- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pasca Reformasi, Islam Sipil Indonesia Melemah dan Konservatisme Meningkat


TS
pasti2periode
Pasca Reformasi, Islam Sipil Indonesia Melemah dan Konservatisme Meningkat
Quote:
Dua dekade setelah Reformasi, visi yang diprediksi oleh para pendukung gagasan Islam Sipil, bahwa Islam Indonesia sebagian besar moderat dan kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi liberal seperti penghormatan terhadap hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi beragama, telah menjadi lebih sulit dipahami. Penelitian menunjukkan bahwa Islam Indonesia telah tumbuh menjadi lebih konservatif (van Bruinessen 2013) dan semakin menjadi tidak toleran terhadap ekspresi keagamaan yang bertentangan dengan kepercayaan Islam arus utama. Sementara prospek Islamisasi lebih lanjut dari negara Indonesia masih jauh dari terwujud, itu tidak bisa lagi dikesampingkan sepenuhnya dalam iklim meningkatnya Islamisme di Indonesia.
Kampanye Bela Islam yang sukses melawan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama adalah bukti nyata bahwa Islamisme meningkat di Indonesia pasca-Reformasi, yang sayangnya tidak cukup dijelaskan dalam studi terbaru tentang Islam Indonesia. Pertumbuhan Islamisme di Indonesia, yang terjadi meski dengan adanya dua dekade transisi demokrasi, menunjukkan bahwa banyak cendekiawan dan pengamat telah dibutakan dalam hal pengaruh gerakan Islamis konservatif dan garis keras di Indonesia pasca-Reformasi.
Hal ini mungkin dapat dikaitkan dengan dominasi Islam Sipil sebelumnya, istilah yang diperkenalkan oleh Robert Hefner dalam Civil Islam (2000) yang keluar tak lama setelah Reformasi dimulai di Indonesia tahun 1998. Gagasan ini segera menjadi kerangka kerja utama yang diadopsi oleh para pakar dan pembuat kebijakan untuk menganalisis Islam di Indonesia selama periode pasca-Reformasi.
“Islam Sipil” terinspirasi oleh pemikiran para intelektual Islam Indonesia seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, dan Abdurrahman Wahid. Para pemikir tersebut berhasil menggabungkan teologi Islam klasik dan teori sosial Barat untuk menghasilkan komentar masyarakat Indonesia selama periode Orde Baru. Komentar-komentar itu dirancang untuk mereformasi Islam Indonesia, menjauhkannya dari Indonesia sebagai negara Islam, sebuah ide yang ditawarkan oleh para pendahulu konservatif mereka, dan untuk memperbarui pemikiran Islam klasik yang menunjukkan kesesuaian dengan ide-ide modern seperti demokrasi, pluralisme, dan toleransi.
Namun, dua dekade setelah Reformasi, visi yang diprediksi oleh para pendukung gagasan Islam Sipil, bahwa Islam Indonesia sebagian besar moderat dan kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi liberal seperti
penghormatan terhadap hak asasi manusia

pluralisme

dan toleransi beragama
telah menjadi lebih sulit dipahami. Penelitian menunjukkan bahwa Islam Indonesia telah tumbuh menjadi lebih konservatif (van Bruinessen 2013) dan semakin menjadi tidak toleran terhadap ekspresi keagamaan yang bertentangan dengan kepercayaan Islam arus utama.
Lebih parah lagi, ekspresi seperti itu tidak hanyadiungkapkan oleh kelompok-kelompok Islamis baru seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), tetapi juga oleh banyak ulama dan aktivis di NU dan Muhammadiyah. Para Islamis yang didefinisikan di sini sebagai “Muslim yang berkomitmen pada aksi politik untuk mengimplementasikan apa yang mereka anggap sebagai agenda Islam” telah semakin mendominasi masyarakat dan politik Indonesia selama dua dekade terakhir.
Para pendukung gagasan Islam Sipil tampaknya telah gagal untuk memprediksi empat perkembangan mengenai Islam di Indonesia pasca-Reformasi. Pertama, para pendukung gagasan Islam Sipil adalah para elit intelektual Muslim Indonesia yang juga berpengalaman dalam teori sosial Barat. Interpretasi mereka tentang bagaimana Islam dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai liberal seperti pluralisme dan toleransi dapat diikuti dengan mudah oleh para akademisi dan pengamat Barat.
Selain Hefner, banyak sarjana memuji kebaikan Islam neo-modernis dan moderat Indonesia pada akhir Orde Baru Suharto dan periode Reformasi awal.
Namun, interpretasi seperti itu seringkali tidak dianut di antara para ulama serta aktivis NU dan Muhammadiyah arus utama, yang mendominasi kepemimpinan organisasi-organisasi tersebut di tingkat akar rumput. Mayoritas ulama Islam lulus dari sekolah Islam tradisional yang merupakan pesantren salaf, yang mempromosikan lebih banyak pemahaman harfiah tentang Islam dalam kurikulum mereka. Namun, lulusan mereka cenderung menjadi ulama Islam, kyai, dan pengkhotbah dalam komunitas lokal mereka.
Pemahaman Islam konservatif ini mungkin menjelaskan mengapa para ulama tersebut cenderung memiliki interpretasi toleransi yang lebih bergantung dan terkondisi dibandingkan dengan yang dimiliki oleh para intelektual Islam berpendidikan Barat yang mempromosikan wacana Islam Sipil. Hal ini pada gilirannya menjelaskan mengapa banyak ulama bersedia menoleransi dan terkadang mempromosikan tindakan persekusi terhadap kelompok minoritas agama seperti Muslim Ahmadiyah dan Syiah (Hamayotsu 2018) atau mendukung demonstrasi Bela Islam melawan Basuki Tjahaja Purnama (BTP).

BANGKITNYA OTORITAS ISLAM BARU
Kedua, para pendukung Islam Sipil gagal mengantisipasi jatuhnya otoritas Islam tradisional lebih lanjut di Indonesia pasca-Reformasi, yang disertai oleh munculnya tokoh-tokoh otoritas Islam baru seperti ustaztelevisi populer maupun pengkhotbah online. Contoh-contoh dari tokoh-tokoh otoritas Islam yang baru tersebut adalah Abdullah Gymnastiar, Yusuf Mansur, Bachtiar Nasir, dan Felix Siauw, yang kebangkitan popularitasnya dapat dikaitkan dengan fenomena itu.
Para pengkhotbah tersebut cenderung mengusung interpretasi ideologis Islam yang lebih konservatif dan mengembangkan hubungan dekat dengan tokoh-tokoh agama dari kelompok-kelompok Islam garis keras. Misalnya, Aa Gym mempertahankan hubungan dekat dengan pemimpin spiritual FPI Habib Rizieq Shihab dan pendiri JI Abu Bakar Basyir serta telah memberikan khotbah dalam demonstrasi politik yang diselenggarakan oleh HTI.
Sementara itu, Bachtiar Nasir mengembangkan jaringan dengan alumni pesantren Gontor, bersama dengan para aktivis Muhammadiyah yang lebih konservatif, yang bersama-sama memainkan peran penting selama demonstrasi Bela Islam.
Keterkaitan para pengkhotbah populer tersebut dengan kelompok-kelompok Islam garis keras dan konservatif menjelaskan mengapa mereka dapat dengan mudah dimobilisasi dalam aksi massa bersama seperti demonstrasi Bela Islam yang disponsori oleh kelompok-kelompok tersebut. Lebih penting lagi, munculnya pengkhotbah populer dan tokoh otoritas baru lainnya semakin mengurangi otoritas ulama Islam tradisional yang diwakili oleh para ulama NU dan Muhammadiyah, yang tiba-tiba mendapati diri mereka dan ide-ide mereka kehilangan relevansi, terutama di kalangan pemuda Muslim kelas menengah.
Bahkan dalam kelompok-kelompok moderat seperti NU, para ulama yang baru mengalami kebangkitan yang memperoleh pengikut populer luas cenderung merupakan kyai muda berpendidikan Timur Tengah dengan interpretasi teologis yang lebih konservatif yang menolakprinsip-prinsip moderat, pluralis, dan inklusif yang diadvokasi oleh almarhum Abdurrahman Wahid dan para ulama lainnya dari dalam NU yang cenderung moderat. Mereka termasuk Idrus Ramli, Buya Yahya, dan Abdul Somad, yang mendirikan NU Garis Lurus, sebuah faksi di dalam organisasi NU yang berupaya untuk menghapuskan teologi progresif dan pluralis yang dikembangkan oleh Abdurrahman Wahid dan juga dipromosikan oleh Ketua NU saat ini Said Aqil Siradj, yang sekarang dikenal sebagai Islam Nusantara.
Fakta bahwa para ulama muda yang berafiliasi dengan NU Garis Lurus adalah salah satu pengkhotbah tradisionalis yang paling populer saat ini yang berpotensi mengganggu prospek NU di masa depan sebagai organisasi Islam moderat dan pluralis karena mereka cenderung menjadi kandidat untuk posisi kepemimpinan masa depan dalam organisasi.
Ketiga, kaum Islamis konservatif dan garis keras lebih melek teknologi daripada rekan-rekan moderat mereka dalam menyebarkan gagasan mereka di Indonesia yang demokratis dan pasca-Reformasi. Salah satu mekanisme di mana kelompok garis keras Islam berhasil mempromosikan ide-ide mereka untuk memenangkan anggota baru adalah melalui organisasi dakwah kampus.
Organisasi dakwah kampus yang disponsori oleh Gerakan Tarbiyah, sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan HTI, tumbuh pesat selama tahun 1980-an dan 1990-an, sementara sifatnya yang kecil dan tertutup membantu mereka lolos dari pengawasan terus-menerus dari aparat keamanan Suharto. Organisasi itu mendapatkan popularitas karena umat Muslim muda dari latar belakang Islam yang relatif sekuler atau tidak konservatif mulai mencari pemahaman yang lebih dalam tentang Islam dengan menghadiri acara dakwah yang disponsori oleh organisasi-organisasi tersebut.
Setelah periode pasca-Reformasi, kelompok dakwah kampus semakin menggunakan posisi dominan mereka di universitas negeri sebagai sarana untuk mengubah pola pikir kaum muda Muslim Indonesia ke arah interpretasi Islam yang lebih eksklusif. Kelompok-kelompok seperti HTI berkembang di universitas negeri yang mencetak calon guru (sebelumnya Institut Pelatihan Guru Indonesia atau IKIP), di mana mereka menargetkan pelajar yang akan menjadi guru sekolah menengah umum untuk menjadi kader mereka.
Banyak dari guru-guru tersebut mungkin berhasil menyampaikan ide-ide eksklusif mereka di antara murid-murid mereka. Hasilnya, jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan bahwa hingga satu dari empat siswa sekolah menengah negeri di Indonesia mengekspresikan dukungan mereka terhadap gagasan kekhalifahan Islam yang secara teratur dipromosikan oleh HTI (The Jakarta Post, 2017).
Organisasi dakwah kampus hanyalah salah satu cara yang digunakan kelompok Islam garis keras untuk menyebarkan gagasan eksklusif mereka kepada calon pengikut potensial. Berbagai kelompok Islam yang berafiliasi dengan gerakan Tarbiyah, HTI, dan Jama’ah Tabligh juga aktif dalam mensponsori bentuk-bentuk baru dakwah, mulai dari kegiatan dakwah Jumat di berbagai lembaga negara, perusahaan, hingga pusat perbelanjaan (Tempo 2017, hal 64-65).
Situs internet dan media sosial telah menjadi arana baru bagi kelompok Islam garis keras untuk menyebarkan pesan mereka selama sepuluh tahun terakhir, misalnya melalui situs internet seperti Arramah.com dan VOAIslam.com dan lainnya yang mulai populer di kalangan pengguna internet yang mencari konten keagamaan. Situs-situs tersebut menawarkan interpretasi Islam secara harfiah dan ortodoks yang diartikulasikan secara jelas dan sederhana, seringkali dalam waktu kurang dari dua menit, oleh para pengkhotbah Islam dengan spesialisasi dalam dakwah online seperti ustaz Khalid Basalamah.
Keberhasilan kelompok-kelompok tersebut dalam mengakali rekan-rekan moderat mereka melalui kontrol terhadap internet serta sarana propaganda yang lebih konvensional seperti dakwah kampus telah membantu menjelaskan mengapa lebih banyak Muslim Indonesia, khususnya kaum muda milenial kelas menengah, yang mengikuti interpretasi Islam yang lebih konservatif daripada yang diusung para pendahulu mereka.
MENJALIN KOALISI
Keempat dan terakhir, para pendukung gagasan Islam Sipil tidak mendukung aliansi yang berkembang antara elit politisi tingkat tinggi dan ulama yang berafiliasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), di tingkat nasional maupun lokal. Para ulama dan politisi elit itu bersekutu dengan kelompok-kelompok Islam garis keras seperti FPI untuk melanjutkan ambisi mereka.
Jelas ada upaya ekstensif oleh kelompok-kelompok Islam garis keras untuk mengembangkan aliansi dengan para politisi, pegawai negeri, dan pejabat keamanan yang bersimpati pada agenda mereka atau setidaknya ingin memanfaatkan dukungan mereka untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik mereka.
FPI telah mengembangkan jaringan dengan para pejabat tingkat tinggi sejak didirikan awal tahun 2000-an. Jenderal purnawirawan mantan Kepala Staf TNI Wiranto (sekarang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan) dan Jenderal Polisi Nugroho Djajusman dianggap sebagai pelindung organisasi itu selama tahun-tahun awalnya. Keterkaitan tersebut dipertahankan oleh kepemimpinan TNI dan Polri saat ini.
Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala Staf TNI yang baru saja diganti, dilaporkan memiliki hubungan dekat dengan Habib Rizieq dan para pemimpin senior FPI lainnya. Di tingkat regional, FPI telah mengembangkan hubungan yang luas dengan polisi daerah dan juga komandan TNI, yang dilaporkan telah membantunya untuk menghindari masalah hukum setiap kali melancarkan serangan terhadap kelompok minoritas agama yang ditargetkan.
Menyadari kekuatan yang semakin besar dan pengaruh kelompok-kelompok Islam garis keras, terutama selama musim pemilihan umum, para elit itu semakin membentuk aliansi oportunistik dengan kelompok-kelompok Islamis untuk mendapatkan dukungan dan memanfaatkan anggota mereka sebagai pendukung potensial mereka. Namun, aliansi antara Islamis, ulama MUI, dan elit politisi telah menciptakan banyak kemunduran bagi prospek jangka panjang Islam sipil dan moderat di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari diberlakukannya sekitar 440 perda syariah di lebih dari 100 wilayah di Indonesia sejak Indonesia memulai desentralisasi politik tahun 2001.
Di tingkat nasional, undang-undang moralitas publik baru telah disetujui atau sedang dipertimbangkan oleh parlemen. Undang-undang tersebut termasuk Undang-Undang Anti-Pornografi 2006 dan pengenalan klausul yang akan sangat mengkriminalisasi hubungan seksual non-perkimpoian dalam revisi KUHP yang akan datang, yang diharapkan akan disahkan oleh DPR beberapa saat sebelum masa jabatan saat ini berakhir tahun 2019. Dengan perkembangan ini, prospek prinsip-prinsip dan wacana Islam sipil yang berlaku di Indonesia pasca-Reformasi yang demokratis menjadi lebih sulit dipahami hampir dua puluh tahun setelah pertama kali dikembangkan.
Sementara beberapa pakar tetap optimis mengenai prospek masa depan dari Islam sipil dan moderat di Indonesia, berdasarkan pengamatan di atas, kita tidak bisa lagi memandang Islam Sipil sebagai wacana teologis yang paling dominan dalam Islam Indonesia. Sementara prospek Islamisasi lebih lanjut dari negara Indonesia masih jauh dari terwujud, itu tidak bisa lagi dikesampingkan sepenuhnya dalam iklim meningkatnya Islamisme di Indonesia.
Keberhasilan kaum Islamis dalam menggelar demonstrasi Bela Islam menunjukkan bahwa mereka adalah kekuatan yang tidak dapat lagi diabaikan dalam analisis kontemporer tentang politik Indonesia.
Kampanye Bela Islam yang sukses melawan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama adalah bukti nyata bahwa Islamisme meningkat di Indonesia pasca-Reformasi, yang sayangnya tidak cukup dijelaskan dalam studi terbaru tentang Islam Indonesia. Pertumbuhan Islamisme di Indonesia, yang terjadi meski dengan adanya dua dekade transisi demokrasi, menunjukkan bahwa banyak cendekiawan dan pengamat telah dibutakan dalam hal pengaruh gerakan Islamis konservatif dan garis keras di Indonesia pasca-Reformasi.
Hal ini mungkin dapat dikaitkan dengan dominasi Islam Sipil sebelumnya, istilah yang diperkenalkan oleh Robert Hefner dalam Civil Islam (2000) yang keluar tak lama setelah Reformasi dimulai di Indonesia tahun 1998. Gagasan ini segera menjadi kerangka kerja utama yang diadopsi oleh para pakar dan pembuat kebijakan untuk menganalisis Islam di Indonesia selama periode pasca-Reformasi.
“Islam Sipil” terinspirasi oleh pemikiran para intelektual Islam Indonesia seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, dan Abdurrahman Wahid. Para pemikir tersebut berhasil menggabungkan teologi Islam klasik dan teori sosial Barat untuk menghasilkan komentar masyarakat Indonesia selama periode Orde Baru. Komentar-komentar itu dirancang untuk mereformasi Islam Indonesia, menjauhkannya dari Indonesia sebagai negara Islam, sebuah ide yang ditawarkan oleh para pendahulu konservatif mereka, dan untuk memperbarui pemikiran Islam klasik yang menunjukkan kesesuaian dengan ide-ide modern seperti demokrasi, pluralisme, dan toleransi.
Namun, dua dekade setelah Reformasi, visi yang diprediksi oleh para pendukung gagasan Islam Sipil, bahwa Islam Indonesia sebagian besar moderat dan kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi liberal seperti
penghormatan terhadap hak asasi manusia

pluralisme

dan toleransi beragama

telah menjadi lebih sulit dipahami. Penelitian menunjukkan bahwa Islam Indonesia telah tumbuh menjadi lebih konservatif (van Bruinessen 2013) dan semakin menjadi tidak toleran terhadap ekspresi keagamaan yang bertentangan dengan kepercayaan Islam arus utama.
Lebih parah lagi, ekspresi seperti itu tidak hanyadiungkapkan oleh kelompok-kelompok Islamis baru seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), tetapi juga oleh banyak ulama dan aktivis di NU dan Muhammadiyah. Para Islamis yang didefinisikan di sini sebagai “Muslim yang berkomitmen pada aksi politik untuk mengimplementasikan apa yang mereka anggap sebagai agenda Islam” telah semakin mendominasi masyarakat dan politik Indonesia selama dua dekade terakhir.
Para pendukung gagasan Islam Sipil tampaknya telah gagal untuk memprediksi empat perkembangan mengenai Islam di Indonesia pasca-Reformasi. Pertama, para pendukung gagasan Islam Sipil adalah para elit intelektual Muslim Indonesia yang juga berpengalaman dalam teori sosial Barat. Interpretasi mereka tentang bagaimana Islam dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai liberal seperti pluralisme dan toleransi dapat diikuti dengan mudah oleh para akademisi dan pengamat Barat.
Selain Hefner, banyak sarjana memuji kebaikan Islam neo-modernis dan moderat Indonesia pada akhir Orde Baru Suharto dan periode Reformasi awal.
Namun, interpretasi seperti itu seringkali tidak dianut di antara para ulama serta aktivis NU dan Muhammadiyah arus utama, yang mendominasi kepemimpinan organisasi-organisasi tersebut di tingkat akar rumput. Mayoritas ulama Islam lulus dari sekolah Islam tradisional yang merupakan pesantren salaf, yang mempromosikan lebih banyak pemahaman harfiah tentang Islam dalam kurikulum mereka. Namun, lulusan mereka cenderung menjadi ulama Islam, kyai, dan pengkhotbah dalam komunitas lokal mereka.
Pemahaman Islam konservatif ini mungkin menjelaskan mengapa para ulama tersebut cenderung memiliki interpretasi toleransi yang lebih bergantung dan terkondisi dibandingkan dengan yang dimiliki oleh para intelektual Islam berpendidikan Barat yang mempromosikan wacana Islam Sipil. Hal ini pada gilirannya menjelaskan mengapa banyak ulama bersedia menoleransi dan terkadang mempromosikan tindakan persekusi terhadap kelompok minoritas agama seperti Muslim Ahmadiyah dan Syiah (Hamayotsu 2018) atau mendukung demonstrasi Bela Islam melawan Basuki Tjahaja Purnama (BTP).

BANGKITNYA OTORITAS ISLAM BARU
Kedua, para pendukung Islam Sipil gagal mengantisipasi jatuhnya otoritas Islam tradisional lebih lanjut di Indonesia pasca-Reformasi, yang disertai oleh munculnya tokoh-tokoh otoritas Islam baru seperti ustaztelevisi populer maupun pengkhotbah online. Contoh-contoh dari tokoh-tokoh otoritas Islam yang baru tersebut adalah Abdullah Gymnastiar, Yusuf Mansur, Bachtiar Nasir, dan Felix Siauw, yang kebangkitan popularitasnya dapat dikaitkan dengan fenomena itu.
Para pengkhotbah tersebut cenderung mengusung interpretasi ideologis Islam yang lebih konservatif dan mengembangkan hubungan dekat dengan tokoh-tokoh agama dari kelompok-kelompok Islam garis keras. Misalnya, Aa Gym mempertahankan hubungan dekat dengan pemimpin spiritual FPI Habib Rizieq Shihab dan pendiri JI Abu Bakar Basyir serta telah memberikan khotbah dalam demonstrasi politik yang diselenggarakan oleh HTI.
Sementara itu, Bachtiar Nasir mengembangkan jaringan dengan alumni pesantren Gontor, bersama dengan para aktivis Muhammadiyah yang lebih konservatif, yang bersama-sama memainkan peran penting selama demonstrasi Bela Islam.
Keterkaitan para pengkhotbah populer tersebut dengan kelompok-kelompok Islam garis keras dan konservatif menjelaskan mengapa mereka dapat dengan mudah dimobilisasi dalam aksi massa bersama seperti demonstrasi Bela Islam yang disponsori oleh kelompok-kelompok tersebut. Lebih penting lagi, munculnya pengkhotbah populer dan tokoh otoritas baru lainnya semakin mengurangi otoritas ulama Islam tradisional yang diwakili oleh para ulama NU dan Muhammadiyah, yang tiba-tiba mendapati diri mereka dan ide-ide mereka kehilangan relevansi, terutama di kalangan pemuda Muslim kelas menengah.
Bahkan dalam kelompok-kelompok moderat seperti NU, para ulama yang baru mengalami kebangkitan yang memperoleh pengikut populer luas cenderung merupakan kyai muda berpendidikan Timur Tengah dengan interpretasi teologis yang lebih konservatif yang menolakprinsip-prinsip moderat, pluralis, dan inklusif yang diadvokasi oleh almarhum Abdurrahman Wahid dan para ulama lainnya dari dalam NU yang cenderung moderat. Mereka termasuk Idrus Ramli, Buya Yahya, dan Abdul Somad, yang mendirikan NU Garis Lurus, sebuah faksi di dalam organisasi NU yang berupaya untuk menghapuskan teologi progresif dan pluralis yang dikembangkan oleh Abdurrahman Wahid dan juga dipromosikan oleh Ketua NU saat ini Said Aqil Siradj, yang sekarang dikenal sebagai Islam Nusantara.
Fakta bahwa para ulama muda yang berafiliasi dengan NU Garis Lurus adalah salah satu pengkhotbah tradisionalis yang paling populer saat ini yang berpotensi mengganggu prospek NU di masa depan sebagai organisasi Islam moderat dan pluralis karena mereka cenderung menjadi kandidat untuk posisi kepemimpinan masa depan dalam organisasi.
Ketiga, kaum Islamis konservatif dan garis keras lebih melek teknologi daripada rekan-rekan moderat mereka dalam menyebarkan gagasan mereka di Indonesia yang demokratis dan pasca-Reformasi. Salah satu mekanisme di mana kelompok garis keras Islam berhasil mempromosikan ide-ide mereka untuk memenangkan anggota baru adalah melalui organisasi dakwah kampus.
Organisasi dakwah kampus yang disponsori oleh Gerakan Tarbiyah, sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan HTI, tumbuh pesat selama tahun 1980-an dan 1990-an, sementara sifatnya yang kecil dan tertutup membantu mereka lolos dari pengawasan terus-menerus dari aparat keamanan Suharto. Organisasi itu mendapatkan popularitas karena umat Muslim muda dari latar belakang Islam yang relatif sekuler atau tidak konservatif mulai mencari pemahaman yang lebih dalam tentang Islam dengan menghadiri acara dakwah yang disponsori oleh organisasi-organisasi tersebut.
Setelah periode pasca-Reformasi, kelompok dakwah kampus semakin menggunakan posisi dominan mereka di universitas negeri sebagai sarana untuk mengubah pola pikir kaum muda Muslim Indonesia ke arah interpretasi Islam yang lebih eksklusif. Kelompok-kelompok seperti HTI berkembang di universitas negeri yang mencetak calon guru (sebelumnya Institut Pelatihan Guru Indonesia atau IKIP), di mana mereka menargetkan pelajar yang akan menjadi guru sekolah menengah umum untuk menjadi kader mereka.
Banyak dari guru-guru tersebut mungkin berhasil menyampaikan ide-ide eksklusif mereka di antara murid-murid mereka. Hasilnya, jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan bahwa hingga satu dari empat siswa sekolah menengah negeri di Indonesia mengekspresikan dukungan mereka terhadap gagasan kekhalifahan Islam yang secara teratur dipromosikan oleh HTI (The Jakarta Post, 2017).
Organisasi dakwah kampus hanyalah salah satu cara yang digunakan kelompok Islam garis keras untuk menyebarkan gagasan eksklusif mereka kepada calon pengikut potensial. Berbagai kelompok Islam yang berafiliasi dengan gerakan Tarbiyah, HTI, dan Jama’ah Tabligh juga aktif dalam mensponsori bentuk-bentuk baru dakwah, mulai dari kegiatan dakwah Jumat di berbagai lembaga negara, perusahaan, hingga pusat perbelanjaan (Tempo 2017, hal 64-65).
Situs internet dan media sosial telah menjadi arana baru bagi kelompok Islam garis keras untuk menyebarkan pesan mereka selama sepuluh tahun terakhir, misalnya melalui situs internet seperti Arramah.com dan VOAIslam.com dan lainnya yang mulai populer di kalangan pengguna internet yang mencari konten keagamaan. Situs-situs tersebut menawarkan interpretasi Islam secara harfiah dan ortodoks yang diartikulasikan secara jelas dan sederhana, seringkali dalam waktu kurang dari dua menit, oleh para pengkhotbah Islam dengan spesialisasi dalam dakwah online seperti ustaz Khalid Basalamah.
Keberhasilan kelompok-kelompok tersebut dalam mengakali rekan-rekan moderat mereka melalui kontrol terhadap internet serta sarana propaganda yang lebih konvensional seperti dakwah kampus telah membantu menjelaskan mengapa lebih banyak Muslim Indonesia, khususnya kaum muda milenial kelas menengah, yang mengikuti interpretasi Islam yang lebih konservatif daripada yang diusung para pendahulu mereka.
MENJALIN KOALISI
Keempat dan terakhir, para pendukung gagasan Islam Sipil tidak mendukung aliansi yang berkembang antara elit politisi tingkat tinggi dan ulama yang berafiliasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), di tingkat nasional maupun lokal. Para ulama dan politisi elit itu bersekutu dengan kelompok-kelompok Islam garis keras seperti FPI untuk melanjutkan ambisi mereka.
Jelas ada upaya ekstensif oleh kelompok-kelompok Islam garis keras untuk mengembangkan aliansi dengan para politisi, pegawai negeri, dan pejabat keamanan yang bersimpati pada agenda mereka atau setidaknya ingin memanfaatkan dukungan mereka untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik mereka.
FPI telah mengembangkan jaringan dengan para pejabat tingkat tinggi sejak didirikan awal tahun 2000-an. Jenderal purnawirawan mantan Kepala Staf TNI Wiranto (sekarang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan) dan Jenderal Polisi Nugroho Djajusman dianggap sebagai pelindung organisasi itu selama tahun-tahun awalnya. Keterkaitan tersebut dipertahankan oleh kepemimpinan TNI dan Polri saat ini.
Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala Staf TNI yang baru saja diganti, dilaporkan memiliki hubungan dekat dengan Habib Rizieq dan para pemimpin senior FPI lainnya. Di tingkat regional, FPI telah mengembangkan hubungan yang luas dengan polisi daerah dan juga komandan TNI, yang dilaporkan telah membantunya untuk menghindari masalah hukum setiap kali melancarkan serangan terhadap kelompok minoritas agama yang ditargetkan.
Menyadari kekuatan yang semakin besar dan pengaruh kelompok-kelompok Islam garis keras, terutama selama musim pemilihan umum, para elit itu semakin membentuk aliansi oportunistik dengan kelompok-kelompok Islamis untuk mendapatkan dukungan dan memanfaatkan anggota mereka sebagai pendukung potensial mereka. Namun, aliansi antara Islamis, ulama MUI, dan elit politisi telah menciptakan banyak kemunduran bagi prospek jangka panjang Islam sipil dan moderat di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari diberlakukannya sekitar 440 perda syariah di lebih dari 100 wilayah di Indonesia sejak Indonesia memulai desentralisasi politik tahun 2001.
Di tingkat nasional, undang-undang moralitas publik baru telah disetujui atau sedang dipertimbangkan oleh parlemen. Undang-undang tersebut termasuk Undang-Undang Anti-Pornografi 2006 dan pengenalan klausul yang akan sangat mengkriminalisasi hubungan seksual non-perkimpoian dalam revisi KUHP yang akan datang, yang diharapkan akan disahkan oleh DPR beberapa saat sebelum masa jabatan saat ini berakhir tahun 2019. Dengan perkembangan ini, prospek prinsip-prinsip dan wacana Islam sipil yang berlaku di Indonesia pasca-Reformasi yang demokratis menjadi lebih sulit dipahami hampir dua puluh tahun setelah pertama kali dikembangkan.
Sementara beberapa pakar tetap optimis mengenai prospek masa depan dari Islam sipil dan moderat di Indonesia, berdasarkan pengamatan di atas, kita tidak bisa lagi memandang Islam Sipil sebagai wacana teologis yang paling dominan dalam Islam Indonesia. Sementara prospek Islamisasi lebih lanjut dari negara Indonesia masih jauh dari terwujud, itu tidak bisa lagi dikesampingkan sepenuhnya dalam iklim meningkatnya Islamisme di Indonesia.
Keberhasilan kaum Islamis dalam menggelar demonstrasi Bela Islam menunjukkan bahwa mereka adalah kekuatan yang tidak dapat lagi diabaikan dalam analisis kontemporer tentang politik Indonesia.
https://kyotoreview.org/issue-24/ris...asi-indonesia/
SUMBER
bagi yang tidak membaca dengan lengkap
silakan trus saja berhalusinasi bahwa mayoritas masih moderat

pilpres 2019 jokowi menang 55% dan wowok skitar 44%
tapi jangan lupakan karena pemilih minoritas yg mencapai 10- 11% kebanyakan adalah pilih jokowi
jika masih terus berhalusinasi dan berdiam diri bahwa
moderat masih banyak blablabla
jangan kaget klo masa depan indonesia bakalan macam suriah
gw kasih contoh deh
FPI razia warung, muslim2 sekitar hanya nonton
anak2 skitar melihat FPI bakalan bilang,
"wah gagah bener
razia gini ga ada yg berani usik
pasti islam mereka paling benar"
malah jadikan FPI sebagai masa depan mereka
seandainya FPI berbuat onar dan muslim2 sekitarnya menghadang dengan mengatakan
islam tidak mengajarkan kekerasan
anak kecil sendiri sekitarnya bakalan sadar
bahwa FPI itu rusak dan akan menjauhkan dari mereka
anak anak adalah masa depan
dan orang dewasalah yg harus menunjukkan "jalan" yang benar
dengan TINDAKAN bukan sekedar KATANYA







rizaradri dan 14 lainnya memberi reputasi
15
4K
Kutip
44
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan