- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Perjuangan Jokowi Lawan Radikalisme di Jajaran Birokrasi


TS
pasti2periode
Perjuangan Jokowi Lawan Radikalisme di Jajaran Birokrasi
Quote:
Presiden Indonesia Joko Widodo meluncurkan kampanye berisiko tinggi untuk menghilangkan radikalisme dari jajaran birokrasi untuk membela sekularisme, seiring meningkatnya radikalisme dan ekstremisme di Indonesia. Reuters mengungkapkan minggu lalu tentang rencana pemerintah baru untuk memperketat pemeriksaan pegawai negeri sipil senior dalam upaya untuk mencegah elemen garis keras untuk menjabat pada posisi utama, dan untuk memastikan bahwa Jokowi mewariskan demokrasi yang sehat pada akhir masa jabatannya yang kedua pada tahun 2024.
Pemerintah Presiden Joko Widodo dan dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia akhirnya tampaknya membentuk front persatuan untuk melawan bahaya radikalisme dan ancamannya terhadap masa depan bangsa sebagai negara sekuler.
Dihadapkan pada perpecahan yang semakin dalam antara masyarakat moderat dan konservatif, dan penetrasi birokrasi dan institusi pendidikan tinggi yang semakin meningkat oleh kelompok Islam radikal, Jokowi berupaya membela ideologi negara Pancasila yang inklusif di negara ini.
Dianggap sebagai jaminan pluralisme dan moderasi dalam masyarakat multi-budaya, Pancasila terdiri dari lima prinsip yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait, yang mencakup ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, demokrasi, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Reuters mengungkapkan minggu lalu tentang rencana pemerintah baru untuk memperketat pemeriksaan pegawai negeri sipil senior dalam upaya untuk mencegah elemen garis keras untuk menjabat pada posisi utama, dan untuk memastikan bahwa Jokowi mewariskan demokrasi yang sehat pada akhir masa jabatannya yang kedua pada tahun 2024.
Itu akan memerlukan pemeriksaan latar belakang yang lebih ketat untuk mengukur kecenderungan politik kandidat di beberapa kementerian terbesar, termasuk Kementerian Keuangan, Urusan Agama, Pendidikan, Kesehatan, Pertahananan, dan Pekerjaan Umum, serta BUMN di bidang pertambangan, minyak bumi, perbankan, media, dan perusahaan penerbangan.
Di bawah rencana itu, sebuah tim yang terdiri dari 12 pejabat, tokoh agama, dan para ahli lainnya, akan bekerja bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan organisasi masyarakat sipil yang baru dibentuk, untuk menyusun tes psikologis baru yang masih belum ditentukan untuk para birokrat eselon atas sebelum akhir tahun.
Tidak hanya itu saja. Seorang pejabat senior pemerintah mengatakan kepada Asia Times bahwa Kementerian Agama telah ditugaskan untuk mengambil kendali yang lebih ketat atas manajemen dan kurikulum 37.300 pesantren, yang banyak di antaranya mengadopsi aturan mereka sendiri.
Hanya 10 persen dari sekolah-sekolah agama saat ini yang berada di bawah pengawasan negara, sedangkan sisanya adalah lembaga swasta yang sering dijalankan oleh ulama Islam konservatif yang satu-satunya tujuan nyatanya adalah indoktrinasi agama radikal.
“Itu semakin di luar kendali,” kata pejabat itu, yang meminta tidak disebutkan namanya. “Banyak anak berusia lima tahun sedang diajarkan hal-hal yang akan sangat sulit untuk diperbaiki nanti.”
Kekhawatiran berpusat pada cara diskriminatif di mana anak-anak di sekolah-sekolah Islam ditanamkan dengan mentalitas “kita” versus “mereka”, yang mendorong mereka untuk memandang rendah agama lain.
Pasca-Pilpres 2019 yang kontroversial—di mana banyak Muslim konservatif memilih menentang Jokowi dan kerusuhan mematikan meletus di Jakarta atas tuduhan kecurangan pemilu—Jokowi sadar bahwa akan ada reaksi keras terhadap gerakan melawan unsur-unsur radikal.
“Dia siap,” kata pejabat itu. “Dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki beban (elektoral) apa pun dalam masa jabatan kedua dan terakhirnya ini, dan bahwa dia harus memikirkan apa yang terbaik untuk negara ini.”
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Duta Besar Indonesia untuk Norwegia (pengacara hak asasi manusia terkemuka) Todung Mulya Lubis, memperingatkan pekan lalu, bahwa jika gagasan ekstremis berakar lebih dalam di antara 260 juta penduduk Indonesia, maka konflik agama akan meletus dan mengarah pada kehancuran utama negara kepulauan yang luas ini.
“Indonesia akan hancur, sama seperti Suriah,” Lubismemperingatkan pada sebuah seminar di Oslo untuk meluncurkan nominasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk Hadiah Nobel Perdamaian 2019, sebagai pengakuan atas upaya mereka untuk mempromosikan toleransi beragama di negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini.
“Tidak pernah dalam sejarah, kita menyaksikan Islam ekstremis dengan segala kebrutalan dan ketidakberadabannya memasuki persaingan politik kita,” kata sang Duta Besar, tampaknya merujuk pada kerusuhan dan kekerasan pada Pemilihan Gubernur Jakarta 2017 dan, yang lebih baru, kerusuhan setelah Pilpres 2019.
“Kali ini para radikalis dan fundamentalis tampaknya bersikeras bahwa (Indonesia) harus diwujudkan ke dalam negara Islam dan hukum syariah,” katanya.
Selama tahap-tahap awal demokrasi di Indonesia, konflik agama dan etnis meletus di Kalimantan Barat dan Tengah, Sulawesi Tengah dan Maluku, di mana pertumpahan darah itu menewaskan sekitar 7.000 jiwa dan menelantarkan sebanyak 900.000 orang.
Para pengamat dari luar telah lama dibuat bingung oleh bagaimana 88 persen mayoritas Muslim Indonesia merasa sebagai minoritas,
meskipun itu sebagian besar dapat dijelaskan dengan kepemilikan yang tidak proporsional oleh etnis minoritas China-Kristen khususnya terhadap ekonomi. 
Didirikan sebelum kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda, NU dan Muhammadiyah sama-sama dipuji karena menghadirkan wajah Islam yang moderat selama 70 tahun pembangunan bangsa, dan dipandang penting untuk membendung gelombang ekstremisme yang sedang tumbuh.
Meskipun para ahli seperti cendekiawan agama Azyumardi Azra mengatakan bahwa pilar-pilar Pancasila sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang mendasar, namun ia khawatir tentang ancaman unsur-unsur radikal terhadap para pemimpin moderat dari dua organisasi tersebut, yang memiliki keanggotaan kolektif sebanyak 100 juta penganut.
Para Islam garis keras berpendapat bahwa klaim Prabowo tentang kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pilpres 2019—yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sebuah putusan yang diumumkan pada 27 Juni—telah merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi, dan bahwa kekhalifahan Islam akan lebih baik menangani masalah lama negara ini.
Perhatian Jokowi tampaknya sejalan dengan survei baru-baru ini yang dilakukan oleh Alvara Research Center yang berbasis di Jakarta, yang menemukan bahwa satu dari lima pegawai negeri sipil Indonesia dan 10 persen karyawan badan usaha milik negara (BUMN) mendukung pembentukan negara Islam.
Temuan survei ini sesuai dengan penelitian Kementerian Pertahanan baru-baru ini, yang menemukan bahwa 19 persen pegawai negeri, 18 persen karyawan swasta, 9 persen pekerja BUMN, dan 3 persen Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak sependapat bahwa Pancasila harus menjadi pedoman negara.
Studi yang sama juga menemukan bahwa 23,3 persen siswa sekolah menengah dan universitas memiliki sentimen yang sama, di suatu negara yang akan mengalami perubahan generasi yang signifikan pada tahun 2024, ketika banyak politisi yang lebih tua diperkirakan akan meninggalkan panggung politik.
Studi Universitas Nahdlatul Ulama yang baru saja dirilis menemukan bahwa universitas-universitas di Yogyakarta dan Jawa Tengah telah terpapar dengan gerakan Islam transnasional, termasuk Tarbiyah, yang terkait dengan Ikhwanul Muslimin, dan berupaya mendirikan negara Islam melalui penetrasi berbahaya terhadap lembaga sosial strategis.
Awal bulan ini, peneliti Ade Armando mengungkapkan dalam sebuah studi terpisah, bahwa Tarbiyah juga telah membangun basis yang kuat di direktorat urusan kemahasiswaan, pendidikan, dan sumber daya manusia di Universitas Indonesia, di mana pegawai negeri sipil melakukan banyak perekrutan.
Klaim agama dan irasional bahwa Jokowi tidak Islami dan memendam simpati komunis, menjelaskan mengapa elemen penting militer—termasuk pasukan pengawal presiden—memilih Prabowo, yang juga tidak bisa dibilang sebagai Muslim yang taat.
“Pancasila semakin pudar,” kata Ryacudu, seorang mantan kepala staf angkatan darat dan sekutu dekat pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Sukarnoputri. “Ini mungkin bukan masalah besar sekarang, tapi itu akan menjadi masalah besar dalam 20-30 tahun mendatang jika kita tidak melakukan apa-apa. Ini akan menentukan akhir bangsa ini.”
Jokowi menandatangani dekrit pada Mei 2018 yang memberi mantan Presiden Megawati Rp112,5 juta sebulan untuk mendanai BPIP, yang panitia pengarahnya juga termasuk Wakil Presiden yang baru terpilih Ma’ruf Amin, mantan Wakil Presiden era Suharto Tri Sutrisno, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Tetapi rencana Jokowi dapat menghadapi perlawanan tidak hanya dari para Islamis, tetapi juga dari jajaran birokrasi yang terobsesi dengan senioritas, dan para aktivis hak asasi manusia khawatir bahwa ini akan kembali seperti pada pemerintahan Suharto, ketika Pancasila digunakan sebagai ujian kesetiaan kepada rezim Orde Baru yang didukung militer.
Penindasan terhadap Islam selama lebih dari tiga dekade Suharto berkuasa, telah berkontribusi pada kebangkitan agama yang bertepatan dengan kelahiran demokrasi pada akhir tahun 1990-an, dan sejak itu memiliki momentumnya sendiri.
Para kritikus menyalahkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena tunduk pada tekanan dari kaum konservatif dan garis keras selama kepresidenan dua periodenya tahun 2004-2014, yang menyaksikan berlakunya undang-undang dan fatwa yang kejam, dan ledakan peraturan agama yang diskriminatif di seluruh wilayah mayoritas Muslim.
Duta Besar Lubis mengatakan bahwa para ekstremis Islam masih menjadi tantangan serius, terutama dengan jejaring global dan media sosial yang menambah kekuatan dalam upaya mereka untuk mengambil alih politik dan akhirnya negara.
“Jika (mereka) berhasil,” katanya, “Indonesia akan berakhir dan, lebih buruk, akan hilang dari peta dunia.”
Pemerintah Presiden Joko Widodo dan dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia akhirnya tampaknya membentuk front persatuan untuk melawan bahaya radikalisme dan ancamannya terhadap masa depan bangsa sebagai negara sekuler.
Dihadapkan pada perpecahan yang semakin dalam antara masyarakat moderat dan konservatif, dan penetrasi birokrasi dan institusi pendidikan tinggi yang semakin meningkat oleh kelompok Islam radikal, Jokowi berupaya membela ideologi negara Pancasila yang inklusif di negara ini.
Dianggap sebagai jaminan pluralisme dan moderasi dalam masyarakat multi-budaya, Pancasila terdiri dari lima prinsip yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait, yang mencakup ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, demokrasi, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Reuters mengungkapkan minggu lalu tentang rencana pemerintah baru untuk memperketat pemeriksaan pegawai negeri sipil senior dalam upaya untuk mencegah elemen garis keras untuk menjabat pada posisi utama, dan untuk memastikan bahwa Jokowi mewariskan demokrasi yang sehat pada akhir masa jabatannya yang kedua pada tahun 2024.
Itu akan memerlukan pemeriksaan latar belakang yang lebih ketat untuk mengukur kecenderungan politik kandidat di beberapa kementerian terbesar, termasuk Kementerian Keuangan, Urusan Agama, Pendidikan, Kesehatan, Pertahananan, dan Pekerjaan Umum, serta BUMN di bidang pertambangan, minyak bumi, perbankan, media, dan perusahaan penerbangan.
Di bawah rencana itu, sebuah tim yang terdiri dari 12 pejabat, tokoh agama, dan para ahli lainnya, akan bekerja bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan organisasi masyarakat sipil yang baru dibentuk, untuk menyusun tes psikologis baru yang masih belum ditentukan untuk para birokrat eselon atas sebelum akhir tahun.
Tidak hanya itu saja. Seorang pejabat senior pemerintah mengatakan kepada Asia Times bahwa Kementerian Agama telah ditugaskan untuk mengambil kendali yang lebih ketat atas manajemen dan kurikulum 37.300 pesantren, yang banyak di antaranya mengadopsi aturan mereka sendiri.
Hanya 10 persen dari sekolah-sekolah agama saat ini yang berada di bawah pengawasan negara, sedangkan sisanya adalah lembaga swasta yang sering dijalankan oleh ulama Islam konservatif yang satu-satunya tujuan nyatanya adalah indoktrinasi agama radikal.
“Itu semakin di luar kendali,” kata pejabat itu, yang meminta tidak disebutkan namanya. “Banyak anak berusia lima tahun sedang diajarkan hal-hal yang akan sangat sulit untuk diperbaiki nanti.”
Kekhawatiran berpusat pada cara diskriminatif di mana anak-anak di sekolah-sekolah Islam ditanamkan dengan mentalitas “kita” versus “mereka”, yang mendorong mereka untuk memandang rendah agama lain.
Pasca-Pilpres 2019 yang kontroversial—di mana banyak Muslim konservatif memilih menentang Jokowi dan kerusuhan mematikan meletus di Jakarta atas tuduhan kecurangan pemilu—Jokowi sadar bahwa akan ada reaksi keras terhadap gerakan melawan unsur-unsur radikal.
“Dia siap,” kata pejabat itu. “Dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki beban (elektoral) apa pun dalam masa jabatan kedua dan terakhirnya ini, dan bahwa dia harus memikirkan apa yang terbaik untuk negara ini.”
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Duta Besar Indonesia untuk Norwegia (pengacara hak asasi manusia terkemuka) Todung Mulya Lubis, memperingatkan pekan lalu, bahwa jika gagasan ekstremis berakar lebih dalam di antara 260 juta penduduk Indonesia, maka konflik agama akan meletus dan mengarah pada kehancuran utama negara kepulauan yang luas ini.
“Indonesia akan hancur, sama seperti Suriah,” Lubismemperingatkan pada sebuah seminar di Oslo untuk meluncurkan nominasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk Hadiah Nobel Perdamaian 2019, sebagai pengakuan atas upaya mereka untuk mempromosikan toleransi beragama di negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini.
“Tidak pernah dalam sejarah, kita menyaksikan Islam ekstremis dengan segala kebrutalan dan ketidakberadabannya memasuki persaingan politik kita,” kata sang Duta Besar, tampaknya merujuk pada kerusuhan dan kekerasan pada Pemilihan Gubernur Jakarta 2017 dan, yang lebih baru, kerusuhan setelah Pilpres 2019.
“Kali ini para radikalis dan fundamentalis tampaknya bersikeras bahwa (Indonesia) harus diwujudkan ke dalam negara Islam dan hukum syariah,” katanya.
Selama tahap-tahap awal demokrasi di Indonesia, konflik agama dan etnis meletus di Kalimantan Barat dan Tengah, Sulawesi Tengah dan Maluku, di mana pertumpahan darah itu menewaskan sekitar 7.000 jiwa dan menelantarkan sebanyak 900.000 orang.
Para pengamat dari luar telah lama dibuat bingung oleh bagaimana 88 persen mayoritas Muslim Indonesia merasa sebagai minoritas,


Didirikan sebelum kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda, NU dan Muhammadiyah sama-sama dipuji karena menghadirkan wajah Islam yang moderat selama 70 tahun pembangunan bangsa, dan dipandang penting untuk membendung gelombang ekstremisme yang sedang tumbuh.
Meskipun para ahli seperti cendekiawan agama Azyumardi Azra mengatakan bahwa pilar-pilar Pancasila sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang mendasar, namun ia khawatir tentang ancaman unsur-unsur radikal terhadap para pemimpin moderat dari dua organisasi tersebut, yang memiliki keanggotaan kolektif sebanyak 100 juta penganut.
Para Islam garis keras berpendapat bahwa klaim Prabowo tentang kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pilpres 2019—yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sebuah putusan yang diumumkan pada 27 Juni—telah merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi, dan bahwa kekhalifahan Islam akan lebih baik menangani masalah lama negara ini.
Perhatian Jokowi tampaknya sejalan dengan survei baru-baru ini yang dilakukan oleh Alvara Research Center yang berbasis di Jakarta, yang menemukan bahwa satu dari lima pegawai negeri sipil Indonesia dan 10 persen karyawan badan usaha milik negara (BUMN) mendukung pembentukan negara Islam.
Temuan survei ini sesuai dengan penelitian Kementerian Pertahanan baru-baru ini, yang menemukan bahwa 19 persen pegawai negeri, 18 persen karyawan swasta, 9 persen pekerja BUMN, dan 3 persen Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak sependapat bahwa Pancasila harus menjadi pedoman negara.
Studi yang sama juga menemukan bahwa 23,3 persen siswa sekolah menengah dan universitas memiliki sentimen yang sama, di suatu negara yang akan mengalami perubahan generasi yang signifikan pada tahun 2024, ketika banyak politisi yang lebih tua diperkirakan akan meninggalkan panggung politik.
Studi Universitas Nahdlatul Ulama yang baru saja dirilis menemukan bahwa universitas-universitas di Yogyakarta dan Jawa Tengah telah terpapar dengan gerakan Islam transnasional, termasuk Tarbiyah, yang terkait dengan Ikhwanul Muslimin, dan berupaya mendirikan negara Islam melalui penetrasi berbahaya terhadap lembaga sosial strategis.
Awal bulan ini, peneliti Ade Armando mengungkapkan dalam sebuah studi terpisah, bahwa Tarbiyah juga telah membangun basis yang kuat di direktorat urusan kemahasiswaan, pendidikan, dan sumber daya manusia di Universitas Indonesia, di mana pegawai negeri sipil melakukan banyak perekrutan.
Klaim agama dan irasional bahwa Jokowi tidak Islami dan memendam simpati komunis, menjelaskan mengapa elemen penting militer—termasuk pasukan pengawal presiden—memilih Prabowo, yang juga tidak bisa dibilang sebagai Muslim yang taat.
“Pancasila semakin pudar,” kata Ryacudu, seorang mantan kepala staf angkatan darat dan sekutu dekat pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Sukarnoputri. “Ini mungkin bukan masalah besar sekarang, tapi itu akan menjadi masalah besar dalam 20-30 tahun mendatang jika kita tidak melakukan apa-apa. Ini akan menentukan akhir bangsa ini.”
Jokowi menandatangani dekrit pada Mei 2018 yang memberi mantan Presiden Megawati Rp112,5 juta sebulan untuk mendanai BPIP, yang panitia pengarahnya juga termasuk Wakil Presiden yang baru terpilih Ma’ruf Amin, mantan Wakil Presiden era Suharto Tri Sutrisno, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Tetapi rencana Jokowi dapat menghadapi perlawanan tidak hanya dari para Islamis, tetapi juga dari jajaran birokrasi yang terobsesi dengan senioritas, dan para aktivis hak asasi manusia khawatir bahwa ini akan kembali seperti pada pemerintahan Suharto, ketika Pancasila digunakan sebagai ujian kesetiaan kepada rezim Orde Baru yang didukung militer.
Penindasan terhadap Islam selama lebih dari tiga dekade Suharto berkuasa, telah berkontribusi pada kebangkitan agama yang bertepatan dengan kelahiran demokrasi pada akhir tahun 1990-an, dan sejak itu memiliki momentumnya sendiri.
Para kritikus menyalahkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena tunduk pada tekanan dari kaum konservatif dan garis keras selama kepresidenan dua periodenya tahun 2004-2014, yang menyaksikan berlakunya undang-undang dan fatwa yang kejam, dan ledakan peraturan agama yang diskriminatif di seluruh wilayah mayoritas Muslim.
Duta Besar Lubis mengatakan bahwa para ekstremis Islam masih menjadi tantangan serius, terutama dengan jejaring global dan media sosial yang menambah kekuatan dalam upaya mereka untuk mengambil alih politik dan akhirnya negara.
“Jika (mereka) berhasil,” katanya, “Indonesia akan berakhir dan, lebih buruk, akan hilang dari peta dunia.”
https://www.asiatimes.com/2019/06/ar...-in-his-midst/
SUMBER


apollion memberi reputasi
1
1.4K
Kutip
7
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan