- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dari Saudi Hingga Turki, Para Pemimpin Islam Khianati Muslim Uighur


TS
pasti2periode
Dari Saudi Hingga Turki, Para Pemimpin Islam Khianati Muslim Uighur
Quote:
Pemerintahan Trump telah berbuat lebih banyak untuk jutaan orang di kamp-kamp Muslim Uighur, daripada pemimpin Islam mana pun. Advokasi Islam dan kebersamaan dan solidaritas Muslim adalah dasar moral yang diklaim dari masing-masing negara, seiring masing-masing negara mengingat kembali masa sejarah ketika mereka adalah pusat dunia Muslim. Hari ini, masing-masing dari mereka tunduk pada China—bahkan jika itu tidak perlu.
Jalanan kosong. Perkemahan luas di padang pasir di dekatnya tak banyak dibicarakan. Seperti itulah bentuk rezim teror modern.
Lebih dari 1 juta Muslim Uighur di wilayah Xinjiang China—tanah kelahiran mereka—diyakini telah ditahan di ‘kamp pendidikan’ oleh pihak berwenang China. Jumlahnya mungkin sebanyak 2 atau 3 juta orang—dari populasi 11 juta jiwa.
Terperangkap bersama mereka adalah orang-orang Kazakh, Kirgistan, dan Uzbek—minoritas Muslim lainnya—meskipun dalam jumlah yang lebih kecil. Orang-orang Uighur yang masih berada di luar, hidup di salah satu rezim pengintaian yang paling luas dan berat di dunia, di mana kamp-kamp itu hanyalah satu bentuk penahanan dan hukuman.
Orang-orang Uighur hidup dalam ketakutan yang konstan akan penahanan sewenang-wenang, dan dapat mengharapkan pembalasan dengan cepat untuk setiap ekspresi identitas Turki atau Muslim— sampai pada tingkat yang tidak masuk akal, di mana memberi anak Anda nama Muslim tradisional adalah ilegal.
Namun ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengunjungi China minggu lalu, media pemerintah melaporkan bahwa ia mengatakan semua orang di Xinjiang “hidup bahagia” di sana, berkat lintasan ekonomi China yang meningkat secara umum. Sikap Erdogan tidak berbeda dari pendekatan yang diambil oleh para pemimpin Muslim di dunia terhadap kaum Uighur.
Hubungan ramah Erdogan dengan Presiden China Xi Jinping tetap terjadi, meskipun ada pernyataan tegas oleh Kementerian Luar Negeri Turki pada bulan Februari. “Bukan rahasia lagi bahwa lebih dari satu juta orang Turki Uighur yang ditangkap sewenang-wenang menjadi sasaran penyiksaan dan pencucian otak politik di kamp-kamp dan penjara-penjara interniran. Orang-orang Uighur yang tidak ditahan di kamp-kamp ini berada di bawah tekanan berat,” bunyi pernyataan itu. Kementerian itu bersikeras bahwa Turki telah mengangkat masalah ini dengan Beijing.
Beijing bereaksi keras terhadap pernyataan itu, dan Ankara mundur tanpa ragu-ragu. Prioritas Erdogan sekarang adalah menghidupkan kembali hubungan historis dan “memperkuat kerja sama” antara Turki dan China, seiring Turki berupaya untuk mendapatkan peran kunci dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan Beijing.
Setiap jalan atau jalur kereta api antara China dan Turki harus melalui Xinjiang—bagian paling barat China—jadi, dalam pandangan Ankara, keyakinan, sejarah, dan kekerabatan bersama dengan Uighur Turki tidak boleh menghalangi cara China menangani populasi lokal.
Masyarakat Turki biasa adalah pendukung kuat hak-hak Uighur, tetapi Erdogan memiliki negara yang harus dikelola—dan ia tidak akan merasa sentimental tentang masalah ini. Solidaritas Muslim adalah slogan kampanye yang baik dan pencitraan internasional yang baik, tetapi tampaknya hanya sebatas itu bagi Turki dan lainnya.
Pakistan—tepat di seberang perbatasan Xinjiang—muncul sebagai negara pada tahun 1947, secara khusus untuk menjadi tempat perlindungan bagi umat Islam. Sejak saat itu, para pemimpin politik, militer, dan agama di negara itu menggunakan Pakistan untuk memperjuangkan Islam dan membela Muslim di mana pun mereka berada.
Bagaimanapun, Pakistan adalah satu-satunya negara nuklir Muslim, jadi, setidaknya dengan satu ukuran, Pakistan memiliki militer paling kuat dan kapasitas terbesar untuk campur tangan atas nama Muslim yang tertindas di mana pun.
Kecuali, mungkin, jika orang-orang Muslim itu tinggal di China. Beberapa bahkan menggambarkan Pakistan sebagai negara klien China.
Bagaimanapun juga, di negara dan masyarakat yang sangat terpecah belah, ada satu hal yang disetujui oleh semua orang, mulai dari intelijen militer hingga ulama radikal hingga politisi: investasi China sangat penting untuk pembangunan negara dan mungkin untuk meningkatkan kegiatan ekonomi untuk menopang negara dan pasukannya yang besar. Itulah sebabnya ada keheningan di Islamabad—dan mengapa Perdana Menteri Pakistan Imran Khan pura-pura tidak tahu tentang masalah ini ketika ditanya.

Para pria Pakistan yang menikah dengan wanita Uighur telah melihat pasangan mereka menghilang ke kamp tersebut, tetapi tidak menerima bantuan dari pemerintah mereka. China telah menjalankan kampanye propaganda yang keras tentang masalah ini, yang dimulai dari kedutaannya—dan memata-matai warga Uighur di Pakistan sendiri.
Masyarakat Uighur juga tidak bisa mengharapkan banyak simpati dari tetangga Muslim Turki lainnya di seberang perbatasan di Kirgistan, Kazakhstan, atau dari republik Asia Tengah lainnya. Mereka mungkin sama-sama beragama Islam, dan bahkan memiliki sejarah etnis dan budaya yang sama, tetapi semua pemerintah di wilayah tersebut ingin menjalin hubungan baik dengan Beijing, seiring China sedang membangun proyek Sabuk dan Jalan-nya ke arah barat.
Di satu sisi, ada kenyataan geopolitik yang keras, karena negara yang terkurung daratan bergantung pada tetangga yang kuat untuk berdagang. Di sisi lain, ada kecenderungan pemerintah daerah untuk mengunci warga mereka sendiri.
Negara-negara ini hampir tidak memiliki moral untuk mengecam China, bahkan jika mereka memiliki kapasitas untuk melakukannya. Tekanan diplomatik di belakang layar—ditambah dengan kemarahan publik di negara asal mereka—telah memastikan pembebasan warga Uzbek, Kazakh, dan lainnya dari kamp-kamp itu—tetapi simpati itu tidak sampai kepada warga Uighur sendiri.
Bagaimana dengan juru bicara dunia Muslim yang paling menonjol? Iran, Arab Saudi, dan Mesir jauh dari China dan tidak tergantung pada China seperti negara-negara tetangganya. Mereka menyatakan diri mereka sebagai pemimpin dunia Muslim dan wali umat global, yang diharapkan akan membantu orang-orang Muslim yang tertindas. Mereka tentu saja cepat untuk mengeluarkan kecaman, mengeluarkan fatwa, dan menyebut jihad melawan penghinaan terhadap umat Islam—yang paling menonjol menyangkut Palestina tetapi juga di Kashmir dan Myanmar.
Tetapi mereka juga tidak mengatakan apa-apa tentang orang Uighur. Meskipun keamanan dan perdagangannya dijamin oleh Amerika Serikat (AS), dan mengklaim kepemimpinan global tentang masalah-masalah Muslim di seluruh dunia dalam perannya sebagai Penjaga Dua Masjid Suci, namun Arab Saudi sama sekali tidak mengatakan apa pun tentang Uighur.
Iran menyebut dirinya sebagai negara neo-Rashidun—dibuat dengan cara yang sama seperti kekhalifahan pertama dari empat kekhalifahan setelah kematian Nabi Muhammad. Dan seperti halnya kekhalifahan pertama, Iran percaya pada proses mengukir peran untuk dirinya sendiri sebagai kekuatan regional yang dominan di Timur Tengah. Tetapi jika China harus mengunci seluruh populasi Muslim di negeri yang pernah sangat dipengaruhi oleh Kekaisaran Persia, Teheran tidak akan berdebat.
Mesir—rumah budaya besar Islam Arab—telah mengambil satu langkah lebih jauh: Menahan dan mendeportasi Uighur kembali ke China atas perintah Beijing.
Advokasi Islam dan kebersamaan dan solidaritas Muslim adalah dasar moral yang diklaim dari masing-masing negara, seiring masing-masing negara mengingat kembali masa sejarah ketika mereka adalah pusat dunia Muslim. Hari ini, masing-masing dari mereka tunduk pada China—bahkan jika itu tidak perlu.
Untuk melengkapi semua ini, bahkan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) tetap membisu terkait Uighur. Kerja sama memang penting, tapi bagi semua negara ini dan para pemimpin mereka, kerja sama dengan China lebih berharga daripada kerja sama terkait agama.
Di Timur Tengah, bahkan negara-negara yang dapat mengandalkan Amerika Serikat untuk perlindungan dan perdagangan, ingin agar China memasukkan mereka ke dalam jaringan perdagangan Sabuk dan Jalan. Fakta sulit dari masalah ini adalah, bahwa semua rute darat di Sabuk dan Jalan melewati Xinjiang. Jadi, tidak ada yang ingin ada ketidakstabilan di wilayah ini yang mungkin menghambat perdagangan.
Negara-negara mayoritas Muslim yang muncul di luar Timur Tengah, seperti Malaysia dan khususnya Indonesia—negara dengan populasi Muslim terbesar—barangkali memiliki kebebasan dan dorongan paling besar untuk menyuarakan masalah Uighur. Lagi pula, semakin sedikit lalu lintas perdagangan melewati Xinjiang, semakin banyak yang harus melewati perairan yang dikontrol oleh mereka. Tetapi bahkan mereka menyerah pada Beijing. Walau oposisi di kedua negara kadang-kadang berbicara atas nama Uighur, namun suara-suara itu mungkin akan hilang jika mereka masuk ke pemerintahan.
Posisi ini mungkin pragmatis. Tapi itu sangat kontras dengan respons dunia Muslim terhadap ketidakadilan terhadap Muslim yang dilakukan oleh negara-negara Barat atau Israel.
Perlakuan Israel terhadap orang-orang Palestina di wilayah-wilayah pendudukan sangat mengerikan dan sekarang menjadi pembersihan etnis secara terbuka. Tetapi orang-orang Palestina tidak ditahan di kamp-kamp pendidikan ulang dan tidak tunduk pada tingkat pengawasan yang sama dan penghapusan budaya. Orang-orang Uighur di Xinjiang mengalami hal yang lebih buruk. Namun tidak ada ayatullah atau imam yang menyerukan agar China dihapus dari muka bumi.
Keprihatinan orang-orang Barat terhadap keselamatan orang-orang Uighur jauh lebih terbuka dan jelas, meskipun banyak di antara mereka mendapatkan keuntungan dari perdagangan dan hubungan baik dengan China. Bahkan ketika mereka menyadari bahwa mereka memiliki sedikit kekuasaan dan pengaruh terhadap kebijakan China di Xinjiang, banyak pemimpin Barat tetap angkat bicara—meskipun ada juga pengecualian memalukan, seperti Selandia Baru. Mereka bertindak bukan atas dasar agama yang sama, tetapi atas dasar kemanusiaan yang sama.
Tidak ada keraguan bahwa jika Turki, Mesir, Arab Saudi, dan yang lainnya tidak mendapatkan apa-apa dari China, akan ada seruan jihad untuk melawan Beijing sekarang. Menyerukan perang melawan orang-orang yang menindas umat Islam adalah salah satu cara yang paling dapat diandalkan dalam sejarah untuk menjadi pemimpin Muslim mana pun.
Tetapi ketika Beijing ingin menjadi teman Anda, solidaritas Muslim hanya menjadi anakronisme yang merepotkan. Untuk semua wacana di dunia Muslim bahwa pemerintah Barat secara moral korup dan munafik tentang hak asasi manusia—dan Barat tentu saja telah kehilangan komitmennya terhadap nilai-nilai universal—pemerintah Muslim bahkan nyaris tidak berusaha berpura-pura bahwa solidaritas agama menuntut mereka untuk bersuara mendukung sesama Muslim Uighur. Mereka juga tidak menawarkan perlindungan yang aman bagi mereka yang membutuhkan.
Namun ironi tertinggi adalah bahwa pemerintahan Donald Trump adalah yang paling kuat dalam kecamannya terhadap Beijing atas perlakuannya terhadap Uighur. Pemerintahan seorang pria yang menyerukan “penghentian penuh bagi Muslim untuk memasuki Amerika Serikat”, telah menunjukkan lebih banyak nilai moral dan solidaritas manusia dengan kaum Uighur Xinjiang daripada setiap pemimpin besar negara Muslim mana pun di dunia.
Amerika Serikat memiliki kerugian yang jauh lebih sedikit untuk melakukan hal itu, tentu saja—dan pertikaian terhadap China mungkin juga telah berkontribusi. Dan bahkan ketika pemerintah Amerika yang secara naluriah memusuhi umat Islam telah tergerak untuk menyuarakan perlindungan terhadap kaum Uighur atas dasar kemanusiaan, hal itu memperlihatkan kekosongan solidaritas Muslim yang tak putus-putusnya dari dunia Muslim.
Jalanan kosong. Perkemahan luas di padang pasir di dekatnya tak banyak dibicarakan. Seperti itulah bentuk rezim teror modern.
Lebih dari 1 juta Muslim Uighur di wilayah Xinjiang China—tanah kelahiran mereka—diyakini telah ditahan di ‘kamp pendidikan’ oleh pihak berwenang China. Jumlahnya mungkin sebanyak 2 atau 3 juta orang—dari populasi 11 juta jiwa.
Terperangkap bersama mereka adalah orang-orang Kazakh, Kirgistan, dan Uzbek—minoritas Muslim lainnya—meskipun dalam jumlah yang lebih kecil. Orang-orang Uighur yang masih berada di luar, hidup di salah satu rezim pengintaian yang paling luas dan berat di dunia, di mana kamp-kamp itu hanyalah satu bentuk penahanan dan hukuman.
Orang-orang Uighur hidup dalam ketakutan yang konstan akan penahanan sewenang-wenang, dan dapat mengharapkan pembalasan dengan cepat untuk setiap ekspresi identitas Turki atau Muslim— sampai pada tingkat yang tidak masuk akal, di mana memberi anak Anda nama Muslim tradisional adalah ilegal.
Namun ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengunjungi China minggu lalu, media pemerintah melaporkan bahwa ia mengatakan semua orang di Xinjiang “hidup bahagia” di sana, berkat lintasan ekonomi China yang meningkat secara umum. Sikap Erdogan tidak berbeda dari pendekatan yang diambil oleh para pemimpin Muslim di dunia terhadap kaum Uighur.

Hubungan ramah Erdogan dengan Presiden China Xi Jinping tetap terjadi, meskipun ada pernyataan tegas oleh Kementerian Luar Negeri Turki pada bulan Februari. “Bukan rahasia lagi bahwa lebih dari satu juta orang Turki Uighur yang ditangkap sewenang-wenang menjadi sasaran penyiksaan dan pencucian otak politik di kamp-kamp dan penjara-penjara interniran. Orang-orang Uighur yang tidak ditahan di kamp-kamp ini berada di bawah tekanan berat,” bunyi pernyataan itu. Kementerian itu bersikeras bahwa Turki telah mengangkat masalah ini dengan Beijing.
Beijing bereaksi keras terhadap pernyataan itu, dan Ankara mundur tanpa ragu-ragu. Prioritas Erdogan sekarang adalah menghidupkan kembali hubungan historis dan “memperkuat kerja sama” antara Turki dan China, seiring Turki berupaya untuk mendapatkan peran kunci dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan Beijing.
Setiap jalan atau jalur kereta api antara China dan Turki harus melalui Xinjiang—bagian paling barat China—jadi, dalam pandangan Ankara, keyakinan, sejarah, dan kekerabatan bersama dengan Uighur Turki tidak boleh menghalangi cara China menangani populasi lokal.
Masyarakat Turki biasa adalah pendukung kuat hak-hak Uighur, tetapi Erdogan memiliki negara yang harus dikelola—dan ia tidak akan merasa sentimental tentang masalah ini. Solidaritas Muslim adalah slogan kampanye yang baik dan pencitraan internasional yang baik, tetapi tampaknya hanya sebatas itu bagi Turki dan lainnya.
Pakistan—tepat di seberang perbatasan Xinjiang—muncul sebagai negara pada tahun 1947, secara khusus untuk menjadi tempat perlindungan bagi umat Islam. Sejak saat itu, para pemimpin politik, militer, dan agama di negara itu menggunakan Pakistan untuk memperjuangkan Islam dan membela Muslim di mana pun mereka berada.
Bagaimanapun, Pakistan adalah satu-satunya negara nuklir Muslim, jadi, setidaknya dengan satu ukuran, Pakistan memiliki militer paling kuat dan kapasitas terbesar untuk campur tangan atas nama Muslim yang tertindas di mana pun.
Kecuali, mungkin, jika orang-orang Muslim itu tinggal di China. Beberapa bahkan menggambarkan Pakistan sebagai negara klien China.

Bagaimanapun juga, di negara dan masyarakat yang sangat terpecah belah, ada satu hal yang disetujui oleh semua orang, mulai dari intelijen militer hingga ulama radikal hingga politisi: investasi China sangat penting untuk pembangunan negara dan mungkin untuk meningkatkan kegiatan ekonomi untuk menopang negara dan pasukannya yang besar. Itulah sebabnya ada keheningan di Islamabad—dan mengapa Perdana Menteri Pakistan Imran Khan pura-pura tidak tahu tentang masalah ini ketika ditanya.

Para pria Pakistan yang menikah dengan wanita Uighur telah melihat pasangan mereka menghilang ke kamp tersebut, tetapi tidak menerima bantuan dari pemerintah mereka. China telah menjalankan kampanye propaganda yang keras tentang masalah ini, yang dimulai dari kedutaannya—dan memata-matai warga Uighur di Pakistan sendiri.
Masyarakat Uighur juga tidak bisa mengharapkan banyak simpati dari tetangga Muslim Turki lainnya di seberang perbatasan di Kirgistan, Kazakhstan, atau dari republik Asia Tengah lainnya. Mereka mungkin sama-sama beragama Islam, dan bahkan memiliki sejarah etnis dan budaya yang sama, tetapi semua pemerintah di wilayah tersebut ingin menjalin hubungan baik dengan Beijing, seiring China sedang membangun proyek Sabuk dan Jalan-nya ke arah barat.
Di satu sisi, ada kenyataan geopolitik yang keras, karena negara yang terkurung daratan bergantung pada tetangga yang kuat untuk berdagang. Di sisi lain, ada kecenderungan pemerintah daerah untuk mengunci warga mereka sendiri.
Negara-negara ini hampir tidak memiliki moral untuk mengecam China, bahkan jika mereka memiliki kapasitas untuk melakukannya. Tekanan diplomatik di belakang layar—ditambah dengan kemarahan publik di negara asal mereka—telah memastikan pembebasan warga Uzbek, Kazakh, dan lainnya dari kamp-kamp itu—tetapi simpati itu tidak sampai kepada warga Uighur sendiri.
Bagaimana dengan juru bicara dunia Muslim yang paling menonjol? Iran, Arab Saudi, dan Mesir jauh dari China dan tidak tergantung pada China seperti negara-negara tetangganya. Mereka menyatakan diri mereka sebagai pemimpin dunia Muslim dan wali umat global, yang diharapkan akan membantu orang-orang Muslim yang tertindas. Mereka tentu saja cepat untuk mengeluarkan kecaman, mengeluarkan fatwa, dan menyebut jihad melawan penghinaan terhadap umat Islam—yang paling menonjol menyangkut Palestina tetapi juga di Kashmir dan Myanmar.
Tetapi mereka juga tidak mengatakan apa-apa tentang orang Uighur. Meskipun keamanan dan perdagangannya dijamin oleh Amerika Serikat (AS), dan mengklaim kepemimpinan global tentang masalah-masalah Muslim di seluruh dunia dalam perannya sebagai Penjaga Dua Masjid Suci, namun Arab Saudi sama sekali tidak mengatakan apa pun tentang Uighur.
Iran menyebut dirinya sebagai negara neo-Rashidun—dibuat dengan cara yang sama seperti kekhalifahan pertama dari empat kekhalifahan setelah kematian Nabi Muhammad. Dan seperti halnya kekhalifahan pertama, Iran percaya pada proses mengukir peran untuk dirinya sendiri sebagai kekuatan regional yang dominan di Timur Tengah. Tetapi jika China harus mengunci seluruh populasi Muslim di negeri yang pernah sangat dipengaruhi oleh Kekaisaran Persia, Teheran tidak akan berdebat.
Mesir—rumah budaya besar Islam Arab—telah mengambil satu langkah lebih jauh: Menahan dan mendeportasi Uighur kembali ke China atas perintah Beijing.
Advokasi Islam dan kebersamaan dan solidaritas Muslim adalah dasar moral yang diklaim dari masing-masing negara, seiring masing-masing negara mengingat kembali masa sejarah ketika mereka adalah pusat dunia Muslim. Hari ini, masing-masing dari mereka tunduk pada China—bahkan jika itu tidak perlu.
Untuk melengkapi semua ini, bahkan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) tetap membisu terkait Uighur. Kerja sama memang penting, tapi bagi semua negara ini dan para pemimpin mereka, kerja sama dengan China lebih berharga daripada kerja sama terkait agama.
Di Timur Tengah, bahkan negara-negara yang dapat mengandalkan Amerika Serikat untuk perlindungan dan perdagangan, ingin agar China memasukkan mereka ke dalam jaringan perdagangan Sabuk dan Jalan. Fakta sulit dari masalah ini adalah, bahwa semua rute darat di Sabuk dan Jalan melewati Xinjiang. Jadi, tidak ada yang ingin ada ketidakstabilan di wilayah ini yang mungkin menghambat perdagangan.
Negara-negara mayoritas Muslim yang muncul di luar Timur Tengah, seperti Malaysia dan khususnya Indonesia—negara dengan populasi Muslim terbesar—barangkali memiliki kebebasan dan dorongan paling besar untuk menyuarakan masalah Uighur. Lagi pula, semakin sedikit lalu lintas perdagangan melewati Xinjiang, semakin banyak yang harus melewati perairan yang dikontrol oleh mereka. Tetapi bahkan mereka menyerah pada Beijing. Walau oposisi di kedua negara kadang-kadang berbicara atas nama Uighur, namun suara-suara itu mungkin akan hilang jika mereka masuk ke pemerintahan.
Posisi ini mungkin pragmatis. Tapi itu sangat kontras dengan respons dunia Muslim terhadap ketidakadilan terhadap Muslim yang dilakukan oleh negara-negara Barat atau Israel.
Perlakuan Israel terhadap orang-orang Palestina di wilayah-wilayah pendudukan sangat mengerikan dan sekarang menjadi pembersihan etnis secara terbuka. Tetapi orang-orang Palestina tidak ditahan di kamp-kamp pendidikan ulang dan tidak tunduk pada tingkat pengawasan yang sama dan penghapusan budaya. Orang-orang Uighur di Xinjiang mengalami hal yang lebih buruk. Namun tidak ada ayatullah atau imam yang menyerukan agar China dihapus dari muka bumi.
Keprihatinan orang-orang Barat terhadap keselamatan orang-orang Uighur jauh lebih terbuka dan jelas, meskipun banyak di antara mereka mendapatkan keuntungan dari perdagangan dan hubungan baik dengan China. Bahkan ketika mereka menyadari bahwa mereka memiliki sedikit kekuasaan dan pengaruh terhadap kebijakan China di Xinjiang, banyak pemimpin Barat tetap angkat bicara—meskipun ada juga pengecualian memalukan, seperti Selandia Baru. Mereka bertindak bukan atas dasar agama yang sama, tetapi atas dasar kemanusiaan yang sama.
Tidak ada keraguan bahwa jika Turki, Mesir, Arab Saudi, dan yang lainnya tidak mendapatkan apa-apa dari China, akan ada seruan jihad untuk melawan Beijing sekarang. Menyerukan perang melawan orang-orang yang menindas umat Islam adalah salah satu cara yang paling dapat diandalkan dalam sejarah untuk menjadi pemimpin Muslim mana pun.
Tetapi ketika Beijing ingin menjadi teman Anda, solidaritas Muslim hanya menjadi anakronisme yang merepotkan. Untuk semua wacana di dunia Muslim bahwa pemerintah Barat secara moral korup dan munafik tentang hak asasi manusia—dan Barat tentu saja telah kehilangan komitmennya terhadap nilai-nilai universal—pemerintah Muslim bahkan nyaris tidak berusaha berpura-pura bahwa solidaritas agama menuntut mereka untuk bersuara mendukung sesama Muslim Uighur. Mereka juga tidak menawarkan perlindungan yang aman bagi mereka yang membutuhkan.
Namun ironi tertinggi adalah bahwa pemerintahan Donald Trump adalah yang paling kuat dalam kecamannya terhadap Beijing atas perlakuannya terhadap Uighur. Pemerintahan seorang pria yang menyerukan “penghentian penuh bagi Muslim untuk memasuki Amerika Serikat”, telah menunjukkan lebih banyak nilai moral dan solidaritas manusia dengan kaum Uighur Xinjiang daripada setiap pemimpin besar negara Muslim mana pun di dunia.
Amerika Serikat memiliki kerugian yang jauh lebih sedikit untuk melakukan hal itu, tentu saja—dan pertikaian terhadap China mungkin juga telah berkontribusi. Dan bahkan ketika pemerintah Amerika yang secara naluriah memusuhi umat Islam telah tergerak untuk menyuarakan perlindungan terhadap kaum Uighur atas dasar kemanusiaan, hal itu memperlihatkan kekosongan solidaritas Muslim yang tak putus-putusnya dari dunia Muslim.
https://foreignpolicy.com/2019/07/08...g-the-uighurs/
SUMBER
semua bertekut lutut pada china ?

oh ya, jangan mengira trump baik hati mo nolong uighur ya
saat itu masih perang dagang
"musuh dari musuhku adalah temanku"










greedaon dan 3 lainnya memberi reputasi
4
3.6K
Kutip
36
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan