Berdirinya TPQ ini tidak terlepas dari dua sosok pasangan suami istri Bapak Bani dan Ibu Fatimah. Mereka berdualah pelopor keberadaan TPQ. Perjuangan mereka dalam membumikan Al-Quran ini dimulai sejak tahun 1960.

Bermula dari keinginan Bapak Bani yang ingin mengajarkan ilmu agama Islam ditengah masyarakat yang mayoritas beragama Hindu. Keinginan tersebut beliau sampaikan pada salah seorang kawan yang tinggal di dusun Manting. Kawan beliau adalah Bapak Napian.

Bak gayung bersambut, permintaan menjadi pengajar disetujui oleh Bapak Napian. Bersama Bapak Napian, Bapak Bani mulai mendatangi rumah-rumah warga dan mengajak belajar mengaji dirumah beliau. Beberapa warga sekitar pun mulai tertarik dan bersedia belajar mengaji dirumah Bapak Bani.

Adapun warga-warga yang menjadi murid pertama kedua ustadz kala itu adalah:
1. Bpk Suwandi 7. Ibu Iyah
2. Bpk Solikin 8. Ibu Eumanah
3. Bpk Rumaji 9. Ibu Rukipah
4. Bpk Sugir 10. Ibu Muayah
5. Bpk Sukir 11. Ibu Munayah
6. Ibu Alimah 12. Ibu Siti Sulifah

Menurut penuturan Ibu Suindiyah (putri dari Pak Bani) selain 12 murid diatas masih ada lagi murid-murid lain kala itu. Hanya saja siapa dan berapa jumlah mereka, tidak bisa dikorek lebih lanjut.

Berbekal sejumlah murid tersebut Bapak Bani memulai sistem pendidikan klasikal. Tempat mengajar kala itu bisa dikatakan belum layak. Sebuah rumah kecil berdinding bambu dimana sebelah utaranya berdekatan dengan kandang sapi.

Setiap malam bakda maghrib, di rumah kedua pasangan suami istri inilah para warga belajar mengaji. Meskipun dengan penerangan yang terbatas yakni berupa strongkin dan oblek/cempluk murid-murid tetap semangat dalam melakukan aktifitas belajarnya. Selang beberapa tahun kemudian, orang-orang yang belajar mengaji semakin bertambah.

Pada tahun 1971 Bapak Bani dan istrinya, ibu Fatimah berinisiatif memperbaiki rumah mereka. Hal ini disebabkan keinginan mereka agar rumah mereka menjadi bangunan yang lebih layak untuk dijadikan tempat mengaji. Niat tulus dan keinginan yang besar akhirnya berbuah menjadi sebuah tempat mengaji dengan bangunan yang lebih kokoh.

Pasca selesainya renovasi bangunan itu, maka nama Bapak Bani mulai dikenal dikalangan masyarakat sekitar. Akhirnya, banyak warga yang mulai berdatangan untuk menuntut ilmu dan belajar mengaji dirumah beliau. Lambat laun jumlah muridnya pun semakin bertambah hingga sekitar 30-an warga.

Banyaknya jumlah warga yang antusias menjadi murid membuat Pak Bani mencari tambahan dua pengajar lagi. Akhirnya, beliau pun mendapat pengajar lagi dari dusun Manting yakni Bapak Sukibat dan Bapak Laiman. Sementara itu Bapak Napian sudah tak lagi mengajar sehingga jumlah pengajar menjadi 3 orang.

****


Bertepatan pada tanggal 14 Februari 1991, Bapak Bani dan ibu Fatimah berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Sebulan pasca menunaikan rukun Islam kelima itu mereka kembali ke kampung.

Sudah jadi kebiasaan masyarakat sekitar jika orang yang pulang dari berhaji memberi julukan Haji (pria) yang disingkat H dan Hajjah (wanita) yang disingkat Hj.

Alhasil, beliu berdua dipanggil dengan H. Ahmad Taufik dan Hj. Siti Fatimah (Mak Kaji). Dan dari situlah nama tempat belajar mengaji dirumahnya dikenal dengan sebutan Pengajen Mak Kaji.





Sekitar tahun 2000-an, kedua pengajar dirumah H. Ahmad Taufik yaitu Bapak Mujib dan Bapak Jamal yang telah direkut beberapa tahun sebelumnya tidak bisa lagi melanjutkan mengajar. Beliau berdua ingin fokus mengajar di kampung mereka yakni dusun Manting. Otomatis kondisi kekurangan pengajar sempat dialami di tahun tersebut.

Di tahun yang sama, H. Ahmad Taufik dan Hj.Siti Fatimah sowan ke kediaman Kiai Mufid Shiddik (pendiri Ponpes Hidayatulloh Manting). Kunjungan tersebut bertujuan ingin meminta tolong supaya dicarikan pengajar tambahan untuk mengajar dirumah kedua pasangan ini.

Akhirnya beliau (Kiai Mufid Shiddik) mencarikan pengajar dari pesantrennya itu berjumlah 5 orang pengajar, dan pengajar tersebut antara lain:
1. Bpk suwantoro
2. Bpk Puji
3. bpk Sahal
4. bpk Warsito
5. Bpk Fathulloh.

Lambat laun para murid di PENGAJEN Mak Kaji silih berganti. Mulai saat itu rata-rata yang belajar mengaji di rumah kedua pasangan ini adalah anak-anak kecil. Jumlah murid kala itu sekitar 50-an anak dengan jumlah pengajarnya 5 guru tersebut diatas.

Pada tahun 2004, H. Ahmad taufik dan Hj. Siti Fatimah Beserta kelima guru tersebut berencana memberi nama baru pada tempat mengaji PENGAJEN Mak Kaji. Salah satu pengajar sekaligus murid Kiai Mufid Sjiddik meminta saran Sang Kiai.

Kyai Mufid Shiddik pun menyarankan kepada salah satu murid tersebutuntuk memberi nama TPQ Nurul Hidayah. Nurul Hidayah berasal dari kata NUR (cahaya) dan ALHIDAYAH (petunjuk). Selain itu, Kiai Mufid Shiddik bermaksud menyamakan TPQ Nurul Hidayah dengan pesantren beliau yaitu pondok pesantren Hidayatulloh. Hal itu dikarenakan kebanyakan pengajar berasal dari pondok pesantren tersebut.



Setelah H.Ahmad Taufik berpulang ke rahmatullah , TPQ ini diasuh oleh istrinya yaitu Hj.Siti Fatimah hingga jumlah murid pun bertambah banyak. Bertambahnya murid tersebut membuat fasilitas yang ada kurang memadai.

Alhasil, serambi rumah Hj. Siti Fatimah pun digunakan sebagai tambahan lokasi belajar mengajar. Pada saat itu jumlah murid TPQ ini sekitar 80 anak. Kemudian Hj.Siti Fatimah mencari tambahan pengajar lagi, yang semula lima orang pengajar sekarang menjadi 12 orang pengajar.

[IMG]https://s.kaskus.id/images/2019/07/13/10564091_201907130934120736.png[/IMG




Alhamdulillah hingga sampai pada tahun ini, jumlah pengajar masih bertahan.





Demikian kisah singkat berdirinya TPQ Nurul Hidayah.