.
Dalam surat pertama, para penanda tangan menyatakan kekhawatiran tentang “laporan kredibel tentang penahanan sewenang-wenang” di Xinjiang dan “pengawasan dan pembatasan” khususnya yang menargetkan warga Uighur dan minoritas lainnya.
Para penanda tangan menyerukan China untuk menegakkan hukum nasional dan komitmen internasionalnya, termasuk sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia, dan “menahan diri dari penahanan sewenang-wenang dan pembatasan kebebasan bergerak warga Uighur, komunitas Muslim, dan minoritas lainnya di Xinjiang.”
Menurut Associated Press, dalam surat kedua, para penanda tangan menyatakan penentangan mereka terhadap “politisasi hak asasi manusia” dan menegaskan dukungan mereka untuk China atas apa yang disebut pemerintah China sebagai “pelatihan kejuruan dan pusat-pusat pelatihan” di Xinjiang, yang disebut para kritikus sebagai pusat-pusat penahanan atau “kamp pendidikan ulang.”
Reuters mengutip surat itu lebih banyak, termasuk bagian di mana para penanda tangan membenarkan upaya China di Xinjiang: “(China) dihadapkan dengan tantangan terorisme dan ekstremisme, China telah melakukan serangkaian tindakan kontra-terorisme dan deradikalisasi di Xinjiang, termasuk mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan.”
Mereka yang menandatangani surat pertama, yang mengkritik China, termasuk: Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Islandia, Irlandia, Jepang, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Inggris.
Menandatangani surat kedua, yang mendukung kebijakan China,adalah: Aljazair, Angola, Bahrain, Belarus, Bolivia, Burkina Faso, Burundi, Kamboja, Kamerun, Komoro, Kongo, Kuba, Republik Demokratik Kongo, Mesir, Eritrea, Gabon, Kuwait, Laos, Myanmar, Nigeria, Korea Utara, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Rusia, Arab Saudi

Yang langsung terlihat dari daftar negara-negara ini adalah perbedaan geografis antara masing-masing daftar. Yang pertama didominasi oleh negara-negara Barat, sebagian besar di Eropa, dan yang kedua diisi oleh negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Selain itu, para penanda tangan surat pertama tidak termasuk negara mayoritas Muslim, sedangkan surat yang kedua menampilkan banyak tanda tangan dari negara mayoritas Muslim, termasuk Arab Saudi dan Pakistan.
Lalu ada negara-negara yang tidak muncul di kedua daftar. Tidak adanya Amerika Serikat―yang keluar dari Dewan HAM PBB musim panas lalu―sangat penting. Walaupun Amerika Serikat secara kritis mengecam kebijakan China di Xinjiang, namun pemerintahan Trump tampaknya tidak mau mendorong terlalu jauh, dan lebih memprioritaskan negosiasi perdagangan dibandingkan kritik hak asasi manusia ini.
Dewan Editorial The Washington Post berkomentar dalam sebuah op-ed: “Amerika Serikat harus berada di garis depan untuk mengecam dan mengutuk pelanggaran tersebut. Alih-alih, Departemen Luar Negeri AS dan Gedung Putih berbicara hanya ketika suatu hal sesuai dengan prioritas Trump.”
Tidak adanya sebagian besar negara Eropa Tengah dan Timur juga mencolok. Misalnya, dari negara-negara yang disebut 16+1―dialog rutin negara-negara Eropa Tengah dan Timur (CEE) dan China―hanya Estonia, Latvia, dan Lithuania yang mengkritik China. Sisanya―Albania, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Hungaria, Makedonia, Montenegro, Polandia, Romania, Serbia, Slovakia, dan Slovenia―tidak mendukung atau menentang. Yunani juga tidak.
Yang juga absen dari daftar tersebut adalah Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Uzbekistan. Tajikistan dan Turkmenistan memihak China, tetapi tiga negara Asia Tengah lainnya tampaknya berusaha tetap netral. Bagi Kazakhstan dan Kyrgyzstan utamanya, masalah Xinjiang telah menjadi masalah domestik dengan munculnya protes dan organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi perhatian pada kamp-kamp Xinjiang. Etnis Kazakh dan Kyrgyz adalah di antara mereka yang telah ditahan, dan organisasi masyarakat sipil telah bermunculan di antara para keluarga yang kerabatnya telah menghilang di Xinjiang.
Dari Asia, yang absen adalah Malaysia, India, Indonesia, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa. Malaysia—negara mayoritas Muslim—telah meningkatkan kekhawatiran tentang kebijakan China di Xinjiang beberapa kali, dan bahkan mengambil risiko dengan menolak untuk mendeportasi sekelompok Uighur kembali ke China tahun lalu. Namun Malaysia tidak menandatangani surat yang mempertanyakan perlakuan terhadap Uighur dan kelompok etnis lainnya.
Indonesia (yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia), India (yang memiliki populasi Muslim terbesar ketiga), dan Bangladesh (keempat), secara mencolok absen dari daftar penanda tangan kedua surat itu. Baik Sri Lanka maupun Maladewa telah menjadi berita utama internasional karena keterlibatan politik dan ekonomi mereka dengan China, tetapi tidak ada yang menandatangani surat tersebut. Negara-negara Pulau Pasifik juga tidak ada.
Tidak begitu jelas bagaimana masing-masing pihak mengumpulkan tanda tangan, dan setiap negara memiliki alasan untuk menandatangani atau tidak. Bagi banyak negara, beban ekonomi China adalah masalah utama ketika memutuskan untuk menegur China secara terbuka.
Bagi negara-negara lain—seperti Rusia, Arab Saudi, dan Korea Utara—catatan hak asasi manusia mereka sendiri di dalam negeri telah sering diserang di luar negeri, dan dengan demikian, membela China secara tidak langsung menjadi cara untuk mempertahankan diri.
SUMBER
majikan lu setuju sama china terkait xin jiang tuh
sebagai BUDAK
wajib menuruti kehendak majikan









reid2 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
3K
Kutip
37
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan