Teror bom bunuh diri menjelang hari raya Idul Fitri kembali terjadi di Indonesia, kali ini di Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, 3 Juni lalu.
Pelaku yang masih berusia 23 tahun disebut polisi terpapar ideologi kelompok yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS meski tak tergabung dengan kelompok teror apapun. Ia diduga mengincar pahala ramadan melalui jihad yang menyimpang, menurut pengamat terorisme.
Pemerintah dan ormas keagamaan kini didesak segera membuat program kontra ideologi teror melalui literasi Islam yang sejuk dan moderat.
Desakan ormas dan pengamat ini disebut perlu segera dilakukan agar tidak ada lagi anak muda yang berniat melakukan bom bunuh diri akibat keliru memahami agama.
Kepolisian menyebut pelaku bom di pos polisi Kartasura adalah seorang penjual gorengan bernama Rofik Asharuddin (RA).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, menyebut Rofik selama ini tidak ada dalam daftar teroris yang mereka awasi.
Dedi mengatakan bom pinggang yang digunakan Rofik berdaya ledak rendah. Bom itu tidak menewaskan Rofik, tapi hanya melukai perut dan tangannya.
"Densus 88 sementara menyimpulkan bahwa pelaku tergolong lone wolf. Dia belum terindikasi berkaitan dengan kelompok teror terorganisir," kata Dedi di Jakarta, Selasa (04/06).
"Rekam jejak pelaku bisa disebut pemula. Pola yang dilakukannya amatir. Tapi ini tetap ancaman," ujar Dedi.
Teror bom di Solo tidak satu kali terjadi. Sehari jelang Idulfitri tahun 2016, laki-laki berusia 31 tahun bernama Nur Rohman meledakkan diri di depan kantor Polresta Solo.
Belakangan polisi menyebut Nur Rohman merupakan anggota jejaring teroris yang berafiliasi dengan ISIS.
Kepolisian dalam setahun terakhir juga menangkap sejumlah orang yang disinyalir bakal melakukan aksi teror tunggal, antara lain Maret lalu, terhadap dua perempuan bernama Roslina dan Yuliati Rahayuningrum.
Mengincar momen jelang lebaran demi pahala
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridwan Habib, menyebut pelaku teror mengincar momen jelang lebaran demi pahala.
Menurut Ridwan, paham menyimpang ini berpotensi terus berulang karena minimnya gerakan literasi Islam moderat.
"Ada pandangan yang salah bahwa pahala jihad pada bulan ramadan akan
dilipatgandakan 70 kali lipat
. Mereka mengejar amaliah Ramadan dan salah karena menganggap jihad sebagai membunuh," kata Ridwan.
"Pelaku seperti RA pelajari agama secara otodidak, mencari sendiri literatur agama. Saya khawatir kalau pemerintah tidak melakukan upaya khusus, bakal ada pengeboman selanjutnya," tuturnya.
Salah satu siasat menanggulangi fenomena pelaku teror tunggal seperti ini, kata Ridwan, adalah program kontra ideologi radikal yang konsisten dan sistematis.
Ridwan menilai upaya itu harus dipimpin pemerintah, dengan sokongan berbagai ormas Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
"Generasi milenial haus literatur agama, jadi tidak heran kalau mereka temukan literatur yang menyimpang di internet."
"Ormas Islam besar juga harus peduli dengan anak-anak muda ini. Pasok mereka dengan literatur moderat dan sampaikan itu dengan gaya anak muda," kata Ridwan.
Bagaimanapun, upaya kontra ideologi radikal sudah dilakukan ormas Islam, walau tidak mampu mencakup seluruh kalangan masyarakat di berbagai daerah.
Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Nahdlatul Ulama, menyebut penyebarluasan gerakan literasi Islam yang moderat itu perlu dilembagakan oleh pemerintah.
"Semuanya ikhtiar mengembangkan wawasan agama yang moderat dan melawan ideologi radikal dilakukan NU melalui jaringan lembaga pendidikan maupun kaderisasi internal."
"Jangkauan kami harus diperkuat resonansinya oleh pemerintah, termasuk ke masjid dan lembaga pendidikan," kata Rumadi saat dihubungi.
Rumadi mencontohkan kebijakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk mencegah masjid kampus menjadi ladang gerakan permisif terhadap radikalisme.
Meski menuai pro-kontra, kata Rumadi, kebijakan itu perlu diperluas, bukan hanya ke masjid universitas tapi juga masjid di lingkungan lainnya.
"Upaya ini tidak bisa dibebankan ke Kementerian Pendidikan atau Kementerian Agama saja, karena persoalan ini masif dan lintas sektor," ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, polisi masih terus mengorek keterangan dari saksi maupun sanak famili pelaku bom Kartasura. Pelaku saat ini dirawat di Rumah Sakit Profesor Awaludin Djamin milik Polri di Semarang.
Sejak 2010, setidaknya terjadi enam ancaman bom hingga teror yang menyasar ke polisi maupun warga sipil di Solo. Berbagai penangkapan terduga teroris juga terus dilakukan di Solo, Sukoharjo, dan sekitarnya.
Sepanjang sebulan terakhir, sejumlah terduga teroris ditangkap. Mereka dikaitkan dengan ISIS dan Jamaah Ansharut Daulah yang berencana melakukan teror pascapemilu.
Di sisi lain, kepolisian menyatakan memperketat keamanan di berbagai wilayah agar Idulfitri dapat berlangsung tanpa kejahatan teror.
Menurut Ridwan, paham menyimpang ini berpotensi terus berulang karena minimnya gerakan literasi Islam moderat.
giliran ormas radikal menggunakan islam buat onar, mereka hanya jadi bagian penonton doank tanpa gerakan apapun
"Jangkauan kami harus diperkuat resonansinya oleh pemerintah, termasuk ke masjid dan lembaga pendidikan," kata Rumadi saat dihubungi.
Rumadi mencontohkan kebijakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk mencegah masjid kampus menjadi ladang gerakan permisif terhadap radikalisme.
Meski menuai pro-kontra, kata Rumadi, kebijakan itu perlu diperluas, bukan hanya ke masjid universitas tapi juga masjid di lingkungan lainnya.
Desakan ormas dan pengamat ini disebut perlu segera dilakukan agar tidak ada lagi anak muda yang berniat melakukan bom bunuh diri akibat keliru memahami agama.