Kaskus

Story

cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
Kafe Lampion
Cerpen by Cattleya

Dengan secepat kilat Sasi berlari ke kamar mandi. Perutnya seperti diaduk-aduk. Gadis itu memuntahkan isi lambungnya yang hanya berupa cairan. Rasa pahit menyebar di mulut gadis itu. Ditekannya ulu hati sekedar mengurangi rasa sakit.

Sasi memandang pantulan wajahnya di cermin, pucat pasi. Segera dirogohnya benda kecil dalam saku baju dan mencelupkan ke dalam urin yang tadi ditampungnya dalam botol kecil. Gadis itu memandang dengan berdebar-debar urine yang mulai merambat ke atas kemudian membentuk dua garis merah. Oh Tuhan, positif! Sasi terengah-engah oleh himpitan ketakutan yang menyergap tiba-tiba. Kini apa yang pernah dikuatirkan sang mama terjadi. Tapi bagaimana lagi? Cinta Doni telah membuat Sasi begitu mabuk kepayang, hingga dengan sukarela dia menyerahkan kegadisannya pada pemuda itu.

‘Doni harus dikasih tahu kalau aku tengah mengandung anaknya,' pikir Sasi kalut.

Sasi keluar dari kamar mandi dan berjalan ke tempat tidur. Jemarinya segera meraih gawai yang tergeletak di sana. Dipencetnya nomer Doni. Terdengar suara nada sambung.

"Hallo, Sayang ...." Suara Doni terdengar di ujung sana.

"Doni, a-aku ... aku ...."

"Ada apa, Sayang? Kenapa kamu panik?"

"Aku hamil, Doni, aku hamil!" seru Sasi. Gadis itu pun mulai terisak-isak. Untuk sejenak hening di ujung sana. Mungkinkah Doni tak mau bertanggung jawab dan sedang mencari alasan untuk menjauhi Sasi? Keringat dingin segera membanjiri wajah gadis itu.

Namun, sesaat kemudian terdengar suara Doni, "Jangan kuatir, Sasi ... aku akan bertanggung jawab. Kita akan menikah, okey? Sudah, jangan menangis. Aku sayang kamu. Tak mungkin aku meninggalkanmu." Kalimat yang diucapkan Doni seperti air dingin yang mengguyur kemarau.
Ketakutan Sasi menguap seketika. Sasi mengusap air matanya. Kini hatinya menjadi lega. Bibirnya menyunggingkan senyum walau di pipinya masih penuh air mata.

"Temui aku di kafe Lampion, jam tiga sore," pinta Doni dari seberang sana.

"Aku akan ke sana. Aku akan menunggumu,” ucap Sasi bahagia. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipi.
Sasi segera bersiap. Dipakainya baju atasan putih dengan renda di lengannya dipadu celana panjang warna moka. Gadis itu mematut diri di depan cermin, untuk memastikan tampilan dan riasannya sempurna. Dia tidak ingin tampil acak-acakan di depan Doni.

Jam masih menunjukkan pukul setengah tiga sore, tapi Sasi sudah berada di kafe Lampion. Dipesannya segelas jus sirsak dan sepiring mufin. Tak berapa lama pesanannya datang.

Dikunyahnya mufin dengan pelan. Dia teringat orang tuanya yang tak menyetujuinya berhubungan dengan Doni. Pacar Sasi itu berasal dari keluarga kaya raya. Dia terbiasa dimanja oleh orang tuanya. Tentu saja hal itu membuat mama Sasi cukup kuatir pada anak gadisnya jika suatu hari terjadi apa-apa. Takut, Doni hanya menjadikan Sasi sebagai mainan saja.

"Doni itu terkenal nakal. Tak ada yang bisa diharapkan dari pemuda seperti Doni," ucap mama Sasi waktu itu. "Dia hanya anak mami, yang semua keinginannya harus dipenuhi. Cowok tak tahu tanggung jawab. Mama yakin kamu nanti akan menyesal telah berhubungan dengan Doni."

‘Mama, engkau salah,’ bisik Sasi dalam hati. 'Doni mau menikahiku, Ma. Doni mau bertanggung jawab!' batin gadis iti seolah telah memenangkan pertandingan melawan sang mama.

Sudah pukul tiga sore lewat, tapi Doni tak muncul juga. Sasi mulai gelisah. Kenapa Doni belum juga datang? Ditelponnya Doni berulang kali tapi tak diangkat. Hingga akhirnya Sasi lelah.

Ketika semburat jingga telah mewarnai langit sore, Sasi berjalan gontai meninggalkan kafe dengan perasaan getir. ‘Ya, Tuhan, apakah yang dikatakan mamaku benar? Apakah Doni hanya memanfaatkan kenaifanku saja?’ Sasi menatap kejauhan dengan gelisah.

***
Semenjak hari itu setiap hari Sasi pergi ke kafe lampion itu. Menunggu Doni datang seperti yang pernah cowok itu ucapkan. Meski kadang sebagian perasaan Sasi tak lagi mempercayai kata-kata terakhir Doni di telepon. Namun, gadis itu tetap setia menunggu Doni di kafe Lampion tiap pukul tiga sore. Seperti kesetiaan pagi pada sang mentari.

Namun Sasi bagai mengharapkan bulan turun dari langit. Doni tak pernah datang menemuinya. Bahkan gawai Doni tak bisa lagi dihubungi, dan rumah Doni sekarang kosong tak berpenghuni. Ibu benar , Doni tak mau bertanggung jawab!

“Sasi, putuslah dengan Doni, mama mohon.” Sasi teringat ucapan mamanya kala itu.

“Tidak, Ma, aku cinta mati dengan Doni.”

“Nak, sadarlah, Doni itu bukan cowok yang baik. Pasti dia hanya mempermainkanmu saja, Terimalah lamaran Salman, dia cowok yang baik, Nak, dengan nasab yang baik. Meskipun dia dari keuarga sederhana.”

Ah, Salman. Tentu saja dia cowok yang baik. Jika saja Sasi belum bertemu Doni, mungkin dia akan dengan senang hati menerima pinangan Salman. Tapi siapa yang tahu jodoh seseorang, dan siapa yang tahu akan dipertemukan dengan siapa atau berpisah dari siapa?

Sasi menatap kosong ke luar. Jika saja pikirannya tidak kalut, mungkin Sasi bisa menikmati pemandangan dari kafe lampion yang sungguh indah. Dari satu sisi kafe itu yang terbuat dari kaca, terlihat jalanan yang berkelak-kelok di bawah sana. Jalan yang di satu sisinya adalah tebing dan satu sisinya lagi adalah jurang. Kanan kiri jalan itu ditumbuhi pohon-pohon pinus yang tumbuh rimbun.

"Neng, mau pesan apa?" Seorang kakek tua membuyarkan lamunannya. Kakek itu adalah pemilik kafe lampion itu. Dia mengelola kafenya besama seorang anaknya yang masih remaja dan seorang pelayan.

"Kopi hitam satu," kata Sasi.
Kakek itu membuatkan kopi untuk Sasi dan mengantarkan sendiri padanya.

"Kali ini, saya yang traktir," kata kakek itu.

“Terima kasih, Kek. Kakek baik sekali.”

Kakek itu tersenyum kemudian menatap Sasi dengan perasaan iba. Sudah hampir sebulan dia melihat Sasi yang setiap hari datang ke kafenya seperti orang menunggu, kemudian pulang tanpa bertemu siapa pun di kafe itu.

"Eneng menunggu siapa?" tanya sang Kakek tak kuasa memendam tanya selama ini.

"Seseorang, Kek. Seseorang yang saya sayangi," jawab Sasi lemah. Tangannya mengelus perutnya yang sedikit buncit.

"Kenapa tidak ditelpon?" tanya kakek tua itu. Diperhatikannya tangan Sasi yang sedang mengelus perutnya. Lelaki itu menduga, Sasi tengah mengandung. Walau perutnya tak terlalu kentara membuncit.

"Handphone-nya tidak aktif, Kek." Lirih suara Sasi menjawab.

"Oh, ya sudah. Sambil nunggu, Neng bisa baca koran atau majalah di pojok sana," ujar kakek itu seraya berlalu. Sasi mengangguk.

Demi membunuh rasa jenuhnya menunggu, Sasi menuruti apa yang dikatakan pria tua tadi. Dengan langkah gontai dihampirinya tumpukan koran. Diambilnya secara acak. Koran lokal satu bulan yang lalu. Sasi memandang lampion-lampion merah yang bergoyang-goyang ditiup angin. Kesunyian dalam hatinya mulai meraja.

Gadis itu melangkah gontai menuju tempatnya duduk tadi. Sasi mendesah kemudian membuka dan membaca koran itu. Head line koran itu sebuah kecelakaan yang terjadi di jalan menuju bukit tempat kafe lampion. Sebuah mobil masuk jurang dengan korban bernama Doni Ardyansyah. Mobil yang dikendarai rusak parah dan pengemudi diketemukan tewas.

Badan Sasi lemas seketika. Tubuhnya limbung ke lantai. Rasa kehilangan yang baru saja dirasakannya itu tak sekedar sebuah kehilangan. Janin itu tak akan pernah punya ayah!

Palembang, 16 Juli 2019
Diubah oleh cattleyaonly 22-07-2019 17:11
doctorkelinciAvatar border
hvzalfAvatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan 2 lainnya memberi reputasi
3
499
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan