- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Keluh Warga Ahmadiyah yang Diusir dari Desanya: Bayangkan Perasan Mas Jika Dipisahkan


TS
sukhoivsf22
Keluh Warga Ahmadiyah yang Diusir dari Desanya: Bayangkan Perasan Mas Jika Dipisahkan
Minggu, 9 Juni 2019 17:01

Kompas.com/fitri)
Lombok Timur, kompas.com warga Ahmadiyah yang masih mengungsi di Lombok timur.
TRIBUNSOLO.COM, LOMBOK TIMUR - Jemaah Ahmadiyah yang tinggal di Dusun Grepek, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur harus kembali merasakan lebaran di tempat pengungsian yang berada di Lokal Latihan Kerja (LLK) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Selong, Lombok Timur.
Sebelumnya pada 19 Mei 2018 lalu, jemaah Ahmadiyah mendapatkan serangan dan pengusiran oleh warga desa setempat yang mengakibatkan rumah mereka rusak dan mereka terpaksa tinggal di LLK.
Jemaah Ahmadiyah yang tinggal di LLK sebanyak delapan kepala keluarga dengan total 24 orang yang terdiri dari 10 anak-anak, tiga lansia, dan 11 orang dewasa.
Sudah satu tahun sudah mereka tinggal di LLK dengan kondisi terbatas. Setiap KK menepati satu ruangan yang berukuran sekitar 3 x 3 meter persegi, dengan dipadati perabot rumah tangga miliknya.
Mereka menggunakan dua dapur bersama-sama untuk memasak.
Edi Sucipto (37), salah satu jemaah Ahmadiah menceritakan bahwa dirinya sangat merindukan lebaran di kampung halamanya dan kumpul bersama keluarga dekatnya.
“Coba banyangkan perasan mas jika dipisahkan secara dipaksa. Tidak bisa berkumpul sama orang tua saat lebaran, pasti sedih. Begitupun kami. Kami udah dua kali tidak bisa berkumpul sama orang tua dan orang terdekat kami," kata Edi sambil berlinangan air mata saat bercerita kepada Kompas.com, Jumat (7/6/2019).
Ia menyebutkan suasana puasa dan lebaran di kampung halaman dengan di pengungsian sangat jauh berbeda. Jika di kampung, ia sangat mudah memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani.
“Kalau di desa, kami tidak terlalu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari karena kami masih bisa bekerja di sawah. Kalau kebutuhan puasa kita bisa dapatkan dari hasil bertani, " kata Edi.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama di pengungsian, para jemaah Ahmadiyah harus mencari pekerjaan baru seperti berdagang dan menjadi tukang.
"Kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya sendiri bekerja sebagai tukang bangunan rumah. Ada juga yang berjualan di pasar," jelas Edi.
Ia mengakui pernah mendapat bantuan oleh pemerintah, namun hanya sementara.
"Memang pernah diberikan bantuan sama pemerintah namun itu hanya tiga bulan. Selepas itu tidak ada lagi," unkapnya.
Sementara itu Marini, salah seorang warga Ahmadiyah menuturkan merasakan suasana puasa dan lebaran di tempat pengungsian yang berbeda.
Saat di kampungnya, ia masih sering membuat kolak dari hasil pertaniannya. Namun sekarang untuk menikmati kolak, dia harus membelinya.
“Ya jelas berbedalah bisa lihat sendiri kondisi kita disini. Di sini klita jarang buat kolak, cuma bisa beli aja, kata Marini sambil menggendong anaknya di halaman depan bangunan pengungsian.
Ia juga menuturkan biasanya H-10 lebaran dirinya sudah mulai membuat kiloan kue lebaran.
“Biasanya kami 10 hari sebelum lebaran sudah membuat jajan berkilo-kilo, sekarang tidak bisa karena kondisi kita di sini” Imbuhnya.
Untuk anak-anak yang ikut mengungsi, mereka sekolah di SDN 4 Selong, Lombok Timur yang terdekat dari LLK. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Lebaran di Pengungsian, Jemaah Ahmadiyah Rindu Kampung Halaman"
Penulis : Kontributor Lombok Tengah, Idham Khalid
Editor: Fachri Sakti Nugroho
Sumber: Kompas.com
http://solo.tribunnews.com/2019/06/0...n-secara-paksa

Kompas.com/fitri)
Lombok Timur, kompas.com warga Ahmadiyah yang masih mengungsi di Lombok timur.
TRIBUNSOLO.COM, LOMBOK TIMUR - Jemaah Ahmadiyah yang tinggal di Dusun Grepek, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur harus kembali merasakan lebaran di tempat pengungsian yang berada di Lokal Latihan Kerja (LLK) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Selong, Lombok Timur.
Sebelumnya pada 19 Mei 2018 lalu, jemaah Ahmadiyah mendapatkan serangan dan pengusiran oleh warga desa setempat yang mengakibatkan rumah mereka rusak dan mereka terpaksa tinggal di LLK.
Jemaah Ahmadiyah yang tinggal di LLK sebanyak delapan kepala keluarga dengan total 24 orang yang terdiri dari 10 anak-anak, tiga lansia, dan 11 orang dewasa.
Sudah satu tahun sudah mereka tinggal di LLK dengan kondisi terbatas. Setiap KK menepati satu ruangan yang berukuran sekitar 3 x 3 meter persegi, dengan dipadati perabot rumah tangga miliknya.
Mereka menggunakan dua dapur bersama-sama untuk memasak.
Edi Sucipto (37), salah satu jemaah Ahmadiah menceritakan bahwa dirinya sangat merindukan lebaran di kampung halamanya dan kumpul bersama keluarga dekatnya.
“Coba banyangkan perasan mas jika dipisahkan secara dipaksa. Tidak bisa berkumpul sama orang tua saat lebaran, pasti sedih. Begitupun kami. Kami udah dua kali tidak bisa berkumpul sama orang tua dan orang terdekat kami," kata Edi sambil berlinangan air mata saat bercerita kepada Kompas.com, Jumat (7/6/2019).
Ia menyebutkan suasana puasa dan lebaran di kampung halaman dengan di pengungsian sangat jauh berbeda. Jika di kampung, ia sangat mudah memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani.
“Kalau di desa, kami tidak terlalu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari karena kami masih bisa bekerja di sawah. Kalau kebutuhan puasa kita bisa dapatkan dari hasil bertani, " kata Edi.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama di pengungsian, para jemaah Ahmadiyah harus mencari pekerjaan baru seperti berdagang dan menjadi tukang.
"Kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya sendiri bekerja sebagai tukang bangunan rumah. Ada juga yang berjualan di pasar," jelas Edi.
Ia mengakui pernah mendapat bantuan oleh pemerintah, namun hanya sementara.
"Memang pernah diberikan bantuan sama pemerintah namun itu hanya tiga bulan. Selepas itu tidak ada lagi," unkapnya.
Sementara itu Marini, salah seorang warga Ahmadiyah menuturkan merasakan suasana puasa dan lebaran di tempat pengungsian yang berbeda.
Saat di kampungnya, ia masih sering membuat kolak dari hasil pertaniannya. Namun sekarang untuk menikmati kolak, dia harus membelinya.
“Ya jelas berbedalah bisa lihat sendiri kondisi kita disini. Di sini klita jarang buat kolak, cuma bisa beli aja, kata Marini sambil menggendong anaknya di halaman depan bangunan pengungsian.
Ia juga menuturkan biasanya H-10 lebaran dirinya sudah mulai membuat kiloan kue lebaran.
“Biasanya kami 10 hari sebelum lebaran sudah membuat jajan berkilo-kilo, sekarang tidak bisa karena kondisi kita di sini” Imbuhnya.
Untuk anak-anak yang ikut mengungsi, mereka sekolah di SDN 4 Selong, Lombok Timur yang terdekat dari LLK. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Lebaran di Pengungsian, Jemaah Ahmadiyah Rindu Kampung Halaman"
Penulis : Kontributor Lombok Tengah, Idham Khalid
Editor: Fachri Sakti Nugroho
Sumber: Kompas.com
http://solo.tribunnews.com/2019/06/0...n-secara-paksa


simsol... memberi reputasi
1
1.6K
16


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan