- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kenapa Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI?


TS
ZenMan1
Kenapa Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia (World Bank/WB) telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 dari yang semula 5,2% menjadi 5,1%. Hal itu disampaikan Bank Dunia dalam laporan kuartalan yang dirilis pada hari Senin (1/7/2019).
Dalam laporannya, penurunan angka ramalan pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor.

Salah satunya adalah harga-harga komoditas ekspor andalan Indonesia yang melemah di tahun 2019, ketimbang tahun sebelumnya.
Bank Dunia mencatat harga komoditas logam dasar telah turun sepanjang dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal I-2019, indeks harga logam dasar turun 12% year-on-year (YoY), sementara kuartal sebelumnya juga amblas hingga 9% YoY.
Selain itu, ada pula harga batu bara Australia yang turun setelah pemerintah China memperketat impornya sejak Februari 2019. China yang merupakan konsumen terbesar batu bara dunia sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga global.
Alhasil, Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia pun juga ikut turun. Berdasarkan catatan Bank Dunia, rata-rata HBA sepanjang kuartal I-2019 turun hingga 7% YoY. Hal itu utamanya disebabkan oleh permintaan batu bara kalori rendah di China dan India yang melemah.
Nasib serupa juga terjadi pada komoditas ekspor agrikultur. Harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) melemah hingga 17% YoY di kuartal I-2019, melanjutkan pelemahan 23% YoY di kuartal sebelumnya. Pelemahan harga CPO masih terus terjadi meskipun pemerintah telah meningkatkan konsumsi minyak sawit domestik dengan program B20.
Anjloknya harga-harga komoditas tersebut akan membuat nilai ekspor terkontraksi. Padahal berdasarkan catatan, jumlah ekspor batu bara dan minyak sawit sepanjang kuartal -2019 naik masing-masing sebesar 10,5% YoY dan 9,8% YoY. Namun karena harga yang melemah, pertumbuhan nilai ekspor keduanya tercatat negatif sekitar 10% YoY.

Dampak dari penurunan harga komoditas adalah nilai investasi yang juga melambat. Pasalnya, imbal hasil investasi yang dihasilkan kala harga-harga komoditas anjlok menjadi tak maksimal. Catatan Bank Dunia memperlihatkan pertumbuhan investasi kuartal I-2019 hanya sebesar 5% atau turun dari posisi kuartal IV-2018 sebesar 6%.
Selain karena komoditas, perlambatan investasi juga disebabkan oleh dua hal lain, yaitu pemilihan umum (pemilu) dan perlambatan belanja infrastruktur pemerintah.
Pemilu memang seringkali menyebabkan investor agak menahan keputusan investasi karena kondisi politik yang serba tak pasti. Sementara belanja infrastruktur pemerintah dilakukan sebagai upaya untuk menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Harapannya, belanja infrastruktur akan menekan impor dan mengurangi beban pada neraca transaksi berjalan.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, belanja infrastruktur tahun 2019 hanya sebesar Rp 415 triliun, atau naik 2,4% YoY. Angka pertumbuhan belanja infrastruktur tersebut jauh di bawah tahun 2018 yang mencapai 5,8%.
Sebagai informasi, pada akhir tahun 2018, CAD Indonesia membengkak menjadi US$ 31 miliar atau setara 2,98% Produk Domestik Bruto (PDB). Angka defisit tersebut merupakan yang paling dalam sejak tahun 2014.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga tercatat melambat menjadi 5,0% di kuartal I-2019. Padahal di kuartal IV-2018, pos konsumsi rumah tangga masih bisa tumbuh hingga 5,1%. Perlambatan konsumsi rumah tangga utamanya disebabkan penurunan konsumsi jasa-jasa, seperti transportasi dan komunikasi. Ada pula penurunan konsumsi hotel dan restoran.
Mengingat konsumsi rumah tangga menyumbang sebagian besar (56,82%) PDB Indonesia, tentu akan sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara umum.
Namun, Bank Dunia memperkirakan ada perbaikan pada neraca transaksi berjalan di tahun 2019. Proyeksi nilai CAD tahun 2019 turun menjadi 2,8% PDB, dari sebelumnya 2,9% PDB.
Perbaikan CAD, sebagaimana yang diprediksi Bank Dunia, utamanya akan disebabkan oleh perlambatan impor. Seiring dengan perlambatan investasi, nilai impor barang juga akan turun. Tanda-tandanya sudah dapat dilihat pada kuartal I-2019 dimana impor barang terkontraksi hingga 6,1% YoY, setelah melonjak 11,8% di kuartal sebelumnya.
Tercatat pada kuartal I-2019, transaksi barang mampu membukukan surplus sebesar US$ 1,1 miliar atau membaik ketimbang kuartal sebelumnya dimana terjadi defisit US$ 2,6 miliar.

Selain karena adanya pengetatan oleh pemerintah, penurunan impor juga diakibatkan oleh harga minyak yang lebih rendah di tahun 2019. Tercatat pada kuartal I-2019 rata-rata harga minyak turun 6% YoY. Mengingat Indonesia adalah net-importir minyak, harga yang lebih rendah artinya lebih sedikit uang yang berhamburan ke luar negeri.
Perlambatan konsumsi masyarakat yang telah dijelaskan sebelumnya juga akan berakibat pada penurunan nilai impor.
sumur
https://www.cnbcindonesia.com/news/2...han-ekonomi-ri
0
1.3K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan