- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
PUISI UNTUK NADIA


TS
royani1975
PUISI UNTUK NADIA
CERPEN BULAN JULI 2019

PUISI UNTUK NADIA
By : ROYYANI ERLANGGA
‘’Menikah kok sama penyair, alamat kelaparan perutmu seumur hidup! Menikah itu dengan pengusaha. Selamanya kamu perutmu akan kenyang dan tak kekurangan uang!’’
Jlebb! Satu kalimat telak itu kudengar langsung di telinga, orang tua Nadia mencak-mencak mengamuk pada dirinya tepat di depan mukaku. Ia adalah gadis yang telah kupacari selama dua tahun belakangan ini. Ayahnya begitu kalap ketika aku datang ke rumahnya, bermaksud melamar putrinya kala itu.
‘’Apa pekerjaanmu sekarang anak muda? Boleh aku tahu?’’ selidiknya dengan tatapan dingin menghujam dada. Tangan kirinya memegang sebatang rokok, sementara tangan kirinya bersiap menyalakan korek api. Ia duduk lurus menghadap mukaku dengan kaki menyilang ke atas. Arogan sekali pembawaannya.
Seluruh ruangan tamu rumah Nadia mendadak benar-benar terasa sesak dan panas. Aku seperti seorang terpidana yang duduk di kursi pesakitan yang tengah diinterogasi jaksa saja.
Menghadapi pertanyaan seperti itu jelas aku tidak siap. Meski hal tersebut sudah bisa kuramal sebelumnya, bahwa cepat atau lambat pertanyaan demikian itu akan kudapati juga.
Sesaat aku kehilangan kata-kata. Bingung, tak tahu harus menjawab apa. Sebab pada kenyataannya aku memang tak punya pekerjaan jelas sampai detik hari ini. Keseharianku hanyalah tinggal di warung kakak perempuanku satu-satunya yang berjualan sembako di pasar dan di rumah. Di sana aku membantu mengangkat barang-barang berat yang baru turun dari mobil sales. Kadangkala ikut ke tempat agen, ikut berbelanja barang jika stok barang di toko mulai habis, juga hal lainnya terkait urusan toko.
Iya, tak ada hal lain selain pekerjaan itu. Usai dari toko kakakku malam harinya aku iseng mencoret-coret kertas dengan kalimat yang orang sering bilang itu ‘’puisi’’, walau sebenarnya aku juga tak tahu apakah itu puisi ataukah tidak. Karena sejujurnya aku buta urusan dunia sastra. Terkadang sesekali aku juga mencoba mengunggahnya di akun sosial mediaku dan banyak mendapat sambutan baik.
Bahkan saking seringnya menulis di wall pribadi akunku tersebut, teman-teman menjulukiku penyair. Padahal, sumpah demi Tuhan julukan itu terdengar berlebih di telinga. Aku hanya suka menulis. Dan jujur aku merasa kurang nyaman akan sebutan tersebut.
Ayah Nadia masih menatap tajam mukaku. Tubuhkmu mulai gemetar. Mendadak otakku tak bisa berpikir. Aku kesulitan mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Apakah bila aku jujur, mengatakan bahwa aku ini hanya berkerja di warung kakakku saja dia nanti akan merestuiku?
‘’Kenapa? Kok diam? Punya pekerjaan tidak untuk menghidupi anakku kelak?’’ dia terus merangsek mengajukan pertanyaannya. Sementara Nadia yang waktu itu duduk diapit ayah dan ibunya hanya bisa tertunduk memandangi lantai. Jemarinya yang lentik gemetar meremas-remas ujung roknya yang berwarna merah jambu. Beberapa kali bahkan kulihat wajahnya tampak gusar dan matanya berkaca-kaca, menanti keputusan sang ayah mengenai hubungan kami berdua.
‘’Kuulangi pertanyaanku. Apa pekerjaanmu? Jawablah dengan jujur,’’ tanya orang tua itu lagi dengan raut muka tak sabar, menanti jawabanku.
‘’Saya hanya membantu pekerjaan kakak saja di toko, Pak. Bantu-bantu berjualan,’’ jawabku jujur.
Lega rasanya! Aku tak mau jadi penipu walau secara penampilan orang yang mendengar pengakuanku pasti akan sangat terkejut. Karena bila diperhatikan lebih jauh, orang tentu mengira aku adalah pegawai kantoran dengan gaji lumayan tinggi. Atau paling tidak seorang bos besar yang memiliki banyak bisnis di banyak tempat.
Tapi nyatanya tidak! Aku tak lebih dari seorang kacung buat kakak perempuanku sendiri. Tidak lebih dari itu.
‘’Jadi semacam pembantu saja ya?’’ balasnya dengan nada sinis. Matanya lalu menyapu dari ujung kaki hingga kepalaku. Dan sekarang mata itu sudah berpindah menatap wajahku kembali lekat-lekat.
Sumpah demi Tuhan, aku tak berani membalas tatapannya. Sama seperti Nadia yang duduk persis tepat di hadapanku menundukkan wajahnya, akupun melakukan hal yang sama. Kemudian seperti yang telah kuduga, tak butuh waktu lama orang tua itu mengeluarkan suara yang mengubah duniaku seketika!
**
Dua tahun yang lalu aku mengenal Nadia di warung kakakku. Saat itu aku baru lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan. Sementara untuk mengisi luang sembari menanti surat lamaranku diterima perusahaan, aku membantu kerepotan kakakku di toko.
Cukup lama memang menantikan sebuah pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan skill yang aku pelajari saat di bangku kuliah dulu. Waktu selama itu, aku pergunakan membantu kakakku sembari terus mencari lowongan kerja yang bisa kumasuki. Dan seperti yang kukatakan tadi di atas, mengenai kebisaanku menulis beberapa kalimat yang menurut pendapat orang-orang adalah puisi itu hanya menyalurkan hobi saja. Sebab aku suka merangkai kata indah.
Nadia, gadis hitam manis berambut sebahu itu setiap hari selalu datang ke toko kakakku. Sejak kecil aku kurang begitu mengenal dirinya. Karena selepas SMP, aku melanjutkan sekolah SMA dan kuliah di luar kota. Pulang ke rumah sangat jarang. Karena hari liburku lebih banyak kuisi dengan mencari pekerjaan sampingan yang upahnya kupakai untuk menopang kehidupanku selama ngekos jauh dari orang tua.
Ia datang ke toko untuk belanja bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Sebab orang tuanya memberi makan banyak para karyawan yang berkerja di pabrik tempe miliknya. Itu belum termasuk orang-orang yang merawat sawah ladangnya yang terhampar luas. Ya, orang tua Nadia sangat kaya.
Keluarga Nadia orang terpandang di desa tetangga kami. Saat itu toko kakakku menjadi yang terbesar di antara toko-toko yang lain. Hingga orang di luar kampung ikut berbondong berbelanja ke tempat kakakku, termasuk juga orang tua Nadia.
**
‘’Kak, tolong maafkan Nadia. Aku sangat mencintai kakak, tapi aku juga tak mau menjadi anak yang durhaka pada orang tua.’’ Nadia berkata sendu dan berdiri di sampingku. Memandang sawah ladangnya yang terbentang jauh dari ujung timur tepi kampung hingga menyeberang sampai ke tepi barat berbatasan dengan luas wilayah desaku. Pemandangan padi yang menguning di kelillingi perbukitan hijau pohon jagung di seberangnya yang ternyata masih milik keluarga Nadia, tak mampu menenangkan jiwaku. Meredam patah hatiku saat itu.
Aku merasa benar-benar terlalu kecil untuknya, jika mengingat apa yang dimiliki keluarga Nadia. Meski sakit, aku harus merelakan wanita yang kusayangi bersanding dengan lelaki lain atas perjodohan orang tuanya. Nadia dinikahkan dengan pemuda kaya raya yang kuketahui memang seorang pengusaha dari kota.
Cocok dengan sindirannya kala itu pada saat menolak lamaranku. Di mana ia diminta ayahnya menikah dengan pengusaha ketimbang dengan penyair. Walau sebenarnya aku bukanlah penyair seperti yang orang tua itu tuduhkan terhadapku.
Aku sangat tahu diri sekali. Maka pada saat dia telah dipinang oleh pria lain, kuputuskan menjauhi dirinya. Dan pada saat yang sama, lamaran yang kuajukan pada salah satu perusahaan besar beberapa waktu yang lalu, resmi menerimaku sebagai pegawainya.
Bukankah Tuhan itu sangat adil kepada semua hamba-Nya? Aku bukan berasal dari keluarga kaya. Jadi wajarlah bila kedua orang tua Nadia menolakku dan memilihkan lelaki lain untuk anak gadisnya. Aku bisa memaklumi keputusan itu, walau jujur aku memang sakit hati sekali dipandang dan direndahkan oleh orang tua Nadia.
**
Rumah mungilku yang kubeli dari hasil jerih payahku berkerja di kota, hari ini ramai dikunjungi orang-orang terdekatku, termasuk juga para tetangga. Dengan ekspresi ceria mereka ikut berbahagia menyambut hari bahagiaku. Hampir dipastikan yang mengenalku datang berbondong-bondong, membantu keperluan ibu dan kakak perempuanku, terkait acara yang akan kuselenggarakan sebentar lagi.
Ini hari spesial dalam hidupku, karena aku akan datang ke rumah seorang gadis untuk melamar. Sejak aku ditinggal menikah oleh Nadia lima tahun yang lalu, baru sekarang kutemukan pengganti dirinya.
Perempuan yang akan menjadi istriku bernama Dahlia. Ia seorang bisnis women yang kukenal saat aku diutus oleh kantorku, menangani proyek yang berkerja sama dengan perusahaan milik Dahlia. Lalu dari sana kedekatan kami berawal, hingga akhirnya memutuskan untuk hidup bersama di dalam ikatan pernikahan.
Orang-orang masih ramai terdengar membicarakan aku di luar. Beberapa ibu-ibu bahkan tega membanding-bandingkan sosok Dahlia dengan Nadia. Dan itu cukup mengganggu hatiku.
Bagiku nama Nadia sudah hilang dan jadi bagian masa lalu yang hanya cukup dikenang saja tidak harus diulang kembali. Sebab masing-masing kami telah memiliki pasangan. Tapi kasak-kusuk di luar semakin lama semakin membuatku bertambah penasaran. Mengapa ibu-ibu itu sangat antusias sekali membanding-bandingkan wanita-wanita itu, antara Nadia dan Diana. Ada apakah gerangan?
Karena penasaran, aku yang sedari tadi berada di dalam kamar dan sudah berpakaian rapi memutuskan keluar. Supaya mereka tidak curiga, aku berpura-pura mencari kakakku dan berkata ingin menanyakan sesuatu.
Dengan tubuh sedikit gemetar, aku berjalan mendekati salah satu tetanggaku yang sedang duduk bergerombol menata puluhan parcel yang akan kuberikan pada keluarga Dahlia. Bersama keempat ibu-ibu lainnya, mereka tampak sedang sibuk mengemas aneka barang bawaan yang akan kubawa nanti. Sementara aku berdiri menjaga jarak agar tidak ketahuan menguntit pembicaraan mereka.
‘’Nasib orang tak ada yang menyangka ya? Orang yang dulunya amat dikagumi dan dihormati orang sekarang jadi apa. Makanya jadi manusia jangan suka merendahkan?’’ ujar Mbak Zaenab sembari mengikat pita pada sebuah kotak berwarna cokelat berisi bolu susu buatan kakak perempuanku. Ibu berperawakan gemuk dan berbibir tebal tetanggaku itu memang dijuluki orang-orang sebagai perempuan ternyinyir di antara yang lain.
‘’Iya ya, Bu. Sekarang orang tua itu harus menerima hukuman atas pedas lidah yang ia ucapkan dulu. Tua-tua penyakitan. Hartanya ludes buat berobat, masih pula ditambah ditipu menantunya untuk bayar hutang bisnis anak menantunya yang bangkrut. Dan yang lebih tragis lagi setelah harta bendanya habis dikuras, anak gadisnya diceraikan yang sudah hamil lima bulan. Padahal juga sudah memilik dua anak sebelumnya.’’ Timpal Mbak Karni lawan bicara Mbak Zaenab.
‘’Iya, makanya jadi manusia jangan sombong. Mentang-mentang sedang di atas angin, lantas boleh menghina dan merendahkan orang di sekitar dirinya,’’ balas ibu lain yang berbaju kuning. Aku lupa siapa namanya, sebab aku jarang sekali di kampung, bertemu dan berinteraksi dengan mereka. Rumah mungil yang sekarang sedang ramai orang-orang ini jarang kutempati. Menurut pendapatku, rumah ini hanya sekadar investasi buat masa depanku saja. Karena pada kenyataannya, aku juga berjodoh dengan wanita yang berasal dari kota bukan dari kampung, yaitu Dahlia.
‘’Mereka sedang membicarakan mantan pacarmu, Nadia.’’ Suara ibu mengagetkanku. Perempuan tua yang sangat kuhormati dalam hidup itu tiba-tiba sudah berdiri di belakangku bersama kakak perempuanku.
‘’Hidup Nadia sekarang mengenaskan. Orang tuanya jatuh miskin, sakit-sakitan dan sekarang dirinya sendiri juga sudah menjadi janda. Berpisah dengan suaminya setelah mereka diketahui tak punya harta lagi.’’ Kata kakakku acuh seolah tak peduli sembari menggandeng lengan ibuku menuju ke ruang tamu, bergabung dengan para kerabat lain, bersiap-siap mengantar kepergianku ke rumah orang tua Dahlia.
Aku berdiri mematung mendengar ucapan kakakku. Tak pernah membayangkan bila wanita yang dulu sempat amat begitu kucintai, kini memiliki kisah tragis seperti ini. Tapi begitulah hidup. Tak ada yang bisa menebak alur ceritanya. Semua kekuasaan hanya milik Tuhan semata dan manusia hanya tinggal menjalani dan merencanakan. Selebihnya keputusan akhir tetap di tangan-Nya.
Di hatiku sekarang sudah ada Dahlia. Nadia hanya masa lalu. Tak mungkin aku akan kembali bersamanya. Terlepas keadaan dia yang sekarang, aku tak mau menghianati wanita yang telah begitu baik dan tulus menerima dan mencintaiku bukan? Maka kuputuskan, aku tetap menikah dengan Dahlia dan melupakan masa laluku dengan Nadia.
**
Gending Jawa mengalun di seluruh ruangan gedung, tempat yang kusewa untuk menggelar acara resepsi pernikahanku. Dahlia sangat cantik sekali berjalan menyambut kedatanganku di altar. Mengenakan kebaya warna merah marun dengan rambut di sanggul, berhiaskan bunga melati di atasnya sebagai mahkota. Kulitnya yang sudah putih bersih semakin berkilauan, karena ia melakukan perawatan mahal demi bisa tampil prima di hari bahagianya. Senyumnya terus mengembang, menatap mereka yang hadir dan sesekali mencuri pandang ke arahku.
‘’Saya terima nikah dan kimpoinya Dahlia binti Arya Sentosa dengan mas kimpoi seperti yang tersebut di atas!’’ ucapku mantap dan lantang sembari menjabat tangan papa Dahlia yang bernama Arya Sentosa dengan erat. Lega rasanya setelah mengucapkan kalimat itu. Kalimat sebagai bukti kini aku telah bersatu dengan wanita yang aku cintai.
Namun sesaat ketika usai mengucapkan kalimat tadi, mendadak terdengar suara ribut-ribut di meja bagian hidangan tamu. Aku tak tahu persis suara apa itu. Samar kudengar dari perbincangan orang yang hadir, seorang pelayan katering yang kupesan untuk melayani acara hajatan nikahku tersiram sup panas yang dibawa. Ia menjerit. Karena itu mengagetkan semua yang hadir.
Untuk beberapa saat, orang-orang terdiam. Seluruh pandangan mata tertuju pada sesosok wanita yang kini tengah terduduk di lantai dan memegang mukanya. Mungkin saat dia membawa mangkuk besar berisi sup panas tadi disenggol seseorang, sehingga air sup jatuh tepat menyiram mukanya. Kasihan sekali, batinku iba.
Teman dari pelayan itu datang berbondong-bondong, mengerubuti untuk memberikan pertolongan. Aku tak bisa melihat dengan jelas wajah siapa itu. Apakah pelayan lelaki atau perempuan. Sebab pada kenyataannya asisten katering yang kusewa tadi bercampur jenis kelaminnya yang berkerja melayani para tamuku.
‘’Bagaimana saksi? Sah?’’ tanya penghulu kemudian, meneruskan acara. Seolah suara keributan tersebut tidak menganggu jalannya momen sakral ini.
‘’Sah….!’’ jawab para saksi yang hadir.
Senyum Dahlia mengembang manis. Kami saling melirik tersipu, setelah penghulu menetapkan kami sebagai pasangan resmi suami istri. Aroma bunga surga serentak menyeruak memenuhi rongga dadaku. Bagaimana tidak! Setelah hampir lima tahun lamanya aku melewati masa terpurukku akibat keadaan hidupku saat itu, kini akhirnya Tuhan berkenan mempertemukan jodohku.
Usai mengucapkan ijab qabul, acara selanjutnya adalah resepsi. Oleh penata rias pengantin, aku dan Dahlia diminta bergandengan tangan. Dituntun berjalan menaiki mimbar, untuk sesi pengambilan foto dan berjabat tangan dengan para tamu.
Aku berjalan melintasi kerumunan keributan tadi. Letak panggung itu tempat aku akan menyambut para tamu tepat berada di belakang meja-meja makanan dan minuman yang terhidang.
Tiba-tiba tubuhku gemetar hebat, saat kudapati sesosok wajah wanita yang bagiku sudah tak asing lagi. Lidahku kelu tak bisa berkata apapun. Hanya mampu menatap tubuhnya yang kini tengah duduk bersimpuh. Dan ketika ia menatapku, ekspresi wajahnya juga sama terkejutnya seperti diriku.
Ternyata yang tersiram air sup panas tadi adalah seorang perempuan muda bertubuh ceking. Akan tetapi mungkin pengaruh beban dan tekanan hidup yang dialami, wajahnya berubah drastis. Lebih tua dari ukuran usia yang sebenarnya.
Wajahnya melepuh merah. Ia memegangi mukanya tampak menahan sakit. Badannya sangat kurus. Matanya cekung. Kulitnya tak lagi putih dan bersih, melainkan keriput dan kusam. Dan sekarang wanita bertubuh tipis tersebut tengah memandangku dengan selaksa penyesalan yang sangat sulit dia ungkapkan. Nadia!
SUMBER GAMBAR : PIXABAY
JEPARA, AWAL JULI 2019
#BELAJARBERSAMABISA#

PUISI UNTUK NADIA
By : ROYYANI ERLANGGA
‘’Menikah kok sama penyair, alamat kelaparan perutmu seumur hidup! Menikah itu dengan pengusaha. Selamanya kamu perutmu akan kenyang dan tak kekurangan uang!’’
Jlebb! Satu kalimat telak itu kudengar langsung di telinga, orang tua Nadia mencak-mencak mengamuk pada dirinya tepat di depan mukaku. Ia adalah gadis yang telah kupacari selama dua tahun belakangan ini. Ayahnya begitu kalap ketika aku datang ke rumahnya, bermaksud melamar putrinya kala itu.
‘’Apa pekerjaanmu sekarang anak muda? Boleh aku tahu?’’ selidiknya dengan tatapan dingin menghujam dada. Tangan kirinya memegang sebatang rokok, sementara tangan kirinya bersiap menyalakan korek api. Ia duduk lurus menghadap mukaku dengan kaki menyilang ke atas. Arogan sekali pembawaannya.
Seluruh ruangan tamu rumah Nadia mendadak benar-benar terasa sesak dan panas. Aku seperti seorang terpidana yang duduk di kursi pesakitan yang tengah diinterogasi jaksa saja.
Menghadapi pertanyaan seperti itu jelas aku tidak siap. Meski hal tersebut sudah bisa kuramal sebelumnya, bahwa cepat atau lambat pertanyaan demikian itu akan kudapati juga.
Sesaat aku kehilangan kata-kata. Bingung, tak tahu harus menjawab apa. Sebab pada kenyataannya aku memang tak punya pekerjaan jelas sampai detik hari ini. Keseharianku hanyalah tinggal di warung kakak perempuanku satu-satunya yang berjualan sembako di pasar dan di rumah. Di sana aku membantu mengangkat barang-barang berat yang baru turun dari mobil sales. Kadangkala ikut ke tempat agen, ikut berbelanja barang jika stok barang di toko mulai habis, juga hal lainnya terkait urusan toko.
Iya, tak ada hal lain selain pekerjaan itu. Usai dari toko kakakku malam harinya aku iseng mencoret-coret kertas dengan kalimat yang orang sering bilang itu ‘’puisi’’, walau sebenarnya aku juga tak tahu apakah itu puisi ataukah tidak. Karena sejujurnya aku buta urusan dunia sastra. Terkadang sesekali aku juga mencoba mengunggahnya di akun sosial mediaku dan banyak mendapat sambutan baik.
Bahkan saking seringnya menulis di wall pribadi akunku tersebut, teman-teman menjulukiku penyair. Padahal, sumpah demi Tuhan julukan itu terdengar berlebih di telinga. Aku hanya suka menulis. Dan jujur aku merasa kurang nyaman akan sebutan tersebut.
Ayah Nadia masih menatap tajam mukaku. Tubuhkmu mulai gemetar. Mendadak otakku tak bisa berpikir. Aku kesulitan mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Apakah bila aku jujur, mengatakan bahwa aku ini hanya berkerja di warung kakakku saja dia nanti akan merestuiku?
‘’Kenapa? Kok diam? Punya pekerjaan tidak untuk menghidupi anakku kelak?’’ dia terus merangsek mengajukan pertanyaannya. Sementara Nadia yang waktu itu duduk diapit ayah dan ibunya hanya bisa tertunduk memandangi lantai. Jemarinya yang lentik gemetar meremas-remas ujung roknya yang berwarna merah jambu. Beberapa kali bahkan kulihat wajahnya tampak gusar dan matanya berkaca-kaca, menanti keputusan sang ayah mengenai hubungan kami berdua.
‘’Kuulangi pertanyaanku. Apa pekerjaanmu? Jawablah dengan jujur,’’ tanya orang tua itu lagi dengan raut muka tak sabar, menanti jawabanku.
‘’Saya hanya membantu pekerjaan kakak saja di toko, Pak. Bantu-bantu berjualan,’’ jawabku jujur.
Lega rasanya! Aku tak mau jadi penipu walau secara penampilan orang yang mendengar pengakuanku pasti akan sangat terkejut. Karena bila diperhatikan lebih jauh, orang tentu mengira aku adalah pegawai kantoran dengan gaji lumayan tinggi. Atau paling tidak seorang bos besar yang memiliki banyak bisnis di banyak tempat.
Tapi nyatanya tidak! Aku tak lebih dari seorang kacung buat kakak perempuanku sendiri. Tidak lebih dari itu.
‘’Jadi semacam pembantu saja ya?’’ balasnya dengan nada sinis. Matanya lalu menyapu dari ujung kaki hingga kepalaku. Dan sekarang mata itu sudah berpindah menatap wajahku kembali lekat-lekat.
Sumpah demi Tuhan, aku tak berani membalas tatapannya. Sama seperti Nadia yang duduk persis tepat di hadapanku menundukkan wajahnya, akupun melakukan hal yang sama. Kemudian seperti yang telah kuduga, tak butuh waktu lama orang tua itu mengeluarkan suara yang mengubah duniaku seketika!
**
Dua tahun yang lalu aku mengenal Nadia di warung kakakku. Saat itu aku baru lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan. Sementara untuk mengisi luang sembari menanti surat lamaranku diterima perusahaan, aku membantu kerepotan kakakku di toko.
Cukup lama memang menantikan sebuah pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan skill yang aku pelajari saat di bangku kuliah dulu. Waktu selama itu, aku pergunakan membantu kakakku sembari terus mencari lowongan kerja yang bisa kumasuki. Dan seperti yang kukatakan tadi di atas, mengenai kebisaanku menulis beberapa kalimat yang menurut pendapat orang-orang adalah puisi itu hanya menyalurkan hobi saja. Sebab aku suka merangkai kata indah.
Nadia, gadis hitam manis berambut sebahu itu setiap hari selalu datang ke toko kakakku. Sejak kecil aku kurang begitu mengenal dirinya. Karena selepas SMP, aku melanjutkan sekolah SMA dan kuliah di luar kota. Pulang ke rumah sangat jarang. Karena hari liburku lebih banyak kuisi dengan mencari pekerjaan sampingan yang upahnya kupakai untuk menopang kehidupanku selama ngekos jauh dari orang tua.
Ia datang ke toko untuk belanja bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Sebab orang tuanya memberi makan banyak para karyawan yang berkerja di pabrik tempe miliknya. Itu belum termasuk orang-orang yang merawat sawah ladangnya yang terhampar luas. Ya, orang tua Nadia sangat kaya.
Keluarga Nadia orang terpandang di desa tetangga kami. Saat itu toko kakakku menjadi yang terbesar di antara toko-toko yang lain. Hingga orang di luar kampung ikut berbondong berbelanja ke tempat kakakku, termasuk juga orang tua Nadia.
**
‘’Kak, tolong maafkan Nadia. Aku sangat mencintai kakak, tapi aku juga tak mau menjadi anak yang durhaka pada orang tua.’’ Nadia berkata sendu dan berdiri di sampingku. Memandang sawah ladangnya yang terbentang jauh dari ujung timur tepi kampung hingga menyeberang sampai ke tepi barat berbatasan dengan luas wilayah desaku. Pemandangan padi yang menguning di kelillingi perbukitan hijau pohon jagung di seberangnya yang ternyata masih milik keluarga Nadia, tak mampu menenangkan jiwaku. Meredam patah hatiku saat itu.
Aku merasa benar-benar terlalu kecil untuknya, jika mengingat apa yang dimiliki keluarga Nadia. Meski sakit, aku harus merelakan wanita yang kusayangi bersanding dengan lelaki lain atas perjodohan orang tuanya. Nadia dinikahkan dengan pemuda kaya raya yang kuketahui memang seorang pengusaha dari kota.
Cocok dengan sindirannya kala itu pada saat menolak lamaranku. Di mana ia diminta ayahnya menikah dengan pengusaha ketimbang dengan penyair. Walau sebenarnya aku bukanlah penyair seperti yang orang tua itu tuduhkan terhadapku.
Aku sangat tahu diri sekali. Maka pada saat dia telah dipinang oleh pria lain, kuputuskan menjauhi dirinya. Dan pada saat yang sama, lamaran yang kuajukan pada salah satu perusahaan besar beberapa waktu yang lalu, resmi menerimaku sebagai pegawainya.
Bukankah Tuhan itu sangat adil kepada semua hamba-Nya? Aku bukan berasal dari keluarga kaya. Jadi wajarlah bila kedua orang tua Nadia menolakku dan memilihkan lelaki lain untuk anak gadisnya. Aku bisa memaklumi keputusan itu, walau jujur aku memang sakit hati sekali dipandang dan direndahkan oleh orang tua Nadia.
**
Rumah mungilku yang kubeli dari hasil jerih payahku berkerja di kota, hari ini ramai dikunjungi orang-orang terdekatku, termasuk juga para tetangga. Dengan ekspresi ceria mereka ikut berbahagia menyambut hari bahagiaku. Hampir dipastikan yang mengenalku datang berbondong-bondong, membantu keperluan ibu dan kakak perempuanku, terkait acara yang akan kuselenggarakan sebentar lagi.
Ini hari spesial dalam hidupku, karena aku akan datang ke rumah seorang gadis untuk melamar. Sejak aku ditinggal menikah oleh Nadia lima tahun yang lalu, baru sekarang kutemukan pengganti dirinya.
Perempuan yang akan menjadi istriku bernama Dahlia. Ia seorang bisnis women yang kukenal saat aku diutus oleh kantorku, menangani proyek yang berkerja sama dengan perusahaan milik Dahlia. Lalu dari sana kedekatan kami berawal, hingga akhirnya memutuskan untuk hidup bersama di dalam ikatan pernikahan.
Orang-orang masih ramai terdengar membicarakan aku di luar. Beberapa ibu-ibu bahkan tega membanding-bandingkan sosok Dahlia dengan Nadia. Dan itu cukup mengganggu hatiku.
Bagiku nama Nadia sudah hilang dan jadi bagian masa lalu yang hanya cukup dikenang saja tidak harus diulang kembali. Sebab masing-masing kami telah memiliki pasangan. Tapi kasak-kusuk di luar semakin lama semakin membuatku bertambah penasaran. Mengapa ibu-ibu itu sangat antusias sekali membanding-bandingkan wanita-wanita itu, antara Nadia dan Diana. Ada apakah gerangan?
Karena penasaran, aku yang sedari tadi berada di dalam kamar dan sudah berpakaian rapi memutuskan keluar. Supaya mereka tidak curiga, aku berpura-pura mencari kakakku dan berkata ingin menanyakan sesuatu.
Dengan tubuh sedikit gemetar, aku berjalan mendekati salah satu tetanggaku yang sedang duduk bergerombol menata puluhan parcel yang akan kuberikan pada keluarga Dahlia. Bersama keempat ibu-ibu lainnya, mereka tampak sedang sibuk mengemas aneka barang bawaan yang akan kubawa nanti. Sementara aku berdiri menjaga jarak agar tidak ketahuan menguntit pembicaraan mereka.
‘’Nasib orang tak ada yang menyangka ya? Orang yang dulunya amat dikagumi dan dihormati orang sekarang jadi apa. Makanya jadi manusia jangan suka merendahkan?’’ ujar Mbak Zaenab sembari mengikat pita pada sebuah kotak berwarna cokelat berisi bolu susu buatan kakak perempuanku. Ibu berperawakan gemuk dan berbibir tebal tetanggaku itu memang dijuluki orang-orang sebagai perempuan ternyinyir di antara yang lain.
‘’Iya ya, Bu. Sekarang orang tua itu harus menerima hukuman atas pedas lidah yang ia ucapkan dulu. Tua-tua penyakitan. Hartanya ludes buat berobat, masih pula ditambah ditipu menantunya untuk bayar hutang bisnis anak menantunya yang bangkrut. Dan yang lebih tragis lagi setelah harta bendanya habis dikuras, anak gadisnya diceraikan yang sudah hamil lima bulan. Padahal juga sudah memilik dua anak sebelumnya.’’ Timpal Mbak Karni lawan bicara Mbak Zaenab.
‘’Iya, makanya jadi manusia jangan sombong. Mentang-mentang sedang di atas angin, lantas boleh menghina dan merendahkan orang di sekitar dirinya,’’ balas ibu lain yang berbaju kuning. Aku lupa siapa namanya, sebab aku jarang sekali di kampung, bertemu dan berinteraksi dengan mereka. Rumah mungil yang sekarang sedang ramai orang-orang ini jarang kutempati. Menurut pendapatku, rumah ini hanya sekadar investasi buat masa depanku saja. Karena pada kenyataannya, aku juga berjodoh dengan wanita yang berasal dari kota bukan dari kampung, yaitu Dahlia.
‘’Mereka sedang membicarakan mantan pacarmu, Nadia.’’ Suara ibu mengagetkanku. Perempuan tua yang sangat kuhormati dalam hidup itu tiba-tiba sudah berdiri di belakangku bersama kakak perempuanku.
‘’Hidup Nadia sekarang mengenaskan. Orang tuanya jatuh miskin, sakit-sakitan dan sekarang dirinya sendiri juga sudah menjadi janda. Berpisah dengan suaminya setelah mereka diketahui tak punya harta lagi.’’ Kata kakakku acuh seolah tak peduli sembari menggandeng lengan ibuku menuju ke ruang tamu, bergabung dengan para kerabat lain, bersiap-siap mengantar kepergianku ke rumah orang tua Dahlia.
Aku berdiri mematung mendengar ucapan kakakku. Tak pernah membayangkan bila wanita yang dulu sempat amat begitu kucintai, kini memiliki kisah tragis seperti ini. Tapi begitulah hidup. Tak ada yang bisa menebak alur ceritanya. Semua kekuasaan hanya milik Tuhan semata dan manusia hanya tinggal menjalani dan merencanakan. Selebihnya keputusan akhir tetap di tangan-Nya.
Di hatiku sekarang sudah ada Dahlia. Nadia hanya masa lalu. Tak mungkin aku akan kembali bersamanya. Terlepas keadaan dia yang sekarang, aku tak mau menghianati wanita yang telah begitu baik dan tulus menerima dan mencintaiku bukan? Maka kuputuskan, aku tetap menikah dengan Dahlia dan melupakan masa laluku dengan Nadia.
**
Gending Jawa mengalun di seluruh ruangan gedung, tempat yang kusewa untuk menggelar acara resepsi pernikahanku. Dahlia sangat cantik sekali berjalan menyambut kedatanganku di altar. Mengenakan kebaya warna merah marun dengan rambut di sanggul, berhiaskan bunga melati di atasnya sebagai mahkota. Kulitnya yang sudah putih bersih semakin berkilauan, karena ia melakukan perawatan mahal demi bisa tampil prima di hari bahagianya. Senyumnya terus mengembang, menatap mereka yang hadir dan sesekali mencuri pandang ke arahku.
‘’Saya terima nikah dan kimpoinya Dahlia binti Arya Sentosa dengan mas kimpoi seperti yang tersebut di atas!’’ ucapku mantap dan lantang sembari menjabat tangan papa Dahlia yang bernama Arya Sentosa dengan erat. Lega rasanya setelah mengucapkan kalimat itu. Kalimat sebagai bukti kini aku telah bersatu dengan wanita yang aku cintai.
Namun sesaat ketika usai mengucapkan kalimat tadi, mendadak terdengar suara ribut-ribut di meja bagian hidangan tamu. Aku tak tahu persis suara apa itu. Samar kudengar dari perbincangan orang yang hadir, seorang pelayan katering yang kupesan untuk melayani acara hajatan nikahku tersiram sup panas yang dibawa. Ia menjerit. Karena itu mengagetkan semua yang hadir.
Untuk beberapa saat, orang-orang terdiam. Seluruh pandangan mata tertuju pada sesosok wanita yang kini tengah terduduk di lantai dan memegang mukanya. Mungkin saat dia membawa mangkuk besar berisi sup panas tadi disenggol seseorang, sehingga air sup jatuh tepat menyiram mukanya. Kasihan sekali, batinku iba.
Teman dari pelayan itu datang berbondong-bondong, mengerubuti untuk memberikan pertolongan. Aku tak bisa melihat dengan jelas wajah siapa itu. Apakah pelayan lelaki atau perempuan. Sebab pada kenyataannya asisten katering yang kusewa tadi bercampur jenis kelaminnya yang berkerja melayani para tamuku.
‘’Bagaimana saksi? Sah?’’ tanya penghulu kemudian, meneruskan acara. Seolah suara keributan tersebut tidak menganggu jalannya momen sakral ini.
‘’Sah….!’’ jawab para saksi yang hadir.
Senyum Dahlia mengembang manis. Kami saling melirik tersipu, setelah penghulu menetapkan kami sebagai pasangan resmi suami istri. Aroma bunga surga serentak menyeruak memenuhi rongga dadaku. Bagaimana tidak! Setelah hampir lima tahun lamanya aku melewati masa terpurukku akibat keadaan hidupku saat itu, kini akhirnya Tuhan berkenan mempertemukan jodohku.
Usai mengucapkan ijab qabul, acara selanjutnya adalah resepsi. Oleh penata rias pengantin, aku dan Dahlia diminta bergandengan tangan. Dituntun berjalan menaiki mimbar, untuk sesi pengambilan foto dan berjabat tangan dengan para tamu.
Aku berjalan melintasi kerumunan keributan tadi. Letak panggung itu tempat aku akan menyambut para tamu tepat berada di belakang meja-meja makanan dan minuman yang terhidang.
Tiba-tiba tubuhku gemetar hebat, saat kudapati sesosok wajah wanita yang bagiku sudah tak asing lagi. Lidahku kelu tak bisa berkata apapun. Hanya mampu menatap tubuhnya yang kini tengah duduk bersimpuh. Dan ketika ia menatapku, ekspresi wajahnya juga sama terkejutnya seperti diriku.
Ternyata yang tersiram air sup panas tadi adalah seorang perempuan muda bertubuh ceking. Akan tetapi mungkin pengaruh beban dan tekanan hidup yang dialami, wajahnya berubah drastis. Lebih tua dari ukuran usia yang sebenarnya.
Wajahnya melepuh merah. Ia memegangi mukanya tampak menahan sakit. Badannya sangat kurus. Matanya cekung. Kulitnya tak lagi putih dan bersih, melainkan keriput dan kusam. Dan sekarang wanita bertubuh tipis tersebut tengah memandangku dengan selaksa penyesalan yang sangat sulit dia ungkapkan. Nadia!
SUMBER GAMBAR : PIXABAY
JEPARA, AWAL JULI 2019
#BELAJARBERSAMABISA#
Diubah oleh royani1975 05-07-2019 10:41




anasabila dan doctorkelinci memberi reputasi
2
810
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan