Kaskus

News

babygani86Avatar border
TS
babygani86
Pentingnya Menempatkan Perusahaan Keluarga On the Right Track
Janganlah kita mengira perusahaan keluarga (family-controlled business atau family business) itu hanyalah sekelas perusahaan berskala mikro dan kecil, atau hanya berupa took mama papa. Perhatikan saja, sekitar seperlima (19 persen) perusahaan yang ada dalam daftar Fortune Global 500 tak lain merupakan perusahaan yang dikontrol keluarga, karenanya Generasi penerus (next-gen) perusahaan keluarga penting untuk dibahas.

Nama-nama beken seperti Walmart, Samsung Electronics, Novartis, Roche, Nike, Oracle, Tata, Softbank, Foxconn, atau Reliance industries merupakan sebagian yang bisa dimasukkan dalam kelompok perusahaan keluarga ini. Sejak 2008, pertumbuhan penjualan perusahaan ini rata-rata 7 persen per tahun, lehih tinggi dibandingkan kelompok non-family business yang sebesar 6,2 persen per tahun.

Pentingnya Menempatkan Perusahaan Keluarga On the Right Track

Lebih dari 30 persen perusahaan dengan penjualan di atas USD 1 miliar merupakan perusahaan keluarga. Komposisi perusahaan dengan revenue tahunan di atas USD 1 miliar ini juga dominan diisi oleh perusahaan keluarga di sejumlah kawasan. Angka proporsi perusahaan keluarga ini, yakni sekitar 85 persen di Asia Tenggara, 75 persen di Amerika Latin, 67 persen di India, dan 65 persen di Timur Tengah. Pengecualian di China dan kawasan Afrika Subsahara, di mana banyak perusahaan besar yang dimiliki oleh negara. Khusus di Indonesia, komposisi perusahaan keluarga juga amat dominan, yakni mencapai lebih dari 95persen. Itulah mengapa posisi perusahaan keluarga arnat penting.

Next-gen punya posisi penting karena secara umum di tangan merekalah nasib keberlanjutan dan masa depan perusahaan keluarga mereka. Bahkan, di sebagian perusahaan keluarga di Indonesia, sejumlah next-gen baik dari generasi kedua atau ketiga sudah memegang posisi/jabatan strategis, misalnya Arman Hartono (BCA), Andre Atmadja (Mayora), Arif P. Rachrnat (Triputra), Maya Watono (Dwi Sapta), Bani Mulia (Samudera Indonesia), Erwin Sirad (Karindo Alkestron), Suteja Darmono (jababeka), Titi Oklarina (Tiki), dan Theresa Wibowo (Kawan Lama).

Tema tentang next-gen rasanya juga tidak ada kadaluwarsanya, alias selalu relevan. Sebab, seiring perjalanan waktu, cukup banyak perusahaan yang kini memasuki masa transisi kepemimpinan dari generasi pendiri (founder generation) atau pendahulu (predecessor generation) ke tangan next-gen. Selain itu, dari waktu ke waktu kita juga bisa menemukan sejumlah next-gen yang mencuat namanya: baik karena mendapat kepercayaan lehih besar untuk memimpin perusahaan keluarga, mendirikan bisnis baru yang melejit, ataupun memimpin langkah terobosan atau inovasi bisnis.

Para orang tua dari suatu bisnis keluarga tentulah punya kepentingan besar agar anak-anak atau cucu mereka sebagai generasi penerus terlihat dalam bisnis keluarga. Sebab, bagi generasi pendiri atau pendahulu ini, bisnis keluarga tak lain merupakan legacy keluarga tersebut. Inilah aset kebanggaan mereka. Langkah atau kejadian yang mencoreng nama perusahaan keluarga, buat mereka juga berarti mencoreng nama keluarga.

Pentingnya Menempatkan Perusahaan Keluarga On the Right Track

Nah, di lingkungan bisnis keluarga, tak ada isu yang lebih krusial dan sensitif dibandingkan dengan soal transisi kepemimpinan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Sebagai contoh fenomenal, ketika Dhirubhai H. Ambani, pendiri Reliance Industries, wafat pada 2002 tanpa sempat menunjuk secara pasti siapa suksesor di antara anaknya, Mukesh dan Anil Ambani, pecahlah perselisihan di antara keduanya. Akibatnya, grup usaha milik swasta terbesar di India ini harus dipecah jadi dua.

Dalam beberapa kasus, perusahaan yang kuat pun bisa melemah setelah terjadinya suksesi kepemimpinan antar-generasi. Kepercayaan publik terhadap perusahaan keluarga secara umum merosot begitu tongkat kepemimpinan diserahkan dari generasi pendiri ke next-gennya. Hanya 16 persen dari 2.400 perusahaan keluarga di 40 negara telah memiliki succession plan yang telah didiskusikan dan didokumentasikan.

Namun, dalam kenyataannya, karena perbedaan era, tren, ataupun passion, ada juga next-gen yang tidak berminat bergabung atau meneruskan bisnis keluarga. Ada yang mmilih menjadi professional bisnis di perusahaan lain, memilih profesi non bisnis, atau membangun usaha sendiri di luar bisnis keluarga. Contoh next-gen yang membangun bisnis sendiri: Reynold Wijaya, generasi kedua Grup Unifam yang mendirikan fintech Modalku; Erastus Radjimin, generasi kedua pengelola JW Marriot Hotel jakarta yang mendirikan Artotel; Ryu Kawano Sullawan, generasi kedua Grup MidPlaza yang mendirikan Veritans; dan Jonathan Sudharta, generasi kedua Grup Mensa yang mendirikan HaloDoc; dan sebagainya lagi.

Pentingnya Menempatkan Perusahaan Keluarga On the Right Track

Tidak masalah adanya next-gen yang mengembangkan bisnis di luar bisnis keluarga. Namun, bisnis utama keluarga tetap harus dipahami dan diurusi. Bisnis lain itu sedapat mungkin bisa dikembangkan dalam cakupan grup bisnis keluarga. Itu memang soal pilihan. Yang penting, apa pun pilihannya, next-gen diharapkan bisa mencatat prestasi sebaik-baiknya. Mereka yang memilih mengembangkan bisnis sendiri seyogjanya bisa membesarkan bisnis tersebut. Syukur-syukur bisa memperkaya portofolio dan khazanah kompetensi bisnis perusahaan keluarganya. Adapun next-gen yang memilih meneruskan kepemimpinan bisnis keluarga tentu diharapkan bisa mempertahankan kejayaan bisnis keluarga tersebut; atau akan lebih baik bila mampu mencetak prestasi lebih besar dibandingkan generasi pendahulunya.

Boleh dikatakan, next-gen yang memilih melanjutkan kepemimpinan bisnis keluarga terutama dari grup usaha yang sudah besar dan mapan punya beban moril dan historis yang lebih besar. Tak sedikit yang merasa dilingkupi hayang-hayangnama besar sang pendiri atau pemimpin pendahulunya. Mau tak mau, mereka harus mampu membuat terobosan bisnis demi mencetak prestasi yang bisa menaikkan reputasi dan kredibilitas diri mereka.

Di samping harus mampu menunjukkan reputasi sebagai pemimpin bisnis andalan, next-gen suksesor ini juga menghadapi sejumlah tantangan lain. Ada sejumlah tantangan bagi next-gen perusahaan keluarga, di antaranya menjaga nilai-nilai keluarga di perusahaan tetap hidup, mendorong proses transisi kepemimpinan yang terencana dan mulus, mempertahankan kontrol perusahaan di tangan anggota keluarga, serta mengintroduksi profesionalisme.

Dengan kata lain, di samping punya tanggung jawab moril untuk dapat mempertahankan nilai-nilai keluarga dan kejayaan perusahaan keluarganya, next-gen leader ini diharapkan bisa membawa angina segar atau pembaruan bagi perusahaan keluarganya. Harapan ini sebenarnya tidaklah berlebihan, mengingat next-gen umumnya tumbuh di era kemakmuran dan kemajuan, sehingga latar belakang pendidikannya lebih baik, jejaring perkawanan lebih luas, dan pengenalan teknologi lebih dini. Ada lima cara pembaruan atau terobosan yang bisa dilakukan next-gen pada perusahaan keluarganya, yakni digitisasi, inovasi, profesionalisasi, diversifikasi, dan program responsibilitas sosial.

Pentingnya Menempatkan Perusahaan Keluarga On the Right Track

Namun, probabilitas sang next-gen bisa membawa angin segar bagi perusahaan keluarganya amat tergantung pada kapabilitas dan kompetensinya. Bukan hanya kompetensi dari aspek teknis, tetapi juga dari aspek manajerial kepemimpinan, dan aspek soft skills lainnya. Kompetensi inilah yang merupakan faktor terpenting keberhasilannya sebagai pemimpin penerus, selain faktor karakter personal.

Yang harus kita pahami bersama, next-gen leader yang hebat bukanlah turun dari langit. Ada proses pengembangan kapabilitas yang harus dilalulnya. Harus ada semacam training ground tempatnya menempa kompetensi bisnis dan kepemimpinan. la juga butuh pengalaman lapangan, untuk mengenali medan bisnis, proses bisnis, dan orang-orang atau pihak-pihak yang terkait.

Namun, proses penggemblengan kapabilitas diri itu tak bisa hanya mengandalkan inisiatif dari sang next-gen. Pihak orang tua atau generasi pendahulunya pun harus mempersiapkan proses dan fasilitas pengembangan ini. Alangkah baik bila dapat memperkenalkannya dengan seluk-beluk bisnis keluarga sejak dini. Dan, pihak orang tua pun mesti mau berbagi pengalaman dan jurus suksesnya, membangun kultur yang kondusif untuk pengembangan diri, memperkenalkan jejaringnya, dan rela melepaskan sebagian otoritasnya agar sang next-gen bisa membangun kapasitas dan kredibilitas dirinya . Adanya program mentoring, apalagi dengan penunjukan mentor khusus, juga bisa memperkuat dan mempercepat proses pengembangan kapasitas ini.

Kalau hal-hal tersebut bisa dijalankan, setidaknya pihak orang tua atau generasi pendahulu sudah menempatkan perusahaan keluarganya on the right track untuk menjadi bisnis yang berkelanjutan.

Pentingnya Menempatkan Perusahaan Keluarga On the Right Track


Spoiler for Referensi:


0
984
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan