Baiklah, Gan/Sis. Sebagaimana sewajarnya, saya akan berdongeng lagi. Langsung saja saya mulai.
Spoiler for Dongeng:
Malam Kamis. Waktu itu sudah menjelang tengah malam. Udara desa ini sudah terasa sangat dingin. Aku tengah menghitung keping-keping perak uang upeti yang sengaja kupajaki dari rakyat. Kudengar suara langkah berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. Itu si Galaroang, penasehatku yang tak berguna.
"Mereka tahu bahwa kau bertindak curang!" Bisik Galaroang dengan nada was-was. Dia tampak sangat gugup, hingga deretan giginya yang kuning terdengar bergemeretak.
Aku berhenti menghitung. Kulemparkan keping-keping perak dari tanganku ke tumpukan pundi di bawahnya. "Lalu mereka bisa apa?" tanyaku. Tenang, tapi menantang. "Kalau pun mereka tahu bahwa aku bertindak curang, lalu mereka mau apa? Mereka bisa apa?" Ulangku.
Kening Galaroang mengernyit. Tampaknya dia sedang berpikir, mencoba memahami jawabanku barusan. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. Lalu meludah ke lantai. Gumpalan ludahnya besar dan kental.
Aku tidak mau kalah, aku meludah juga ke lantai. Aku meludah sampai enam kali. Kemudian enam kali lagi. Kemudian, enam kali lagi. Ludahku di lantai jadi lebih banyak. Aku puas. Galaroang memandangi genangan ludahku yang sangat banyak, sambil masih tertawa terbahak-bahak.
"Akan ku penjarakan kalau mereka mencoba macam-macam," bisikku. Galaroang berdiri, seraya dia mencabut goloknya. Kemudian orang yang kuat tapi bodoh itu berjalan keluar, bersiap-siap untuk membunuhi siapa pun yang sudah tahu bahwa aku bertindak curang.
Kubiarkan saja Galaroang bertindak tolol seperti seekor setan buta dan tuli. Toh bukan aku yang nantinya akan dituding sebagai Pembunuh.
Sekian, Gan/Sis,
Ini sekedar presentasi bentuk narasi dan sedikit deskripsi, sepertinya.