Kaskus

Story

cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
Hantu Lampor
Cerpen by Cattleya

Liburan sekolah saat ini sangat menyenangkan bagi Raka. Bersama sang adik, Namira, mereka berangkat dari Jakarta ke Kediri, rumah nenek dari mama. Sepanjang perjalanan Raka tak lepas dari kameranya. Benda persegi yang didapat dari sang papa ketika dirinya mendapat rangking satu kelas paralel. Cowok yang baru naik kelas sembilan itu sibuk membidikkan kameranya di sepanjang perjalanan. Tak memperdulikan sang adik yang sedari tadi asyik mendengarkan lagu melalui ‘headphone’ sambil mengunyah keripik kentang.

Setelah menempuh perjalanan berjam-jam dengan mobil, sampailah mereka di Desa Sugihwaras—kampung halaman sang mama-- di lereng Gunung Kelud. Jika saja mereka lebih awal datang, mungkin mereka bisa melihat deretan pohon kopi yang sedang berbunga. Bunga kopi sangat indah, seperti melati yang bergerombol.

Nenek menyambut di depan pintu dengan senyum bahagianya. Wanita itu menggiring Raka, Namira. dan sopir mereka ke meja makan. “Ayo makan dulu, pasti kalian sudah lapar.”

Mata Namira membulat melihat berbagai menu masakan Jawa Timur yang sangat menggugah selera. Dari balik kelambu ruang belakang muncul Paklik Syukri yang langung saja bergabung di meja makan. Suasana semakin meriah, meski malam mulai larut dan teramat dingin.

“Mana papa dan mama kalian?” tanya Paklik Syukri.

“Sibuk, Lek, nggak bisa ngambil cuti.” Kata Raka.

“Memang beda, ya, kalau orang kantoran. Tidak seperti paklik, bisa libur kapan saja.” Paklik Syukri—adik dari mama Raka—terkekeh. Lelaki itu bekerja mengurus perkebunan kopi warisan keluarga.

“Lik, jangan lupa habis ini dongengin kami ya?” pinta Namira, yang setiap kali pulang ke rumah itu, selalu menagih sang paman untuk menceritakan berbagai pengalaman mistis dan horor. Maklum, Paklik Syukri seorang indigo yang sering mengalami peristiwa di luar nalar.

“Besok saja ceritanya, sudah malam. Apa kalian tidak takut?” Nenek menegur.

“Kan ada Nenek yang nganterin Namira kalau takut ke belakang,” Namira cekikikan.

Raka menoyor kepala adiknya. “Dasar!” serunya.

“Ih, biarin. Lagian aku tadi kebanyakan tidur di mobil. Jadi belum ngantuk.”

“Ya sudah, nanti paklik ceritain. Sekarang selesaikan dulu makan malamnya.”

“Hmmm ....” Nenek menggeleng-gelengkan kepala. Wanita yang telah lama ditinggal sang suami ke keabadian itu memandang kedua cucunya dengan penuh kasih sayang.

Dua remaja itu mempercepat makannya, Dalam waktu yang singkat, mereka telah duduk di balai-balai bambu ruang tamu, bersiap mendengarkan cerita sang paman.

“Yang hantu kemamang paklik sudah cerita, bukan?”

“Iya, Lik.” Raka bersila di sebelah Paklik Syukri. “Kalau yang pernah Raka baca, bukankah setiap orang yang melihat hantu kemamang akan mengalami stres kemudian bunuh diri? Kenapa Paklik masih bisa bertahan?”

“Itu kuasa Allah, Raka. Mematikan atau menghidupkan manusia itu hak Allah.” Paklik Syukri terbatuk-batuk oleh asap rokok yang baru saja dihirupnya.

“Ayo, Lik, mana dongengnya?” Raka sudah mulai tak sabar.

Paklik Syukri memandang dengan tajam ke depan sebelum memulai ceritanya.

“Konon jaman dahulu, ada hantu yang bernama lampor. Lampor mempunyai makna ribut. Kedatangan hantu lampor ditandai dengan terdengarnya suara keributan, seperti serombongan pasukan yang datang. Paklik pernah dengar cerita saat Kelud meletus di tahun 1986, ada seorang kakek yang tinggal sendirian mendengar suara gaduh kedatangan lampor. Karena takut, dia memanjat pohon. Dari atas pohon dia melihat, makhluk-makhluk berbadan besar dan mengerikan berhenti di rumah-rumah penduduk, mengambil orang-orang yang diinginkannya. Namun, tidak semua rumah mereka ambil penghuninya. Ada rumah-rumah yang hanya dilewati. Saat rombongan makhluk gaib itu berhenti di depan rumah sang kakek, dia mendengar percakapan antara dua makhluk, seperti pemimpin pasukan dan bawahannya. Sang pimpinan berkata, ‘Orang ini tidak termasuk dalam perintah pengambilan, ayo terus.’ Lalu ketika sang kakek turun, dilihatnya isi rumah masih utuh, Hanya tanaman di pekarangannya rusak oleh lahar Kelud.”

Namira dan Raka beringsut mendekati sang paman. Wajah mereka tampak serius walau terlihat sangat mengantuk.

“Ada juga yang mempercayai bahwa lampor itu pasukan dari Laut Selatan yang akan menuju Gunung Merapi atau Keraton Yogyakarta.” Paklik Syukri memandangi kedua keponakannya yang telah menguap beberapa kali. “Tidurlah kalian, besok disambung lagi ceritanya.”

Kedua remaja itu pun menuruti perkataan sang paman. Dengan mata mengantuk mereka menuju kamar masing-masing. Namira tidur bersama Nenek, sedangkan Raka tidur di kamar Paklik Syukri yang sampai saat ini masih melajang.

***    

Raka belum bisa memicingkan mata walau dia telah menguap berkali-kali. Entah apa sebabnya. Yang jelas bukan karena kengerian cerita Paklik Syukri. Raka anak pemberani. Dia sama sekali tak takut cerita hantu. Tapi malam ini dia merasakan hal yang lain. Remaja itu tak bisa menjelaskan kepada dirinya sendiri, itu rasa apa.

Raka mendesah. Kembali bangkit dari tidurnya. Diraihnya kamera, kemudian menekan tombol ‘on’. Dia melihat-lihat hasil bidikan kameranya seharian tadi sembari tiduran. Paklik Sukri belum masuk ke kamar. Sepertinya dia sedang berbincang dengan Pak Rahmat, sopir pribadi keluarganya. Suara mereka terdengar sayup dari kamar Raka.

Tiba-tiba matanya sangat berat, hingga Raka tertidur dengan posisi masih memegang kamera. Terdengar suara keributan di luar. Dengan mata berat remaja itu turun dari ranjang, menarik langkahnya dengan malas. ‘Ada apa, sih, ini?' gerutunya dalam hati.

Baru sedikit remaja itu mengintip dari kelambu pembatas ruangan, dia terkejut mendapati sosok-sosok tinggi besar dengan wajah menakutkan memenuhi ruang tamu. Sosok mengerikan menyerupai dementor dalam film Harry Potter yang pernah ditontonnya. Apakah ini yang namanya lampor? Dari cirinya seperti makhluk yang diceritakan sang paman tadi malam.

Sosok-sosok itu menarik tangan Paklik Syukri dan Pak Rahmat untuk dibawa. Raka berusaha berteriak memanggil sang paman, tapi tenggorokannya seperti tercekat. Kakinya pun tak bisa digerakkan. Raka melihat Paklik Syukri dan Pak Rahmat meronta-ronta agar terbebas dari gerombolan bersuara bising itu, tapi usaha mereka sia-sia. Raka hanya bisa pasrah melihat punggung Paklik Syukri dan Pak Rahmat yang semakin menjauh, kemudian tertutup oleh tubuh makhluk-makhluk mengerikan itu.

Raka yang telah terpaku di tempatnya untuk beberapa lama tiba-tiba tersentak. Kakinya kini bisa digerakkan. Remaja itu segera memeriksa kamar sang nenek dan adik.

Ketika kamar itu dibuka, Raka mendapati keadaan kamar yang berantakan seperti kapal pecah, dan nenek serta adiknya tak ada di sana! Raka panik, dia memeriksa seisi rumah dengan ketakutan yang sangat. Ketakutan yang belum pernah dirasakan seumur hidupnya. Keringat dinginnya mengucur deras, tubuhnya gemetar. Bibirnya memanggil-manggil nenek dan adiknya.

Kosong! Tak ada siapa pun di rumah ini selain dirinya. Remaja itu memberanikan diri keluar rumah. Suasana masih sangat gelap. Fajar belum lagi muncul. Dia mencoba mencari adik dan neneknya di antara rimbunnya pohon kopi di sekitar rumah dengan penerangan lampu blitz dari kamera yang sejak tertidur dipegangnya.

Sia-sia. Raka telah menelusuri seluruh halaman belakang rumah sang nenek, namun tak menemukan siapapun. Remaja itu tiba-tiba meraskan tubuhnya sangat lemah kemudian jatuh tak sadarkan diri.

Matahari telah menyembul dari peraduannya ketika mata Raka mengerjap-ngerjap berusaha terbuka. Perlahan dia bangkit, melihat ke sekeliling. Dia kebingungan, kenapa ada di antara pohon kopi? Apakah semalam dirinya bermimpi buruk?
Tanpa sengaja Raka melihat sesosok tubuh tergeletak di bawah pohon kopi tak jauh dari tempatnya. Cepat remaja itu mendekati tubuh itu.

“Namira!” panggilnya kemudian bersimpuh dan mengguncang-guncangkan tubuh adiknya. “Namira, bangun, Dik!” Remaja itu sangat ketakutan. Dilihatnya baik-baik dada sang adik. Dada itu masih turun naik. Raka menghela napas lega. Dipangkunya kepala sang adik sambil menepuk-nepuk pipinya. Karena untuk menggendong sang adik yang beratnya hampir sama dengannya remaja itu tak mampu.

Tangan Namira bergerak-gerak, matanya perlahan terbuka. “Di mana ini?”

“Syukurlah kamu sudah sadar.”

“Kenapa kita di sini? Bukankah tadi malam aku tidur di kamar Nenek?”

“Tak adakah yang kamu ingat?”

“Apa?”

“Kejadian mengerikan tadi malam.”

“Aku hanya ingat tidur di sebelah Nenek.”

Raka menatap wajah adiknya. “Ayo bangun. Kita cari Nenek, Paklik Syukri dan Pak Rahmat.”

“Memangnya mereka di mana?”

“Entahlah. Ayo kita ke rumah!”

Mereka berjalan terseok menuju rumah, yang halamannya porak poranda seperti terkena angin ribut.

“Ada apa ini, Kak?” Namira memandang semua bekas keributan itu dengan bingung.

“Abaikan itu. Ayo kita cari Nenek, Paklik Syukri dan Pak Rahmat dulu.”

Mereka segera menelusuri seisi rumah, namun Nihil. Raka tertegun. Mungkinkah semalam para lampor telah membawa mereka? Air matanya meleleh. Kesedihan dan kengerian berbaur jadi satu dalam hatinya. Namira terduduk di balai-balai memeluh kakinya. Pikirannya sangat 'syok'.

Cepat Raka berlari ke kamar, diraihnya telepon seluler yang tergeletak di meja kemudian memencet nomer sang papa.

Terdengar nada sambung.

“Halo, Nak. Bagaimana liburanmu?”

“Papa, Nenek, Paklik Syukri, dan Pak Rahmat ... hilang!” katanya dengan pandangan nanar.

Tamat
Diubah oleh cattleyaonly 06-09-2019 09:47
bejococibbAvatar border
DeYudi69Avatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan 3 lainnya memberi reputasi
2
2.1K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan